Selama delapan belas tahun hidup, tak pernah aku merasa seberkeringat ini saat berada di dalam mobil dengan AC menyala. Telapak tanganku sangat lembab dan licin hingga meremas-remas tangan terasa begitu mudah.
Aku bernapas dengan berat, seakan oksigen pelan-pelan tersedot keluar dari mobil. Kecemasan dan kekhawatiranku bertambah satu persen setiap detiknya. Aku bahkan tak berani menoleh ke kursi pengemudi di sampingku.
Suasana di kendaraan pribadi ini tak lebih baik. Rasanya seolah ada bom rahasia yang siap diledakkan kapan saja. Tubuhku yang terasa dingin di dalam dan panas di luar sama sekali tak membantu.
Benar-benar waktu yang tidak tepat untuk masuk angin.
Untuk kesejuta kalinya dalam beberapa menit ini, hatiku meneriakkan segala jenis makian untuk Saga si vampir bodoh sepanjang masa, yang kini punya situasi hampir sama sepertiku.
Setelah sisa motor Saga dinaikkan ke mobil patroli dan kami digiring masuk ke kendaraan tersebut, kami dibawa ke kantor polisi. Kami pada intinya mendapat ceramah ekstra dari para penegak hukum berseragam abu-abu itu.
Tentu saja, itu bukan yang terburuk.
Setelah diinterogasi dan diperiksa, ternyata motor yang dikendarai Saga bukanlah milik dia ataupun salah satu anggota keluarganya. Melainkan, milik salah satu teman Saga.
Di situlah cikal bakal sumbu dinamit diciptakan.
Para polisi memaksa kami untuk memanggil orang tua atau wali kami untuk segera datang ke kantor polisi. Teman Saga sang pemilik motor juga dipanggil.
Parahnya, sejak datang sampai kemudian pulang, ekspresi kakekku tak berubah sama sekali.
Datar.
Lagi-lagi, itu bukan satu-satunya yang mengganguku. Ketika Kakek turun dari mobil dan memasuki kantor polisi, serta kemudian menyadari siapa saja yang berada di ruangan itu, Kakek tiba-tiba membeku selama kira-kira tiga detik.
Saat itu, Kakek menatap orang tua angkat Saga yang memiliki kulit gelap dengan mata menyipit. “Keluarga Adrian, huh? Kuharap putra kalian tidak mengatakan yang tidak-tidak pada cucuku.”
Aku cuma memandang mereka dengan bingung. Aku ingin bertanya pada Saga, tapi ia sedang menunduk di samping ayahnya dan sama sekali tak menoleh ke arahku.
“Tenang saja, Pak Yadi.” Pak Adrian waktu itu menyahut dengan nada dingin. “Kalaupun Saga mengatakan sesuatu, itu pastilah kenyataan. Bukan ilusi yang dipaksakan.”
Perkataannya membuatku merinding. Tiba-tiba aku merasa waswas. Aku takut tebakanku tentang apa yang mereka bicarakan menjadi cocok.
Duniaku selangkah lebih tidak masuk akal.
Setelah mendapat teguran dan sangsi di sana-sini, kami semua diperbolehkan pulang. Kakek berderap memasuki mobilnya dan aku mengikuti sambil berlari-lari kecil. Ia bahkan tak menoleh atau melirik keluarga Adrian lagi.
Dan di sinilah aku sekarang, beberapa menit kemudian, dalam mobil yang terasa pengap padahal sebenarnya tidak.
Begitu tiba di rumah, aku langsung memegang pintu mobil; bermaksud untuk membukanya dan keluar. Namun, suara dingin Kakek menghentikan aksiku selama sekejap.
“Orang tuamu akan terbang kemari malam ini dan akan sampai di sini besok pagi. Sebelum mereka menjejakkan kaki di lantai rumah ini, kau tak boleh keluar rumah. Sedikit pun.”
Aku gemetar. Kugigit bibir bawahku dengan senewen.
Aku baru saja membuka mulut untuk berbicara, tapi Kakek menduluiku. “Mereka dan aku akan menjelaskan padamu. Semuanya. Sekarang, masuklah!”
