Akhir pekan akhirnya tiba setelah tiga hari jadwal sekolah yang padat dan walaupun begitu belajar tetap menjadi agendaku hari ini. Aku punya tugas yang harus dikumpulkan hari senin dan mengingat Tino sudah berkorban banyak untukku setidaknya aku bisa membantunya dalam urusan rumah. Aku mengambil sekolah medis di Chicago dan selama sekolahku dimulai Tino selalu mengantar dan menjemputku walaupun dia memiliki jadwal yang lebih padat dariku. Aku memiliki terlalu banyak hal lagi hingga aku tidak punya banyak waktu untuk mengadakan penelitian, jadi di sinilah aku dikepung buku catatan yang tersebar dimana dan laptopku.
Aku menenggelamkan diriku sendiri di kesenangan mempelajari anatomi manusia. Aku mengeluarkan draf esai ku dan mulai menulis bagian akhirnya. Untuk beberapa jam yang bisa ku dengar di kamar adalah jariku sendiri menekan tombol laptop dan buku yang di bolak balik. Aku berada di
"OK, ya, aku akan senang sekali melihatnya." Kataku dengan sumringah menatap mentari pagi hendak naik dan telepon menempel di telingaku. "Grace, terima kasih. Kau luar biasa."Ini sudah hampir tiga minggu setelah Dean pertama kali muncul di rumahku dan sekarang dia masih berada di Chicago, menyewa satu unit apartemen di tengah kota hanya karena dia tidak ingin ayahku memergokinya 'memperawani' putrinya untuk kedua kali. Aku tidak keberatan dengan ide itu karena selama itu pula kami sudah seperti dua maniak seks. Dia pria yang menakjubkan dan aku merasa jatuh semakin dalam, aku tidak peduli jika dia belum mau membuka dirinya padaku, aku takut kalau hanya aku yang merasakan ini.Namun, aku ingin mengenyahkan perasaan itu sekarang karena aku sedang berada di langit ke tujuh. Hari-hariku semakin baik saja semenjak Dean datang menyusulku dan sekarang agenku menelepon kalau dia punya beberapa naskah yang sesuai untuk kumainkan dan dia ingin bert
Aku duduk dengan lesu di salah satu bar stool di dapur rumah ayahku, kedua siku di atas counter dan kepala di tanganku. Aku memanfaatkan rumah yang sedang sepi ini dengan menangis tak terkontrol selama lima menit, semua percakapan yang kumiliki dengan Dean mengalir keluar seperti episode film. Aku mengambil tisu yang ada di atas kulkas dan kembali duduk sebelum membersihkan wajahku menggunakan tisu dengan susah payah.Aku berbalik ketika aku mendengar langkah kaki dan melihat Kevin berjalan ke arahku dengan kerutan di dahinya lalu tanpa berkata apapun dia menarikku ke pelukannya.Aku tidak bisa menahan luapan di dadaku yang membuatku bergetar dengan hebat. Aku merasa seperti gumpalan ingus dan air mata dan aku tidak ingin melakukan apa-apa lagi. Kevin mengencangkan lengannya di sekitar ku dan semakin mendekatkan dirinya padaku, dengan lembut dia mengelus rambutku."Apa kau menangis karena Dean." Suaranya terdengar berat da
Beep. Beep. Beep.Apa itu?Napasku bergetar ketika aku mencoba untuk bergerak. Namun aku merasa seolah pegunungan berdiri di atas tubuhku, aku bahkan tidak bisa menggeser tanganku. Seluruh badanku terasa sakit dan kaku. Gelombang rasa sakit muncul di atas alisku, membuatku meringis. Aku mencoba untuk membuka mataku tapi tak kunjung berhasil. Kelopak mataku tertutup rapat.Beep. Beep. Beep.Suara menyebalkan itu lagi-lagi terdengar di telingaku dan kali ini, aku bisa menggerakkan kepalaku sedikit. Aku bisa mendengar suara detak jantung ku dengan jelas sekarang dan juga setiap udara yang meninggalkan paru-paru ku. Rasa pahit menyentuh mulutku yang kering. Tenggorokan terasa seperti kertas pasir.
