"Anda yang memilih pergi selama lima tahun, lalu kembali dengan membawa tuntutan perceraian. Tidakkah itu terdengar lucu, Nyonya?"Aku yang duduk di dalam ruangan luas dengan pendingin udara dan aroma wangi dari kamper, menggigit bibirku.Ucapan lelaki dengan potongan klimis dan jas rapi di hadapan, membuatku menatap jalinan tanganku sendiri yang sejak awal duduk, tak pernah terlepas."Setidaknya, pertanyaan ini pasti akan keluar tidak hanya dari pengacara suami anda namun juga hakim, Nyonya."Suara lelaki yang Arga kenalkan pada diri, sudah dihafal telingaku sekalipun kami biasanya bicara lewat Vidio call dari laptop yang ternyata begitu berguna, karena aku tetap tidak ingin memiliki ponsel.'Apa aku menyusahkan diriku dengan bersikap seperti ini? Saat benda kecil yang muat dalam saku dan tas, bisa menggantikan banyak hal dalam hidup.'Tapi, aku belum bisa membayangkan diriku memegang ponsel dengan status 'mikikku'.Bahkan, mungkin tidak akan pernah."Anda tetap tidak menginginkan ap
Robert, lalaki dengan tampilan necis yang begitu klimis itu hanya mendengarkan ucapanku. Ia sama sekali tidak memotong ataupun menyela bahkan tak mengubah posisi duduknya sama sekali.Sampai aku menyelesaikan ucapanku tentang alasan yang membuatku pergi setelah bertemu dengan Anggita di sebuah cave yang namanya begitu kuingat. Meskipun, aku tak menceritakan apa yang terjadi padaku setelah Anggita pergi.Tentang keguguranku dan kenapa aku hanya pulang sendiri lalu disambut rumah sepi yang menyesakkan sampai tidak mampu bernafas jika aku tidak menjauh sejauh-jauhnya.Aku menceritakan pertemuanku kembali dengan Ken di kota dingin yang saljunya sedang turun dengan lebat, sampai aku akhirnya memilih pulang ke Indonesia dan apa yang terjadi pada proses kepulanganku yang berjalan seperti bukan imigran gelap."Dan di sinilah saya, Pak Robert," ucapku menarik nafasku dalam.Sekalipun dadaku terasa sesak, ucapanku begitu lancar seolah diriku sedang menceritakan kisah orang lain.'Bukan kisahku!
Mataku terus menatap nanar barisan angka yang terpampang di layar mesin ATM di hadapan, sampai waktu tunggunya habis dan tanganku langsung memencet 'cancel' agar kartu ATM yang tidak pernah kugunakan, keluar.Aku tak perlu bertanya siapa yang memasukkan uangnya ke dalam tabunganku.'Aku pasti bodoh sekali jika tidak tahu.'Tapi l, sejak kapan? Apa aku harus mencetak rekening koran untuk tahu?Tapi, apa gunanya? Untuk bukti aku tak pernah menyentuh uang yang Ken kirim untukku? Atau untuk bukti bahwa ia masih peduli pada istrinya yang kabur?Rasanya, seluruh diriku jadi merasa kalah juga lelah. Dan hujan yang menderas, hanya membuat hatiku terasa lebih sendu tidak tahu harus mengatakan apa pada kartu ATM yang ragu kuambil, sampai-Puk!Aku yang tangannya terjulur, terkejut sampai kartu yang ujungnya sudah kupegang, jatuh ke atas lantai dingin di bawah kakiku. 'Siapa-'"Mbak Arini?"Mataku langsung membesar, mendengar sapaan hangat lelaki yang wajahnya tak lagi menyisakan gurat kekanaka
