Aku menatapi tiket kelas satu dengan tujuan Bandara Soekarno-Hatta di tangan.Manik mataku bergerak gelisah di hadapan Kerry yang suara pelannya membuatku menelan tanyaku."Anda tidak usah khawatir, Nyonya, saya akan pergi setelah anda masuk ke dalam pesawat dengan selamat."Aku menatap Kerry, ucapannya ini seolah memastikan aku tidak akan kabur kemana pun, kecuali menaiki pesawat yang tiketnya kupegangi dalam diam."Apa anda butuh sesuatu sebelum-""Tidak," jawabku memotong kalimat wanita yang pasti akan terus menempelku sampai pengumuman bagiku dan penumpang yang pesawatnya sama, siap untuk dinaiki."Kalau begitu mari, Nyonya."Aku hanya mengangguk pada ajakan Kerry yang berjalan di sampingku, matanya sesekali melirikku yang hanya diam sampai kami berhenti."Good afternoon, Ma'am," sapaan ramah petugas bandara yang tampilannya begitu rapi membuatku mengangguk. "May I see your pasport and ticket?""Here," jawab Kerry membuat wanita yang senyumnya begitu komersil itu menatapi kertas y
09:21. 21-02-Mataku menatap layar monitor yang membuatku bisa melihat waktu.Sementara keriuhan bandara Soekarno-Hatta yang mengelilingi, membuatku mengeratkan pegangan pada tali tas yang ku sampirkan pada bahu. Aku terus berdiri diam, melihat tiap sudut keramaian manusia yang bicara di saat bersamaan. Dadaku berdetak begitu kerasa sampai kurasakan sentuhan tangan kecil yang membuatku menunduk."Tante, mamaku mana?"Untuk beberapa saat aku diam, menatapi bocah kecil yang poninya begitu lurus menutupi alis. "FATIMAH!" Seruan itu membuat gadis kecil yang masih memegangi telunjukku, menoleh pada wanita muda berkerudung yang langsung memeluk bocah di sampingku."Kemana saja kamu? Kan, sudah mama bilang jangan jalan kecuali ngomong dulu sama mama."Dalam omelannya aku bisa merasakan sekhawatir apa wanita muda yang jongkok memeluk gadis kecil yang tangannya masih memegangi tanganku."Mama dari mana? Aku nyariin mama tadi, lho." Begitu tak merasa bersalah gadis kecil yang pipinya ditang
Kilat yang memecah gelapnya langit malam, membuatku yang sedang terbaring dengan menutup mulutku, berkedip.Dua butir obat tidur yang kuminum efeknya sudah hilang dan mataku terjaga dengan posisi sama entah sejak kapan.Aku yang memang tidak menyalakan lampu membiarkan kegelapan menemaniku. Kruuyukk!Bunyi perutku yang protes kembali terdengar. Tapi, aku malas keluar atau sekedar mengangkat gagang telepon yang mengkilap setiap kilat menyambar diikuti gemuruh yang memekakkan pendengaran, benda kecil yang bisa membuatku meminta layanan kamar dan membebaskan diriku dari lapar.'Aku lapar hanya tidak berselera.'Namun, mulutku yang sudah terasa begitu kering karena butuh air, tetap harus bangun, bukan?Srreeekk!Bahkan suara kasur yang bergesekan dengan tubuhku yang bangun, terdengar malas, "haa...," dan nafasku terdengar berat saat aku menatap gagang telepon yang hanya sejangkauan tangan. "Jam berapa?" Ucapku pada diri lalu kembali menatap langit yang kilatnya diikuti gemuruh meraung-r