Aku keluar dengan kaki yang hampir menjadi jeli dan tak sengaja menutup pintu mobil agak keras. Aku berlari hingga sampai ke kamarku dan menutup pintunya hingga berdebam. Jantungku berpacu. Kupejamkan mata sambil mengatur napasku pelan-pelan.
Aku berjalan perlahan ke tempat tidur, lalu duduk di sana dengan perasaan tegang. Kuambil ponsel dari saku dengan jari gemetar.
Saat di cafe bersama Saga tadi, kami sudah bertukar nomor ponsel. Kami memutuskan untuk saling mengabari jikalau ada hal penting menyangkut dunia kevampiran yang aku harus tahu.
Dalam hal ini, Saga harus ikut tahu perkembangan usaha kami berdua dalam menguak misteri terbelenggunya Barbara sang Tahanan Keluarga.
Meski aku tak merasa kami sudah berusaha untuk itu.
Pada nada dering keempat, telepon diangkat. Saga menyapa dari seberang sana dengan suara pelan.
(Ada apa?) Saga bertanya curiga.
Tanganku masih gemetar, jadi kucengkeram pinggiran kasur kuat-kuat.
“Orang tuaku akan terbang ke Bangka malam ini,” bisikku tegang.
(Untuk apa tepatnya?) Saga ikut-ikutan tegang.
Aku menggigit bibir bawahku lagi. “Kakekku bilang … dia bilang mereka semua akan mengatakan padaku … semuanya.”
(Itu bagus, dong!) Saga berseru tertahan.
Harusnya aku berseri-seri atau apa, tapi malah tegang terus-menerus. Masalahnya ini bukan tentang mereka akan memberiku kejutan ulang tahun dan sebagainya. Aku sudah menunggu-nunggu kejujuran mereka selama hampir satu setengah dekade ini selama hidupku.
Aku tak tahu apa lagi yang akan kuobrolkan dengan Saga di tengah adrenalin yang tak ada hubungannya dengan kematian ini. Jadi, kututup telepon dengan ucapan "sampai jumpa nanti", dan Saga membalasnya dengan "kabari aku nanti".
Sudah kuputuskan untuk menjadikan si bodoh Saga menjadi sahabat nyataku. Mungkin terlalu cepat, tapi ia sudah dengan baik hati membuka mataku akan kehidupan lain selain manusia.
Juga, ia sudah membantuku—paling tidak mencoba—untuk memberitahu siapa aku sebenarnya.
Aku bertanya-tanya apakah aku benar-benar bukan manusia biasa.
Siapa aku ini?
Malam itu aku tak bisa tidur. Tengah malam perutku jadi mual dan perih. Aku mengendap-endap keluar dari kamar menuju dapur. Karena seharian tadi aku tak memasak apa pun—awalnya sebagai bentuk pemberontakan karena perlakuan Kakek kepadaku—maka, aku memutuskan untuk memasak mie instan dengan telur.
Mie telur … itu keahlianku yang paling utama dalam hal masak-memasak. Kurang dari sepuluh menit kemudian, aku sudah duduk lesehan di depan meja ruang keluarga.
Kunyalakan televisi dan mengganti salurannya ke acara yang menayangkan film Hollywood lawas. Aku mengecilkan volumenya, lantas mulai mengaduk mie instan yang sudah kuberi saus, kecap, dan tambahan cabai bubuk sensasional, BonCabe.
Selanjutnya, aku menonton film dengan perasaan lebih tenang sambil mencoba untuk tidak membakar lidahku sendiri dengan kuah panas.
Kakek tidak keluar dari kamarnya, jadi kuasumsikan dia tak masalah dan mungkin saja ia sudah tertidur. Atau malah diam-diam mengawasiku dari celah lubang kunci kamarnya.
Pukul satu dini hari, dengan perut yang tak lagi berteriak minta makan, aku mematikan televisi dan mencuci mangkukku.
Setelahnya, aku jadi mengantuk. Maka, kuputuskan untuk tidur sambil menunggu kedatangan orang tuaku.
Dini hari itu aku memimpikan Saga si vampir menjadi salah satu aktor di drama Vampire Diaries.
—·—·—
“Barbara!”
Cahaya matahari mengintip dari celah ventilasi di atas jendelaku. Suara ketukan di pintu membangunkanku. Aku meregangkan badan seperti kucing malas. Kulihat jam yang sudah menunjukkan pukul delapan lewat lima belas menit.