"Lagipula dia sudah mau pergi," tambah ibu yang ujung matanya memberiku tatapan tajam."Kok, buru-buru sekali. Padahal, Om saja baru tahu namamu."Aku tidak mengerti, kenapa suara lelaki paruh baya yang wajahnya seakan ingin terus kulihat begitu merasuk, tidak hanya dalam telingaku.Rasanya, ada sesuatu yang membuatku ingin terus memperhatikannya. Wajahnya, sorot matanya, garis rahangnya, pembawaannya, senyum ramahnya bahkan sentuhan jemarinya yang rasanya ingin kusalami. Tapi, apa hak-ku saat diriku sudah diusir dengan kata yang begitu halus oleh ibu mertuaku. Wanita yang memang sejak awal terpaksa menerimaku menjadi bagian dari keluarganya karena Ken menikahiku."Kurasa ia bahkan tak lagi sabar untuk membelanjakan uang yang ia dapat dengan cuma-cuma.""Ibu!" Seru Rama pada wanita yang hanya melirik putra bungsunya itu. Kepalaku menggeleng, melarang Rama untuk mengatakan kalimat apapun yang sudah ada di ujung lidahnya."Mbak mau belanja, Rama," ucapku menunjukkan senyum yang tercip
"Aku akan mengantar Mbak Arini pulang."Deg!Rasanya jantungku meloncat ketenggorokan saat mendengar kalimat yang Rama ucapkan.Sementara bayangan rumah sepi yang tak lagi menyambutku terpampang jelas, sampai tanganku yang kupangku terasa kebas saking eratnya genggaman."Rama-"Namun, aku tak menemukan kalimat yang bisa kusampaikan pada adik iparku ini. Bocah nakal yang tidak pernah menatapku dengan pandangan tak ramah, tapi juga tak menyambutku dengan pelukan hangat.Pada akhirnya aku memilih diam, begitupun Rama yang lebih memilih fokus menatap jalanan basah yang terus dituruni hujan lebat.Hujan yang bisa meredam sekencang apa detak jantungku, meski tak mampu menyamarkan ketidak-nyamanan yang sedang kurasakan.Mataku memperhatikan jalan yang masih begitu ku hafal meski banyak yang sudah berubah. Sementara aku dan Rama, lebih memilih diam tanpa kata di bawah lantunan musik yang menyatu dengan hujan.Kurasa, Rama yang sesekali melirikku tahu, aku jadi tak nyaman. Namun, ia memilih un
Lelaki yang badannya kuyup itu menatap bangunan dua lantai dalam diam. Manik matanya yang hitam pekat menatapi salah satu ruangan yang lampunya menyala. Matanya sesekali berkedip menghindarkan tetesan hujan masuk ke dalam mata.Ia terus berdiri dalam bisu, membiarkan tubuh basahnya terus dibasahi hujan yang menderas.Hujan yang nampaknya akan terus turun dengan lebat tanpa henti, sampai bulan februari berakhir. Karena bulan ini memang puncaknya musim hujan di negara tropis yang bisa begitu dingin untuk beberapa hati."Bisakah aku memperbaiki segalanya?" Ucapan yang keluar dari mulutnya bahkan kalah dengan suara hujan. Begitupun langkah kakinya yang berjalan mendekat pada bangunan sepi gedung dua lantai.Tangannya yang terjulur sudah menyentuh gerbang dengan gembok besar dan rantai. Namun, ia hanya diam dan sekali lagi menatap satu dari enam ruangan yang lampunya menyala di lantai dua."Apa kamu masih bangun, Yang?"Seandainya saja lelaki itu tahu apa yang sedang terjadi dalam ruanga
Sari menarik nafasnya dalam, berusaha menahan amarah yang rasanya sudah ada di ujung lidah. "Ini pasti karena kamu sedang lelah bekerja," Sari mengusap lengan Rama. "Maaf, ibu sudah menamparmu, Nak. Istirahatlah, karena ibu juga butuh itu."Rama hanya menatap sang ibu yang mengusap pipinya. Mulutnya yang sudah terbuka ia tutup lagi. Sementara Sari menunjukan senyum."Wanita itu adalah anak sial yang memang tak seharusnya masuk dalam kehidupan kita, Rama. Seharusnya Ken tidak pernah membawanya masuk dalam kehidupan kita. Ia sama sekali tidak pantas."Sari memeluk Rama yang sama sekali tak menanggapi, tangan putra bungsunya ini bahkan tetap diam di sisi tubuhnya sendiri. 'Mas, kita ... kita semua sungguh sebuah kesialan untuk mbak Arini, bukan?' ucap Rama tanpa kata menatap potret anak lelaki tertua di kediaman Hutama.Bahkan, elusan lembut sang ibu jadi benar-benar tidak terasa saat Rama menatap manik hitam Ken yang segelap pualam."Tidurlah," ucap Sari lalu meninggalkan Rama yang ma