"Bu," aku yang merasakan seluruh diriku mengawasi sekitar, menoleh pada resepsionis yang wajahnya sudah berganti, meski senyum komersil dan tampilan rapi adalah sebuah keharusan, "taxy anda akan datang sebentar lagi."Aku mengangguk, "Te- terimakasih," ucapku mengeratkan pegangan pada selempang tas yang terasa lebih berat dari sebelumnya.Tas selempang yang berisi seluruh mikikku.Termasuk laptop dan modem yang muat ke dalam satu tas.Mungkin, orang akan berpikir betapa kuatnya tubuh kecilku menenteng tas yang ukurannya cukup besar. Sementara tas satu lagi yang Kerry beli, kuletakkan di atas lantai dingin yang ubinnya mengkilap, sekali pun cahaya langit malam masih begitu pekat berkat hujan dan mendungnya awan.Ekor mataku melihat sesepi apa lobi hotel yang suara ramainya berasal dari luar, jalan raya padat meski tidak merayap."Silahkan, Bu, taxy anda sudah datang.""Bu?" Aku yang rasanya di sadarkan dari fokusku mengangguk, sekali lagi berterimakasih lalu keluar dan masuk ke dalam
************************"ini sudah 3 hari dan kamu sama sekali belum mendapat kabar apapun, Tian.""Baru tiga hari, Tuan," ucap lelaki yang yang potongan uppercut-nya begitu menonjolkan garis wajahnya yang tegas, "nyonya sudah pergi lebih dari lima tahun dari sisi anda, Tuan, apa artinya tiga hari?"Tian bisa mendengar tarikan nafas yang terdengar hampir hilang kesabaran. Namun, apa yang ia katakan adalah kebenaran.Lelaki yang sedang bicara dengan dirinya adalah suami yang membuat istrinya pergi. Apa Tian tidak punya empati? Hah, siapa yang perduli dengan empati saat ia bisa melihat sendiri, bagaimana wajah wanita mungil yang rasanya sudah begitu ia kenal bahkan tawanya ia hafal berkat potret-potret yang ia lihat, sama sekali tak pernah menunjukkan senyum sepanjang penerbangan. Wanita bertubuh mungil yang tawa tulusnya ia hafal dari potret ini, bahkan seakan takut memandang mata lawan bicaranya. Matanya terlalu sering menunduk ke bawah, seolah jika ia tak melakuka
Wulan, wanita paruh baya yang cincin permata satu karatnya terasa begitu berat itu, menyusuri lorong rumah sakit yang jadi begitu sering dipijaki kakinya. Namun, ada yang beda kali ini, sorot mata Wulan begitu dipenuhi kepastian. Jauh berbeda dengan saat ia datang di hari-hari yang lalu. Begitupun langkah kakinya yang percaya diri memijaki ubin dingin berkat hujan yang turun di bulan februari.Bahkan, gerimis yang menyapa permukaan tanah basah tidak menarik perhatian wanita paruh baya yang tahu kemana ia harus menuju. Langkah penuh kepastian Wulan baru berhenti saat ia duduk di antara wanita-wanita muda yang dalam rahimnya tumbuh bakal manusia.Obrolan mereka yang terdengar menyenangkan, sama sekali tak menarik minat wanita paruh baya yang menatapi pintu yang masih rapat tertutup. Cklek! "Terimakasih, Dok."Ucapan itu terdengar dari seorang pasien dengan perut besar yang datang bersama bocah lelaki kecil. Bocah lelaki yang mata bulatnya bertemu pandang dengan Wulan."Ingat, kurang
"Selamat datang kembali, Nyonya."Arini yang jadi diam, mengangguk. Tanpa kata, ucapan Arga benar-benar merasuk tidak hanya pada telinganya. Sampai lelaki dengan barisan gigi yang begitu rapi ini, melihat genangan air di mata wanita mungil yang membalas genggaman tangannya.'Apa yang terjadi pada duniamu, Arini?' tanya Arga saat merasakan tangan yang sedang ia genggam bergetar. Seakan-akan sambutannya ini sudah menggetarkan kehidupan yang sedang Arini jalani. "Nyonya, maukan anda makan bubur ayam lagi bersama saya besok?""Itu pasti akan merepotkan anda, Tuan."Ah, jawaban penolakan yang rasanya sudah bisa ia tebak itu membuat Arga tersenyum. "Sama sekali tidak, Nyonya. Saya akan senang jika kita bisa bertemu tidak hanya karena semangkuk bubur. Lagipula, saya bukan orang yang begitu sibuk," ucap Arga berbohong, mengingat sepadat apa jadwal pekerjaanya.Tapi, ia akan meluangkan waktunya jika itu untuk wanita mungil yang tangannya sudah tidak bergetar lagi."Mungkin, kita bisa melihat
