Malam ini, burger bar di Chicago penuh dengan obrolan yang keras dan teriakan gembira anak kecil yang tidak berhenti. Pada hari yang baik, restoran akan penuh dengan pasangan yang mengobrol. Malam ini semuanya tentang keluarga.
Sial.
"Maaf tentang ini," Aku memberitahu Dean, berusaha keras agar dia bisa mendengar ku di antara semua suara di udara.
Senyum perlahan menyebar di sepanjang wajahnya. Dia berpindah dari bangkunya yang ada di depanku sampai kita duduk berdampingan di dalam booth kita, pahanya menyentuh pahaku.
"Kita tidak perlu saling meneriaki," Katanya ke telingaku, "kalau kita duduk berdekatan, kitten."
Aku merinding. Udara dan atap yang tinggi di dalam tidak ada hubungannya dengan itu. "Kupikir kau mau menghormati keinginanku untuk innocent date?"
Dean tertawa, rendah di tenggorokannya. "Aku memang melakukannya," Katanya, masih menempelkan
Hari berganti hari berganti minggu sejak aku meninggalkan Ełlona bersama paman ku dan ayahku yang begitu kejam tapi aku tampak selalu tidak bisa membencinya dan aku takut dengan apa yang mungkin akan dilakukan pamanku. Tino membantuku menetap di apartemennya, di Springfield, tempat firma hukumnya berada. Dia meninggalkan banyak dokumen dan klien hanya untuk menjemputku, juga pamanku secara pribadi, tapi aku tidak peduli, aku hanya lega aku sudah jauh dari rumah. Untuk sekarang. Tino membantuku mendapatkan pakaian dan hal-hal lain yang kubutuhkan dan aku sangat bersyukur padanya. Aku sudah menelepon pamanku berulang kali tapi selalu dialihkan ke kotak suara atau ditolak. Aku khawatir dengannya, pria itu - secara garis besarnya - sudah membesarkanku, dia yang mengajariku bersepeda dan merayu gadis yang kutaksir di sekolah menengah pertama. Ketika di pesawat dia benar-benar mabuk berat dan tertidur di sepanjang penerbangan menuju Chicago, tapi aku terus mendengar dia memanggil nama Cas
Akhir pekan akhirnya tiba setelah tiga hari jadwal sekolah yang padat dan walaupun begitu belajar tetap menjadi agendaku hari ini. Aku punya tugas yang harus dikumpulkan hari senin dan mengingat Tino sudah berkorban banyak untukku setidaknya aku bisa membantunya dalam urusan rumah. Aku mengambil sekolah medis di Chicago dan selama sekolahku dimulai Tino selalu mengantar dan menjemputku walaupun dia memiliki jadwal yang lebih padat dariku. Aku memiliki terlalu banyak hal lagi hingga aku tidak punya banyak waktu untuk mengadakan penelitian, jadi di sinilah aku dikepung buku catatan yang tersebar dimana dan laptopku.Aku menenggelamkan diriku sendiri di kesenangan mempelajari anatomi manusia. Aku mengeluarkan draf esai ku dan mulai menulis bagian akhirnya. Untuk beberapa jam yang bisa ku dengar di kamar adalah jariku sendiri menekan tombol laptop dan buku yang di bolak balik. Aku berada di
"OK, ya, aku akan senang sekali melihatnya." Kataku dengan sumringah menatap mentari pagi hendak naik dan telepon menempel di telingaku. "Grace, terima kasih. Kau luar biasa."Ini sudah hampir tiga minggu setelah Dean pertama kali muncul di rumahku dan sekarang dia masih berada di Chicago, menyewa satu unit apartemen di tengah kota hanya karena dia tidak ingin ayahku memergokinya 'memperawani' putrinya untuk kedua kali. Aku tidak keberatan dengan ide itu karena selama itu pula kami sudah seperti dua maniak seks. Dia pria yang menakjubkan dan aku merasa jatuh semakin dalam, aku tidak peduli jika dia belum mau membuka dirinya padaku, aku takut kalau hanya aku yang merasakan ini.Namun, aku ingin mengenyahkan perasaan itu sekarang karena aku sedang berada di langit ke tujuh. Hari-hariku semakin baik saja semenjak Dean datang menyusulku dan sekarang agenku menelepon kalau dia punya beberapa naskah yang sesuai untuk kumainkan dan dia ingin bert