"Di- dia ... sudah kembali?"Begitu kecil suara Wulan keluar, bahkan suara hujan yang menderas benar-benar menelan ucapannya. Sekalipun tak ada yang mampu menyamarkan keterkejutan wanita paruh baya yang memegang permata satu karat di jari manisnya itu.Tangan Wulan bahkan gemetaran sementara putrinya yang mempesona tetap menatap tak tertarik dengan kejujuran yang wajah ibunya tunjukan. Kekagetan yang membuat wajah Wulan memucat.Sampai pintu kamarnya didorong dengan suara penuh semangat. Dan, senyum dari lelaki paruh baya yang rambut hitamnya begitu lebat terlihat."Anak papa sudah kembali?" Wulan yang duduk diam hanya bisa melihat Anggita berdiri, menyambut sang ayah dengan pelukan dan keramahan yang tidak ia dapatkan. "Apa ini?" Tanya Anggita yang sorot matanya berubah cerah begitupun wajahnya. Kekesalan dan kesenduan yang tadi ia perlihatkan pada Wulan tak lagi nampak.Yang terlihat di wajah cantiknya sekarang, hanya sambutan penuh hangat dan itu untuk lelaki yang memeluknya era
***********************Selembar surat.Hai, onty Mira.Well, emm... Aku sudah lulus sekolah per-surat ini sampai padamu. Sementara Ben masih sedang mempersiapkan diri untuk ujian penerimaan siswa baru hmmm... kuharap ia diterima. Well, aku dan Muray mommy tahu ia akan berusaha yang terbaik.Oh, apa rajutan baju dan syal yang Rose kirim sudah sampai padamu? Ia menanyakan satu hal itu setiap hari. Sampai aku bosan rasanya (just kidding lol).Apa kau tahu onty? Sidney hamil anak ke 3 dan uncle Carter begitu senang sampai tak perduli pada gosip yang beredar tentang seproduktif apa dirinya. Huh! Sungguh para penggosip tua yang suka sekali membicarakan orang lain!Jika kota kecil ini bukan tempat yang indah, kurasa aku dan Ben tidak akan betah tinggal di sini (this is a BIG lie, ok?) Karena aku suka sekali dengan sandwich tuna buatan nyonya Li. Ia titip salam untukmu by the way.Oh, apa kau tahu onty? Banyak turis yang datang untuk bermain ski berkat resort baru milik kakakmu. Hmm... Ia
Hujan masih saja turun dengan deras. Rintiknya begitu ruah bahkan tak mau berhenti saat tubuh tanpa nyawa ditimbun tanah merah yang juga basah.Apa dunia sedang ikut berduka untuk terlepasnya sebuah nyawa dari raga? Siapa yang tahu. Yang jelas, empat orang penggali makam akhirnya bisa pulang ke rumah mereka dengan mengantongi lembaran rupiah.Senyum syukur yang mereka pancarkan tidak ada hubungannya dengan punggung sepi yang menatapi makam dengan nisan baru. Obrolan mereka yang meninggalkan area makam, tak memiliki korelasi apapun dengan sorot mata yang sedang lelaki pemilik barisan gigi paling rapi tunjukan. Mungkin satu-satunya penghubung mereka dengan lelaki itu hanya cipratan air yang membawa tanah pada sepatu pun ujung celana.Entah kalimat apa yang ia ucapkan pada makam yang diguyur hujan itu. Rintik dan tetesan air dari langit seolah tak membiarkan telinga manusia mendengar apa yang lelaki pemilik barisan rapi itu sampaikan.Pun, gerakan tubuhnya yang akhirnya berbalik lal