"Lusa aku akan pulang bersama Banyu. Jika kamu mau ikutlah atau sebarkan rumor apapun yang kamu mau di sini."Mata Anggita yang sudah berharap dengan yakin, membesar. Ia mengedipkan mata beberapa kali seakan ingin memastikan telinganya tak salah dengar."Kenapa ... kenapa kita jadi seperti ini, Ken?Seharusnya tidak seperti ini. Seharusnya setelah wanita sial itu pergi kehidupan kita tidak seperti ini."Mata Ken yang dingin berubah semakin gelap. Ia terlihat begitu menahan diri untuk tidak berteriak pada Anggita. Wanita yang pernah bertengger begitu tinggi dan memenuhi hatinya. Sejak kapan semua berubah? Sejak kapan nama Anggita tak lagi terpatri begitu kuat bahkan seakan samar di dalam hatinya. "Nggit," Ken menyentuh pundak Anggita. Manik hitamnya menatap begitu lurus, "kita-""Tidak." Ucap Anggita penuh ketegasan saat mata dingin Ken menatapnya, "aku tidak akan membiarkanmu memutus apa yang sudah tercipta di antara kita Ken."Tangan Anggita yang memegangi lengan Ken merambat turu
***********************Selembar surat.Hai, onty Mira.Well, emm... Aku sudah lulus sekolah per-surat ini sampai padamu. Sementara Ben masih sedang mempersiapkan diri untuk ujian penerimaan siswa baru hmmm... kuharap ia diterima. Well, aku dan Muray mommy tahu ia akan berusaha yang terbaik.Oh, apa rajutan baju dan syal yang Rose kirim sudah sampai padamu? Ia menanyakan satu hal itu setiap hari. Sampai aku bosan rasanya (just kidding lol).Apa kau tahu onty? Sidney hamil anak ke 3 dan uncle Carter begitu senang sampai tak perduli pada gosip yang beredar tentang seproduktif apa dirinya. Huh! Sungguh para penggosip tua yang suka sekali membicarakan orang lain!Jika kota kecil ini bukan tempat yang indah, kurasa aku dan Ben tidak akan betah tinggal di sini (this is a BIG lie, ok?) Karena aku suka sekali dengan sandwich tuna buatan nyonya Li. Ia titip salam untukmu by the way.Oh, apa kau tahu onty? Banyak turis yang datang untuk bermain ski berkat resort baru milik kakakmu. Hmm... Ia
Hujan masih saja turun dengan deras. Rintiknya begitu ruah bahkan tak mau berhenti saat tubuh tanpa nyawa ditimbun tanah merah yang juga basah.Apa dunia sedang ikut berduka untuk terlepasnya sebuah nyawa dari raga? Siapa yang tahu. Yang jelas, empat orang penggali makam akhirnya bisa pulang ke rumah mereka dengan mengantongi lembaran rupiah.Senyum syukur yang mereka pancarkan tidak ada hubungannya dengan punggung sepi yang menatapi makam dengan nisan baru. Obrolan mereka yang meninggalkan area makam, tak memiliki korelasi apapun dengan sorot mata yang sedang lelaki pemilik barisan gigi paling rapi tunjukan. Mungkin satu-satunya penghubung mereka dengan lelaki itu hanya cipratan air yang membawa tanah pada sepatu pun ujung celana.Entah kalimat apa yang ia ucapkan pada makam yang diguyur hujan itu. Rintik dan tetesan air dari langit seolah tak membiarkan telinga manusia mendengar apa yang lelaki pemilik barisan rapi itu sampaikan.Pun, gerakan tubuhnya yang akhirnya berbalik lal
