Pikiranku campur aduk. Seperti memasukkan segala jenis minuman ke dalam satu teko air putih; rasanya sungguh tak keruan.
Aku memikirkan bagaimana perasaan orang tua kandungku sesaat sebelum mereka menghadapi ajal. Aku memikirkan bagaimanakah hidupku seandainya mereka masih ada.
Akankah semua tetap sama? Akankah aku tetap dibatasi? Akankah semua bisa menjadi mudah?
Apa yang salah dari menjadi hidup?
Air mataku menitik, saat kerinduan ganjil akan keberadaan orang tua kandungku yang entah siapa memenuhi benak. Aku merasa sakit hati kepada sang pembunuh yang telah tega merenggut orang yang seharusnya menjadi panutan dalam hidupku.
Dadaku terasa sesak. Pandanganku terus-terusan kabur saking banyaknya air mata yang keluar. Aku menangis dalam diam, mencoba sangat keras agar tak terisak-isak seperti hilang akal.
Namun, pada kenyataannya, aku hampir hilang akal.
Ibu—ibu angkatku—berkali-kali tampak ingin menenangkanku, tapi bahu ini sedang tak ingin ditepuk-tepuk ringan oleh siapa pun. Pada menit kesekian, kucoba untuk mengendalikan diri.
Aku ingin mereka memberitahuku segalanya.
“Apa maksud ….” Aku tertawa ironis; tiba-tiba teringat dengan pemeran utama pemilik darah suci di drama Ganteng-Ganteng Serigala. “Apa maksudnya darah suci itu? Aku pernah terluka, tapi darahku tetap berwarna merah. Bukankah seharusnya putih?”
Aku menatap Ayah dan Ibu … kuputuskan untuk tetap memanggil mereka demikian. Hubunganku dengan mereka sudah terlalu mendarah daging di tubuhku. Aku tak punya keharusan untuk marah pada mereka.
Setidak-tidaknya, aku berharap ada alasan kuat kenapa itu dirahasiakan.
Ayah menghela napas berat. Ia menggenggam kepalan tangannya sendiri dengan muram.
“Bara, kau tak bisa membedakan mana darah suci mana bukan hanya dengan warna.” Ayah tersenyum lemah. “Kita semua tetaplah manusia, hanya saja terlahir di bangsa yang sedikit berbeda. Sama dengan manusia, darah suci tetaplah berwarna merah.”
Diam-diam aku teringat kata-kata Saga tentang vampir pada dasarnya juga manusia. Aku masih belum mengerti benar tentang konsep itu. Kubiarkan ia mengambang di otakku.
“Darah suci tidak berbahaya bagi pemiliknya,” lanjut Ayah. “Justru yang berbahaya adalah pemilik itu sendiri.”
“Karena keserakahan manusia?” tebakku.
“Karena keserakahan makhluk berakal nan bernafsu.” Ayah meralat. “Kami percaya kau tidak begitu, Bara.”
Aku menatap lantai. “Kalau kalian percaya, kenapa kalian tidak jujur saja sedari awal tentang ini? Kenapa tidak membiarkanku mengenal duniaku sendiri?”
“Kami percaya padamu, Barb, tapi tidak dengan makhluk-makhluk abadi lain di luar sana,” ujar Ibu lembut.
Aku mengangkat kepala. “Apa kegunaan darahku yang sebenarnya?”
Kakek menatapku dengan ekspresi murung. “Kau bisa menarik kekuatan gelap untuk membantumu mengendalikan para makhluk abadi.”
Aku masih belum mengerti, tapi Kakek tak membiarkanku untuk terus-terusan bertanya.
Saat pemilik darah suci memutuskan untuk mengendalikan semuanya, Kakek berujar, ia bisa menarik kegelapan semudah menarik benang dari gulungan yang rapi. Pemilik itu akan bisa merubah dirinya menjadi vampir dan segala perubah-bentuk.
