Menahan diri, aku hafal bagaimana rasanya menahan diri untuk sebuah keinginan sederhana. Asal aku dan sepuluh sodaraku perutnya terisi meski itu sehari sekali, aku sudah merasa senang.Namun, keinginan sederhana bagi Ben dan Mariyam tentu berbeda. Mereka ingin abi dan umi mereka datang. Orang tua yang memilih kabur dari negara tempat mereka lahir lalu mencari masa depan yang lebih baik meski tanpa dokumen resmi di negara lain. Melihat Ben dan Mariyam, kurasa aku tidak perlu bertanya seberapa besar kasih orang tua mereka pada dua anak ini. Dua anak yang terpaksa dipisahkan dari kedua orang tuanya karena sebuah peraturan. Tapi, siapa yang patut disalahkan untuk airmata yang keluar dengan jujur dari mata keduanya?'Aku tidak tahu.'Yang kutahu, tanganku jadi basah saat mengusap pipi gembil Ben yang akhirnya berhenti menangis dan jatuh tertidur."Let me," Rexy mengangkat tubuh lelap Ben dari pangkuanku. Ia meletakan tubuh kecil Ben di atas ranjang luas yang rasanya jauh lebih nyaman dar
"Jika kamu dan Ben lelah berharap, maka tumbuhlah menjadi dewasa lalu cari mereka. Meski Aunty tidak mengenal siapa umi dan abi-mu, tapi Aunty tahu mereka pasti sangat menyayangi kalian berdua."Apa ucapanku berlebihan? Saat aku bahkan tidak tahu bagaimana rasanya memiliki orang tua ataupun sentuhan mereka?Tapi, rasanya aku akan menyesal jika tidak mengatakan apa yang aku ucapkan, "tumbuhlah dewasa lalu cari mereka." Orang tuaku berbeda dengan orang tua Ben dan Mariyam.Ben dan Mariyam tumbuh dengan kasih ayah dan ibu mereka, sekalipun harus pergi mencari kehidupan yang lebih baik di negara asing. Sementara diriku adalah anak yang dibuang di tempat sampah dalam hitungan hari.Aku tidak mengenal bagaimana senyum dan sentuhan orang tuaku, sementara Ben dan Mariyam pasti mendapat lebih dari sekedar senyum dan sentuhan lembut orang tua.Mereka tahu sehangat apa pelukan seorang ayah dan ibu bisa terasa, mereka tahu bisa senyaman apa perlindungan ayah dan ibu mereka. Sementara aku, 'aku b
"Ah," suaraku lolos begitu saja saat aku merasakan sedikit rasa sakit dari sentuhan bibir Rexy yang pasti akan meninggalkan jejak. Mataku yang sudah terpejam bahkan makin rapat tertutup, sementara tanganku masih memegangi pundak kokoh lelaki yang sudah meletakkan gelas yang kupegang ke atas meja.'Kapan? Entahlah,' otakku sedang tidak pada tempatnya. Karena jika otakku sedang pada tempatnya aku tidak akan membiarkan diriku didorong jatuh ke atas sofa yang terasa begitu empuk. Tangan Rexy yang menahan kepalaku bahkan menyusup masuk pada helaian rambut yang membuatku merasakan sensasi lain yang membuat kepalaku mendongak."Ternyata benar kamu begitu sensitif," ucap Rexy yang suaranya jadi terdengar begitu dalam dan serak. Sementara aku yang masih memegang pundak Rexy, membuka mataku. 'INI SALAH ARINI!'Suara dalam kepalaku bahkan kalah dengan detak jantungku yang seakan berpesta. Bertalu-talu. Seolah ada orkestra di sana.Namun, aku hanya diam sedangkan Rexy yang memandangiku mengecu
