Seekor babi hutan tampak menyeruduki semak belukar yang meranggas di bawah pepohonan liar. Dari atas pohon sini, aku bisa melihat moncong hewan dengan nama lain celeng itu dengan jelas saat ia mengendus-endus serampangan.
Aku mendesah sambil memeluk dahan di sampingku. Enaknya jadi celeng. Mereka tak perlu memusingkan para vampir yang akan mengejarnya sampai ujung neraka sekali pun.
Aku terdiam, lalu menghela napas lelah.
“Maafkan aku, Leng,” aku bergumam sendiri. “Aku terlalu iri padamu. Kau pasti pernah dikejar-kejar vampir juga gara-gara mereka butuh darahmu … atau tidak?”
Aku menatap langit cerah dari balik kanopi pohon. Babi di bawahku tertatih-tatih pergi saat tak menemukan apa-apa di balik daun-daun kering. Langkah empat kakinya menimbulkan bunyi kersak; meningkahi ocehan monyet dan kicau burung di sekitarku.
Beberapa hari ini semangat hidupku jadi agak berkurang. Setelah meninggalkan rumah Kakek, aku dan Ibu terus berkelebat hingga tiba di sebuah hutan yang lumayan lebat. Aku tak begitu tahu persisnya di kota mana. Entah tetap Koba atau bukan.
Sesungguhnya, aku tak begitu peduli. Aku lebih memfokuskan diri dalam angan-angan hampa, yang membuatku merindukan masa-masa indah bersama Kakek dan orang tua (angkat)ku saat aku belum tahu apa-apa tentang vampir.
Leherku terganjal lagi. Rasa sesal masih menggayuti hatiku. Seandainya aku tak macam-macam dengan urusan vampir … seandainya Ayah tak mendapat tugas kerja di luar kota … seandainya, seandainya; terus itu yang kupikirkan.
Kupeluk erat-erat dahan yang tengah kurengkuh seperti seorang kekasih. Aku menggigit bibir; kebiasaan baru sejak otakku terinvasi vampir.
Setetes air mata jatuh ke celana pensil hitamku. Tangisku berhenti mendadak saat pandangan tertumbuk ke lenganku sendiri.
Kardigan merah.
Aku menangis lagi. Warna kesukaan Kakek. Aku memakai pakaian hampir seperti orang bingung. Tanpa sadar memakai sesuatu yang mengingatkanku akan Kakek.
Demi Tuhan, kakekku masih hidup! Kenapa aku harus begini menyiksa diri sendiri? Tak bisakah aku berpikir positif dan setidaknya berharap Ayah dan Kakek akan datang kemari? Memelukku? Memberiku kesempatan meminta maaf karena terlalu lancang membuka rahasiaku yang berbahaya?
Sudah dua minggu aku dan Ibu bersembunyi di hutan ini, selama itu pula kami belum mendapat kabar dari Ayah dan Kakek. Ibu membuang ponsel kami berdua di sebuah sungai saat kami masih berkelebat di jalanan. Sebagian orang tampak bingung karena ada angin lewat di tengah jalan dan terlihat aneh.
Namun, bukan para penonton angin aneh yang kukhawatirkan. Melainkan ponselku; aku tak akan bisa menghubungi Ayah atau Kakek lagi.
Aku sempat memprotes, tapi lantas Ibu menjelaskan bahwa akan berbahaya jika tetap mempertahankan ponsel-ponsel itu.
“Kita 'kan tinggal menonaktifkannya saja!” protesku saat itu.
“Ini dunia modern!” bentak Ibu. “Siapa yang tahu kalau ponsel mati pun masih bisa disadap?!”
Selanjutnya aku hanya terdiam saat Ibu sempat menyuruhku bersembunyi sebentar dan kembali dengan kantong-kantong besar berisi makanan dan selimut. Apa yang Ibu katakan tentang ponsel terdengar masuk akal, dan aku membenci kebenaran di dalamnya.
Kini, bertengger di atas pohon dan memeluk salah satu dahannya seperti seekor ular sawa, aku hampir terlihat seperti gadis menyedihkan yang sedang menantikan kepulangan sang pangeran dari medan perang ….
Kuakui, itu agak berlebihan.
“Barbara!”