Konon, jika pemilik darah suci bertindak terlalu jauh, ia akan berubah seperti perwujudan setan dan akan kehilangan kebaikan dalam hatinya. Jika sudah seperti itu, dunia akan terancam.
“Bayangkan jika kau mampu mengendalikan seluruh vampir dan perubah-bentuk di dunia ini, Bara,” kata Kakek pelan. “Rasanya pasti luar biasa, tapi konsekuensinya … kau akan berakhir menjadi budak setan.”
Punggungku meremang. Aku bukan orang yang saleh, tapi bukan berarti aku lantas tak keberatan menjadi budak setan. Aku tak mau diperbudak siapa-siapa.
“Aku tak akan pernah menjadi seperti itu,” janjiku; pada dunia dan diri sendiri.
Ayah menggeleng. “Bukan hanya dirimu sendiri yang bisa mengendalikan darahmu, Bara. Siapa pun dari vampir dan perubah-bentuk di dunia ini yang bisa menggunakan Hipnosbo, ia akan bisa membuatmu mengendalikan dunia.”
“Apa itu Hipnosbo?”
“Hipnotis khusus untuk makhluk-makhluk abadi seperti kita, yang berkaitan dalam hal pengendalian jiwa secara mutlak.”
Aku menatapnya ngeri. “Aku … mereka bisa mengendalikan jiwaku untuk mengendalikan dunia? Termasuk manusia?”
Ayah menyandarkan punggungnya. “Tidak, kau bisa mengendalikan vampir dan perubah-bentuk, tapi kau tak bisa mengendalikan manusia. Mereka mengendalikan jiwa mereka sendiri. Jiwa makhluk seperti vampir ….”
Aku menelan air ludah yang terasa getir. “Saga bilang jiwa kita didampingi dengan jiwa iblis.”
Ayah menoleh ke arah Ibu dan Kakek, lantas tertawa ironis.
“Bukan didampingi, Bara, tapi menjadi satu kesatuan,” bisik Ibu tiba-tiba. “Jiwa kita cuma setengah, dan setengahnya lagi milik iblis. Jiwa kita sekarat jika dibandingkan dengan jiwa manusia murni yang utuh.”
Pikiran menakutkan berkelebat di benakku. Bibirku bergetar. “Tapi, jiwa manusia-manusia jahat—”
“—tetap utuh.” Ibu menyela dengan suara pelan. “Yang rusak cuma hati mereka, bukan jiwanya. Soal hati, makhluk apa pun bisa menyembuhkan dirinya sendiri. Manusia-manusia yang kau bilang jahat, Bara, mereka sendirilah yang memilih jalan itu. Menjadi jahat bukan berarti kehilangan sepotong jiwa. Itu masalah nurani.”
Aku menggeleng keras-keras. Aku masih tak mau percaya akan hal itu.
Kugertakkan gigi sambil menahan gejolak hatiku yang meradang tiba-tiba. “Bagaimana mungkin kalian tahu jiwa para vampir cuma setengah?! Kalian bukan Tuhan!”
“Apa Saga menceritakan padamu tentang asal-usul vampir, Bara?”
Perkataan Ayah menohokku.
“I-Itu … sejarahnya terlalu singkat … terlalu sederhana—”
“Lalu, apa yang ingin kaupercaya, Bara? Karena di situlah asal bangsa kita tercipta. Kami bisa mengajakmu terbang ke Kediri saat ini juga untuk melihat bukti-bukti tak terbantahkan tentang itu.”
Napasku semakin cepat. “Tidak … seluruh Indonesia pasti tahu kalau ada—”
“Badan Riset dan Data Vampir sudah mengamankan semua yang berkaitan dengan keberadaan kita, di bawah kepemimpinan rahasia bangsa vampir. Tak ada manusia satu pun yang tahu.”
Aku berdiri dan berteriak. Kudorong sofa single yang kududuki sekuat tenaga. Sofa itu terpental sejauh hampir dua meter. Aku tertegun dengan wajah basah oleh air mata.
