Orang bilang kita bisa merasakan sesuatu jika kematian tengah menghampiri diri kita. Orang bilang, tanda-tanda itu akan tampak nyata dan sekaligus aneh di mata orang lain. Sebagian lagi berkata bahwa orang yang akan mati itulah yang paling menyadarinya hingga akhirnya membuat mereka mencoba melakukan salam-salam perpisahan yang akan tampak janggal di mata orang terdekatnya.
On the other hand, aku tidak mengalami itu semuanya.
Aku tidak merasakan hal aneh apa pun, orang-orang terdekatku pun sekarang jauh entah di mana hingga tak ada seorang pun yang akan memberitahu apa yang salah denganku.
Kematianku datang begitu saja tanpa memberiku bocoran sedikit pun mengenainya.
“Hi.”
Aku menatap seorang gadis yang kini memasuki kamar "tahanan"-ku yang suram. Cahaya matahari hanya bisa masuk di sela-sela ventilasi sempit di atas jendela berkaca hitam legam. Aku pernah mencoba memecahkan kaca itu, berharap kekuatan magis vampir atau wolf-shifter ku
Seluruh penghuni bunker suku Serigala Hitam tiba-tiba terbangun saat teriakan Arga membahana hingga menimbulkan gema kepanikan.Linda Alexander dan Aryadi Brawijaya tersentak bangun dengan kekagetan ganda. Satu karena teriakan Arga, yang lain karena Barbara tak tampak di kamar mereka.“Lin, ada apa?” Aryadi menghela tubuhnya hingga terduduk, kepalanya masih sedikit berdenyut meski ia sudah dirawat lebih dari seminggu di markas berbentuk bunker ini. “Mana Bara?”Linda bangkit, matanya tak urung menyorotkan kecemasan. “Entahlah. Tadi Barbara sempat keluar sebentar. Kurasa ia masih di luar sekarang.”Aryadi pelan-pelan turun dari ranjangnya. Linda segera menghampiri dan membantunya berjalan. Mereka keluar dari kamar bersamaan dengan beberapa orang yang tampak terburu-buru berlari ke arah aula.“Gawat! Gawat! Berkumpul!” suara Arga masih membahana di seantero bunker.Dibantu oleh Linda, Aryadi tert
Empat sosok berumur yang merupakan Tetua Suku Serigala Hitam tampak duduk mengelilingi meja bundar di sebuah ruangan. Begitu pula dengan Aryadi dan Linda, juga Alvaro selaku pemimpin suku tersebut.Salah satu Tetua yang memakai mantel cokelat dan duduk di kursi roda berdeham. Pria uzur bernama Magen itu melirik sekilas pada Aryadi dan Linda.Magen menatap Alvaro dengan tajam. “Alvaro, kau tentu paham bahwa Hugo tidak akan tahu tentang markas ini jika ia sendiri yang ke sana-kemari mengendus-endus rerumputan di bawah kakinya.”Alvaro mengangguk. “Aku sudah memerintahkan tangan-kananku untuk segera menyelidiki itu, sir.”Seorang Tetua bermata sipit dengan wajah berkeriput mendengkus. Ia menarik tangannya dari meja dan menyilangkannya di dada, bersedekap.“Kuharap itu tidak membutuhkan waktu lama,” ia mencetus. “Sudah cukup buruk kita kehilangan seorang wolvire penting tanpa harus membiarkan markas disusupi be
Pagi itu pesawat Garuda Indonesia membelah langit berkabut nan pasti menusuk tulang. Linda memandang Kepulauan Bangka Belitung di bawah sana yang semakin mengecil hingga tak tampak lagi di antara tumpukan awan dan embun di jendela pesawat.Vampir wanita itu menggigil. AC bukanlah penyebabnya, melainkan berbagai pikiran buruk yang tiba-tiba saja melintas di dalam organ vital Linda yang tersembunyi di antara tempurung kepalanya. Sungguh menyakitkan saat kau tak bisa menepati janji pada seorang sahabat yang telah mati.Linda menyandarkan kepala saat tangannya terkepal di atas pangkuan hingga buku-buku jarinya memucat. Seandainya Linda bisa berlaku egois satu kali saja, ia tak akan mau mempedulikan Barbara lagi sementara suami tercintanya telah tewas akibat ulah seseorang yang menginginkan anak perempuan itu.Tenggorokan vampir wanita itu serasa diganjal oleh kekosongan yang hampa. Dalam lubuk hatinya yang tersembunyi, Linda mengakui bahwa ia sedikit sakit hati dan
