"Ugh," Aku mengerang dengan protes ketika aku berguling dan memukul alarm hingga diam karena suaranya mengganggu yang dia buat sebelum melempar bantal dari kepalaku dan menggosok mataku. Ini tepat pukul empat pagi dan aku menarik diriku sendiri keluar dari kasur menuju kamar mandi. Beberapa menit lagi Lance akan menggedor pintu kamarku tidak peduli apakah aku siap atau tidak dengan Andrevich yang siap menjejaliku dengan jus hijaunya. Menurutnya dan guru kesehatan barunya, aku harus meminum semua campuran jusnya sebelum aku ditempatkan di olahraga harianku. Satu-satunya hal baik saat aku melakukan ini adalah aku tidak perlu meminum obat yang diresepkan dokterku, aku tidak menyukai obat itu karena efeknya yang membuatku lamban dan mudah lelah, makanya aku menggunakan alternatif lain daripada menekan emosiku aku akan menyalurkannya ke sesuatu yang lain yang tidak memerlukanku untuk menelan obat penenang, basically.
Syukur pada Tuhan selama aku rutin m
*Dyadya : bahasa Rusia untuk paman. *Intermittent Explosive Disorder merupakan sebuah gangguan saat seseorang mengalami kegagalan dalam mengontrol rasa marahnya dan memiliki dorongan-dorongan untuk bertindak secara kasar. Saat ada masalah, bahkan masalah kecil sekalipun, amarahnya dapat “meledak-ledak”. Ada agresi yang timbul, baik itu agresi secara verbal maupun fisik. Agresi verbal yang timbul dapat berupa berteriak, membentak, mengumpat atau berkata-kata kotor, menghina, dan sebagainya. Agresi non-verbal yang muncul dapat berupa perilaku merusak, menyakiti, memukul, dan sebagainya. Perilaku agresi ini tidak dapat dikontrol. Perilaku ini juga sulit diprediksi karena dapat muncul sewaktu-waktu bahkan jika masalah yang dihadapi sebenarnya bukan masalah yang besar. Penderita Intermittent Explosive Disorder juga biasanya mengalami gejala fisik sebagai akibat dari ledakan amarahnya, seperti sakit kepala, sulit bernafas, tremor, dan sebagainya.
"Aku tidak ingat kapan aku menaruh nomermu ke hpku," Kata seseorang dengan suara yang berat dan rendah di telingaku. Dia terdengar aneh, tapi aku tahu kalau itu adalah dia."Cassandra," Kataku. "Sangat menyenangkan kau masih punya keinginan untuk menghubungiku. Kau terdengar -""Mabuk? Teler? Sedang tinggi?" Dia memotong perkataan, tertawa kecil. "Aku minum beberapa gelas tequila. Kurasa itu membuatku merasa fan-f*cking-tastic! Kenapa aku tidak melakukannya sejak kemarin?"Aku dengan cepat sadar dari pikiran mabukku. "Dimana kau?" Suaraku tegang menunggu jawabannya namun yang ada hanya jeda yang panjang."Downtown," Dia membalas. "Ini klub langganan Vanya di LA. Sedikit terlalu melebihi kapasitas jika kau bertanya apa menurutku."Panah cemburu yang tajam seperti ditusukkan di dadaku. Klub berarti menari dan jika dia mabuk, pria mungkin akan mengambil
Setelah Lev mengangkat satu-satunya koper Dean ke kamar tamu, aku duduk di tepi kasur queen-size dan melihat Dean menaruhnya di sampaiku kemudian membukanya. Celana Levi's mungkin terlipat dengan rapi di tepiannya tapi di dalam benar-benar terlihat seperti medan perang."Apa?" Dean mengikuti pandangan melongoku ke tumpukan pakaian yang ada di dalam koper. "Aku sedikit terburu-buru."Aku berdiri dan membungkuk, mengambil kaus V-neck yang kumal dengan jijik. "Mereka semua membutuhkan sentuhan setrika, kecuali kalau kau mau terlihat seperti kau sudah tidur dengan semua pakaian ini."Dia tertawa, melemparkan lengannya di sekitar pinggangku dan menarikku ke bagian depannya yang keras. "Apakah aneh kalau aku menjadi bergairah karena kau membicarakan tentang menyetrika pakaianku?" Dia mengubu