Rexy hanya diam, wajah minim ekspresinya yang menatapku terlihat kaget begitupun manik hijau keemasannya. "Saya ... saya tidak bisa tinggal.""Kenapa?"Aku mengalihkan pandanganku dari lelaki yang terus menatapku begitu lurus. "Saya-" aku menelan ludahku yang terasa pahit, "-saya pasti bisa hidup di negara saya, Tuan."Tanganku menyatu dalam pangkuan, jemariku terjalin seolah jika aku tak melakukan ini seluruh diriku akan tercerai, "di sana, saya pasti bisa menemukan tempat yang tidak akan terlalu sesak ketika saya bernafas."Aku menatap Rexy yang tak berkomentar apapun, ia hanya mendengarkan. "Tempat yang tidak sedingin negara ini, Tuan," candaku yang terdengar begitu datar. "Apa karena aku memintamu menikah denganku?"Mataku tetap membesar meski aku sudah merabai apa arti kalimat tersirat Rexy yang sudah ia katakan.Namun, mendengarnya mengatakan langsung seperti ini, 'benar-benar membuat punggungku berkeringat.'Gerakan di sofa membuatku semakin mengeratkan genggaman pada jemarik
Tok! Tok!Ketukan pelan di pintu membuatku menoleh pada wanita yang berdiri, menatapiku yang bahkan tak menyadari kedatangannya yang kutunggu.Aku langsung bangun, menjauh dari dua anak kecil yang lelap tertidur setelah makan malam.01:34Tamuku akhirnya datang dan ia menatapiku dari ujung ke ujung sampai tangannya menjulur menarikku dalam pelukan. Sementara pria yang tatapan mengintimidasinya tak lagi membuatku takut, berdiri memperhatikan kami."Dasar anak nakal, bagaimana kau pergi tanpa memberitahu mamamu ini, e'?"Rasanya bibirku tersenyum pelan, meski usianya sudah 40 tahunan tampilan Muray jauh lebih muda dari umur."I am sorry, Ma'am," ucapku membalas pelukan Muray yang makin erat."You should!" Tegasnya lalu menarik nafas dalam dan baru melepasku setelah merapatkan pelukannya beberapa saat.Dipandanginya wajahku beberapa lama, sementara aku tetap diam membiarkan Muray berpuas diri sampai senyumnya, terlihat mengembang meski sorot matanya menghadirkan rasa yang membuatku merem
"Hati-hati dengan langkahmu, Rexy, atau suatu hari kau tak akan bisa berdiri di tempatmu memijak."Aku yang masih berdiri dengan memegangi gagang pintu, menatap Rexy yang wajahnya sama sekali tak menunjukan perubahan.Kurasa, wanita yang bersikap tenang ini pun tahu, selama apapun ia menunggu, ia tak akan mendapatkan balasan apa pun dari pria irit kata di hadapan kami."So, watch out. Or someone Will make you fall.""!" Aku hanya bisa mengeratkan peganganku saat manik Amber yang memang tidak ramah melirikku. "Tidak akan lucu jika namamu tercoreng hanya karena seorang imigran gelap."Aku menunduk, paham imigran gelap mana yang dimaksud Amber. "Apa aku terlihat seperti orang yang peduli dengan nama baik?"Manik mataku membesar apalagi saat pijakan langkah tanpa suara Rexy mendekat lalu berdiri di depanku. "Lebih baik kau tingkatkan keamanan di rumah detensi tempatmu bertugas agar tak ada lagi orang yang harus ku bawa untuk tinggal bersamaku."Aku yang masih menunduk bisa melihat seku
Aku masih tidak percaya, meskipun sekarang aku sudah duduk di dalam mobil yang membawaku ke bandara.Padahal, baru satu jam yang lalu hakim mengetuk palu untuk keputusan deportasiku yang begitu cepat.Aku bahkan hanya mengatakan, aku menolak suaka yang bisa kudapatkan jika aku mau."Akhirnya anda bisa pulang, Nyonya."Aku yang duduk di kursi belakang menoleh pada Kerry, "beruntung sekali kami menemukan jadwal penerbangan secepat ini."Aku yang merasa aneh sejak ia menyuruhku untuk secepatnya masuk ke dalam mobil, hanya bisa mengangguk."Apa saya bisa menghubungi tuan Rexy untuk-""Saya harus menolak itu, Nyonya. Anda pasti ingin segera pulang, bukan?" Kerry melirikku. Pandangan mata kami bertemu dalam windowrear yang membuatku menggigit bibir ragu."Apa ... tidak ada dokumen yang harus saya tanda tangani atau-""Tidak ada, Nyonya, semua sudah diurus."Aku makin merasa aneh. Tapi, melihat tatapan Kerry yang rasanya melarangku untuk bertanya lebih jauh, aku kembali diam. Memeluk satu-sa