Aku tak pernah merasa begini sengsara, bahkan saat Dad dan Mom membatasi kebebasanku.Beberapa jam setelah gadis yang membawakan aku makanan pagi itu keluar, aku hanya duduk diam bersandar di atas tempat tidur. Air di teko sudah habis kuminum dan makanan di atas piring masih utuh. Aku benar-benar tak ingin memakannya, tak peduli jika di sana tidak ada racun sekali pun.Aku tahu aku terdengar bodoh. Jika aku bermaksud ingin mati, aku seharusnya tidak perlu meminum air itu. Aku seharusnya tidak menelan atau menenggak apa-apa. Seharusnya aku berbaring saja hingga tubuhku lemah dan kurus kering.Namun, otakku seperti mengingatkan aku terus menerus. Selalu memberiku harapan pada diri sendiri bahwa entah bagaimana Grandpa dan Mom pasti berusaha mencariku. Aku tak bermaksud sombong, tapi aku yakin seisi suku Serigala Hitam pasti akan ikut mencariku.Aku tak tahu apa-apa, sungguh. Namun, menilik dari apa-apa yang kulihat dan kudengar sampai sejauh ini, sepertinya
Langit masih menggelegar seakan malaikat sedang melecutkan petir kematian pada iblis-iblis yang berkeliaran. Satu per satu korban di bawahku mengalami hal yang sama seperti wanita tadi. Korban yang tak berada di jangkauan pandanganku … aku hanya bisa mendengar jerit kesakitan dan kemudian tawa mereka, serta kata-kata bahasa Jawa yang sama yang mengatakan bahwa mereka memberikan jiwa mereka karena aku.Hal lain yang membuat semuanya semakin mengerikan adalah nyanyian para orang bersyal. Sesuatu seperti cairan yang mengalir keluar dari telinga ke leher membuatku yakin bahwa itu adalah darahku. Pendengaranku serasa dikorek-korek dengan benda teramat tajam; begitu menyakitkan dan tak tertahankan. Rasa sakit tak hanya berhenti di situ saja. Rasanya seperti seseorang sedang menggempurkan palu raksasa ke batok kepalaku. Penglihatanku hilang-timbul berkali-kali namun kesadaranku tak juga menyerah barang sedetik pun.Aku kesakitan.Aku lelah.“Tak w&e
“Kita terlambat, Dad!”Linda menggerak-gerakkan kakinya dengan penuh kekhawatiran. Matanya menatap barisan pepohonan yang melesat di luar jendela mobil yang mereka tumpangi menuju Alas Purwo (Hutan Purwa). Aryadi memegang kedua tangan wanita itu yang tak henti-hentinya saling meremas dengan gugup. Linda menoleh pada lelaki yang sejak bertahun-tahun lalu telah menjadi ayah angkatnya itu. Aryadi merangkul dan menepuk-nepuk bahu vampir-wanita itu dengan lembut.“Berpikirlah positif, Lin,” Aryadi berkata menenangkan. Sejenak ia diam, lantas menghela napas dalam-dalam. “Atau paling tidak kau bisa … anggap ini semua akibat dari kesalahanku, seperti yang sebelumnya kau katakan di markas suku Black Wolf. Jika itu busa membuatmu sedikit lebih lega.”Linda menyentakkan tangannya dan menatap Aryadu dengan sorot mata seakan-akan telah tersinggung.“Itu tidak akan mengubah apa-apa, kau tahu,” desis Linda, tiba-tib