Sial! Aku tidak bisa mengendalikan diriku sendiri.Dean sudah sampai di sini dan aku tidak bisa berhenti berlari untuk menemuinya, mengabaikan teriakan Charlotte, dan sahutan Kevin. Aku mengumpulkan rambutku di atas dan mengikatnya ketika aku sampai di ujung tangga.Sial!"Dean!" Aku tersenyum ketika sampai di depan pintu, lalu mulutku menetes ketika melihatnya masih dengan segala karismanya. Rambut gelap keritingnya agak basah karena keringat dan semua nya acak-acakan dengan caranya sendiri, dia memakai kemeja flannel milik ayahku dengan kaca mata yang menggantung di kerah bajunya, dan celananya dilipat di tungkainya.Yum.Mata hijaunya bersinar ketika dia tersenyum padaku. "Hi, can
Malam ini, burger bar di Chicago penuh dengan obrolan yang keras dan teriakan gembira anak kecil yang tidak berhenti. Pada hari yang baik, restoran akan penuh dengan pasangan yang mengobrol. Malam ini semuanya tentang keluarga.Sial."Maaf tentang ini," Aku memberitahu Dean, berusaha keras agar dia bisa mendengar ku di antara semua suara di udara.Senyum perlahan menyebar di sepanjang wajahnya. Dia berpindah dari bangkunya yang ada di depanku sampai kita duduk berdampingan di dalam booth kita, pahanya menyentuh pahaku."Kita tidak perlu saling meneriaki," Katanya ke telingaku, "kalau kita duduk berdekatan, kitten."Aku merinding. Udara dan atap yang tinggi di dalam tidak ada hubungannya dengan itu. "Kupikir kau mau menghormati keinginanku untuk innocent date?"Dean tertawa, rendah di tenggorokannya. "Aku memang melakukannya," Katanya, masih menempelkan
Hari berganti hari berganti minggu sejak aku meninggalkan Ełlona bersama paman ku dan ayahku yang begitu kejam tapi aku tampak selalu tidak bisa membencinya dan aku takut dengan apa yang mungkin akan dilakukan pamanku. Tino membantuku menetap di apartemennya, di Springfield, tempat firma hukumnya berada. Dia meninggalkan banyak dokumen dan klien hanya untuk menjemputku, juga pamanku secara pribadi, tapi aku tidak peduli, aku hanya lega aku sudah jauh dari rumah. Untuk sekarang. Tino membantuku mendapatkan pakaian dan hal-hal lain yang kubutuhkan dan aku sangat bersyukur padanya. Aku sudah menelepon pamanku berulang kali tapi selalu dialihkan ke kotak suara atau ditolak. Aku khawatir dengannya, pria itu - secara garis besarnya - sudah membesarkanku, dia yang mengajariku bersepeda dan merayu gadis yang kutaksir di sekolah menengah pertama. Ketika di pesawat dia benar-benar mabuk berat dan tertidur di sepanjang penerbangan menuju Chicago, tapi aku terus mendengar dia memanggil nama Cas
Akhir pekan akhirnya tiba setelah tiga hari jadwal sekolah yang padat dan walaupun begitu belajar tetap menjadi agendaku hari ini. Aku punya tugas yang harus dikumpulkan hari senin dan mengingat Tino sudah berkorban banyak untukku setidaknya aku bisa membantunya dalam urusan rumah. Aku mengambil sekolah medis di Chicago dan selama sekolahku dimulai Tino selalu mengantar dan menjemputku walaupun dia memiliki jadwal yang lebih padat dariku. Aku memiliki terlalu banyak hal lagi hingga aku tidak punya banyak waktu untuk mengadakan penelitian, jadi di sinilah aku dikepung buku catatan yang tersebar dimana dan laptopku.Aku menenggelamkan diriku sendiri di kesenangan mempelajari anatomi manusia. Aku mengeluarkan draf esai ku dan mulai menulis bagian akhirnya. Untuk beberapa jam yang bisa ku dengar di kamar adalah jariku sendiri menekan tombol laptop dan buku yang di bolak balik. Aku berada di