“Sebentar!” sahutku dengan suara serak.
Ketukan tak lagi terdengar, tapi karenanya aku jadi membeku. Aku menoleh cepat ke arah pintu itu. Tak salah lagi, yang tadi itu suara ibuku!
Aku bangkit tergesa-gesa dan berlari ke kamar mandi yang terhubung dengan kamarku. Aku mandi secepat yang kubisa dengan jantung yang kembali berdegup kencang.
Hatiku kembali pada perasaan penuh antisipasi.
Setelah kira-kira lima belas menit, aku sudah berdiri menggunakan pakaian kasual dan sapuan bedak sederhana. Tak lupa aku memakai lip balm rasa ceri. Rambut panjangku yang agak keriting masih setengah basah. Namun, aku tak punya waktu untuk mengeringkannya menggunakan hair dryer.
Merasa seolah-olah akan berkencan saja sudah cukup memalukan tanpa harus memaksimalkan hal tersebut.
Aku menarik napas panjang dan membuka pintu kamarku.
Wajah Ayah, Ibu, dan Kakek langsung memenuhi jarak pandangku di ruang keluarga yang berada di depan kamar tidur. Hatiku agak mencelus. Aku mengambil tempat di sofa single dengan diiringi tatapan tajam ketiganya.
Aku berdeham-deham. “Hai, Yah. Bu.”
Ayahku bersedekap. “Apa yang kau lakukan kemarin?”
Aku menatap Ayah dengan bingung. Kukira Kakek sudah memberitahunya tentang ini!
“Aku pergi minum kopi ke cafe bersama Saga!” Suaraku mendadak ketus. Aku takut mereka menjatuhkan angan-anganku yang sebenarnya.
Ibuku menghela napas. Sorot tajam matanya melembut. “Barbie, soal telepon kemarin, kau tidak sungguh-sungguh, 'kan? Saga pasti melakukan semacam trik agar kau mempercayainya.”
“Trik.” Nada suaraku datar. Kuikuti gaya Ayah; bersedekap. “Kalau memang trik, kenapa kalian harus bersusah payah datang kemari?”
Wajah ayahku berubah marah. “Apa kau ingin mati, Bara?! Kami mencoba dengan segenap hati kami agar kau tetap hidup! Kenapa kau harus—”
“—melanggar kesepakatan?” sambungku dingin. “Aku tak tahu apa motif kalian, sungguh. Tapi, Ayah, aku sudah tak tahan lagi. Hentikan masa batasan ini. Aku bukan anak kecil lagi, demi Tuhan! Sampai kapan kalian akan terus begini?”
Mereka terdiam, tapi Ayah dan Kakek masih tampak marah.
“Barbie …,” ibuku memulai.
“Berhenti, Ibu, berhenti,” kataku tega. “Katakan padaku, apakah benar aku bukan manusia?”
Mereka semua kini membeku.
“Katakan padaku!” teriakku frustrasi. “Bilang padaku kalau itu cuma fiksi!”
“Kau bukan anak kami.”
Perkataan Ayah menamparku. Aku tertawa ragu, kemudian terdiam. Menunggu penjelasannya lebih lanjut.
“Bara, kau bukan anak kami.” Ayah mengulang. “Kami berdua vampir.”
Jantungku tak bisa lebih kuat lagi berdetak dari ini. Kutatap Ayah dan Ibu dengan nanar. Tatapanku beralih ke Kakek.
“Aku kakekmu, Bara. Seratus persen.” Kakek mengkonfirmasi dengan suara lelah.
Bibirku hampir bergetar. “A-Apa aku manusia biasa, kalau begitu? Apa aku harus diubah seperti … seperti Saga?”
Ayah menatap langit-langit dengan hampa. Mata Ibu berkaca-kaca … apa vampir bisa menangis?
“Barbara, kau bukan manusia biasa,” ujar ibuku sedih. Hatiku mencelus lagi. “Tolong tetaplah anggap kami sebagai orang tuamu. Kami menyayangimu lebih dari sekadar tanggung jawab yang diberikan pada kami.”
Air mataku sudah menetes satu kali, tapi keningku lantas berkerut.