Beep. Beep. Beep.Apa itu?Napasku bergetar ketika aku mencoba untuk bergerak. Namun aku merasa seolah pegunungan berdiri di atas tubuhku, aku bahkan tidak bisa menggeser tanganku. Seluruh badanku terasa sakit dan kaku. Gelombang rasa sakit muncul di atas alisku, membuatku meringis. Aku mencoba untuk membuka mataku tapi tak kunjung berhasil. Kelopak mataku tertutup rapat.Beep. Beep. Beep.Suara menyebalkan itu lagi-lagi terdengar di telingaku dan kali ini, aku bisa menggerakkan kepalaku sedikit. Aku bisa mendengar suara detak jantung ku dengan jelas sekarang dan juga setiap udara yang meninggalkan paru-paru ku. Rasa pahit menyentuh mulutku yang kering. Tenggorokan terasa seperti kertas pasir.
Aku tidak yakin apa yang membangunkanku. Kemudian aku menyadari kalau aku tidur miring, selimutku terkumpul di kakiku. Sesuatu memberitahuku untuk tidak membuka mataku, jadi aku tidak membukanya. Aku hanya mendengarkan, fokus, tidak yakin dan cemas,goosebumpsmerambat di lenganku. Hari masih malam: aku bisa mendengar burung hantu dari kejauhan, suara yang terdengar menyeramkan membuat rambut di belakang leherku berdiri. Namun ada hal lain. Orang lain. Di sana. Suara lemah napas seseorang. Aku mencoba menjaga alur napasku tenang dan teratur, tapi aku juga membuka sedikit mataku. Semenjak aku berada di tempat terkutuk ini aku selalu tidur dengan salah satubedside lampmenyala, jadi aku tidak punya masalah melihat di sekelilingku. Kecuali siapapu
Apartemenku gelap dan sunyi saat aku masuk. Aku mengunci pintunya, menyalakan lampu, dan pergi ke dapur berharap aku bisa menemukan alkohol. Aku mengambil sebotol whiskey dan meneguknya langsung dari botol."Minum sendirian di malam hari?" Aku menegang mendengar suara kakakku. Apa yang dia lakukan di sini?"Terakhir aku tahu itu bukan kejahatan." Aku membalas menatapnya keluar dari kegelapan."Ini sudah larut malam," Katanya dengan kasar. "Pergi tidur.""Aku sedikit terlalu tua untuk punya jam malam." Aku meneguk kembali whiskeyku. "Ini sudah jam tiga pagi, aku capek, dan aku tidak dalam mood yang bagus, Albert.""Aku bisa melihatnya," Kata Albert, nada suaranya kering. "Kau tidak dalam mood yang bagus sejak pesta pernikahan Misha. Sejak pacar -""Dimana istrimu?" Kataku enggan mendengar apa yang akan dia katakan."Sangat mulus," Katanya.