Kakek dan orang tuaku berdiri. Mereka tak kalah kaget denganku. Pandangan mereka yang tampak horor jatuh ke arah perut atau dadaku. Kakek berderap ke arahku. Ia membalikkan tubuhku dengan paksa dan melihat entah apa di punggungku.
“Segelnya sudah terlepas, Burhan,” bisik kakekku ketakutan. “Yang Terkutuk akan segera menemukan anak ini!”
Aku berbalik begitu cepat dan hampir limbung ke belakang. Aku kembali tertegun sejenak, tapi perkataan Kakek tadi menyadarkanku.
“Apa maksudnya dengan Yang Terkutuk?” tanyaku bingung. “Dan segel apa yang Kakek maksud? Segel untuk apa? Di mananya tubuhku?”
“Segel Varsan,” jawab Kakek tegang. “Kau … sejak kapan kau membicarakan tentang vampir dengan anak Adrian?”
“Entahlah,” kataku semakin bingung. “Aku baru benar-benar percaya saat Saga datang kemarin pagi ke sini.”
Kakek mondar-mandir sambil mengusap wajahnya. Ia memijit dahinya dengan kalut.
Ia berhenti seraya menatap ayahku. “Aku akan bawa Bara ke markas pusat. Aku tak mau keadaan ini jadi lebih gawat lagi.”
“Tunggu!” seruku marah. “Sebelum memutuskan … sesuatu, tak adakah yang mau memberitahuku apa masalahnya? Aku masih belum mengerti apa-apa!”
“Itu tak jadi masalah!” Kakek berteriak berang. “Kau akan mati kalau kita semua berlambat-lambat di sini! Penjelasannya nanti saja!”
BRAK! PRANG!
Kami berempat tersentak. Ayah dan Kakek berkelebat ke arah ruang tamu. Aku baru akan menyusul mereka saat Ibu menahanku di tempat. Ibuku menggeleng.
Tubuh Ibu menegang begitu kencang saat kami berdua mendengar suara halus seorang laki-laki dari ruang tamu.
“Halo, ayahnya Eli. Dan … ah, ya. Sahabat Rudi juga di sini ternyata. Burhan, kalau aku tak salah ingat?”
Aku membuka mulut ingin bertanya, tapi Ibu membekapku. Mataku melebar. Ibu memberi isyarat agar aku tetap diam. Aku mengangguk, lantas Ibu melepas bekapannya.
“Kudengar kau kabur dari Bilik Keamanan Lorentz Papua.” Kudengar suara Kakek berkata.
Pendatang baru tadi tertawa renyah.
“Itu bukan isu semata, kalau boleh kutambahkan,” katanya.
“Tak bisakah kau bertamu di rumah orang secara baik-baik?” geram ayahku.
“Tapi, ini bukan rumah orang,” tukas si pendatang. “Kalaupun baik-baik, kalian tetap tak akan mau menyerahkan anak Rudi itu padaku.”
Tangan Ibu bergetar. Aku memegangnya erat. Aku punya kecurigaan tentang siapa Rudi dan Eli yang disebutnya, tapi aku tetap diam.
Aku terperanjat saat Ayah tiba-tiba meraung keras. Aku hampir lari menemuinya, saat kemudian kudengar Ayah berteriak, “Pergi kau! Pergi sekarang! Kau tak diinginkan di sini!”
Untuk sesaat, kukira Ayah sedang mencoba mengusir si pendatang baru. Namun, Ibu mencekal pergelangan tanganku dan menunjuk pintu belakang.
Ayah menyuruh kami berdua meninggalkan rumah ini.
Aku menggeleng. Rasanya aku hampir menangis lagi. Ayah dan Kakek masih di sini. Aku tak mau meninggalkan mereka begitu saja.
Suara orang tercekik mengagetkanku. Aku semakin takut dengan tamu tak diundang itu. Ibu menarik tanganku kuat-kuat dan terus menggeleng agar aku tak mendekati ruang tamu sedikit pun.
