'Suaka?'Aku menelan ludahku yang terasa pahit. Aku sadar, suaka bukanlah hal yang pantas untukku. Saat ada begitu banyak orang yang membutuhkan perlindungan di negara lain karena negara tempat mereka lahir dan tumbuh tidak lagi ramah. Tidak lagi aman. Tidak lagi membuat mereka tidur tanpa merasa khawatir.Padahal rumah, seharusnya menjadi tempat untuk pulang paling aman.Perang, kelaparan, kekerasan, rasisme.Tidak satu hal pun dari empat hal itu terjadi padaku, karena aku hanyalah seorang wanita yang tak bisa lagi bernafas tanpa merasa sesak jika tetap tinggal. Kehidupan yang kupercayai hanya menghianatiku. Tidak lebih dan tidak kurang dari itu. Dan jika memaksa tinggal, aku tahu aku tidak hanya akan menyalahkan diriku sendiri atas kematian anakku. Aku akan menyalahkan banya orang ketika aku sadar, yang membunuh anakku adalah AKU SENDIRI! Bahkan di negara asing ini, aku masih terus merasakan kesesakan yang rasanya tak ingin kuhilangkan.Puluhan kilometer seolah tak berarti.Lima
"It's her?""Apa aku membawa orang lain selain dia?"Aku bisa melihat wanita berseragam yang menatapiku, memberi lirikan pada Zander. "And this is her file," ucap Zander menyerahkan berkas pada wanita yang mengangguk. Sesekali ia melihatku, tanpa senyum. Sementara lelaki narsis yang sarkas di sampingku mengetuki meja."Tidak ada pelanggaran sama sekali ... dan menolak perlindungan?" ucap wanita itu lalu melirikku, "pasti negaramu damai, e'."Aku merasakan sindiran dari ucapannya. Namun, tetap memilih diam, duduk di kursi yang keras."So, why you bring her to me?"Zander menarik nafasnya dalam, ia melirikku sementara wanita yang duduk di hadapan kami menarik nafasnya dalam."Get in," ucapnya memencet tombol telepon dan tak lama setelahnya pintu terbuka."Ikutlah dengan Kerry, Nyonya. Ia akan menjadi guide anda untuk beberapa saat."'Guide?'Mungkin, aku benar-benar pelancong yang memilih untuk menetap bagi wanita tak ramah di hadapanku ini. "Pergilah, aku akan menyusulmu nanti."Aku
"Anda bisa beristirahat jika mau, Nyonya," ucap Kerry padaku."Terimakasih," balasku pada wanita yang mengangguk lalu keluar menutup pintu rapat.Aku yang sudah sendirian, menarik nafasku begitu dalam. Rasa perih di telapak kaki dan betisku pun semakin terasa saat rasa tegangku mulai menguap bersama kesadaran yang membuatku menatapi kamar dengan dua ranjang tingkat di tiap sisinya dan sebuah lemari.Meskipun memiliki dua ranjang, ukuran kamar yang akan kutunggali jauh lebih kecil dari kamarku di rumah Rose."!" Bahkan, kini hidungku bisa mencium bedak bayi yang aromanya begitu khas ketika tercium. "Apa yang harus kulakukan sekarang?" Tanpa membawa apapun bersamaku kecuali pakaian. Bahkan, jaket hangat kebesaran yang sedang kukenakan bukan milikku. Tapi, milik lelaki dengan tatapan mengintimidasi yang pandangannya masih bisa kuingat saat ia hanya berdiri menatapi mobil yang Zander kemudikan meninggalkannya.Di tempat ini, apa yang harus kulakukan selain menunggu sidangku diurus? Bera