Aku memutuskan kalau aku tidak akan panik begitu aku dan pamanku sampai di rumah sakit untuk melihat keadaan Vanya. Untungnya tidak ada hal serius, hanya lecet dan memar.Selain fakta kalau keberadaan Cass masih tidak diketahui, aku harus tetap tenang karena aku yakin pamanku tidak punya kapasitas untuk melakukan itu sekarang. Aku tidak bisa menjelaskan apa-apa padanya selain ketika Vanya menelponku dan bilang kalau Cass diculik. Malam itu juga aku menyeret Tino kesini untuk menemani Vanya dan sebagian dari diriku yang berharap kalau ini hanya prank tidak terwujud. Ini nyata dan aku mengkhawatirkan sahabatku.Aku membuka pintu ruangan perawatan Vanya untukku dan pamanku, dia langsung pergi ke sisinya dan Tino mundur untuk memberikan mereka sedikit ruang, dia berjalan ke arahku dengan iPad di tanganya.“Aku minta maaf, aku mencoba menyelamatkan Cassie tapi salah satu dari mereka memukulku hingga pingsan. Aku minta maaf.” Vanya berkata di sela
“Tidak, ayahmu ada di sini sejak kemarin, kau tetap di sini dan temani Vanya, oke?” Aku tidak menuggu balasan dari Misha, aku langsung pergi dari ruang perawatan dan menelpon Albert kalau aku akan datang.Aku menceritakan seluruh cerita dari awal padanya, aku menceritakan padanya apa yang kulakukan setelah kita berbicara waktu itu, aku memberitahunya tentang teleponku, aku memberitahunya tentang rekaman di jalan saat penculikan itu terjadi. Ya Tuhan, mengulang rekaman itu di kepalaku terasa lebih buruk dari pada melihatnya bersama Tino tadi.Polisi memberitahuku untuk menunggu mereka mengerjakan tugasnya dan aku yakin mereka akan melakukannya, hanya saja aku tidak yakin aku bisa menunggu selama itu. Aku takut setengah mati untuk Cassandra. Dia pasti sedang ketakutan, aku berjanji pada diriku sendiri kalau aku tidak akan membiarkan emosi mengendalikan diriku tapi di titik ini aku tidak yakin aku bisa menepatinya. Aku keluar dari lift dan masuk ke dalam
“Apa aku sudah bilang padamu kalau aku akan menikmati waktuku membuka gaun ini nanti?” Dean berbisik di telingaku saat kita berdansa dengan iringan “perfect” dari Ed Sheeran. Setelah upacara ikrar janji selesai, atrium dari Pazzo’s telah diubah menjadi surga romantis dengan lampu-lampu berkilauan, dimana kita semua memakan makanan terbaik dan wine teratas, dan sekarang aku berdansa dengan pacarku di lantai dansa.Aku tersenyum di samping pipinya. “Apa itu karena kau menyukai apa yang aku pakai atau karena kau membencinya?”“Aku tidak akan pernah bisa membenci apapun yang kau pakai, apalagi kalau kau tidak memakai apapun. Percaya padaku.”Klasik Dean. Aku memakai gaun a-line berwarna biru langit dengan garis leher yang rendah, atasan korsetku disulam dengan kristal dan payet yang dengan alami memudar ke rok tulle yang memiliki celah paha yang tinggi.Diseberang lantai dansa, aku melihat pasangan yang baru saja menikah berdansa dan tersenyum, tidak mempedulikan fakta kalau Alby adalah
Waktu terasa aneh setelah itu. Beberapa menit setelah Dean muncul di depan pintuku waktu terasa terus berjalan maju sementara aku tidak bergerak sama sekali. Aku tidak ingat bagaimana aku bisa kembali duduk di sofaku tanpa jatuh dan mencium lantai. Aku tidak tahu sudah berapa kali aku mendengar Dean memanggilku tapi aku terus menatapnya seolah aku takut kalau yang aku lihat ini hanyalah mimpi, atau halusinasi, atau seseorang memasukkan halusinogen paling kuat ke dalam saluran udaraku dan aku sudah menghirupnya sepanjang malam dan efeknya baru terasa sekarang.Hei, setelah semua yang aku alami aku tidak akan mengabaikan pilihan terakhir itu.“Babe,” Panggilan itu akhirnya mengeluarkanku dari lubang yang aku ciptakan sendiri.Babe, huh? Aku menyukainya.Ketika aku akhirnya memperhatikannya, dia tersenyum. Senyum yang jarang sekali dia tampilkan dan rasa rindu yang melandaku seolah berubah menjadi gelombang tsunami yang berkali-