Dengan hati perih, aku berkelebat seperti vampir sungguhan pagi itu bersama Ibu, membelah jalanan secepat yang bisa para vampir lakukan.
Kami berdua menangis.
Seekor babi hutan tampak menyeruduki semak belukar yang meranggas di bawah pepohonan liar. Dari atas pohon sini, aku bisa melihat moncong hewan dengan nama lain celeng itu dengan jelas saat ia mengendus-endus serampangan.Aku mendesah sambil memeluk dahan di sampingku. Enaknya jadi celeng. Mereka tak perlu memusingkan para vampir yang akan mengejarnya sampai ujung neraka sekali pun.Aku terdiam, lalu menghela napas lelah.“Maafkan aku, Leng,” aku bergumam sendiri. “Aku terlalu iri padamu. Kau pasti pernah dikejar-kejar vampir juga gara-gara mereka butuh darahmu … atau tidak?”Aku menatap langit cerah dari balik kanopi pohon. Babi di bawahku tertatih-tatih pergi saat tak menemukan apa-apa di balik daun-daun kering. Langkah empat kakinya menimbulkan bunyi kersak; meningkahi ocehan monyet dan kicau burung di sekitarku.Beberapa hari ini semangat hidupku jadi agak berkurang. Setelah meninggalkan rumah Kakek, aku dan Ibu t
Pikiran pertama yang muncul di benakku adalah: lari! Namun, pikiran itu tercipta setelah kira-kira dua puluh detik lebih lama dari yang seharusnya. Jadi, sepersekian detik sebelum aku memutuskan untuk lari, pemuda itu sudah menghempaskan punggungku ke salah satu batang pohon yang menjulang. Aku berdengap ngeri saat pemuda itu mengunci tubuhku di antara lengannya, menghalangiku untuk kabur. Kucoba untuk mengabaikan aroma tubuhnya yang mirip lemon segar. Tiba-tiba, ia mengendus-endus leherku seperti yang Saga pernah lakukan waktu itu. Pemuda di depanku mengerutkan kening. Ia membiarkan kedua taringnya bersembunyi lagi. Matanya tetap hitam; tak berubah sama sekali. Berbeda dengan Saga. Kedua tangan pemuda itu jatuh ke samping tubuhnya; tak lagi mengurungku seperti semula. Ia mundur selangkah, bersedekap, lalu mengamatiku dari atas ke bawah. “Kukira kau vampir yang mau macam-macam di wilayah kami.” Aku mengerjap. Suaranya dalam, mengingatkanku dengan suara Kang Yeosang dari ATEEZ; gru
Serigala itu menerkamku hingga tubuhku jatuh dan terhempas ke lantai hutan. Namun, cuma itu. Serigala itu mendengking senang dan segera menyingkir dari hadapanku seraya melompat-lompat kecil seperti anak anjing. Seandainya aku punya riwayat penyakit jantung, aku pasti sudah bertemu malaikat tampan yang siap menghukumku di neraka. Kutatap Justin dari bawah. “Apa-apaan itu tadi?!” Aku berdiri dalam satu helaan ringan. Namun, hal selanjutnya yang terjadi membuatku menyesal telah berdiri. Aku berharap masih terkapar di tanah. Kalau bisa pingsan sekalian. Serigala hitam di hadapanku menguap seperti kabut kelabu tebal di pagi hari yang dingin. Tak sampai lima detik, serigala berkabut itu digantikan dengan sesosok pemuda lain sebaya Justin yang berdiri sambil berkacak pinggang. Ia cengar-cengir memandang Justin dan aku. Aku bisa dibilang telah menampar otot lengan Justin dan membuat telapak tanganku panas sendiri. “Dia siapa?” bisikku pada Justin. “Dia cuma sulap, 'kan?” Justin menatap