Beberapa meter setelah mereka memasuki kedalaman hutan, Tetua Brahma menghentikan langkahnya dan membalikkan badan. Kesembilan orang sisanya memandang tetua itu dengan sorot mata bertanya-tanya.“Gunakan kecepatan lari supernatural kita,” ujar Tetua Brahma, disambut dengan anggukan dari seluruh anggota kelompok.Semua orang kecuali Linda tiba-tiba mengeluarkan suara geraman. Dalam sepersekian detik tubuh mereka menguap dan berubah menjadi serigala-serigala hitam sebesar beruang. Linda mundur dua langkah tanpa sadar. Diam-diam ia merasa terintimidasi. Sendirian di tengah-tengah gerombolan wolf-shifter itu bisa dibilang tidak baik untuk ketenangan vampir seperti Linda, namun begitu ia berusaha menekan perasaannya. Bukan waktunya untuk bersikap berlebihan. Waktu sudah cukuo terbuang tanpa harus ditambahi masalah sesepele ini.Tetua Brahma sang serigala menggeram lagi, kali ini mengirimkan komando lewat pikiran kepada seluruh serigala sekaligus Linda. Da
Tujuh sosok berpakaian serba merah gelap itu tiba-tiba muncul begitu saja di suatu tempat di Hutan Setan. Untuk sesaat mereka menyeimbangkan diri. Pemindah Raga bukan pilihan transportasi instan yang nyaman bahkan untuk para witch itu sendiri. Terasa akan sedikit goyah saat mereka telah menginjak tanah di tempat tujuan. Bagi witch yang belum terbiasa, hal terburuk yang bisa witch rasakan adalah muntah-muntah dan pusing luar biasa. Namun, semakin akrab mereka dengan Pemindah Raga, semakin sedikit efek yang dirasakan.Kilatan petir dan gelegar guntur membelah langit tertentu di tengah-tengah hutan sana. Para witch itu bergegas berlari dengan cepat menuju sumber kebisingan petir. Seseorang dari mereka sekilas melirik ke arah bayang-bayang tubuhnya sendiri.“Hantu Kisut mengikuti kita,” ia memperingatkan yang lain sambil terus berlari.Mereka semua sontak melirik bayang-bayang tubuh masing-masing yang tampak janggal dan terlalu solid untuk bisa disebut b
Saat Hugo meninggalkan aku sendiri di gua, aku kembali berbaring di ranjang batu dengan matras tipis dan selimut apak itu. Mataku nyalang menatap langit-langit gua dengan pikiran kacau dan tak menentu.Pikiran dan memoriku terasa sejernih kristal, mulai dari masa kecil hingga masa kini. Kurang dari sebulan, aku telah menjadi seseorang yang sama sekali berbeda dengan aku yang sebelumnya: dingin, kejam, tak berperasaan, jahat. Dalam kurun waktu itu pula aku telah membunuh seseorang yang sepertinya sangat aku sayangi sebelumnya: ibuku.Mataku mengerjap-ngerjap. Ada tirai basah yang menutupi mataku, mengaburkan pandanganku untuk beberapa saat. Tenggorokanku tercekat, seakan aku sedang menahan tangis yang jika dikeluarkan akan mampu membuatku seperti anak kecil yang meraung-raung. Namun, ada satu perasaan lain yang menahan semua perasaanku itu.Ketidakpedulian.Aku sedih, terpukul, terkejut akan fakta bahwa dulunya aku hanyalah gadis biasa yang tidak akan mamp
Aku akhirnya terbangun.Aku megap-megap menghirup udara dan tersentak hingga tubuhku setengah bangkit dari tempatku terbaring. Aku terengah-engah, menjatuhkan diri lagi di atas bantal dan memejamkan mata untuk sesaat. Kepalaku begitu pusing, seperti berputar-putar.Aku mulai merasa sudah gila.Semua kilas balik yang kualami tadi benar-benar menguras kewarasanku. Kenapa aku harus mengalami pengalaman orang lain? Tidak hanya sekadar menyaksikan kenangan seperti sebelumnya, namun aku benar-benar mengalaminya; setiap pikiran dan perbuatan mereka, setiap detail yang seharusnya tidak aku tahu.Kenapa?Semua ini membawaku pada sebuah pemikiran yang segera saja kuenyahkan jauh-jauh. Aku tak perlu memikirkan itu lagi jika itu hanya akan membuat otakku menjadi sakit.Aku membuka mata dan mengawasi atap ruangan yang tengah kutiduri. Atap itu seperti bukan atap rumah, tapi … aku terbangun dengan mendadak dan pandanganku seketika menggelap. Aku me