“Tanggung jawab?” tanyaku tak mengerti.
Ayah akhirnya menunduk menatapku. Ia menghela napas. “Ya, Bara. Tanggung jawab. Orang tua kandungmu sendiri yang menyerahkanmu pada kami. Mereka meminta kami untuk menjagamu.”
Aku masih tak mengerti.
Kakek membuka suara. “Orang tuamu mati terbunuh, Bara. Pembunuh mereka sudah mengincarmu sejak kau lahir di dunia ini.”
Hatiku mulai kacau lagi. “Kenapa?”
Kakekku tak sanggup menjawab. Namun, Ayah mengambil alih menjawab pertanyaanku.
“Orang tua kandungmu … ayahmu seorang vampir, dan ibumu seorang perubah-serigala. Kau adalah wolvire, seorang vampir-serigala. Namun, itu tak begitu penting.”
Buatku, itu sangat penting dan mengejutkan. Namun, seperti kata ayah angkatku, itu bukan bagian terpenting.
“Kau punya titisan darah dewa, Bara. Kau punya darah suci. Semua makhluk abadi menginginkan darah itu. Kami sekuat tenaga membuatmu hidup seperti manusia biasa dengan membatasi gerakmu, agar kau dan musuh-musuh di luar sana tak menyadari siapa dirimu. Kalau tidak, hidupmu taruhannya.”
Yang hampir menjelaskan perlakuan orang tua angkatku selama ini padaku.
Aku bukan vampir, bukan pula perubah-serigala.
Aku keduanya.
Pikiranku campur aduk. Seperti memasukkan segala jenis minuman ke dalam satu teko air putih; rasanya sungguh tak keruan.Aku memikirkan bagaimana perasaan orang tua kandungku sesaat sebelum mereka menghadapi ajal. Aku memikirkan bagaimanakah hidupku seandainya mereka masih ada.Akankah semua tetap sama? Akankah aku tetap dibatasi? Akankah semua bisa menjadi mudah?Apa yang salah dari menjadi hidup?Air mataku menitik, saat kerinduan ganjil akan keberadaan orang tua kandungku yang entah siapa memenuhi benak. Aku merasa sakit hati kepada sang pembunuh yang telah tega merenggut orang yang seharusnya menjadi panutan dalam hidupku.Dadaku terasa sesak. Pandanganku terus-terusan kabur saking banyaknya air mata yang keluar. Aku menangis dalam diam, mencoba sangat keras agar tak terisak-isak seperti hilang akal.Namun, pada kenyataannya, aku hampir hilang akal.Ibu—ibu angkatku—berkali-kali tampak ingin menenangkanku, tapi bahu in
Seekor babi hutan tampak menyeruduki semak belukar yang meranggas di bawah pepohonan liar. Dari atas pohon sini, aku bisa melihat moncong hewan dengan nama lain celeng itu dengan jelas saat ia mengendus-endus serampangan.Aku mendesah sambil memeluk dahan di sampingku. Enaknya jadi celeng. Mereka tak perlu memusingkan para vampir yang akan mengejarnya sampai ujung neraka sekali pun.Aku terdiam, lalu menghela napas lelah.“Maafkan aku, Leng,” aku bergumam sendiri. “Aku terlalu iri padamu. Kau pasti pernah dikejar-kejar vampir juga gara-gara mereka butuh darahmu … atau tidak?”Aku menatap langit cerah dari balik kanopi pohon. Babi di bawahku tertatih-tatih pergi saat tak menemukan apa-apa di balik daun-daun kering. Langkah empat kakinya menimbulkan bunyi kersak; meningkahi ocehan monyet dan kicau burung di sekitarku.Beberapa hari ini semangat hidupku jadi agak berkurang. Setelah meninggalkan rumah Kakek, aku dan Ibu t