Baru sekitar seratus lima puluh meter kami memelesat, Justin dan David berhenti di sebuah bukaan sempit dengan pohon-pohon tinggi yang melingkarinya. Sepatuku menginjak permukaan tanah yang lebih lembap dari tempat kami semula.“Mau apa kita berhenti di sini?” tanyaku heran.Mereka tak mengatakan apa-apa, tapi David merogoh sebuah lubang di antara semak-semak. Aku takut pemuda itu terpatuk ular, tapi saat David mengeluarkan tangannya, tak ada apa pun yang terjadi.Justin menggamit tanganku dan kami bertiga mundur ke salah satu sisi pohon. Sedetik kemudian, bukaan bundar di hadapanku ambrol ke bawah tanah. Aku terkejut dan tersurut mundur lebih jauh.“Come in.”David melompat ke lubang bundar gelap itu tanpa ragu sedikit pun.Aku mencengkeram lengan Justin. “Apa maksudnya, ‘come in’?”Justin melepas cengkeraman tanganku dan beralih menggenggamnya.“Hitungan ketiga, kita lompa
Malam itu aku tidur di ruangan yang sama dengan keluargaku.Keluarga.Dadaku sesak saat mengingat salah satu dari mereka telah tiada.“Barbara ….”Aku bergelung semakin rapat menghadap dinding. Suara lembut Ibu semakin membuatnya semakin tak tertahankan.Mereka bilang Hugo—laki-laki yang menyerang rumah Kakek—membawa serta jasad Ayah entah untuk apa. Aku sempat mengamuk pada Kakek karena dia tak mau menghentikan lelaki itu.“Aku sangat lemah, Bara,” bisik Kakek tadi. “Aku tak mampu lagi melawan Hugo. Dia terlalu kuat.”Aku memahami itu. Hanya saja aku masih terlalu kecewa. Masih terlalu sakit untuk bisa menerima keadaan Kakek saat itu.Perasaanku hancur.Aku berjalan keluar dari kamar-bersama itu dengan perasaan tak keruan. Ibu memanggilku lemah, tapi aku hanya bergumam tak jelas padanya.“Apa kau pikir Ibu juga tidak merasa sedih, Bara?” seru Ibu;
Orang bilang kita bisa merasakan sesuatu jika kematian tengah menghampiri diri kita. Orang bilang, tanda-tanda itu akan tampak nyata dan sekaligus aneh di mata orang lain. Sebagian lagi berkata bahwa orang yang akan mati itulah yang paling menyadarinya hingga akhirnya membuat mereka mencoba melakukan salam-salam perpisahan yang akan tampak janggal di mata orang terdekatnya.On the other hand, aku tidak mengalami itu semuanya.Aku tidak merasakan hal aneh apa pun, orang-orang terdekatku pun sekarang jauh entah di mana hingga tak ada seorang pun yang akan memberitahu apa yang salah denganku.Kematianku datang begitu saja tanpa memberiku bocoran sedikit pun mengenainya.“Hi.”Aku menatap seorang gadis yang kini memasuki kamar "tahanan"-ku yang suram. Cahaya matahari hanya bisa masuk di sela-sela ventilasi sempit di atas jendela berkaca hitam legam. Aku pernah mencoba memecahkan kaca itu, berharap kekuatan magis vampir atau wolf-shifter ku
Seluruh penghuni bunker suku Serigala Hitam tiba-tiba terbangun saat teriakan Arga membahana hingga menimbulkan gema kepanikan.Linda Alexander dan Aryadi Brawijaya tersentak bangun dengan kekagetan ganda. Satu karena teriakan Arga, yang lain karena Barbara tak tampak di kamar mereka.“Lin, ada apa?” Aryadi menghela tubuhnya hingga terduduk, kepalanya masih sedikit berdenyut meski ia sudah dirawat lebih dari seminggu di markas berbentuk bunker ini. “Mana Bara?”Linda bangkit, matanya tak urung menyorotkan kecemasan. “Entahlah. Tadi Barbara sempat keluar sebentar. Kurasa ia masih di luar sekarang.”Aryadi pelan-pelan turun dari ranjangnya. Linda segera menghampiri dan membantunya berjalan. Mereka keluar dari kamar bersamaan dengan beberapa orang yang tampak terburu-buru berlari ke arah aula.“Gawat! Gawat! Berkumpul!” suara Arga masih membahana di seantero bunker.Dibantu oleh Linda, Aryadi tert