Aku menatapi tiket kelas satu dengan tujuan Bandara Soekarno-Hatta di tangan.Manik mataku bergerak gelisah di hadapan Kerry yang suara pelannya membuatku menelan tanyaku."Anda tidak usah khawatir, Nyonya, saya akan pergi setelah anda masuk ke dalam pesawat dengan selamat."Aku menatap Kerry, ucapannya ini seolah memastikan aku tidak akan kabur kemana pun, kecuali menaiki pesawat yang tiketnya kupegangi dalam diam."Apa anda butuh sesuatu sebelum-""Tidak," jawabku memotong kalimat wanita yang pasti akan terus menempelku sampai pengumuman bagiku dan penumpang yang pesawatnya sama, siap untuk dinaiki."Kalau begitu mari, Nyonya."Aku hanya mengangguk pada ajakan Kerry yang berjalan di sampingku, matanya sesekali melirikku yang hanya diam sampai kami berhenti."Good afternoon, Ma'am," sapaan ramah petugas bandara yang tampilannya begitu rapi membuatku mengangguk. "May I see your pasport and ticket?""Here," jawab Kerry membuat wanita yang senyumnya begitu komersil itu menatapi kertas y
***********************Selembar surat.Hai, onty Mira.Well, emm... Aku sudah lulus sekolah per-surat ini sampai padamu. Sementara Ben masih sedang mempersiapkan diri untuk ujian penerimaan siswa baru hmmm... kuharap ia diterima. Well, aku dan Muray mommy tahu ia akan berusaha yang terbaik.Oh, apa rajutan baju dan syal yang Rose kirim sudah sampai padamu? Ia menanyakan satu hal itu setiap hari. Sampai aku bosan rasanya (just kidding lol).Apa kau tahu onty? Sidney hamil anak ke 3 dan uncle Carter begitu senang sampai tak perduli pada gosip yang beredar tentang seproduktif apa dirinya. Huh! Sungguh para penggosip tua yang suka sekali membicarakan orang lain!Jika kota kecil ini bukan tempat yang indah, kurasa aku dan Ben tidak akan betah tinggal di sini (this is a BIG lie, ok?) Karena aku suka sekali dengan sandwich tuna buatan nyonya Li. Ia titip salam untukmu by the way.Oh, apa kau tahu onty? Banyak turis yang datang untuk bermain ski berkat resort baru milik kakakmu. Hmm... Ia
Hujan masih saja turun dengan deras. Rintiknya begitu ruah bahkan tak mau berhenti saat tubuh tanpa nyawa ditimbun tanah merah yang juga basah.Apa dunia sedang ikut berduka untuk terlepasnya sebuah nyawa dari raga? Siapa yang tahu. Yang jelas, empat orang penggali makam akhirnya bisa pulang ke rumah mereka dengan mengantongi lembaran rupiah.Senyum syukur yang mereka pancarkan tidak ada hubungannya dengan punggung sepi yang menatapi makam dengan nisan baru. Obrolan mereka yang meninggalkan area makam, tak memiliki korelasi apapun dengan sorot mata yang sedang lelaki pemilik barisan gigi paling rapi tunjukan. Mungkin satu-satunya penghubung mereka dengan lelaki itu hanya cipratan air yang membawa tanah pada sepatu pun ujung celana.Entah kalimat apa yang ia ucapkan pada makam yang diguyur hujan itu. Rintik dan tetesan air dari langit seolah tak membiarkan telinga manusia mendengar apa yang lelaki pemilik barisan rapi itu sampaikan.Pun, gerakan tubuhnya yang akhirnya berbalik lal