"Aunty, what is bad mean?"Aku hanya bisa diam menatapi bocah kecil yang tangannya memegangi sendok. Sorot matanya menuntut jawaban. Seolah ia yang sudah bertanya entah pada siapa atau hanya pada diri, tidak pernah menemukan apa arti dari kata 'bad' itu."Stupid, itu artinya ayahmu melakukan hal buruk-""Ma'am," potongku cepat pada wanita yang berdiri di depan kami, "bi- bisakah saya menambah makanan?"Ia mengernyitkan dahi, melirik makanan dalam piring Ben lalu melihatku kembali, "dengar, setiap orang menerima jatah yang sama. Satu porsi hanya untuk satu orang. Karena kau masih baru aku akan merahasiakan apa yang baru saja kau ucapkan."'Rahasiakan? Tidakkah itu terlalu berlebihan?'Namun, aku lebih memilih untuk mengangguk pada wanita yang menarik nafasnya begitu dalam saat menatap Ben lagi."Orang-orang seperti ayahmulah yang membuat kita jadi buruk."Mataku membesar tapi bersyukur ucapan sepenuh hati namun pelan wanita berkerudung di hadapanku ini, tak menarik perhatian Ben yang l
'Aku tidak bisa, Rose. Aku tidak bisa menghubungi Ken.'"Jika wajahmu saja seperti itu, apa kau memang harus kembali?"Aku yang masih memegangi surat dari Rose jadi diam, 'wajah macam apa yang kuperlihatkan saat ini?'Aku yang matanya basah, menatap Rexy. Wajahnya berbayang namun aku tahu ia memperhatikanku. Lelaki yang tatapan mengintimidasinya membuatku kembali menunduk ini, membuatku memegang erat surat dari Rose karena Rexy jongkok di depanku. "Apa kau sungguh harus kembali, Arini?"Kali ini, dadaku tak berdetak keras saat nama asliku keluar dari bibir Rexy. Mungkin, karena aku sudah menetapkan hatiku dan tak ada lagi alasan bagiku untuk menyembunyikan siapa diriku."Saya- ... saya harus kembali, Tuan," ucapku masih tidak menatap Rexy, "saya benar-benar harus kembali.""Meski tempatmu kembali jauh lebih dingin dari kota tempatmu tinggal saat kau jadi imigran?"Aku menatap Rexy kini, tatapan matanya membuatku menggigit bibir bawahku, membayangkan ke mana aku harus pulang atau di
**********************Drrtt! Drrrrtt!Lelaki yang pipinya berkedut itu hanya melirik layar, ia menarik nafasnya dalam lalu mendekat pada meja. Namun, ia hanya memandangi ponsel yang akhirnya berhenti bergetar meski rentetan pesan masuk setelahnya.Ibunya menyerah, setidaknya untuk saat ini. Sementara di luar, Muray yang wajah marahnya bahkan bisa di lihat dinding bisu dan mata telanjang, terus melangkah. "Where are you going?"Muray menoleh pada sang asisten yang masuk ke dalam ruang kerjanya. "Aku mau keluar sebentar," jawab Muray mencangklong tas dan menyambar ponsel, "sore nanti aku kembali.""Are you looking for Mira again? Dia sudah ditangkap pihak imigrasi-" Muray menghentikan langkahnya, menoleh pada sang asisten yang berdiri dengan menggigit bibir, "sorry," ucapnya membuat Muray menarik nafas dalam lalu keluar tanpa kata selain membanting pintu yang membuat sang asisten terlonjak.Brak!"God, siapa yang akan percaya ia imigran gelap selama ini? Meski anti
"Bukankah Ibu harus istirahat?" Ucapan lembut itu terdengar dari dalam layar ponsel wanita paruh baya yang memang sudah mengenakan pakaian tidurnya.Ia menyunggingkan senyum untuk wanita muda penuh pesona yang memang begitu pantas bersanding dengan putra pertamanya, lelaki penuh nilai plus yang sama sekali tidak sebanding dengan anak panti asuhan yang di temukan di dalam tempat sampah.SAMA SEKALI TIDAK SEBANDING!"Ibu hanya sengaja menghubungi Ken karena Tian sama sekali tak bisa kumintai tolong, Nggit. Heran sekali, bagaimana Ken tetap mempekerjakan pemuda malas itu?"Anggita hanya menyunggingkan senyum manis yang menambah kecantikan dalam wajah ayunya yang membuat iri dan kagum di saat bersamaan."Katakan pada Ken, jika tak ingin ibu datang suruh dia menghubungi ibu, Nggit."Wanita paruh baya yang melihat anggukan Anggita mengucapkan perpisahan dengan memberinya kecupan yang Anggita balas. Saat layar ponsel yang ia pegang berubah gelap, ia melemparkan ponsel begitu saja lalu men