Empat sosok berumur yang merupakan Tetua Suku Serigala Hitam tampak duduk mengelilingi meja bundar di sebuah ruangan. Begitu pula dengan Aryadi dan Linda, juga Alvaro selaku pemimpin suku tersebut.Salah satu Tetua yang memakai mantel cokelat dan duduk di kursi roda berdeham. Pria uzur bernama Magen itu melirik sekilas pada Aryadi dan Linda.Magen menatap Alvaro dengan tajam. “Alvaro, kau tentu paham bahwa Hugo tidak akan tahu tentang markas ini jika ia sendiri yang ke sana-kemari mengendus-endus rerumputan di bawah kakinya.”Alvaro mengangguk. “Aku sudah memerintahkan tangan-kananku untuk segera menyelidiki itu, sir.”Seorang Tetua bermata sipit dengan wajah berkeriput mendengkus. Ia menarik tangannya dari meja dan menyilangkannya di dada, bersedekap.“Kuharap itu tidak membutuhkan waktu lama,” ia mencetus. “Sudah cukup buruk kita kehilangan seorang wolvire penting tanpa harus membiarkan markas disusupi be
Saat Hugo meninggalkan aku sendiri di gua, aku kembali berbaring di ranjang batu dengan matras tipis dan selimut apak itu. Mataku nyalang menatap langit-langit gua dengan pikiran kacau dan tak menentu.Pikiran dan memoriku terasa sejernih kristal, mulai dari masa kecil hingga masa kini. Kurang dari sebulan, aku telah menjadi seseorang yang sama sekali berbeda dengan aku yang sebelumnya: dingin, kejam, tak berperasaan, jahat. Dalam kurun waktu itu pula aku telah membunuh seseorang yang sepertinya sangat aku sayangi sebelumnya: ibuku.Mataku mengerjap-ngerjap. Ada tirai basah yang menutupi mataku, mengaburkan pandanganku untuk beberapa saat. Tenggorokanku tercekat, seakan aku sedang menahan tangis yang jika dikeluarkan akan mampu membuatku seperti anak kecil yang meraung-raung. Namun, ada satu perasaan lain yang menahan semua perasaanku itu.Ketidakpedulian.Aku sedih, terpukul, terkejut akan fakta bahwa dulunya aku hanyalah gadis biasa yang tidak akan mamp
Aku akhirnya terbangun.Aku megap-megap menghirup udara dan tersentak hingga tubuhku setengah bangkit dari tempatku terbaring. Aku terengah-engah, menjatuhkan diri lagi di atas bantal dan memejamkan mata untuk sesaat. Kepalaku begitu pusing, seperti berputar-putar.Aku mulai merasa sudah gila.Semua kilas balik yang kualami tadi benar-benar menguras kewarasanku. Kenapa aku harus mengalami pengalaman orang lain? Tidak hanya sekadar menyaksikan kenangan seperti sebelumnya, namun aku benar-benar mengalaminya; setiap pikiran dan perbuatan mereka, setiap detail yang seharusnya tidak aku tahu.Kenapa?Semua ini membawaku pada sebuah pemikiran yang segera saja kuenyahkan jauh-jauh. Aku tak perlu memikirkan itu lagi jika itu hanya akan membuat otakku menjadi sakit.Aku membuka mata dan mengawasi atap ruangan yang tengah kutiduri. Atap itu seperti bukan atap rumah, tapi … aku terbangun dengan mendadak dan pandanganku seketika menggelap. Aku me