Pernahkan kamu merasa ingin mati sampai tak bisa melihat dirimu membayangkan hari esok? Pernahkan kamu dikhianati duniamu sampai bernafas saja terasa sesak?Pernahkan kamu merasa dirimu jadi manusia paling bodoh hanya karena mengikuti kata hatimu? Pernahkah kamu merasa sendirian diantara tawa menggema yang bahkan matamu lihat dan menyentuh kulit telingamu yang tipis?Jika tidak pernah, jangan berani-beraninya menyalahkan pilihan yang ku ambil. Aku adalah anak yang tumbuh dengan tuntutan orang tua yang lupa jika sentuhan hangat itu hal yang penting. Aku adalah anak yang tidak diajari untuk mengasihi orang lain jika orang itu tidak mampu memberiku sesuatu.Aku adalah anak yang diajari semua yang kumiliki ada harganya termasuk kehidupan nyaman yang merenggut senyum polosku. Apa aku melawan? Tidak! Karena menjalani hidup seperti itu adalah apa yang dunia kenalkan padaku! Sampai datang hari dimana seseorang bertanya, 'apa aku bahagia?'Ah, andai saja aku tidak diam seolah kalimatnya
PRANGG! Bunyi cangkir yang jatuh bersama isinya itu membiat suster Yuli menoleh pada wanita yang berdiri langsung menatapi pintu.Suster yang dengan senang hati menerima tawaran Arga untuk merawat Anna ini, menatap Anna yang tangannya terkepal saat Arga masuk membawa tubuh wanita yang tangannya lunglai di udara. Tanpa kata, Arga langsung meletakkan tubuh Arini di atas lantai dingin di hadapan Anna. Wanita paruh baya yang dulu mengambil dirinya sebagain anak dengan syarat, Arga harus melupakan masa lalu. Hal yang tidak akan pernah bisa Arga lakukan meski ia begitu pandai bermain lakon."Aku ingin ibu mengenalnya, Bu," ucap Arga mengusap pipi Arini. Begitu lembut dan penuh rasa.Tatapan yang tidak pernah Anna lihat dari anak yang ia rawat dan besarkan dengan segala tuntutan kesempurnaan tanpa cela."Namanya Arini, Bu, usianya 28 tahun," ucap Arga masih menatap Arini dengan pandangan yang begitu lembut.Pandangan yang masih tersisa saat ia mendongak menatap sang ibu yang menahan nafany
Aku tidak lagi bisa melihat Banyu karena mobil yang kunaiki tenggelam semakin dalam, sementara air yang masuk dari celah-celah mobil sudah menenggelamkan separuh lututku.Bohong jika aku tidak merasa takut saat air dingin danau semakin menenggelamkan kakiku. Dan akan terus naik sampai tak ada lagi ruang tersisa untuk udara.Menenggelamkan apa pun yang ada di dalamnya termasuk diriku.Aku bisa merasakan punggungku berkeringat meski seluruh tubuhku merasa dingin. Rambut-rambut halusku berdiri sementara tanganku yang gemetar kutahan untuk menurunkan jendela karena itu satu-satunya jalan keluarku.'Apa aku menyerah pada hidupku?'Kurasa iya, aku menyerah untuk hidup. Tapi, bukan karena aku ingin mati. "Ingin mati?" Ucapku menatapi tanganku yang gemetaran. Bahkan tremor yang kulihat tidak berhenti ketika kedua tanganku, kusatukan. Rasanya ... rasanya aku bisa melihat akan berakhir seperti apa diriku. Sendirian di dalam mobil yang akan jatuh ke dasar danau. "Apa akan ada orang yang menem
****************"Kenapa kau begitu keras kepala bertahan untuk hidup?"Suara yang terdengar begitu putus asa itu terdengar di dalam kamar penuh barang pecah yang sengaja di banting, dilempar, dihempaskan semau tangan yang memegangnya.Tangan gadis muda dengan wajah kuyu yang terlihat begitu lelah apalagi saat memandang perutnya yang membuncit."Kenapa kau begitu keras kepala untuk hidup?" Ulang gadis muda itu dengan mata menatap perutnya sendiri. Ia seolah sedang mengajak bicara bakal manusia yang tumbuh dengan sangat baik meskipun sudah banyak cara dan usaha ia upayakan agar janin