"OK, ya, aku akan senang sekali melihatnya." Kataku dengan sumringah menatap mentari pagi hendak naik dan telepon menempel di telingaku. "Grace, terima kasih. Kau luar biasa."Ini sudah hampir tiga minggu setelah Dean pertama kali muncul di rumahku dan sekarang dia masih berada di Chicago, menyewa satu unit apartemen di tengah kota hanya karena dia tidak ingin ayahku memergokinya 'memperawani' putrinya untuk kedua kali. Aku tidak keberatan dengan ide itu karena selama itu pula kami sudah seperti dua maniak seks. Dia pria yang menakjubkan dan aku merasa jatuh semakin dalam, aku tidak peduli jika dia belum mau membuka dirinya padaku, aku takut kalau hanya aku yang merasakan ini.Namun, aku ingin mengenyahkan perasaan itu sekarang karena aku sedang berada di langit ke tujuh. Hari-hariku semakin baik saja semenjak Dean datang menyusulku dan sekarang agenku menelepon kalau dia punya beberapa naskah yang sesuai untuk kumainkan dan dia ingin bert
Aku duduk dengan lesu di salah satu bar stool di dapur rumah ayahku, kedua siku di atas counter dan kepala di tanganku. Aku memanfaatkan rumah yang sedang sepi ini dengan menangis tak terkontrol selama lima menit, semua percakapan yang kumiliki dengan Dean mengalir keluar seperti episode film. Aku mengambil tisu yang ada di atas kulkas dan kembali duduk sebelum membersihkan wajahku menggunakan tisu dengan susah payah.Aku berbalik ketika aku mendengar langkah kaki dan melihat Kevin berjalan ke arahku dengan kerutan di dahinya lalu tanpa berkata apapun dia menarikku ke pelukannya.Aku tidak bisa menahan luapan di dadaku yang membuatku bergetar dengan hebat. Aku merasa seperti gumpalan ingus dan air mata dan aku tidak ingin melakukan apa-apa lagi. Kevin mengencangkan lengannya di sekitar ku dan semakin mendekatkan dirinya padaku, dengan lembut dia mengelus rambutku."Apa kau menangis karena Dean." Suaranya terdengar berat da
“Apa aku sudah bilang padamu kalau aku akan menikmati waktuku membuka gaun ini nanti?” Dean berbisik di telingaku saat kita berdansa dengan iringan “perfect” dari Ed Sheeran. Setelah upacara ikrar janji selesai, atrium dari Pazzo’s telah diubah menjadi surga romantis dengan lampu-lampu berkilauan, dimana kita semua memakan makanan terbaik dan wine teratas, dan sekarang aku berdansa dengan pacarku di lantai dansa.Aku tersenyum di samping pipinya. “Apa itu karena kau menyukai apa yang aku pakai atau karena kau membencinya?”“Aku tidak akan pernah bisa membenci apapun yang kau pakai, apalagi kalau kau tidak memakai apapun. Percaya padaku.”Klasik Dean. Aku memakai gaun a-line berwarna biru langit dengan garis leher yang rendah, atasan korsetku disulam dengan kristal dan payet yang dengan alami memudar ke rok tulle yang memiliki celah paha yang tinggi.Diseberang lantai dansa, aku melihat pasangan yang baru saja menikah berdansa dan tersenyum, tidak mempedulikan fakta kalau Alby adalah
Waktu terasa aneh setelah itu. Beberapa menit setelah Dean muncul di depan pintuku waktu terasa terus berjalan maju sementara aku tidak bergerak sama sekali. Aku tidak ingat bagaimana aku bisa kembali duduk di sofaku tanpa jatuh dan mencium lantai. Aku tidak tahu sudah berapa kali aku mendengar Dean memanggilku tapi aku terus menatapnya seolah aku takut kalau yang aku lihat ini hanyalah mimpi, atau halusinasi, atau seseorang memasukkan halusinogen paling kuat ke dalam saluran udaraku dan aku sudah menghirupnya sepanjang malam dan efeknya baru terasa sekarang.Hei, setelah semua yang aku alami aku tidak akan mengabaikan pilihan terakhir itu.“Babe,” Panggilan itu akhirnya mengeluarkanku dari lubang yang aku ciptakan sendiri.Babe, huh? Aku menyukainya.Ketika aku akhirnya memperhatikannya, dia tersenyum. Senyum yang jarang sekali dia tampilkan dan rasa rindu yang melandaku seolah berubah menjadi gelombang tsunami yang berkali-