Pernahkan kamu merasa ingin mati sampai tak bisa melihat dirimu membayangkan hari esok? Pernahkan kamu dikhianati duniamu sampai bernafas saja terasa sesak?Pernahkan kamu merasa dirimu jadi manusia paling bodoh hanya karena mengikuti kata hatimu? Pernahkah kamu merasa sendirian diantara tawa menggema yang bahkan matamu lihat dan menyentuh kulit telingamu yang tipis?Jika tidak pernah, jangan berani-beraninya menyalahkan pilihan yang ku ambil. Aku adalah anak yang tumbuh dengan tuntutan orang tua yang lupa jika sentuhan hangat itu hal yang penting. Aku adalah anak yang tidak diajari untuk mengasihi orang lain jika orang itu tidak mampu memberiku sesuatu.Aku adalah anak yang diajari semua yang kumiliki ada harganya termasuk kehidupan nyaman yang merenggut senyum polosku. Apa aku melawan? Tidak! Karena menjalani hidup seperti itu adalah apa yang dunia kenalkan padaku! Sampai datang hari dimana seseorang bertanya, 'apa aku bahagia?'Ah, andai saja aku tidak diam seolah kalimatnya
PRANGG! Bunyi cangkir yang jatuh bersama isinya itu membiat suster Yuli menoleh pada wanita yang berdiri langsung menatapi pintu.Suster yang dengan senang hati menerima tawaran Arga untuk merawat Anna ini, menatap Anna yang tangannya terkepal saat Arga masuk membawa tubuh wanita yang tangannya lunglai di udara. Tanpa kata, Arga langsung meletakkan tubuh Arini di atas lantai dingin di hadapan Anna. Wanita paruh baya yang dulu mengambil dirinya sebagain anak dengan syarat, Arga harus melupakan masa lalu. Hal yang tidak akan pernah bisa Arga lakukan meski ia begitu pandai bermain lakon."Aku ingin ibu mengenalnya, Bu," ucap Arga mengusap pipi Arini. Begitu lembut dan penuh rasa.Tatapan yang tidak pernah Anna lihat dari anak yang ia rawat dan besarkan dengan segala tuntutan kesempurnaan tanpa cela."Namanya Arini, Bu, usianya 28 tahun," ucap Arga masih menatap Arini dengan pandangan yang begitu lembut.Pandangan yang masih tersisa saat ia mendongak menatap sang ibu yang menahan nafany
Aku tidak lagi bisa melihat Banyu karena mobil yang kunaiki tenggelam semakin dalam, sementara air yang masuk dari celah-celah mobil sudah menenggelamkan separuh lututku.Bohong jika aku tidak merasa takut saat air dingin danau semakin menenggelamkan kakiku. Dan akan terus naik sampai tak ada lagi ruang tersisa untuk udara.Menenggelamkan apa pun yang ada di dalamnya termasuk diriku.Aku bisa merasakan punggungku berkeringat meski seluruh tubuhku merasa dingin. Rambut-rambut halusku berdiri sementara tanganku yang gemetar kutahan untuk menurunkan jendela karena itu satu-satunya jalan keluarku.'Apa aku menyerah pada hidupku?'Kurasa iya, aku menyerah untuk hidup. Tapi, bukan karena aku ingin mati. "Ingin mati?" Ucapku menatapi tanganku yang gemetaran. Bahkan tremor yang kulihat tidak berhenti ketika kedua tanganku, kusatukan. Rasanya ... rasanya aku bisa melihat akan berakhir seperti apa diriku. Sendirian di dalam mobil yang akan jatuh ke dasar danau. "Apa akan ada orang yang menem
****************"Kenapa kau begitu keras kepala bertahan untuk hidup?"Suara yang terdengar begitu putus asa itu terdengar di dalam kamar penuh barang pecah yang sengaja di banting, dilempar, dihempaskan semau tangan yang memegangnya.Tangan gadis muda dengan wajah kuyu yang terlihat begitu lelah apalagi saat memandang perutnya yang membuncit."Kenapa kau begitu keras kepala untuk hidup?" Ulang gadis muda itu dengan mata menatap perutnya sendiri. Ia seolah sedang mengajak bicara bakal manusia yang tumbuh dengan sangat baik meskipun sudah banyak cara dan usaha ia upayakan agar janin