yang tumbuh sehat di dalam rahimnya mati. "Apa yang kau harapkan dariku? Aku tidak akan pernah menerima kehadiranmu, aku tidak akan mau menerima keberadaanmu dan aku tidak ingin kau hadir dalam kehidupanku.""Apa yang kau harapkan dengan bertahan, hah? Kenapa kau tidak mati saja?"Anna, gadis dengan wajah begitu kuyu itu menatap wanita lain yang masuk ke dalam kamarnya setelah men
"Kamu harus menghilang, Arini."Aku yang matanya membesar hanya bisa menatap Anggita dengan waspada. Sementara Anggita berjalan mendekati dapur, mengambil pisau yang membuat ku berteriak seperti orang kesetanan saat ia menghampiri kamar."JANGAN, ANGGITA! JANGAN LAKUKAN! AKU AKAN PERGI! AKU AKAN PERGI! ANGITA!"Brug! Aku yang berteriak bahkan jatuh tersungkur bersama kursi yang membuatku makin tak bisa bergerak saat Anggita mengangkat tubuh bulat Banyu yang tangannya jatuh lunglai."KEN! KEN!"Sampai aku tidak tahu kalimat apa saja yang kuteriakkan dalam ketakutan saat Anggita mengangkat tubuh kecil Banyu lalu menggendongnya dan menghampiriku yang terus memohon."Kenapa kamu menangis, Arini? Aku tidak akan menyakiti Banyu."Aku berusaha menghentikan isakku. Sementara mataku menatapi Anggita dengan permohonan yang terpancar dari seluruh diri. "Aku hanya membawa Banyu agar kamu tidak macam-macam."Aku benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang Anggita katakan, saat tangannya yang m
Nyut!!Kepalaku begitu sakit. Mungkin karena aku belum tidur sama sekali.Nyut!!Tidur? Ah, iya. Aku baru tidur tiga jam kurang sejak kemarin malam. Pantas saja kepalaku berdenyut-denyut.Nyut!"Kemarin?" Rasanya aku mengucapkan kalimat itu dengan otak yang berpikir, sementara mataku masih terpejam rapat.Bukan hal biasa, karena setelah aku menelan obat agar bisa tidur, tubuhku akan terbangun lebih dahulu dibandingkan mata. tapi, aku yang masih belum mampu membuka mata merasakan rasa tak biasa. Rasa yang membuat seluruh diriku merasa waspada.'Waspada? Waspada pada apa?' Aku yang rasanya tidak bisa menggerakkan tubuh ingin membuka mata. Tapi, mataku yang rapat terpejam terasa begitu berat sekedar untuk kuangkat.'Apa yang terjadi?' Aku yang kesadarannya belum sepenuhnya bangkit, bisa merasakan dahiku berkeringat. Sementara dadaku berdetak begitu cepat. Otakku menggali memori. Aku yang keluar dari rumah Arga bertemu dengan Nabila juga wanita tua yang kembali terkejut menatapiku, 's
Aku yang memutuskan memejamkan mata, bisa merasakan langit gelap semakin cerah. Dan benar saja saat aku membuka mata, langit pagi yang mendung sudah lebih terang. "Ga," panggilku pada lelaki yang kepalanya sudah bersender pada kepala sofa. Sementara tangannya yang memeluk pundakku sudah meregang.Aku menarik nafasku dalam, menatapi lelaki dengan barisan gigi rapi yang masih lelap tertidur. "Aku pulang dulu, terimakasih sudah mau mendengarkan ceritaku," ucapku menyentuh pipi Arga lalu bangun dari sofa yang membuatku sadar bokongku kebas. Aku menghampiri pintu yang semalam kubuka dengan password yang Arga berikan padaku, lalu membuka pintu yang otomatis tertutup begitu aku sudah keluar. Lorong tidak begitu sepi, aku bisa melihat dua anak berseragam SD berdiri di depan lift sementara empat orang dewasa di samping mereka bercengkrama. Dari lorong lain aku bisa mendengar suara langkah terburu-buru yang lalu bergabung dengan kumpulan manusia yang sudah berkumpul menunggu lift terbuka.