Seandainya saja gadis dengan kuncir kuda ini tahu siapa Ken bagi Arini, mungkin ia tak akan hanya meninggalkan tamparan pada pipi Ken walau ada Banyu yang melihat.Namun, ucapannya seakan berkali-kali menampar lelaki tampan yang sorot matanya membuat rambut halus Sidney berdiri dan bersyukur bibinya memanggil."Ji- jika anda butuh kopi baru, panggil saja, Tuan," ucap Sidney lalu menatap Banyu yang sudah menyendok kue coklat gratis pemberian Sidney, "bye, Ban-you.""Bye, Sid, da-da," jawab Banyu membalas lambaian tangan Sidney yang menjauh. "Wow, rasanya aku bisa mati hanya karena ia menatapku sedingin itu, Bi."Nyonya Li yang sejak tadi memang mencuri-curi pandang pada meja Ken hanya diam, tak ingin berkomentar pada ucapan pelan sang keponakan, "just do your work, Kid.""Ugh, tidakkah aku melakukannya sejak pagi tadi, Bibi?" Ucap Sidney tak melihat bibinya mencuri pandang pada Ken yang rahangnya mengeras sekalipun tangannya menjulur untuk mengusap bibir Banyu dengan tissu."Ben, siap
***********************Selembar surat.Hai, onty Mira.Well, emm... Aku sudah lulus sekolah per-surat ini sampai padamu. Sementara Ben masih sedang mempersiapkan diri untuk ujian penerimaan siswa baru hmmm... kuharap ia diterima. Well, aku dan Muray mommy tahu ia akan berusaha yang terbaik.Oh, apa rajutan baju dan syal yang Rose kirim sudah sampai padamu? Ia menanyakan satu hal itu setiap hari. Sampai aku bosan rasanya (just kidding lol).Apa kau tahu onty? Sidney hamil anak ke 3 dan uncle Carter begitu senang sampai tak perduli pada gosip yang beredar tentang seproduktif apa dirinya. Huh! Sungguh para penggosip tua yang suka sekali membicarakan orang lain!Jika kota kecil ini bukan tempat yang indah, kurasa aku dan Ben tidak akan betah tinggal di sini (this is a BIG lie, ok?) Karena aku suka sekali dengan sandwich tuna buatan nyonya Li. Ia titip salam untukmu by the way.Oh, apa kau tahu onty? Banyak turis yang datang untuk bermain ski berkat resort baru milik kakakmu. Hmm... Ia
Hujan masih saja turun dengan deras. Rintiknya begitu ruah bahkan tak mau berhenti saat tubuh tanpa nyawa ditimbun tanah merah yang juga basah.Apa dunia sedang ikut berduka untuk terlepasnya sebuah nyawa dari raga? Siapa yang tahu. Yang jelas, empat orang penggali makam akhirnya bisa pulang ke rumah mereka dengan mengantongi lembaran rupiah.Senyum syukur yang mereka pancarkan tidak ada hubungannya dengan punggung sepi yang menatapi makam dengan nisan baru. Obrolan mereka yang meninggalkan area makam, tak memiliki korelasi apapun dengan sorot mata yang sedang lelaki pemilik barisan gigi paling rapi tunjukan. Mungkin satu-satunya penghubung mereka dengan lelaki itu hanya cipratan air yang membawa tanah pada sepatu pun ujung celana.Entah kalimat apa yang ia ucapkan pada makam yang diguyur hujan itu. Rintik dan tetesan air dari langit seolah tak membiarkan telinga manusia mendengar apa yang lelaki pemilik barisan rapi itu sampaikan.Pun, gerakan tubuhnya yang akhirnya berbalik lal