Aku merasa takut karena aku tampaknya mulai terbiasa dengan sensasi tarik-menarik visi ini. Sampai kapan ini akan berlanjut?_________________________Gadis itu menguap. Siapa yang tidak akan bosan jika kau duduk berjam-jam di dalam mobil tanpa kegiatan yang berarti, seperti tidur, misalnya? Ia sudah melempar buku fiksi kesukaannya ke dalam tas, setelah hampir satu jam memelototi benda itu dengan antusiasme yang makin lama makin menghilang. Ia tidak tahu kenapa kemampuannya dalam menewaskan diri di mana dan kapan pun tiba-tiba meluruh. Di saat-saat seperti inilah kejengkelan nyaris membuatnya frustasi; nyaris. Seberapa jauh sebenarnya jarak yang ditempuh untuk mencapai sekolah asrama sialan itu? Satu tahun, mungkin.Ini benar-benar menyebalkan!Aria melirik lelaki berusia empat puluhan tahun yang duduk di balik kemudi dengan sinis. Ia yakin pantat Pak Baga sudah hampir melepuh. Aria sendiri sudah berganti pose duduk setidaknya seju
Pikiranku terbang ke suatu tempat sementara kegelapan itu masih mencoba menggerayangiku. Aku ingin menghentikannya, tapi aku tidak bisa. Mendadak sebuah visi muncul di benakku.Kukira aku sedang tertidur, tapi ternyata tidak. Aku terbangun. Aku tidak tahu apakah aku kini sedang bermimpi, masih di dalam halusinasi akibat perbuatan Reksa, atau bahkan sudah sadar dan entah bagaimana menjadi gila.Aku merasakan tubuhku terbaring di atas tempat tidur. Terbaring … begitu saja. Mataku bergerak menatap dinding ruangan yang tampaknya terbuat dari papan.Aku merasakan sedikit kepanikan karena aku tak bisa menggerakkan tubuhku sama sekali. Kucoba untuk bernapas dengan hembusan teratur dan memejamkan mata; berkata pada diri sendiri bahwa ini bukanlah apa-apa, bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan.Namun, mendadak detak jantungku meningkat, bagaikan palu yang bertalu-talu, memukul paku yang terlalu bebal untuk menembus sebuah papan. Perasaan ini bukan perasa
Aku tanpa sadar telah mundur beberapa langkah saat Reksa si iblis berubah menjadi dirinya yang sebenarnya. Udara panas bagaikan memenuhi kamar dan membuat napasku menjadi sesak. Namun, aku bisa menahan rasa panas itu, meski tetap saja aku kewalahan untuk menarik oksigen dari hidungku.Sosok iblis itu berwarna merah kehitaman, secara harfiah menyala-nyala bagaikan jilatan api. Kedua matanya berbeda warna; yang satu hitam dan yang lain merah. Yang membuatku cukup terkejut adalah kepala dan tinggi tubuhnya.Iblis dalam bayanganku adalah sosok serba merah atau serba berapi dengan kepala plontos dan dua tanduk kecil, serta bertubuh besar dan sangat tinggi. Namun, iblis di depanku ini tidak botak, melainkan berambut gondrong seperti rambut genderuwo pada umumnya. Meskipun ia masih sesuai bayanganku, yaitu menyala-nyala, tapi ia tidak sangat tinggi atau sangat besar. Tinggi dan besar tubuh iblis itu kurang lebih sama saja seperti para pemain basket.Reksa si iblis menc