Seruan ibuku terdengar ditahan-tahan; ia takut ada vampir atau perubah-bentuk—jenis makhluk yang belum pernah kulihat—tak dikenal yang bisa saja mendengarnya.
Aku segera meloncat turun dengan satu lompatan sempurna … hanya saja tidak dengan keseimbanganku. Aku hampir membuat diriku sendiri keseleo.
“Iya, aku di sini!” sahutku agak keras.
Aku berkelebat ke arah Ibu memanggil. Sensasi lari secepat bersinan orang membuatku merasa hampir melayang dari tanah. Saat kutanyakan pada Ibu kenapa dulu lariku masih senormal manusia, ia bilang itu karena Segel Varsan yang menahannya. Namun, cuma itu. Ibu menolak menjelaskan bagaimana segel itu bisa ada di tubuhku sementara aku sama sekali tak menyadarinya.
Yang bisa kupikirkan hanyalah segel di perut Naruto. Sayang sekali, tak ada gambar segel apa-apa di perut atau punggungku.
“Ada apa, Bu?” Aku bertanya begitu tiba di tempat Ibu menunggu.
Ibuku sudah mengumpulkan dua ikat kayu bakar, dan menggendong salah satunya di punggung beliau.
“Oh, maafkan aku,” kataku dengan sikap bersalah. “Aku tak tahu Ibu sedang mencari kayu bakar. Biar kubantu bawakan.”
Kuangkat seikat besar kayu bakar itu naik ke punggungku. Aku mendengus. Ini sudah beberapa kalinya aku memanggul kayu bakar, tapi tetap saja masih merasa sedikit aneh.
Bukan karena tak pernah—meski itu tak salah—tapi, lebih karena aku mengira seorang vampir sepertiku pasti punya kekuatan di atas manusia. Kukira itu akan semudah manusia membopong sekantong kapas. Ternyata, beratnya sama saja.
Suatu hari ibuku pernah berkata, “Kau merasa begitu karena kau separuh perubah-serigala, Barb.” Namun, bukannya memaklumi keadaan itu, aku malah kembali berpikir, bagaimana mungkin aku seorang perubah-serigala, sementara diri ini sama sekali tak merasakan tanda-tanda werewolf apa pun.
“Itu werewolf di film, Barbara,” keluh Ibu sedikit kesal waktu itu.
Karena aku tak mau membuatnya lebih repot dari sekarang, aku hanya cengengesan tanpa berkata apa-apa.
Selang kurang dari tiga menit kemudian, kami tiba di sebuah rumah sederhana yang lebih mirip gubuk kecil dari bambu dan rotan.
Ibu—dibantu aku yang tak tahu apa-apa—membangun rumah kecil ini selama kurang lebih tiga hari dengan peralatan seadanya. Sebelum rumah itu sepenuhnya jadi, kami terpaksa tidur beralaskan terpal dengan langit-langit terbuka.
Setelah pembangunan rumah selesai, Ibu pergi keluar hutan lagi—sendirian. Ia tak memperbolehkan aku ikut—untuk mencari keperluan yang kami butuhkan; seperti bahan makanan, kasur lipat dan bantal sederhana, beberapa potong pakaian dan tambahan selimut, serta kebutuhan kamar mandi dan beberapa peralatan dapur.
Cuma dua hal yang menggangguku: fakta bahwa Ibu terpaksa mencuri semua keperluan itu karena takut menggunakan kartu debitnya, dan nyamuk—padahal Ibu sudah menyemprotkan obat nyamuk ke seluruh bagian rumah, bahkan membakar satu keping obat nyamuk bakar setiap malamnya!
Tak pernah ada di bayanganku kalau vampir bisa digigit nyamuk.
“Ibu mau pergi dulu, Barb.”
Aku menoleh setelah meletakkan kayu bakar di belakang rumah.
Aku mengerutkan kening heran. “Ibu mau ke mana? Kukira semua keperluan masih lengkap.”
Ibu menggeleng. “Bukan untuk itu.”
“Lalu?”
Ibu menghela napas. “Ini sudah terlalu lama. Ibu akan mencoba mencari informasi tentang ayah dan kakekmu.”
Jantungku berdegup tiba-tiba. “Bu, itu bisa berbahaya!”
Ibuku tersenyum menenangkan. “Aku paham kekhawatiranmu, Barb. Tapi, Sayang, aku perlu tahu di mana suami Ibu … ayahmu. Dan juga kakekmu. Aku takut ….”