Pikiran pertama yang muncul di benakku adalah: lari! Namun, pikiran itu tercipta setelah kira-kira dua puluh detik lebih lama dari yang seharusnya. Jadi, sepersekian detik sebelum aku memutuskan untuk lari, pemuda itu sudah menghempaskan punggungku ke salah satu batang pohon yang menjulang. Aku berdengap ngeri saat pemuda itu mengunci tubuhku di antara lengannya, menghalangiku untuk kabur. Kucoba untuk mengabaikan aroma tubuhnya yang mirip lemon segar. Tiba-tiba, ia mengendus-endus leherku seperti yang Saga pernah lakukan waktu itu. Pemuda di depanku mengerutkan kening. Ia membiarkan kedua taringnya bersembunyi lagi. Matanya tetap hitam; tak berubah sama sekali. Berbeda dengan Saga. Kedua tangan pemuda itu jatuh ke samping tubuhnya; tak lagi mengurungku seperti semula. Ia mundur selangkah, bersedekap, lalu mengamatiku dari atas ke bawah. “Kukira kau vampir yang mau macam-macam di wilayah kami.” Aku mengerjap. Suaranya dalam, mengingatkanku dengan suara Kang Yeosang dari ATEEZ; gru
Serigala itu menerkamku hingga tubuhku jatuh dan terhempas ke lantai hutan. Namun, cuma itu. Serigala itu mendengking senang dan segera menyingkir dari hadapanku seraya melompat-lompat kecil seperti anak anjing. Seandainya aku punya riwayat penyakit jantung, aku pasti sudah bertemu malaikat tampan yang siap menghukumku di neraka. Kutatap Justin dari bawah. “Apa-apaan itu tadi?!” Aku berdiri dalam satu helaan ringan. Namun, hal selanjutnya yang terjadi membuatku menyesal telah berdiri. Aku berharap masih terkapar di tanah. Kalau bisa pingsan sekalian. Serigala hitam di hadapanku menguap seperti kabut kelabu tebal di pagi hari yang dingin. Tak sampai lima detik, serigala berkabut itu digantikan dengan sesosok pemuda lain sebaya Justin yang berdiri sambil berkacak pinggang. Ia cengar-cengir memandang Justin dan aku. Aku bisa dibilang telah menampar otot lengan Justin dan membuat telapak tanganku panas sendiri. “Dia siapa?” bisikku pada Justin. “Dia cuma sulap, 'kan?” Justin menatap
Baru sekitar seratus lima puluh meter kami memelesat, Justin dan David berhenti di sebuah bukaan sempit dengan pohon-pohon tinggi yang melingkarinya. Sepatuku menginjak permukaan tanah yang lebih lembap dari tempat kami semula.“Mau apa kita berhenti di sini?” tanyaku heran.Mereka tak mengatakan apa-apa, tapi David merogoh sebuah lubang di antara semak-semak. Aku takut pemuda itu terpatuk ular, tapi saat David mengeluarkan tangannya, tak ada apa pun yang terjadi.Justin menggamit tanganku dan kami bertiga mundur ke salah satu sisi pohon. Sedetik kemudian, bukaan bundar di hadapanku ambrol ke bawah tanah. Aku terkejut dan tersurut mundur lebih jauh.“Come in.”David melompat ke lubang bundar gelap itu tanpa ragu sedikit pun.Aku mencengkeram lengan Justin. “Apa maksudnya, ‘come in’?”Justin melepas cengkeraman tanganku dan beralih menggenggamnya.“Hitungan ketiga, kita lompa
Malam itu aku tidur di ruangan yang sama dengan keluargaku.Keluarga.Dadaku sesak saat mengingat salah satu dari mereka telah tiada.“Barbara ….”Aku bergelung semakin rapat menghadap dinding. Suara lembut Ibu semakin membuatnya semakin tak tertahankan.Mereka bilang Hugo—laki-laki yang menyerang rumah Kakek—membawa serta jasad Ayah entah untuk apa. Aku sempat mengamuk pada Kakek karena dia tak mau menghentikan lelaki itu.“Aku sangat lemah, Bara,” bisik Kakek tadi. “Aku tak mampu lagi melawan Hugo. Dia terlalu kuat.”Aku memahami itu. Hanya saja aku masih terlalu kecewa. Masih terlalu sakit untuk bisa menerima keadaan Kakek saat itu.Perasaanku hancur.Aku berjalan keluar dari kamar-bersama itu dengan perasaan tak keruan. Ibu memanggilku lemah, tapi aku hanya bergumam tak jelas padanya.“Apa kau pikir Ibu juga tidak merasa sedih, Bara?” seru Ibu;