“Apa hanya aku yang merasa kalau semua ini terasa mengerikan. Coba biar aku ulang lagi.” Aku memutar mataku, mengingat kejadian yang sama persis pernah terjadi padaku. Cahaya matahari terbenam menembus jendela kacaku dan aku menikmati kehangatannya di sofa dengan popcorn dan Netflix di televisi.Ayahku tidak salah. The deja vu is real.“Kau ingin aku menjadi pasanganmu, lagi? Di pernikahan Albert pula?” Aku mendengar ayahku menghela napas. “Aku sudah terlalu tua untuk ini.”“Ayolah, dad. Ini tidak seperti kita melakukan ini setiap hari. Apa aku perlu mengingatkanmu kalau aku akan terlihat seperti daging segar di sana jika aku datang sendirian.” Aku tahu kalau trik yang sama tidak akan berhasil. Aku memutar otakku mencoba memikirkan strategi yang bisa membuat ayahku luluh dengan permintaanku, karena ini hanya lewat telepon aku tidak bisa memberikannya puppy eyes. Lalu ide bagus melintas. “Kau
LIMA TAHUN KEMUDIANLos AngelesPonselku berdering begitu aku memasuki elevator. Aku berniat untuk mengabaikannya ketika aku melihat siapa yang menelponku, tapi hingga aku sampai di lantai apartemenku Sarah belum akan menyerah sampai aku menjawabnya.“Hai, Sarah. Bagaimana keponakan kesayanganku?” Sapaku.“Some friend you are,” Balas Sarah dengan kesal. “Mentang mentang karirmu semakin menanjak kau jadi jarang menelponku dan ketika kau menjawab kau langsung menanyakan kabar Henry dan bukannya kabarku.”Aku tertawa sambil berusaha membuka pintu apartemenku. Sarah memang penuh dengan omong kosong, aku hanya sekali pernah tidak menjawab teleponnya karena aku berada ditengah-tengah set dan aku tidak sadar kalau aku meninggalkan teleponku ada di trailer sampai proses syutingnya selesai. Aku juga tidak bisa menolong diriku sendiri kalau Henry – anaknya yang sekarang sudah berumur 4 tahun – adalah makhluk paling menggemaskan di dunia ini.“Kau tahu aku lebih mencintainya daripada kau,” Balas
Pukul dua belas tepat.Aku berdiri di depan gerbang masuk taman, dekat dengan air mancur yang besar, merinding karena udara dingin yang menembus jaketku. Aku menendang kerikil di dekat kaki hanya karena aku ingin menghabiskan waktu. Namun, Luke memiliki cara yang berbeda untuk menghabiskan waktunya. Dia mengisi pistolnya dan mematikan pengamannya. Yeah, aku tentang pistol karena setengah bagian dari karirku adalah berakting menggunakan pistol. Perbedaannya adalah milikku tidak berisi peluru. Aku merinding melihat mendengar suara peluru memasuki pistolnya dan semakin takut lagi jika dia terpaksa menggunakannya.“Aku ingin bilang kalau aku berterima kasih padamu. Sungguh, aku tidak akan bisa melakukan ini tanpamu.” Katanya setelah menyembunyikan pistolnya di balik punggungnya.“Apa senjata itu benar-benar diperlukan? Kau bisa mempercayai Dean.” Kataku menunjuk pada pistol yang dia sembunyikan.“Tidak ada salahnya selalu berhati