Kuraih Ibu ke dalam pelukan. Kami berdua sama-sama khawatir selama ini, hanya saja kami jarang mengungkapkannya. Hanya membiarkan harapan melambung di antara kami berdua tanpa kami harus mengatakan apa-apa.
“Hati-hati, Bu,” bisikku.
Ibu mengangguk dan melepas pelukanku. “Aku selalu berhati-hati.”
Senyumnya menular ke wajahku. Saat Ibu mengatakan ia sudah memasakkan makan siang untukku dan berkelebat menjauh, aku meneriakkan kata hati-hati lagi padanya.
Doaku selalu yang terbaik untuk Ibu … untuk mereka bertiga.
Aku terlalu bosan untuk tetap berada di rumah, jadi aku berjalan membelah semak-semak liar untuk menjelajah bagian lain hutan yang belum sempat kutelusuri.
Sebenarnya, definisi telusur yang kumaksud hanya berjalan kurang dari setengah kilometer, lalu berakhir melompat dan nangkring di atas pohon.
Rencanaku hari ini kurang lebih sama. Namun, hari ini aku terlampau sial.
Baru beberapa ratus meter dari rumah, setelah berkutat dengan sulur-sulur tanaman liar, aku mematung di sebuah bukaan bebas semak dengan ekspresi luar biasa takut.
Seorang pemuda berkulit kecokelatan berdiri di hadapanku dengan tatapan tajam bak serigala lapar. Ia hanya memakai celana pendek selutut, tanpa mengenakan baju apa-apa, sehingga mempertontonkan bisep dan roti sobek … eh, maksudku perut six pack-nya.
Mata pemuda itu tak berubah; tetap sekelam langit malam. Namun, saat ia menarik bibirnya ke belakang, dua taring muncul di antara giginya. Sikapnya berubah mengancam.
Sialan.
Sialan, sialan, sialan!
Pikiran pertama yang muncul di benakku adalah: lari! Namun, pikiran itu tercipta setelah kira-kira dua puluh detik lebih lama dari yang seharusnya. Jadi, sepersekian detik sebelum aku memutuskan untuk lari, pemuda itu sudah menghempaskan punggungku ke salah satu batang pohon yang menjulang. Aku berdengap ngeri saat pemuda itu mengunci tubuhku di antara lengannya, menghalangiku untuk kabur. Kucoba untuk mengabaikan aroma tubuhnya yang mirip lemon segar. Tiba-tiba, ia mengendus-endus leherku seperti yang Saga pernah lakukan waktu itu. Pemuda di depanku mengerutkan kening. Ia membiarkan kedua taringnya bersembunyi lagi. Matanya tetap hitam; tak berubah sama sekali. Berbeda dengan Saga. Kedua tangan pemuda itu jatuh ke samping tubuhnya; tak lagi mengurungku seperti semula. Ia mundur selangkah, bersedekap, lalu mengamatiku dari atas ke bawah. “Kukira kau vampir yang mau macam-macam di wilayah kami.” Aku mengerjap. Suaranya dalam, mengingatkanku dengan suara Kang Yeosang dari ATEEZ; gru
Serigala itu menerkamku hingga tubuhku jatuh dan terhempas ke lantai hutan. Namun, cuma itu. Serigala itu mendengking senang dan segera menyingkir dari hadapanku seraya melompat-lompat kecil seperti anak anjing. Seandainya aku punya riwayat penyakit jantung, aku pasti sudah bertemu malaikat tampan yang siap menghukumku di neraka. Kutatap Justin dari bawah. “Apa-apaan itu tadi?!” Aku berdiri dalam satu helaan ringan. Namun, hal selanjutnya yang terjadi membuatku menyesal telah berdiri. Aku berharap masih terkapar di tanah. Kalau bisa pingsan sekalian. Serigala hitam di hadapanku menguap seperti kabut kelabu tebal di pagi hari yang dingin. Tak sampai lima detik, serigala berkabut itu digantikan dengan sesosok pemuda lain sebaya Justin yang berdiri sambil berkacak pinggang. Ia cengar-cengir memandang Justin dan aku. Aku bisa dibilang telah menampar otot lengan Justin dan membuat telapak tanganku panas sendiri. “Dia siapa?” bisikku pada Justin. “Dia cuma sulap, 'kan?” Justin menatap