“Apa hanya aku yang merasa kalau semua ini terasa mengerikan. Coba biar aku ulang lagi.” Aku memutar mataku, mengingat kejadian yang sama persis pernah terjadi padaku. Cahaya matahari terbenam menembus jendela kacaku dan aku menikmati kehangatannya di sofa dengan popcorn dan Netflix di televisi.Ayahku tidak salah. The deja vu is real.“Kau ingin aku menjadi pasanganmu, lagi? Di pernikahan Albert pula?” Aku mendengar ayahku menghela napas. “Aku sudah terlalu tua untuk ini.”“Ayolah, dad. Ini tidak seperti kita melakukan ini setiap hari. Apa aku perlu mengingatkanmu kalau aku akan terlihat seperti daging segar di sana jika aku datang sendirian.” Aku tahu kalau trik yang sama tidak akan berhasil. Aku memutar otakku mencoba memikirkan strategi yang bisa membuat ayahku luluh dengan permintaanku, karena ini hanya lewat telepon aku tidak bisa memberikannya puppy eyes. Lalu ide bagus melintas. “Kau
LIMA TAHUN KEMUDIANLos AngelesPonselku berdering begitu aku memasuki elevator. Aku berniat untuk mengabaikannya ketika aku melihat siapa yang menelponku, tapi hingga aku sampai di lantai apartemenku Sarah belum akan menyerah sampai aku menjawabnya.“Hai, Sarah. Bagaimana keponakan kesayanganku?” Sapaku.“Some friend you are,” Balas Sarah dengan kesal. “Mentang mentang karirmu semakin menanjak kau jadi jarang menelponku dan ketika kau menjawab kau langsung menanyakan kabar Henry dan bukannya kabarku.”Aku tertawa sambil berusaha membuka pintu apartemenku. Sarah memang penuh dengan omong kosong, aku hanya sekali pernah tidak menjawab teleponnya karena aku berada ditengah-tengah set dan aku tidak sadar kalau aku meninggalkan teleponku ada di trailer sampai proses syutingnya selesai. Aku juga tidak bisa menolong diriku sendiri kalau Henry – anaknya yang sekarang sudah berumur 4 tahun – adalah makhluk paling menggemaskan di dunia ini.“Kau tahu aku lebih mencintainya daripada kau,” Balas
Pukul dua belas tepat.Aku berdiri di depan gerbang masuk taman, dekat dengan air mancur yang besar, merinding karena udara dingin yang menembus jaketku. Aku menendang kerikil di dekat kaki hanya karena aku ingin menghabiskan waktu. Namun, Luke memiliki cara yang berbeda untuk menghabiskan waktunya. Dia mengisi pistolnya dan mematikan pengamannya. Yeah, aku tentang pistol karena setengah bagian dari karirku adalah berakting menggunakan pistol. Perbedaannya adalah milikku tidak berisi peluru. Aku merinding melihat mendengar suara peluru memasuki pistolnya dan semakin takut lagi jika dia terpaksa menggunakannya.“Aku ingin bilang kalau aku berterima kasih padamu. Sungguh, aku tidak akan bisa melakukan ini tanpamu.” Katanya setelah menyembunyikan pistolnya di balik punggungnya.“Apa senjata itu benar-benar diperlukan? Kau bisa mempercayai Dean.” Kataku menunjuk pada pistol yang dia sembunyikan.“Tidak ada salahnya selalu berhati
