Sari menarik nafasnya dalam, berusaha menahan amarah yang rasanya sudah ada di ujung lidah. "Ini pasti karena kamu sedang lelah bekerja," Sari mengusap lengan Rama. "Maaf, ibu sudah menamparmu, Nak. Istirahatlah, karena ibu juga butuh itu."Rama hanya menatap sang ibu yang mengusap pipinya. Mulutnya yang sudah terbuka ia tutup lagi. Sementara Sari menunjukan senyum."Wanita itu adalah anak sial yang memang tak seharusnya masuk dalam kehidupan kita, Rama. Seharusnya Ken tidak pernah membawanya masuk dalam kehidupan kita. Ia sama sekali tidak pantas."Sari memeluk Rama yang sama sekali tak menanggapi, tangan putra bungsunya ini bahkan tetap diam di sisi tubuhnya sendiri. 'Mas, kita ... kita semua sungguh sebuah kesialan untuk mbak Arini, bukan?' ucap Rama tanpa kata menatap potret anak lelaki tertua di kediaman Hutama.Bahkan, elusan lembut sang ibu jadi benar-benar tidak terasa saat Rama menatap manik hitam Ken yang segelap pualam."Tidurlah," ucap Sari lalu meninggalkan Rama yang ma
"Di- dia ... sudah kembali?"Begitu kecil suara Wulan keluar, bahkan suara hujan yang menderas benar-benar menelan ucapannya. Sekalipun tak ada yang mampu menyamarkan keterkejutan wanita paruh baya yang memegang permata satu karat di jari manisnya itu.Tangan Wulan bahkan gemetaran sementara putrinya yang mempesona tetap menatap tak tertarik dengan kejujuran yang wajah ibunya tunjukan. Kekagetan yang membuat wajah Wulan memucat.Sampai pintu kamarnya didorong dengan suara penuh semangat. Dan, senyum dari lelaki paruh baya yang rambut hitamnya begitu lebat terlihat."Anak papa sudah kembali?" Wulan yang duduk diam hanya bisa melihat Anggita berdiri, menyambut sang ayah dengan pelukan dan keramahan yang tidak ia dapatkan. "Apa ini?" Tanya Anggita yang sorot matanya berubah cerah begitupun wajahnya. Kekesalan dan kesenduan yang tadi ia perlihatkan pada Wulan tak lagi nampak.Yang terlihat di wajah cantiknya sekarang, hanya sambutan penuh hangat dan itu untuk lelaki yang memeluknya era
"Yang," ucap Ken menatap hujan yang masih saja deras, sementara bocah kecil yang ia angkat ia dudukkan di atas kasur."Apa kamu mimpi buruk sampai bangun?"Banyu jadi diam, dahi kecilnya berkerut sementara dua alis kecilnya hampir menyatu.Ken yang ingin mengambil baju di lemari, urung. Manik hitamnya memperhatikan Banyu yang sedang berpikir. "Tapi- tapi, Banyu gak mimpi, Papa. Banyu liat tente."Ken jadi diam, telinganya menajam sementara derasnya hujan terus mengiringi ucapan Banyu. Bocah berusia dua tahun yang begitu yakin dengan apa yang ia ucapkan. "Tante lagi tiduran, tapi gak di kasur. Wajah tante pucat, Papa, tante pasti sakit, Papa."Seakan mengadu tentang apa yang ia lihat, manik bulat Banyu menatap mata Ken yang sewarna dengan dirinya."Tante pasti sakit sekali, Papa, sampe gak bisa minum obat. Padahal- ... padahal obatnya sudah ada di tangan Tante ng~."Bocah kecil yang sedang mengadu tentang apa yang ia lihat itu berusaha menemukan kalimat dalam kosa kata yang ia menger
Satpam tua yang mengikuti langkah Ken tak perduli dengan sepatunya yang basah dan terasa tak nyaman. Ia mengekor lelaki muda yang tampaknya sudah pulang namun datang lagi dengan membawa mobil. 'Apa dia sudah tak bertengkar lagi dengan istrinya?' Itu adalah kalimat yang diucapkan dalam hati satpam tua. Lelaki paruh baya yang langkahnya tergopoh-gopoh berusaha mengimbangi Ken yang langkah kakinya sama sekali tak mau berhenti. "Untung aku dititipi kunci sama bu kost," ucap satpam tua yang nafasnya jadi tersengal begitu ia tiba di lantai dua sementara lelaki muda yang datang malah melewati kamar istrinya. Mbak Dewi.Setidaknya istri dari hasil pemikiran satpam tua yang merasa heran, pemuda gagah yang tak perduli tubuhnya kuyup terus melangkah dan baru berhenti di kamar yang belum seminggu terisi."Pak, apa bapak juga punya kunci cadangan?"Satpam tua yang masih merasa heran itu menggeleng, kakinya turut melewati kamar mbak Dewi yang masih rapat tertutup. Mengingat langit masih begitu