Pernahkan kamu merasa ingin mati sampai tak bisa melihat dirimu membayangkan hari esok? Pernahkan kamu dikhianati duniamu sampai bernafas saja terasa sesak?Pernahkan kamu merasa dirimu jadi manusia paling bodoh hanya karena mengikuti kata hatimu? Pernahkah kamu merasa sendirian diantara tawa menggema yang bahkan matamu lihat dan menyentuh kulit telingamu yang tipis?Jika tidak pernah, jangan berani-beraninya menyalahkan pilihan yang ku ambil. Aku adalah anak yang tumbuh dengan tuntutan orang tua yang lupa jika sentuhan hangat itu hal yang penting. Aku adalah anak yang tidak diajari untuk mengasihi orang lain jika orang itu tidak mampu memberiku sesuatu.Aku adalah anak yang diajari semua yang kumiliki ada harganya termasuk kehidupan nyaman yang merenggut senyum polosku. Apa aku melawan? Tidak! Karena menjalani hidup seperti itu adalah apa yang dunia kenalkan padaku! Sampai datang hari dimana seseorang bertanya, 'apa aku bahagia?'Ah, andai saja aku tidak diam seolah kalimatnya
PRANGG! Bunyi cangkir yang jatuh bersama isinya itu membiat suster Yuli menoleh pada wanita yang berdiri langsung menatapi pintu.Suster yang dengan senang hati menerima tawaran Arga untuk merawat Anna ini, menatap Anna yang tangannya terkepal saat Arga masuk membawa tubuh wanita yang tangannya lunglai di udara. Tanpa kata, Arga langsung meletakkan tubuh Arini di atas lantai dingin di hadapan Anna. Wanita paruh baya yang dulu mengambil dirinya sebagain anak dengan syarat, Arga harus melupakan masa lalu. Hal yang tidak akan pernah bisa Arga lakukan meski ia begitu pandai bermain lakon."Aku ingin ibu mengenalnya, Bu," ucap Arga mengusap pipi Arini. Begitu lembut dan penuh rasa.Tatapan yang tidak pernah Anna lihat dari anak yang ia rawat dan besarkan dengan segala tuntutan kesempurnaan tanpa cela."Namanya Arini, Bu, usianya 28 tahun," ucap Arga masih menatap Arini dengan pandangan yang begitu lembut.Pandangan yang masih tersisa saat ia mendongak menatap sang ibu yang menahan nafany
Aku tidak lagi bisa melihat Banyu karena mobil yang kunaiki tenggelam semakin dalam, sementara air yang masuk dari celah-celah mobil sudah menenggelamkan separuh lututku.Bohong jika aku tidak merasa takut saat air dingin danau semakin menenggelamkan kakiku. Dan akan terus naik sampai tak ada lagi ruang tersisa untuk udara.Menenggelamkan apa pun yang ada di dalamnya termasuk diriku.Aku bisa merasakan punggungku berkeringat meski seluruh tubuhku merasa dingin. Rambut-rambut halusku berdiri sementara tanganku yang gemetar kutahan untuk menurunkan jendela karena itu satu-satunya jalan keluarku.'Apa aku menyerah pada hidupku?'Kurasa iya, aku menyerah untuk hidup. Tapi, bukan karena aku ingin mati. "Ingin mati?" Ucapku menatapi tanganku yang gemetaran. Bahkan tremor yang kulihat tidak berhenti ketika kedua tanganku, kusatukan. Rasanya ... rasanya aku bisa melihat akan berakhir seperti apa diriku. Sendirian di dalam mobil yang akan jatuh ke dasar danau. "Apa akan ada orang yang menem
****************"Kenapa kau begitu keras kepala bertahan untuk hidup?"Suara yang terdengar begitu putus asa itu terdengar di dalam kamar penuh barang pecah yang sengaja di banting, dilempar, dihempaskan semau tangan yang memegangnya.Tangan gadis muda dengan wajah kuyu yang terlihat begitu lelah apalagi saat memandang perutnya yang membuncit."Kenapa kau begitu keras kepala untuk hidup?" Ulang gadis muda itu dengan mata menatap perutnya sendiri. Ia seolah sedang mengajak bicara bakal manusia yang tumbuh dengan sangat baik meskipun sudah banyak cara dan usaha ia upayakan agar janin