Orang bilang kita bisa merasakan sesuatu jika kematian tengah menghampiri diri kita. Orang bilang, tanda-tanda itu akan tampak nyata dan sekaligus aneh di mata orang lain. Sebagian lagi berkata bahwa orang yang akan mati itulah yang paling menyadarinya hingga akhirnya membuat mereka mencoba melakukan salam-salam perpisahan yang akan tampak janggal di mata orang terdekatnya.On the other hand, aku tidak mengalami itu semuanya.Aku tidak merasakan hal aneh apa pun, orang-orang terdekatku pun sekarang jauh entah di mana hingga tak ada seorang pun yang akan memberitahu apa yang salah denganku.Kematianku datang begitu saja tanpa memberiku bocoran sedikit pun mengenainya.“Hi.”Aku menatap seorang gadis yang kini memasuki kamar "tahanan"-ku yang suram. Cahaya matahari hanya bisa masuk di sela-sela ventilasi sempit di atas jendela berkaca hitam legam. Aku pernah mencoba memecahkan kaca itu, berharap kekuatan magis vampir atau wolf-shifter ku
Seluruh penghuni bunker suku Serigala Hitam tiba-tiba terbangun saat teriakan Arga membahana hingga menimbulkan gema kepanikan.Linda Alexander dan Aryadi Brawijaya tersentak bangun dengan kekagetan ganda. Satu karena teriakan Arga, yang lain karena Barbara tak tampak di kamar mereka.“Lin, ada apa?” Aryadi menghela tubuhnya hingga terduduk, kepalanya masih sedikit berdenyut meski ia sudah dirawat lebih dari seminggu di markas berbentuk bunker ini. “Mana Bara?”Linda bangkit, matanya tak urung menyorotkan kecemasan. “Entahlah. Tadi Barbara sempat keluar sebentar. Kurasa ia masih di luar sekarang.”Aryadi pelan-pelan turun dari ranjangnya. Linda segera menghampiri dan membantunya berjalan. Mereka keluar dari kamar bersamaan dengan beberapa orang yang tampak terburu-buru berlari ke arah aula.“Gawat! Gawat! Berkumpul!” suara Arga masih membahana di seantero bunker.Dibantu oleh Linda, Aryadi tert
Saat Hugo meninggalkan aku sendiri di gua, aku kembali berbaring di ranjang batu dengan matras tipis dan selimut apak itu. Mataku nyalang menatap langit-langit gua dengan pikiran kacau dan tak menentu.Pikiran dan memoriku terasa sejernih kristal, mulai dari masa kecil hingga masa kini. Kurang dari sebulan, aku telah menjadi seseorang yang sama sekali berbeda dengan aku yang sebelumnya: dingin, kejam, tak berperasaan, jahat. Dalam kurun waktu itu pula aku telah membunuh seseorang yang sepertinya sangat aku sayangi sebelumnya: ibuku.Mataku mengerjap-ngerjap. Ada tirai basah yang menutupi mataku, mengaburkan pandanganku untuk beberapa saat. Tenggorokanku tercekat, seakan aku sedang menahan tangis yang jika dikeluarkan akan mampu membuatku seperti anak kecil yang meraung-raung. Namun, ada satu perasaan lain yang menahan semua perasaanku itu.Ketidakpedulian.Aku sedih, terpukul, terkejut akan fakta bahwa dulunya aku hanyalah gadis biasa yang tidak akan mamp
Aku akhirnya terbangun.Aku megap-megap menghirup udara dan tersentak hingga tubuhku setengah bangkit dari tempatku terbaring. Aku terengah-engah, menjatuhkan diri lagi di atas bantal dan memejamkan mata untuk sesaat. Kepalaku begitu pusing, seperti berputar-putar.Aku mulai merasa sudah gila.Semua kilas balik yang kualami tadi benar-benar menguras kewarasanku. Kenapa aku harus mengalami pengalaman orang lain? Tidak hanya sekadar menyaksikan kenangan seperti sebelumnya, namun aku benar-benar mengalaminya; setiap pikiran dan perbuatan mereka, setiap detail yang seharusnya tidak aku tahu.Kenapa?Semua ini membawaku pada sebuah pemikiran yang segera saja kuenyahkan jauh-jauh. Aku tak perlu memikirkan itu lagi jika itu hanya akan membuat otakku menjadi sakit.Aku membuka mata dan mengawasi atap ruangan yang tengah kutiduri. Atap itu seperti bukan atap rumah, tapi … aku terbangun dengan mendadak dan pandanganku seketika menggelap. Aku me