Baru sekitar seratus lima puluh meter kami memelesat, Justin dan David berhenti di sebuah bukaan sempit dengan pohon-pohon tinggi yang melingkarinya. Sepatuku menginjak permukaan tanah yang lebih lembap dari tempat kami semula.“Mau apa kita berhenti di sini?” tanyaku heran.Mereka tak mengatakan apa-apa, tapi David merogoh sebuah lubang di antara semak-semak. Aku takut pemuda itu terpatuk ular, tapi saat David mengeluarkan tangannya, tak ada apa pun yang terjadi.Justin menggamit tanganku dan kami bertiga mundur ke salah satu sisi pohon. Sedetik kemudian, bukaan bundar di hadapanku ambrol ke bawah tanah. Aku terkejut dan tersurut mundur lebih jauh.“Come in.”David melompat ke lubang bundar gelap itu tanpa ragu sedikit pun.Aku mencengkeram lengan Justin. “Apa maksudnya, ‘come in’?”Justin melepas cengkeraman tanganku dan beralih menggenggamnya.“Hitungan ketiga, kita lompa
Malam itu aku tidur di ruangan yang sama dengan keluargaku.Keluarga.Dadaku sesak saat mengingat salah satu dari mereka telah tiada.“Barbara ….”Aku bergelung semakin rapat menghadap dinding. Suara lembut Ibu semakin membuatnya semakin tak tertahankan.Mereka bilang Hugo—laki-laki yang menyerang rumah Kakek—membawa serta jasad Ayah entah untuk apa. Aku sempat mengamuk pada Kakek karena dia tak mau menghentikan lelaki itu.“Aku sangat lemah, Bara,” bisik Kakek tadi. “Aku tak mampu lagi melawan Hugo. Dia terlalu kuat.”Aku memahami itu. Hanya saja aku masih terlalu kecewa. Masih terlalu sakit untuk bisa menerima keadaan Kakek saat itu.Perasaanku hancur.Aku berjalan keluar dari kamar-bersama itu dengan perasaan tak keruan. Ibu memanggilku lemah, tapi aku hanya bergumam tak jelas padanya.“Apa kau pikir Ibu juga tidak merasa sedih, Bara?” seru Ibu;
Orang bilang kita bisa merasakan sesuatu jika kematian tengah menghampiri diri kita. Orang bilang, tanda-tanda itu akan tampak nyata dan sekaligus aneh di mata orang lain. Sebagian lagi berkata bahwa orang yang akan mati itulah yang paling menyadarinya hingga akhirnya membuat mereka mencoba melakukan salam-salam perpisahan yang akan tampak janggal di mata orang terdekatnya.On the other hand, aku tidak mengalami itu semuanya.Aku tidak merasakan hal aneh apa pun, orang-orang terdekatku pun sekarang jauh entah di mana hingga tak ada seorang pun yang akan memberitahu apa yang salah denganku.Kematianku datang begitu saja tanpa memberiku bocoran sedikit pun mengenainya.“Hi.”Aku menatap seorang gadis yang kini memasuki kamar "tahanan"-ku yang suram. Cahaya matahari hanya bisa masuk di sela-sela ventilasi sempit di atas jendela berkaca hitam legam. Aku pernah mencoba memecahkan kaca itu, berharap kekuatan magis vampir atau wolf-shifter ku
Seluruh penghuni bunker suku Serigala Hitam tiba-tiba terbangun saat teriakan Arga membahana hingga menimbulkan gema kepanikan.Linda Alexander dan Aryadi Brawijaya tersentak bangun dengan kekagetan ganda. Satu karena teriakan Arga, yang lain karena Barbara tak tampak di kamar mereka.“Lin, ada apa?” Aryadi menghela tubuhnya hingga terduduk, kepalanya masih sedikit berdenyut meski ia sudah dirawat lebih dari seminggu di markas berbentuk bunker ini. “Mana Bara?”Linda bangkit, matanya tak urung menyorotkan kecemasan. “Entahlah. Tadi Barbara sempat keluar sebentar. Kurasa ia masih di luar sekarang.”Aryadi pelan-pelan turun dari ranjangnya. Linda segera menghampiri dan membantunya berjalan. Mereka keluar dari kamar bersamaan dengan beberapa orang yang tampak terburu-buru berlari ke arah aula.“Gawat! Gawat! Berkumpul!” suara Arga masih membahana di seantero bunker.Dibantu oleh Linda, Aryadi tert