Aku merasa takut karena aku tampaknya mulai terbiasa dengan sensasi tarik-menarik visi ini. Sampai kapan ini akan berlanjut?_________________________Gadis itu menguap. Siapa yang tidak akan bosan jika kau duduk berjam-jam di dalam mobil tanpa kegiatan yang berarti, seperti tidur, misalnya? Ia sudah melempar buku fiksi kesukaannya ke dalam tas, setelah hampir satu jam memelototi benda itu dengan antusiasme yang makin lama makin menghilang. Ia tidak tahu kenapa kemampuannya dalam menewaskan diri di mana dan kapan pun tiba-tiba meluruh. Di saat-saat seperti inilah kejengkelan nyaris membuatnya frustasi; nyaris. Seberapa jauh sebenarnya jarak yang ditempuh untuk mencapai sekolah asrama sialan itu? Satu tahun, mungkin.Ini benar-benar menyebalkan!Aria melirik lelaki berusia empat puluhan tahun yang duduk di balik kemudi dengan sinis. Ia yakin pantat Pak Baga sudah hampir melepuh. Aria sendiri sudah berganti pose duduk setidaknya seju
Pikiranku terbang ke suatu tempat sementara kegelapan itu masih mencoba menggerayangiku. Aku ingin menghentikannya, tapi aku tidak bisa. Mendadak sebuah visi muncul di benakku.Kukira aku sedang tertidur, tapi ternyata tidak. Aku terbangun. Aku tidak tahu apakah aku kini sedang bermimpi, masih di dalam halusinasi akibat perbuatan Reksa, atau bahkan sudah sadar dan entah bagaimana menjadi gila.Aku merasakan tubuhku terbaring di atas tempat tidur. Terbaring … begitu saja. Mataku bergerak menatap dinding ruangan yang tampaknya terbuat dari papan.Aku merasakan sedikit kepanikan karena aku tak bisa menggerakkan tubuhku sama sekali. Kucoba untuk bernapas dengan hembusan teratur dan memejamkan mata; berkata pada diri sendiri bahwa ini bukanlah apa-apa, bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan.Namun, mendadak detak jantungku meningkat, bagaikan palu yang bertalu-talu, memukul paku yang terlalu bebal untuk menembus sebuah papan. Perasaan ini bukan perasa
Aku tanpa sadar telah mundur beberapa langkah saat Reksa si iblis berubah menjadi dirinya yang sebenarnya. Udara panas bagaikan memenuhi kamar dan membuat napasku menjadi sesak. Namun, aku bisa menahan rasa panas itu, meski tetap saja aku kewalahan untuk menarik oksigen dari hidungku.Sosok iblis itu berwarna merah kehitaman, secara harfiah menyala-nyala bagaikan jilatan api. Kedua matanya berbeda warna; yang satu hitam dan yang lain merah. Yang membuatku cukup terkejut adalah kepala dan tinggi tubuhnya.Iblis dalam bayanganku adalah sosok serba merah atau serba berapi dengan kepala plontos dan dua tanduk kecil, serta bertubuh besar dan sangat tinggi. Namun, iblis di depanku ini tidak botak, melainkan berambut gondrong seperti rambut genderuwo pada umumnya. Meskipun ia masih sesuai bayanganku, yaitu menyala-nyala, tapi ia tidak sangat tinggi atau sangat besar. Tinggi dan besar tubuh iblis itu kurang lebih sama saja seperti para pemain basket.Reksa si iblis menc
Aku tak tahu apakah aku pernah mengharapkan akan mengalami semua kejadian yang melibatkan makhluk-makhluk mitos seperti vampire dan manusia serigala, tapi yang pasti aku merasa menyesal sudah mengenal dunia ini.Aku bahkan tidak mengenal diriku sendiri. Siapa aku, di mana aku seharusnya berada, apa aku; pertanyaan-pertanyaan itu terdengar sangat normal dan mudah, tapi hidupku yang kacau menyulitkan segalanya, bahkan yang paling sepele sekali pun.Aku mencoba tetap sadar dengan memikirkan hal-hal semacam ini di kepalaku, sementara Hugo ….Beberapa dari kalian pasti akan mengira bahwa gerakan Hugo pasti akan sangat terbatas sekali mengingat betapa parah kondisi lengannya. Namun, nyatanya justru sebaliknya.Hugo melesat begitu cepat, tepat setelah aku menggertaknya karena dia berani mengancamku.Ancamannya tidak main-main dan aku sebetulnya tidak terkejut dengan itu, tapi kecepatan gerakannya adalah hal lain. Sesaat sebelumnya ia tampak begitu