Aku merasa takut karena aku tampaknya mulai terbiasa dengan sensasi tarik-menarik visi ini. Sampai kapan ini akan berlanjut?_________________________Gadis itu menguap. Siapa yang tidak akan bosan jika kau duduk berjam-jam di dalam mobil tanpa kegiatan yang berarti, seperti tidur, misalnya? Ia sudah melempar buku fiksi kesukaannya ke dalam tas, setelah hampir satu jam memelototi benda itu dengan antusiasme yang makin lama makin menghilang. Ia tidak tahu kenapa kemampuannya dalam menewaskan diri di mana dan kapan pun tiba-tiba meluruh. Di saat-saat seperti inilah kejengkelan nyaris membuatnya frustasi; nyaris. Seberapa jauh sebenarnya jarak yang ditempuh untuk mencapai sekolah asrama sialan itu? Satu tahun, mungkin.Ini benar-benar menyebalkan!Aria melirik lelaki berusia empat puluhan tahun yang duduk di balik kemudi dengan sinis. Ia yakin pantat Pak Baga sudah hampir melepuh. Aria sendiri sudah berganti pose duduk setidaknya seju
Pikiranku terbang ke suatu tempat sementara kegelapan itu masih mencoba menggerayangiku. Aku ingin menghentikannya, tapi aku tidak bisa. Mendadak sebuah visi muncul di benakku.Kukira aku sedang tertidur, tapi ternyata tidak. Aku terbangun. Aku tidak tahu apakah aku kini sedang bermimpi, masih di dalam halusinasi akibat perbuatan Reksa, atau bahkan sudah sadar dan entah bagaimana menjadi gila.Aku merasakan tubuhku terbaring di atas tempat tidur. Terbaring … begitu saja. Mataku bergerak menatap dinding ruangan yang tampaknya terbuat dari papan.Aku merasakan sedikit kepanikan karena aku tak bisa menggerakkan tubuhku sama sekali. Kucoba untuk bernapas dengan hembusan teratur dan memejamkan mata; berkata pada diri sendiri bahwa ini bukanlah apa-apa, bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan.Namun, mendadak detak jantungku meningkat, bagaikan palu yang bertalu-talu, memukul paku yang terlalu bebal untuk menembus sebuah papan. Perasaan ini bukan perasa
Aku tanpa sadar telah mundur beberapa langkah saat Reksa si iblis berubah menjadi dirinya yang sebenarnya. Udara panas bagaikan memenuhi kamar dan membuat napasku menjadi sesak. Namun, aku bisa menahan rasa panas itu, meski tetap saja aku kewalahan untuk menarik oksigen dari hidungku.Sosok iblis itu berwarna merah kehitaman, secara harfiah menyala-nyala bagaikan jilatan api. Kedua matanya berbeda warna; yang satu hitam dan yang lain merah. Yang membuatku cukup terkejut adalah kepala dan tinggi tubuhnya.Iblis dalam bayanganku adalah sosok serba merah atau serba berapi dengan kepala plontos dan dua tanduk kecil, serta bertubuh besar dan sangat tinggi. Namun, iblis di depanku ini tidak botak, melainkan berambut gondrong seperti rambut genderuwo pada umumnya. Meskipun ia masih sesuai bayanganku, yaitu menyala-nyala, tapi ia tidak sangat tinggi atau sangat besar. Tinggi dan besar tubuh iblis itu kurang lebih sama saja seperti para pemain basket.Reksa si iblis menc