Aku tak tahu apakah aku pernah mengharapkan akan mengalami semua kejadian yang melibatkan makhluk-makhluk mitos seperti vampire dan manusia serigala, tapi yang pasti aku merasa menyesal sudah mengenal dunia ini.Aku bahkan tidak mengenal diriku sendiri. Siapa aku, di mana aku seharusnya berada, apa aku; pertanyaan-pertanyaan itu terdengar sangat normal dan mudah, tapi hidupku yang kacau menyulitkan segalanya, bahkan yang paling sepele sekali pun.Aku mencoba tetap sadar dengan memikirkan hal-hal semacam ini di kepalaku, sementara Hugo ….Beberapa dari kalian pasti akan mengira bahwa gerakan Hugo pasti akan sangat terbatas sekali mengingat betapa parah kondisi lengannya. Namun, nyatanya justru sebaliknya.Hugo melesat begitu cepat, tepat setelah aku menggertaknya karena dia berani mengancamku.Ancamannya tidak main-main dan aku sebetulnya tidak terkejut dengan itu, tapi kecepatan gerakannya adalah hal lain. Sesaat sebelumnya ia tampak begitu
“Katakan padaku bahwa memori-memori yang kudapat saat itu tidak benar, Hugo!” aku membentak dengan suara dalam dan bergema; suara wujud serigalaku.Hugo mendengkus seraya mengangkat kedua tangannya, lalu mengangkat bahu. “Kau mau aku mengatakan apa, Barbara? Bahwa itu semua tidak benar dan kau seharusnya tidak mempercayai bocah vampire itu?” ia menyeringai. “Karena aku punya keyakinan yang kuat bahwa kau mulai mempercayai entah apa yang sudah kau alami di dalam bangsal itu.”Emosiku tiba-tiba memuncak dan aku bergerak begitu cepat, lebih cepat dari kedipan mata, menerjang lelaki dengan bekas luka di pipi itu hingga kami menabrak dinding batu kamarku. Kupikir aku berada di atas angin, namun nyatanya Hugo mampu menyerangku balik dengan melemparkan badanku hingga aku terhempas ke atas tempat tidur.Napasku tersentak keluar dengan tajam. Aku mendengar suara kayu dari tempat tidur yang memprotes karena berat tubuhku yang jatuh memb
Aku kembali ke kamar setelah kepergian Saga … siapa pun dia. Aku memeluk diriku sendiri dengan sikap seperti anak kecil yang kehilangan ibunya, atau mungkin akan lebih tepat: kehilangan kewarasan. Aku memegangi kepalaku, lalu berbaring miring, meringkuk seperti anak kecil.Aku mengingat semuanya, tepat setelah kenangan aneh menarikku dari kenyataan saat … setelah aku melukai bahu Saga. Aku mengingat bagaimana Hugo membawaku secara paksa dengan memanfaatkan seorang cowok bernama Arga. Aku ingat bagaimana lelaki dengan bekas luka itu mengancam Arga dengan pistol hingga aku terpaksa ikut dengannya.Aku juga ingat tentang … aku menutup mata, mencoba mengatakan satu kata itu, terasa sangat berat meskipun hanya dalam hati.Dad.Hanya ayah angkat, tapi aku teringat betapa aku menyayangi dia. Lalu, Mom.Aku menangis, benar-benar menangis. Aku mengepalkan kedua tanganku erat-erat hingga kuku-kukuku yang tak terlalu panjang menyakiti tel
Kesakten Vampir Segawon.Kata-kata itu bagaikan memenuhi pandangan Hugo yang tengah membuka buku tua itu, membacanya dengan ketidaksabaran yang semakin melunjak. Ketiga kata itu jika diartikan secara harfiah berarti Kekuatan Sakti Vampir Serigala, atau kekuatan sakti wolvire. Isinya tentang apa saja yang bisa dilakukan oleh seorang wolvire, dalam hal ini tentu saja wolvire biasa.Emosi Hugo semakin menjadi-jadi saat pada salah satu bagian di buku itu menjelaskan bahwa gigitan wolvire yang dalam bentuk serigala kepada vampir lebih mematikan daripada gigitan atau cakaran wolf-shifter biasanya. Begitu pula sebaliknya, jika wolvire sedang dalam bentuk vampir, maka gigitannya pada wolf-shifter juga akan lebih mematikan dari vampire biasa.Namun, itu tidak berlaku pada wolvire bernama Barbara.Hugo membanting buku tentang wolvire itu ke lantai dengan kuat, merasa sangat marah pada dirinya sendiri dan juga pada gadis istimewa itu. Reksa, sang raja iblis