Pernahkan kamu merasa ingin mati sampai tak bisa melihat dirimu membayangkan hari esok? Pernahkan kamu dikhianati duniamu sampai bernafas saja terasa sesak?Pernahkan kamu merasa dirimu jadi manusia paling bodoh hanya karena mengikuti kata hatimu? Pernahkah kamu merasa sendirian diantara tawa menggema yang bahkan matamu lihat dan menyentuh kulit telingamu yang tipis?Jika tidak pernah, jangan berani-beraninya menyalahkan pilihan yang ku ambil. Aku adalah anak yang tumbuh dengan tuntutan orang tua yang lupa jika sentuhan hangat itu hal yang penting. Aku adalah anak yang tidak diajari untuk mengasihi orang lain jika orang itu tidak mampu memberiku sesuatu.Aku adalah anak yang diajari semua yang kumiliki ada harganya termasuk kehidupan nyaman yang merenggut senyum polosku. Apa aku melawan? Tidak! Karena menjalani hidup seperti itu adalah apa yang dunia kenalkan padaku! Sampai datang hari dimana seseorang bertanya, 'apa aku bahagia?'Ah, andai saja aku tidak diam seolah kalimatnya
PRANGG! Bunyi cangkir yang jatuh bersama isinya itu membiat suster Yuli menoleh pada wanita yang berdiri langsung menatapi pintu.Suster yang dengan senang hati menerima tawaran Arga untuk merawat Anna ini, menatap Anna yang tangannya terkepal saat Arga masuk membawa tubuh wanita yang tangannya lunglai di udara. Tanpa kata, Arga langsung meletakkan tubuh Arini di atas lantai dingin di hadapan Anna. Wanita paruh baya yang dulu mengambil dirinya sebagain anak dengan syarat, Arga harus melupakan masa lalu. Hal yang tidak akan pernah bisa Arga lakukan meski ia begitu pandai bermain lakon."Aku ingin ibu mengenalnya, Bu," ucap Arga mengusap pipi Arini. Begitu lembut dan penuh rasa.Tatapan yang tidak pernah Anna lihat dari anak yang ia rawat dan besarkan dengan segala tuntutan kesempurnaan tanpa cela."Namanya Arini, Bu, usianya 28 tahun," ucap Arga masih menatap Arini dengan pandangan yang begitu lembut.Pandangan yang masih tersisa saat ia mendongak menatap sang ibu yang menahan nafany
Aku tidak lagi bisa melihat Banyu karena mobil yang kunaiki tenggelam semakin dalam, sementara air yang masuk dari celah-celah mobil sudah menenggelamkan separuh lututku.Bohong jika aku tidak merasa takut saat air dingin danau semakin menenggelamkan kakiku. Dan akan terus naik sampai tak ada lagi ruang tersisa untuk udara.Menenggelamkan apa pun yang ada di dalamnya termasuk diriku.Aku bisa merasakan punggungku berkeringat meski seluruh tubuhku merasa dingin. Rambut-rambut halusku berdiri sementara tanganku yang gemetar kutahan untuk menurunkan jendela karena itu satu-satunya jalan keluarku.'Apa aku menyerah pada hidupku?'Kurasa iya, aku menyerah untuk hidup. Tapi, bukan karena aku ingin mati. "Ingin mati?" Ucapku menatapi tanganku yang gemetaran. Bahkan tremor yang kulihat tidak berhenti ketika kedua tanganku, kusatukan. Rasanya ... rasanya aku bisa melihat akan berakhir seperti apa diriku. Sendirian di dalam mobil yang akan jatuh ke dasar danau. "Apa akan ada orang yang menem
****************"Kenapa kau begitu keras kepala bertahan untuk hidup?"Suara yang terdengar begitu putus asa itu terdengar di dalam kamar penuh barang pecah yang sengaja di banting, dilempar, dihempaskan semau tangan yang memegangnya.Tangan gadis muda dengan wajah kuyu yang terlihat begitu lelah apalagi saat memandang perutnya yang membuncit."Kenapa kau begitu keras kepala untuk hidup?" Ulang gadis muda itu dengan mata menatap perutnya sendiri. Ia seolah sedang mengajak bicara bakal manusia yang tumbuh dengan sangat baik meskipun sudah banyak cara dan usaha ia upayakan agar janin yang