yang tumbuh sehat di dalam rahimnya mati. "Apa yang kau harapkan dariku? Aku tidak akan pernah menerima kehadiranmu, aku tidak akan mau menerima keberadaanmu dan aku tidak ingin kau hadir dalam kehidupanku.""Apa yang kau harapkan dengan bertahan, hah? Kenapa kau tidak mati saja?"Anna, gadis dengan wajah begitu kuyu itu menatap wanita lain yang masuk ke dalam kamarnya setelah men
"Kamu harus menghilang, Arini."Aku yang matanya membesar hanya bisa menatap Anggita dengan waspada. Sementara Anggita berjalan mendekati dapur, mengambil pisau yang membuat ku berteriak seperti orang kesetanan saat ia menghampiri kamar."JANGAN, ANGGITA! JANGAN LAKUKAN! AKU AKAN PERGI! AKU AKAN PERGI! ANGITA!"Brug! Aku yang berteriak bahkan jatuh tersungkur bersama kursi yang membuatku makin tak bisa bergerak saat Anggita mengangkat tubuh bulat Banyu yang tangannya jatuh lunglai."KEN! KEN!"Sampai aku tidak tahu kalimat apa saja yang kuteriakkan dalam ketakutan saat Anggita mengangkat tubuh kecil Banyu lalu menggendongnya dan menghampiriku yang terus memohon."Kenapa kamu menangis, Arini? Aku tidak akan menyakiti Banyu."Aku berusaha menghentikan isakku. Sementara mataku menatapi Anggita dengan permohonan yang terpancar dari seluruh diri. "Aku hanya membawa Banyu agar kamu tidak macam-macam."Aku benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang Anggita katakan, saat tangannya yang m
Nyut!!Kepalaku begitu sakit. Mungkin karena aku belum tidur sama sekali.Nyut!!Tidur? Ah, iya. Aku baru tidur tiga jam kurang sejak kemarin malam. Pantas saja kepalaku berdenyut-denyut.Nyut!"Kemarin?" Rasanya aku mengucapkan kalimat itu dengan otak yang berpikir, sementara mataku masih terpejam rapat.Bukan hal biasa, karena setelah aku menelan obat agar bisa tidur, tubuhku akan terbangun lebih dahulu dibandingkan mata. tapi, aku yang masih belum mampu membuka mata merasakan rasa tak biasa. Rasa yang membuat seluruh diriku merasa waspada.'Waspada? Waspada pada apa?' Aku yang rasanya tidak bisa menggerakkan tubuh ingin membuka mata. Tapi, mataku yang rapat terpejam terasa begitu berat sekedar untuk kuangkat.'Apa yang terjadi?' Aku yang kesadarannya belum sepenuhnya bangkit, bisa merasakan dahiku berkeringat. Sementara dadaku berdetak begitu cepat. Otakku menggali memori. Aku yang keluar dari rumah Arga bertemu dengan Nabila juga wanita tua yang kembali terkejut menatapiku, 's
Aku yang memutuskan memejamkan mata, bisa merasakan langit gelap semakin cerah. Dan benar saja saat aku membuka mata, langit pagi yang mendung sudah lebih terang. "Ga," panggilku pada lelaki yang kepalanya sudah bersender pada kepala sofa. Sementara tangannya yang memeluk pundakku sudah meregang.Aku menarik nafasku dalam, menatapi lelaki dengan barisan gigi rapi yang masih lelap tertidur. "Aku pulang dulu, terimakasih sudah mau mendengarkan ceritaku," ucapku menyentuh pipi Arga lalu bangun dari sofa yang membuatku sadar bokongku kebas. Aku menghampiri pintu yang semalam kubuka dengan password yang Arga berikan padaku, lalu membuka pintu yang otomatis tertutup begitu aku sudah keluar. Lorong tidak begitu sepi, aku bisa melihat dua anak berseragam SD berdiri di depan lift sementara empat orang dewasa di samping mereka bercengkrama. Dari lorong lain aku bisa mendengar suara langkah terburu-buru yang lalu bergabung dengan kumpulan manusia yang sudah berkumpul menunggu lift terbuka.