Aku duduk dengan lesu di salah satu bar stool di dapur rumah ayahku, kedua siku di atas counter dan kepala di tanganku. Aku memanfaatkan rumah yang sedang sepi ini dengan menangis tak terkontrol selama lima menit, semua percakapan yang kumiliki dengan Dean mengalir keluar seperti episode film. Aku mengambil tisu yang ada di atas kulkas dan kembali duduk sebelum membersihkan wajahku menggunakan tisu dengan susah payah.Aku berbalik ketika aku mendengar langkah kaki dan melihat Kevin berjalan ke arahku dengan kerutan di dahinya lalu tanpa berkata apapun dia menarikku ke pelukannya.Aku tidak bisa menahan luapan di dadaku yang membuatku bergetar dengan hebat. Aku merasa seperti gumpalan ingus dan air mata dan aku tidak ingin melakukan apa-apa lagi. Kevin mengencangkan lengannya di sekitar ku dan semakin mendekatkan dirinya padaku, dengan lembut dia mengelus rambutku."Apa kau menangis karena Dean." Suaranya terdengar berat da
Beep. Beep. Beep.Apa itu?Napasku bergetar ketika aku mencoba untuk bergerak. Namun aku merasa seolah pegunungan berdiri di atas tubuhku, aku bahkan tidak bisa menggeser tanganku. Seluruh badanku terasa sakit dan kaku. Gelombang rasa sakit muncul di atas alisku, membuatku meringis. Aku mencoba untuk membuka mataku tapi tak kunjung berhasil. Kelopak mataku tertutup rapat.Beep. Beep. Beep.Suara menyebalkan itu lagi-lagi terdengar di telingaku dan kali ini, aku bisa menggerakkan kepalaku sedikit. Aku bisa mendengar suara detak jantung ku dengan jelas sekarang dan juga setiap udara yang meninggalkan paru-paru ku. Rasa pahit menyentuh mulutku yang kering. Tenggorokan terasa seperti kertas pasir.
Beep. Beep. Beep.Apa itu?Napasku bergetar ketika aku mencoba untuk bergerak. Namun aku merasa seolah pegunungan berdiri di atas tubuhku, aku bahkan tidak bisa menggeser tanganku. Seluruh badanku terasa sakit dan kaku. Gelombang rasa sakit muncul di atas alisku, membuatku meringis. Aku mencoba untuk membuka mataku tapi tak kunjung berhasil. Kelopak mataku tertutup rapat.Beep. Beep. Beep.Suara menyebalkan itu lagi-lagi terdengar di telingaku dan kali ini, aku bisa menggerakkan kepalaku sedikit. Aku bisa mendengar suara detak jantung ku dengan jelas sekarang dan juga setiap udara yang meninggalkan paru-paru ku. Rasa pahit menyentuh mulutku yang kering. Tenggorokan terasa seperti kertas pasir.
Aku tidak yakin apa yang membangunkanku. Kemudian aku menyadari kalau aku tidur miring, selimutku terkumpul di kakiku. Sesuatu memberitahuku untuk tidak membuka mataku, jadi aku tidak membukanya. Aku hanya mendengarkan, fokus, tidak yakin dan cemas,goosebumpsmerambat di lenganku. Hari masih malam: aku bisa mendengar burung hantu dari kejauhan, suara yang terdengar menyeramkan membuat rambut di belakang leherku berdiri. Namun ada hal lain. Orang lain. Di sana. Suara lemah napas seseorang. Aku mencoba menjaga alur napasku tenang dan teratur, tapi aku juga membuka sedikit mataku. Semenjak aku berada di tempat terkutuk ini aku selalu tidur dengan salah satubedside lampmenyala, jadi aku tidak punya masalah melihat di sekelilingku. Kecuali siapapu
Apartemenku gelap dan sunyi saat aku masuk. Aku mengunci pintunya, menyalakan lampu, dan pergi ke dapur berharap aku bisa menemukan alkohol. Aku mengambil sebotol whiskey dan meneguknya langsung dari botol."Minum sendirian di malam hari?" Aku menegang mendengar suara kakakku. Apa yang dia lakukan di sini?"Terakhir aku tahu itu bukan kejahatan." Aku membalas menatapnya keluar dari kegelapan."Ini sudah larut malam," Katanya dengan kasar. "Pergi tidur.""Aku sedikit terlalu tua untuk punya jam malam." Aku meneguk kembali whiskeyku. "Ini sudah jam tiga pagi, aku capek, dan aku tidak dalam mood yang bagus, Albert.""Aku bisa melihatnya," Kata Albert, nada suaranya kering. "Kau tidak dalam mood yang bagus sejak pesta pernikahan Misha. Sejak pacar -""Dimana istrimu?" Kataku enggan mendengar apa yang akan dia katakan."Sangat mulus," Katanya.