“Katakan padaku bahwa memori-memori yang kudapat saat itu tidak benar, Hugo!” aku membentak dengan suara dalam dan bergema; suara wujud serigalaku.Hugo mendengkus seraya mengangkat kedua tangannya, lalu mengangkat bahu. “Kau mau aku mengatakan apa, Barbara? Bahwa itu semua tidak benar dan kau seharusnya tidak mempercayai bocah vampire itu?” ia menyeringai. “Karena aku punya keyakinan yang kuat bahwa kau mulai mempercayai entah apa yang sudah kau alami di dalam bangsal itu.”Emosiku tiba-tiba memuncak dan aku bergerak begitu cepat, lebih cepat dari kedipan mata, menerjang lelaki dengan bekas luka di pipi itu hingga kami menabrak dinding batu kamarku. Kupikir aku berada di atas angin, namun nyatanya Hugo mampu menyerangku balik dengan melemparkan badanku hingga aku terhempas ke atas tempat tidur.Napasku tersentak keluar dengan tajam. Aku mendengar suara kayu dari tempat tidur yang memprotes karena berat tubuhku yang jatuh memb
Aku kembali ke kamar setelah kepergian Saga … siapa pun dia. Aku memeluk diriku sendiri dengan sikap seperti anak kecil yang kehilangan ibunya, atau mungkin akan lebih tepat: kehilangan kewarasan. Aku memegangi kepalaku, lalu berbaring miring, meringkuk seperti anak kecil.Aku mengingat semuanya, tepat setelah kenangan aneh menarikku dari kenyataan saat … setelah aku melukai bahu Saga. Aku mengingat bagaimana Hugo membawaku secara paksa dengan memanfaatkan seorang cowok bernama Arga. Aku ingat bagaimana lelaki dengan bekas luka itu mengancam Arga dengan pistol hingga aku terpaksa ikut dengannya.Aku juga ingat tentang … aku menutup mata, mencoba mengatakan satu kata itu, terasa sangat berat meskipun hanya dalam hati.Dad.Hanya ayah angkat, tapi aku teringat betapa aku menyayangi dia. Lalu, Mom.Aku menangis, benar-benar menangis. Aku mengepalkan kedua tanganku erat-erat hingga kuku-kukuku yang tak terlalu panjang menyakiti tel
Kesakten Vampir Segawon.Kata-kata itu bagaikan memenuhi pandangan Hugo yang tengah membuka buku tua itu, membacanya dengan ketidaksabaran yang semakin melunjak. Ketiga kata itu jika diartikan secara harfiah berarti Kekuatan Sakti Vampir Serigala, atau kekuatan sakti wolvire. Isinya tentang apa saja yang bisa dilakukan oleh seorang wolvire, dalam hal ini tentu saja wolvire biasa.Emosi Hugo semakin menjadi-jadi saat pada salah satu bagian di buku itu menjelaskan bahwa gigitan wolvire yang dalam bentuk serigala kepada vampir lebih mematikan daripada gigitan atau cakaran wolf-shifter biasanya. Begitu pula sebaliknya, jika wolvire sedang dalam bentuk vampir, maka gigitannya pada wolf-shifter juga akan lebih mematikan dari vampire biasa.Namun, itu tidak berlaku pada wolvire bernama Barbara.Hugo membanting buku tentang wolvire itu ke lantai dengan kuat, merasa sangat marah pada dirinya sendiri dan juga pada gadis istimewa itu. Reksa, sang raja iblis