Aku tak tahu apakah aku pernah mengharapkan akan mengalami semua kejadian yang melibatkan makhluk-makhluk mitos seperti vampire dan manusia serigala, tapi yang pasti aku merasa menyesal sudah mengenal dunia ini.Aku bahkan tidak mengenal diriku sendiri. Siapa aku, di mana aku seharusnya berada, apa aku; pertanyaan-pertanyaan itu terdengar sangat normal dan mudah, tapi hidupku yang kacau menyulitkan segalanya, bahkan yang paling sepele sekali pun.Aku mencoba tetap sadar dengan memikirkan hal-hal semacam ini di kepalaku, sementara Hugo ….Beberapa dari kalian pasti akan mengira bahwa gerakan Hugo pasti akan sangat terbatas sekali mengingat betapa parah kondisi lengannya. Namun, nyatanya justru sebaliknya.Hugo melesat begitu cepat, tepat setelah aku menggertaknya karena dia berani mengancamku.Ancamannya tidak main-main dan aku sebetulnya tidak terkejut dengan itu, tapi kecepatan gerakannya adalah hal lain. Sesaat sebelumnya ia tampak begitu
“Katakan padaku bahwa memori-memori yang kudapat saat itu tidak benar, Hugo!” aku membentak dengan suara dalam dan bergema; suara wujud serigalaku.Hugo mendengkus seraya mengangkat kedua tangannya, lalu mengangkat bahu. “Kau mau aku mengatakan apa, Barbara? Bahwa itu semua tidak benar dan kau seharusnya tidak mempercayai bocah vampire itu?” ia menyeringai. “Karena aku punya keyakinan yang kuat bahwa kau mulai mempercayai entah apa yang sudah kau alami di dalam bangsal itu.”Emosiku tiba-tiba memuncak dan aku bergerak begitu cepat, lebih cepat dari kedipan mata, menerjang lelaki dengan bekas luka di pipi itu hingga kami menabrak dinding batu kamarku. Kupikir aku berada di atas angin, namun nyatanya Hugo mampu menyerangku balik dengan melemparkan badanku hingga aku terhempas ke atas tempat tidur.Napasku tersentak keluar dengan tajam. Aku mendengar suara kayu dari tempat tidur yang memprotes karena berat tubuhku yang jatuh memb
Aku kembali ke kamar setelah kepergian Saga … siapa pun dia. Aku memeluk diriku sendiri dengan sikap seperti anak kecil yang kehilangan ibunya, atau mungkin akan lebih tepat: kehilangan kewarasan. Aku memegangi kepalaku, lalu berbaring miring, meringkuk seperti anak kecil.Aku mengingat semuanya, tepat setelah kenangan aneh menarikku dari kenyataan saat … setelah aku melukai bahu Saga. Aku mengingat bagaimana Hugo membawaku secara paksa dengan memanfaatkan seorang cowok bernama Arga. Aku ingat bagaimana lelaki dengan bekas luka itu mengancam Arga dengan pistol hingga aku terpaksa ikut dengannya.Aku juga ingat tentang … aku menutup mata, mencoba mengatakan satu kata itu, terasa sangat berat meskipun hanya dalam hati.Dad.Hanya ayah angkat, tapi aku teringat betapa aku menyayangi dia. Lalu, Mom.Aku menangis, benar-benar menangis. Aku mengepalkan kedua tanganku erat-erat hingga kuku-kukuku yang tak terlalu panjang menyakiti tel
Kesakten Vampir Segawon.Kata-kata itu bagaikan memenuhi pandangan Hugo yang tengah membuka buku tua itu, membacanya dengan ketidaksabaran yang semakin melunjak. Ketiga kata itu jika diartikan secara harfiah berarti Kekuatan Sakti Vampir Serigala, atau kekuatan sakti wolvire. Isinya tentang apa saja yang bisa dilakukan oleh seorang wolvire, dalam hal ini tentu saja wolvire biasa.Emosi Hugo semakin menjadi-jadi saat pada salah satu bagian di buku itu menjelaskan bahwa gigitan wolvire yang dalam bentuk serigala kepada vampir lebih mematikan daripada gigitan atau cakaran wolf-shifter biasanya. Begitu pula sebaliknya, jika wolvire sedang dalam bentuk vampir, maka gigitannya pada wolf-shifter juga akan lebih mematikan dari vampire biasa.Namun, itu tidak berlaku pada wolvire bernama Barbara.Hugo membanting buku tentang wolvire itu ke lantai dengan kuat, merasa sangat marah pada dirinya sendiri dan juga pada gadis istimewa itu. Reksa, sang raja iblis