Empat sosok berumur yang merupakan Tetua Suku Serigala Hitam tampak duduk mengelilingi meja bundar di sebuah ruangan. Begitu pula dengan Aryadi dan Linda, juga Alvaro selaku pemimpin suku tersebut.Salah satu Tetua yang memakai mantel cokelat dan duduk di kursi roda berdeham. Pria uzur bernama Magen itu melirik sekilas pada Aryadi dan Linda.Magen menatap Alvaro dengan tajam. “Alvaro, kau tentu paham bahwa Hugo tidak akan tahu tentang markas ini jika ia sendiri yang ke sana-kemari mengendus-endus rerumputan di bawah kakinya.”Alvaro mengangguk. “Aku sudah memerintahkan tangan-kananku untuk segera menyelidiki itu, sir.”Seorang Tetua bermata sipit dengan wajah berkeriput mendengkus. Ia menarik tangannya dari meja dan menyilangkannya di dada, bersedekap.“Kuharap itu tidak membutuhkan waktu lama,” ia mencetus. “Sudah cukup buruk kita kehilangan seorang wolvire penting tanpa harus membiarkan markas disusupi be
Pagi itu pesawat Garuda Indonesia membelah langit berkabut nan pasti menusuk tulang. Linda memandang Kepulauan Bangka Belitung di bawah sana yang semakin mengecil hingga tak tampak lagi di antara tumpukan awan dan embun di jendela pesawat.Vampir wanita itu menggigil. AC bukanlah penyebabnya, melainkan berbagai pikiran buruk yang tiba-tiba saja melintas di dalam organ vital Linda yang tersembunyi di antara tempurung kepalanya. Sungguh menyakitkan saat kau tak bisa menepati janji pada seorang sahabat yang telah mati.Linda menyandarkan kepala saat tangannya terkepal di atas pangkuan hingga buku-buku jarinya memucat. Seandainya Linda bisa berlaku egois satu kali saja, ia tak akan mau mempedulikan Barbara lagi sementara suami tercintanya telah tewas akibat ulah seseorang yang menginginkan anak perempuan itu.Tenggorokan vampir wanita itu serasa diganjal oleh kekosongan yang hampa. Dalam lubuk hatinya yang tersembunyi, Linda mengakui bahwa ia sedikit sakit hati dan
Saat Hugo meninggalkan aku sendiri di gua, aku kembali berbaring di ranjang batu dengan matras tipis dan selimut apak itu. Mataku nyalang menatap langit-langit gua dengan pikiran kacau dan tak menentu.Pikiran dan memoriku terasa sejernih kristal, mulai dari masa kecil hingga masa kini. Kurang dari sebulan, aku telah menjadi seseorang yang sama sekali berbeda dengan aku yang sebelumnya: dingin, kejam, tak berperasaan, jahat. Dalam kurun waktu itu pula aku telah membunuh seseorang yang sepertinya sangat aku sayangi sebelumnya: ibuku.Mataku mengerjap-ngerjap. Ada tirai basah yang menutupi mataku, mengaburkan pandanganku untuk beberapa saat. Tenggorokanku tercekat, seakan aku sedang menahan tangis yang jika dikeluarkan akan mampu membuatku seperti anak kecil yang meraung-raung. Namun, ada satu perasaan lain yang menahan semua perasaanku itu.Ketidakpedulian.Aku sedih, terpukul, terkejut akan fakta bahwa dulunya aku hanyalah gadis biasa yang tidak akan mamp
Aku akhirnya terbangun.Aku megap-megap menghirup udara dan tersentak hingga tubuhku setengah bangkit dari tempatku terbaring. Aku terengah-engah, menjatuhkan diri lagi di atas bantal dan memejamkan mata untuk sesaat. Kepalaku begitu pusing, seperti berputar-putar.Aku mulai merasa sudah gila.Semua kilas balik yang kualami tadi benar-benar menguras kewarasanku. Kenapa aku harus mengalami pengalaman orang lain? Tidak hanya sekadar menyaksikan kenangan seperti sebelumnya, namun aku benar-benar mengalaminya; setiap pikiran dan perbuatan mereka, setiap detail yang seharusnya tidak aku tahu.Kenapa?Semua ini membawaku pada sebuah pemikiran yang segera saja kuenyahkan jauh-jauh. Aku tak perlu memikirkan itu lagi jika itu hanya akan membuat otakku menjadi sakit.Aku membuka mata dan mengawasi atap ruangan yang tengah kutiduri. Atap itu seperti bukan atap rumah, tapi … aku terbangun dengan mendadak dan pandanganku seketika menggelap. Aku me