Sore harinya aku bertemu dengan Sarah di rumahnya, karena dia yang selalu mewajibkanku untuk mengunjunginya setiap kali aku pulang ke Florida. Seolah aku tidak pernah mengunjunginya. Ketika aku sampai di rumahnya, aku langsung masuk dan menyamankan diriku sendiri di sofa ruang tengahnya seperti yang biasa aku lakukan jika berkunjung ke rumanya. “Well, kurasa beberapa hal memang tidak pernah berubah.”Aku berbalik, mataku membelalak ketika aku melihat Sarah. Rambutnya sekarang berwarna platinum yang terang dengan guratan pink dan biru di sela-selanya.“Kau menyukainya?” Katanya, mengibaskan rambutnya. “Maksudku kau sudah mewarnai rambutmu menyerupai stripers, akan lebih adil kalau aku mengubah rambutku juga.”Aku tertawa, menggelengkan kepalaku. “Yeah, aku bisa melihat apa yang kau maksud. Dan ini, sangat cocok untukmu.”“Benarkan? Aku juga berpikir seperti itu.” Dia menaruh kopi ya
Tiba-tiba aku merasa ruangannya menjadi sunyi senyap ketika Dean berjalan memasuki café dan berjalan ke arahku. Aku melihatnya seperti pertama kali aku melihatnya, pria yang luar biasa seksi yang menyebalkan yang membuatku ingin memukul dan menciumnya secara bersamaan. Harapan muncul begitu saja setelah aku bicara dengan Xavier. Aku bukan remaja yang mementingkan ego atau gengsiku, jika adalah sedikit saja celah di hatinya untukku, aku akan memperjuangkannya. Aku sudah memutuskan kalau dia adalah satu-satunya untukku.“Kau terlihat berbeda,” Katanya, menatapku dari seberang meja.Aku mengangkat bahuku dan menyeruput minumanku, menolak untuk menyadari kaus the devil made me do it yang aku kenakan atau jeans robek yang melekat di kakiku dengan ketat atau makeupku yang tegas. Ini adalah penampilanku untuk menyamar di tengah-tengah keramaian, karena kacamata dan topi baseball tidak pernah benar-benar berhasil. Sejauh ini berpenampilan s
Cafénya sunyi dengan anak-anak sekolah sudah mulai libur untuk spring break, mereka yang biasanya mengunjungi area di sini semuanya sudah pergi untuk menikmati liburan mereka. Aku duduk di pojokan yang biasanya aku tempati jika jadwalku tidak begitu padat, menikmati suasana sambil meminum teh coklat mint yang hangat. Rasanya seperti peppermint yang segar, kaya akan rasa dan creamy secara bersamaan, sesuatu yang membuat Sarah meringis.Memikirkannya, aku jadi teringat saat terakhir kali aku dan Sarah kesini, dia masih mencoba menjodohkanku, good times. Aku menatap ke arah jam terdekat dan menghela napas. Mungkin Dean tidak akan dating. Aku bahkan tidak yakin apakah aku ingin bertemu dengannya. Aku tidak mendapatkan kabar apapun darinya semenjak telepon seminggu yang lalu, dan aku menghabiskan seluruh waktuku berkerja memikirkannya, yang membuatku banyak mendapatkan teriakan dari sutradaraku, mungkin lebih banyak dari apa yang aku dapatkan dala
Dua belas jam kemudian, aku duduk di depan televisi, wajahku terkubur di telapak tanganku, frustrasi, amarah, dan takut bergejolak di dalam perutku setelah aku kalah dengan diriku dan membuka isi amplop yang berisi flashdisk tentang apa yang Luke amati seminggu ini.Aku kewalahan dengan pikiranku sendiri. Aku berharap aku bisa mengabaikan ini, kalau setelah penculikan itu aku bisa kembali ke kehidupan lamaku sebelum aku datang ke Ellona dengan cepat dan tanpa rasa sakit – aku tidak memiliki niatan untuk berurusan dengan Dean atau krisis mentalnya lagi – tapi semua itu lebih mudah saat dikatakan saja dan bukannya benar-benar melakukannya. Deanlah yang tidak menginginkan aku dan aku tidak akan hidup di dalam bayangan kalau suatu hari dia akan menyadari kalau dia menginginkanku.Sudah jelas sekali kalau aku juga tidak mau berurusan dengan Vincent dan gerombolannya. Mereka membuatku merinding apalagi Xavier. Dia mengerikan, dan aku tidak ingin bertemu dengannya