yang tumbuh sehat di dalam rahimnya mati. "Apa yang kau harapkan dariku? Aku tidak akan pernah menerima kehadiranmu, aku tidak akan mau menerima keberadaanmu dan aku tidak ingin kau hadir dalam kehidupanku.""Apa yang kau harapkan dengan bertahan, hah? Kenapa kau tidak mati saja?"Anna, gadis dengan wajah begitu kuyu itu menatap wanita lain yang masuk ke dalam kamarnya setelah men
"Kamu harus menghilang, Arini."Aku yang matanya membesar hanya bisa menatap Anggita dengan waspada. Sementara Anggita berjalan mendekati dapur, mengambil pisau yang membuat ku berteriak seperti orang kesetanan saat ia menghampiri kamar."JANGAN, ANGGITA! JANGAN LAKUKAN! AKU AKAN PERGI! AKU AKAN PERGI! ANGITA!"Brug! Aku yang berteriak bahkan jatuh tersungkur bersama kursi yang membuatku makin tak bisa bergerak saat Anggita mengangkat tubuh bulat Banyu yang tangannya jatuh lunglai."KEN! KEN!"Sampai aku tidak tahu kalimat apa saja yang kuteriakkan dalam ketakutan saat Anggita mengangkat tubuh kecil Banyu lalu menggendongnya dan menghampiriku yang terus memohon."Kenapa kamu menangis, Arini? Aku tidak akan menyakiti Banyu."Aku berusaha menghentikan isakku. Sementara mataku menatapi Anggita dengan permohonan yang terpancar dari seluruh diri. "Aku hanya membawa Banyu agar kamu tidak macam-macam."Aku benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang Anggita katakan, saat tangannya yang m
Nyut!!Kepalaku begitu sakit. Mungkin karena aku belum tidur sama sekali.Nyut!!Tidur? Ah, iya. Aku baru tidur tiga jam kurang sejak kemarin malam. Pantas saja kepalaku berdenyut-denyut.Nyut!"Kemarin?" Rasanya aku mengucapkan kalimat itu dengan otak yang berpikir, sementara mataku masih terpejam rapat.Bukan hal biasa, karena setelah aku menelan obat agar bisa tidur, tubuhku akan terbangun lebih dahulu dibandingkan mata. tapi, aku yang masih belum mampu membuka mata merasakan rasa tak biasa. Rasa yang membuat seluruh diriku merasa waspada.'Waspada? Waspada pada apa?' Aku yang rasanya tidak bisa menggerakkan tubuh ingin membuka mata. Tapi, mataku yang rapat terpejam terasa begitu berat sekedar untuk kuangkat.'Apa yang terjadi?' Aku yang kesadarannya belum sepenuhnya bangkit, bisa merasakan dahiku berkeringat. Sementara dadaku berdetak begitu cepat. Otakku menggali memori. Aku yang keluar dari rumah Arga bertemu dengan Nabila juga wanita tua yang kembali terkejut menatapiku, 's
Aku yang memutuskan memejamkan mata, bisa merasakan langit gelap semakin cerah. Dan benar saja saat aku membuka mata, langit pagi yang mendung sudah lebih terang. "Ga," panggilku pada lelaki yang kepalanya sudah bersender pada kepala sofa. Sementara tangannya yang memeluk pundakku sudah meregang.Aku menarik nafasku dalam, menatapi lelaki dengan barisan gigi rapi yang masih lelap tertidur. "Aku pulang dulu, terimakasih sudah mau mendengarkan ceritaku," ucapku menyentuh pipi Arga lalu bangun dari sofa yang membuatku sadar bokongku kebas. Aku menghampiri pintu yang semalam kubuka dengan password yang Arga berikan padaku, lalu membuka pintu yang otomatis tertutup begitu aku sudah keluar. Lorong tidak begitu sepi, aku bisa melihat dua anak berseragam SD berdiri di depan lift sementara empat orang dewasa di samping mereka bercengkrama. Dari lorong lain aku bisa mendengar suara langkah terburu-buru yang lalu bergabung dengan kumpulan manusia yang sudah berkumpul menunggu lift terbuka.