Aku merasa takut karena aku tampaknya mulai terbiasa dengan sensasi tarik-menarik visi ini. Sampai kapan ini akan berlanjut?_________________________Gadis itu menguap. Siapa yang tidak akan bosan jika kau duduk berjam-jam di dalam mobil tanpa kegiatan yang berarti, seperti tidur, misalnya? Ia sudah melempar buku fiksi kesukaannya ke dalam tas, setelah hampir satu jam memelototi benda itu dengan antusiasme yang makin lama makin menghilang. Ia tidak tahu kenapa kemampuannya dalam menewaskan diri di mana dan kapan pun tiba-tiba meluruh. Di saat-saat seperti inilah kejengkelan nyaris membuatnya frustasi; nyaris. Seberapa jauh sebenarnya jarak yang ditempuh untuk mencapai sekolah asrama sialan itu? Satu tahun, mungkin.Ini benar-benar menyebalkan!Aria melirik lelaki berusia empat puluhan tahun yang duduk di balik kemudi dengan sinis. Ia yakin pantat Pak Baga sudah hampir melepuh. Aria sendiri sudah berganti pose duduk setidaknya seju
Pikiranku terbang ke suatu tempat sementara kegelapan itu masih mencoba menggerayangiku. Aku ingin menghentikannya, tapi aku tidak bisa. Mendadak sebuah visi muncul di benakku.Kukira aku sedang tertidur, tapi ternyata tidak. Aku terbangun. Aku tidak tahu apakah aku kini sedang bermimpi, masih di dalam halusinasi akibat perbuatan Reksa, atau bahkan sudah sadar dan entah bagaimana menjadi gila.Aku merasakan tubuhku terbaring di atas tempat tidur. Terbaring … begitu saja. Mataku bergerak menatap dinding ruangan yang tampaknya terbuat dari papan.Aku merasakan sedikit kepanikan karena aku tak bisa menggerakkan tubuhku sama sekali. Kucoba untuk bernapas dengan hembusan teratur dan memejamkan mata; berkata pada diri sendiri bahwa ini bukanlah apa-apa, bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan.Namun, mendadak detak jantungku meningkat, bagaikan palu yang bertalu-talu, memukul paku yang terlalu bebal untuk menembus sebuah papan. Perasaan ini bukan perasa
Aku tanpa sadar telah mundur beberapa langkah saat Reksa si iblis berubah menjadi dirinya yang sebenarnya. Udara panas bagaikan memenuhi kamar dan membuat napasku menjadi sesak. Namun, aku bisa menahan rasa panas itu, meski tetap saja aku kewalahan untuk menarik oksigen dari hidungku.Sosok iblis itu berwarna merah kehitaman, secara harfiah menyala-nyala bagaikan jilatan api. Kedua matanya berbeda warna; yang satu hitam dan yang lain merah. Yang membuatku cukup terkejut adalah kepala dan tinggi tubuhnya.Iblis dalam bayanganku adalah sosok serba merah atau serba berapi dengan kepala plontos dan dua tanduk kecil, serta bertubuh besar dan sangat tinggi. Namun, iblis di depanku ini tidak botak, melainkan berambut gondrong seperti rambut genderuwo pada umumnya. Meskipun ia masih sesuai bayanganku, yaitu menyala-nyala, tapi ia tidak sangat tinggi atau sangat besar. Tinggi dan besar tubuh iblis itu kurang lebih sama saja seperti para pemain basket.Reksa si iblis menc