Sore harinya aku bertemu dengan Sarah di rumahnya, karena dia yang selalu mewajibkanku untuk mengunjunginya setiap kali aku pulang ke Florida. Seolah aku tidak pernah mengunjunginya. Ketika aku sampai di rumahnya, aku langsung masuk dan menyamankan diriku sendiri di sofa ruang tengahnya seperti yang biasa aku lakukan jika berkunjung ke rumanya. “Well, kurasa beberapa hal memang tidak pernah berubah.”Aku berbalik, mataku membelalak ketika aku melihat Sarah. Rambutnya sekarang berwarna platinum yang terang dengan guratan pink dan biru di sela-selanya.“Kau menyukainya?” Katanya, mengibaskan rambutnya. “Maksudku kau sudah mewarnai rambutmu menyerupai stripers, akan lebih adil kalau aku mengubah rambutku juga.”Aku tertawa, menggelengkan kepalaku. “Yeah, aku bisa melihat apa yang kau maksud. Dan ini, sangat cocok untukmu.”“Benarkan? Aku juga berpikir seperti itu.” Dia menaruh kopi ya
Tiba-tiba aku merasa ruangannya menjadi sunyi senyap ketika Dean berjalan memasuki café dan berjalan ke arahku. Aku melihatnya seperti pertama kali aku melihatnya, pria yang luar biasa seksi yang menyebalkan yang membuatku ingin memukul dan menciumnya secara bersamaan. Harapan muncul begitu saja setelah aku bicara dengan Xavier. Aku bukan remaja yang mementingkan ego atau gengsiku, jika adalah sedikit saja celah di hatinya untukku, aku akan memperjuangkannya. Aku sudah memutuskan kalau dia adalah satu-satunya untukku.“Kau terlihat berbeda,” Katanya, menatapku dari seberang meja.Aku mengangkat bahuku dan menyeruput minumanku, menolak untuk menyadari kaus the devil made me do it yang aku kenakan atau jeans robek yang melekat di kakiku dengan ketat atau makeupku yang tegas. Ini adalah penampilanku untuk menyamar di tengah-tengah keramaian, karena kacamata dan topi baseball tidak pernah benar-benar berhasil. Sejauh ini berpenampilan s
Cafénya sunyi dengan anak-anak sekolah sudah mulai libur untuk spring break, mereka yang biasanya mengunjungi area di sini semuanya sudah pergi untuk menikmati liburan mereka. Aku duduk di pojokan yang biasanya aku tempati jika jadwalku tidak begitu padat, menikmati suasana sambil meminum teh coklat mint yang hangat. Rasanya seperti peppermint yang segar, kaya akan rasa dan creamy secara bersamaan, sesuatu yang membuat Sarah meringis.Memikirkannya, aku jadi teringat saat terakhir kali aku dan Sarah kesini, dia masih mencoba menjodohkanku, good times. Aku menatap ke arah jam terdekat dan menghela napas. Mungkin Dean tidak akan dating. Aku bahkan tidak yakin apakah aku ingin bertemu dengannya. Aku tidak mendapatkan kabar apapun darinya semenjak telepon seminggu yang lalu, dan aku menghabiskan seluruh waktuku berkerja memikirkannya, yang membuatku banyak mendapatkan teriakan dari sutradaraku, mungkin lebih banyak dari apa yang aku dapatkan dala
Dua belas jam kemudian, aku duduk di depan televisi, wajahku terkubur di telapak tanganku, frustrasi, amarah, dan takut bergejolak di dalam perutku setelah aku kalah dengan diriku dan membuka isi amplop yang berisi flashdisk tentang apa yang Luke amati seminggu ini.Aku kewalahan dengan pikiranku sendiri. Aku berharap aku bisa mengabaikan ini, kalau setelah penculikan itu aku bisa kembali ke kehidupan lamaku sebelum aku datang ke Ellona dengan cepat dan tanpa rasa sakit – aku tidak memiliki niatan untuk berurusan dengan Dean atau krisis mentalnya lagi – tapi semua itu lebih mudah saat dikatakan saja dan bukannya benar-benar melakukannya. Deanlah yang tidak menginginkan aku dan aku tidak akan hidup di dalam bayangan kalau suatu hari dia akan menyadari kalau dia menginginkanku.Sudah jelas sekali kalau aku juga tidak mau berurusan dengan Vincent dan gerombolannya. Mereka membuatku merinding apalagi Xavier. Dia mengerikan, dan aku tidak ingin bertemu dengannya