tumbuh sehat di dalam rahimnya mati. "Apa yang kau harapkan dariku? Aku tidak akan pernah menerima kehadiranmu, aku tidak akan mau menerima keberadaanmu dan aku tidak ingin kau hadir dalam kehidupanku.""Apa yang kau harapkan dengan bertahan, hah? Kenapa kau tidak mati saja?"Anna, gadis dengan wajah begitu kuyu itu menatap wanita lain yang masuk ke dalam kamarnya setelah men
"Kamu harus menghilang, Arini."Aku yang matanya membesar hanya bisa menatap Anggita dengan waspada. Sementara Anggita berjalan mendekati dapur, mengambil pisau yang membuat ku berteriak seperti orang kesetanan saat ia menghampiri kamar."JANGAN, ANGGITA! JANGAN LAKUKAN! AKU AKAN PERGI! AKU AKAN PERGI! ANGITA!"Brug! Aku yang berteriak bahkan jatuh tersungkur bersama kursi yang membuatku makin tak bisa bergerak saat Anggita mengangkat tubuh bulat Banyu yang tangannya jatuh lunglai."KEN! KEN!"Sampai aku tidak tahu kalimat apa saja yang kuteriakkan dalam ketakutan saat Anggita mengangkat tubuh kecil Banyu lalu menggendongnya dan menghampiriku yang terus memohon."Kenapa kamu menangis, Arini? Aku tidak akan menyakiti Banyu."Aku berusaha menghentikan isakku. Sementara mataku menatapi Anggita dengan permohonan yang terpancar dari seluruh diri. "Aku hanya membawa Banyu agar kamu tidak macam-macam."Aku benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang Anggita katakan, saat tangannya yang m
Nyut!!Kepalaku begitu sakit. Mungkin karena aku belum tidur sama sekali.Nyut!!Tidur? Ah, iya. Aku baru tidur tiga jam kurang sejak kemarin malam. Pantas saja kepalaku berdenyut-denyut.Nyut!"Kemarin?" Rasanya aku mengucapkan kalimat itu dengan otak yang berpikir, sementara mataku masih terpejam rapat.Bukan hal biasa, karena setelah aku menelan obat agar bisa tidur, tubuhku akan terbangun lebih dahulu dibandingkan mata. tapi, aku yang masih belum mampu membuka mata merasakan rasa tak biasa. Rasa yang membuat seluruh diriku merasa waspada.'Waspada? Waspada pada apa?' Aku yang rasanya tidak bisa menggerakkan tubuh ingin membuka mata. Tapi, mataku yang rapat terpejam terasa begitu berat sekedar untuk kuangkat.'Apa yang terjadi?' Aku yang kesadarannya belum sepenuhnya bangkit, bisa merasakan dahiku berkeringat. Sementara dadaku berdetak begitu cepat. Otakku menggali memori. Aku yang keluar dari rumah Arga bertemu dengan Nabila juga wanita tua yang kembali terkejut menatapiku, 's
Aku yang memutuskan memejamkan mata, bisa merasakan langit gelap semakin cerah. Dan benar saja saat aku membuka mata, langit pagi yang mendung sudah lebih terang. "Ga," panggilku pada lelaki yang kepalanya sudah bersender pada kepala sofa. Sementara tangannya yang memeluk pundakku sudah meregang.Aku menarik nafasku dalam, menatapi lelaki dengan barisan gigi rapi yang masih lelap tertidur. "Aku pulang dulu, terimakasih sudah mau mendengarkan ceritaku," ucapku menyentuh pipi Arga lalu bangun dari sofa yang membuatku sadar bokongku kebas. Aku menghampiri pintu yang semalam kubuka dengan password yang Arga berikan padaku, lalu membuka pintu yang otomatis tertutup begitu aku sudah keluar. Lorong tidak begitu sepi, aku bisa melihat dua anak berseragam SD berdiri di depan lift sementara empat orang dewasa di samping mereka bercengkrama. Dari lorong lain aku bisa mendengar suara langkah terburu-buru yang lalu bergabung dengan kumpulan manusia yang sudah berkumpul menunggu lift terbuka.