Aku tak tahu apakah aku pernah mengharapkan akan mengalami semua kejadian yang melibatkan makhluk-makhluk mitos seperti vampire dan manusia serigala, tapi yang pasti aku merasa menyesal sudah mengenal dunia ini.Aku bahkan tidak mengenal diriku sendiri. Siapa aku, di mana aku seharusnya berada, apa aku; pertanyaan-pertanyaan itu terdengar sangat normal dan mudah, tapi hidupku yang kacau menyulitkan segalanya, bahkan yang paling sepele sekali pun.Aku mencoba tetap sadar dengan memikirkan hal-hal semacam ini di kepalaku, sementara Hugo ….Beberapa dari kalian pasti akan mengira bahwa gerakan Hugo pasti akan sangat terbatas sekali mengingat betapa parah kondisi lengannya. Namun, nyatanya justru sebaliknya.Hugo melesat begitu cepat, tepat setelah aku menggertaknya karena dia berani mengancamku.Ancamannya tidak main-main dan aku sebetulnya tidak terkejut dengan itu, tapi kecepatan gerakannya adalah hal lain. Sesaat sebelumnya ia tampak begitu
“Katakan padaku bahwa memori-memori yang kudapat saat itu tidak benar, Hugo!” aku membentak dengan suara dalam dan bergema; suara wujud serigalaku.Hugo mendengkus seraya mengangkat kedua tangannya, lalu mengangkat bahu. “Kau mau aku mengatakan apa, Barbara? Bahwa itu semua tidak benar dan kau seharusnya tidak mempercayai bocah vampire itu?” ia menyeringai. “Karena aku punya keyakinan yang kuat bahwa kau mulai mempercayai entah apa yang sudah kau alami di dalam bangsal itu.”Emosiku tiba-tiba memuncak dan aku bergerak begitu cepat, lebih cepat dari kedipan mata, menerjang lelaki dengan bekas luka di pipi itu hingga kami menabrak dinding batu kamarku. Kupikir aku berada di atas angin, namun nyatanya Hugo mampu menyerangku balik dengan melemparkan badanku hingga aku terhempas ke atas tempat tidur.Napasku tersentak keluar dengan tajam. Aku mendengar suara kayu dari tempat tidur yang memprotes karena berat tubuhku yang jatuh memb
Aku kembali ke kamar setelah kepergian Saga … siapa pun dia. Aku memeluk diriku sendiri dengan sikap seperti anak kecil yang kehilangan ibunya, atau mungkin akan lebih tepat: kehilangan kewarasan. Aku memegangi kepalaku, lalu berbaring miring, meringkuk seperti anak kecil.Aku mengingat semuanya, tepat setelah kenangan aneh menarikku dari kenyataan saat … setelah aku melukai bahu Saga. Aku mengingat bagaimana Hugo membawaku secara paksa dengan memanfaatkan seorang cowok bernama Arga. Aku ingat bagaimana lelaki dengan bekas luka itu mengancam Arga dengan pistol hingga aku terpaksa ikut dengannya.Aku juga ingat tentang … aku menutup mata, mencoba mengatakan satu kata itu, terasa sangat berat meskipun hanya dalam hati.Dad.Hanya ayah angkat, tapi aku teringat betapa aku menyayangi dia. Lalu, Mom.Aku menangis, benar-benar menangis. Aku mengepalkan kedua tanganku erat-erat hingga kuku-kukuku yang tak terlalu panjang menyakiti tel
Kesakten Vampir Segawon.Kata-kata itu bagaikan memenuhi pandangan Hugo yang tengah membuka buku tua itu, membacanya dengan ketidaksabaran yang semakin melunjak. Ketiga kata itu jika diartikan secara harfiah berarti Kekuatan Sakti Vampir Serigala, atau kekuatan sakti wolvire. Isinya tentang apa saja yang bisa dilakukan oleh seorang wolvire, dalam hal ini tentu saja wolvire biasa.Emosi Hugo semakin menjadi-jadi saat pada salah satu bagian di buku itu menjelaskan bahwa gigitan wolvire yang dalam bentuk serigala kepada vampir lebih mematikan daripada gigitan atau cakaran wolf-shifter biasanya. Begitu pula sebaliknya, jika wolvire sedang dalam bentuk vampir, maka gigitannya pada wolf-shifter juga akan lebih mematikan dari vampire biasa.Namun, itu tidak berlaku pada wolvire bernama Barbara.Hugo membanting buku tentang wolvire itu ke lantai dengan kuat, merasa sangat marah pada dirinya sendiri dan juga pada gadis istimewa itu. Reksa, sang raja iblis