"Apa ... mbaknya mati?"Itu adalah kalimat yang begitu wajar untuk di tanyakan, apalagi oleh satpam tua yang berdiri di ambang pintu.Namun, lelaki muda yang potongan undercut-nya begitu pas membingkai wajah itu menarik nafasnya dalam."Kami belum tahu, Pak. Tapi, setidaknya obat yang bu Arini minum sudah di keluarkan."Satpam tua itu mengangguk, ia lalu masuk dan menutup pintu tidak ingin ada penghuni kos yang melihat atau penasaran."Saya akan membawa semua barang milik bu Arini, saya harap bapak tidak memberitahu siapapun apa yang terjadi."Satpam tua yang berdiri itu hanya bisa menatapi Tian dalam diam. Ia tahu, tidak akan ada bagusnya menolak ucapan lelaki muda yang datang menggantikan lelaki yang wajahnya ia soroti senter semalam.Tian yang sudah membereskan barang-barang Arini berdiri, ia mencangklong dua tas yang berisi seluruh milik istri bosnya. Matanya menatap satpam tua yang pasti tahu apa yang harus ia lakukan dan tidak mengatakan apapun pada siapapun adalah pilihan pali
Langit mendung dengan gerimis yang turun sama sekali tak menghentikan langkah lima lelaki dewasa yang masuk ke dalam warung pinggir jalan yang gerobaknya terlindung. Spanduk dengan tulisan BUBUR AYAM PAK SUTARNO DAN BU SUMIRAH menghiasi gerobak sederhana, tapi menghadirkan aroma sedap yang membuat perut minta segera diisi."Kita coba dulu makan di sini. Kalau tidak cocok, kami akan membawa anda sekalian makan di manapun.""Fair enough," ucap Zander langsung duduk di atas kursi plastik warna merah yang tengahnya berlubang. "Perut saya bisa makan apa saja," balas Mr. Doran entah berusaha bersikap sopan atau memang benar-benar dari hati. Sementara Rexy hanya diamSang sekretaris menghampiri sepasang suami-istri yang wajah tak lagi mudanya khawatir tidak bisa membalas ucapan dengan bahas inggris kecuali "yes, Sir"."Lima ya, Pak,""Ok, Den," jawab pak Sutarno membuat istrinya mengangguk dengan rasa lega. "Teh hangat saja sama air mineral. Kali saja mulutnya tidak cocok dengan teh kita,
"Selamat Sore, Pak," ucap securiti yang membungkuk saat melihat Arga, ia bahkan mendorong pintu karena Arga lebih senang lewat pintu belakang daripada lewat pintu depan RS yang otomatis terbuka saat sensornya mendapati pergerakan mahluk hidup."Terimakasih, Pak," balas Arga yang membiasakan diri diperlakukan spesial oleh penjaga keamanan tempat sang ibu bekerja. Hal yang sesungguhnya tidak perlu.Namun, Arga yang sudah membiasakan diri lebih memilih masuk, menyusuri lobi ramai yang beberapa pasang matanya menatapi Arga dengan kekaguman juga lapar. Seolah ia adalah makanan enak jika dijilat dan peluk.Lobi yang ramai semakin sepi saat Arga masuk lebih dalam ke bagian rumah sakit yang gedungnya di pisah-pisah. Orang akan mudah tersesat kalau tidak ada plang warna biru dengan anak-anak panah mengarah pada nama-nama tempat yang terdaftar di dalam rumah sakit tempat ibunya bekerja."Aku lagi cari tante sama papa, Oma."Kalimat dari mulut kecil yang rasanya femiliar di telinga Arga, membu
Tok! Tok!Suara ketukan membuat Ken menoleh, ia tahu yang sedang berdiri di depan pintu bukan Tian, karena Tian pasti akan langsung masuk setelah mengetuk pintu."Sebentar, ya," ucap Ken mengecup kening Arini yang masih belum sadarkan diri sekalipun pil-pil tidur yang Arini telan sudah di keluarkan seluruhnya. Lelaki yang masih mengenakan baju basahnya itu menghampiri pintu yang ia buka. Matanya terkejut mendapati siapa yang sedang berdiri sambil menggendong Banyu."Papa!" Seru Banyu yang ingin segera turun sementara Arga yang menggendongnya menatapi Ken yang pakaiannya basah ataukah lembab.Arga tidak tahu apa yang terjadi sampai lelaki yang sudah memberinya bogem mentah ini tak mengganti pakaiannya. "Saya mengantarkan Banyu, ibu saya menemukannya sedang berjalan sendirian di lorong, mencari anda."Ken masih diam, meskipun manik matanya melihat Banyu yang sudah berdiri di atas kakinya sendiri. "Banyu mau ketemu tante, Papa."Bocah yang rasanya tak sabar ingin segera masuk ke dalam
***********************Selembar surat.Hai, onty Mira.Well, emm... Aku sudah lulus sekolah per-surat ini sampai padamu. Sementara Ben masih sedang mempersiapkan diri untuk ujian penerimaan siswa baru hmmm... kuharap ia diterima. Well, aku dan Muray mommy tahu ia akan berusaha yang terbaik.Oh, apa rajutan baju dan syal yang Rose kirim sudah sampai padamu? Ia menanyakan satu hal itu setiap hari. Sampai aku bosan rasanya (just kidding lol).Apa kau tahu onty? Sidney hamil anak ke 3 dan uncle Carter begitu senang sampai tak perduli pada gosip yang beredar tentang seproduktif apa dirinya. Huh! Sungguh para penggosip tua yang suka sekali membicarakan orang lain!Jika kota kecil ini bukan tempat yang indah, kurasa aku dan Ben tidak akan betah tinggal di sini (this is a BIG lie, ok?) Karena aku suka sekali dengan sandwich tuna buatan nyonya Li. Ia titip salam untukmu by the way.Oh, apa kau tahu onty? Banyak turis yang datang untuk bermain ski berkat resort baru milik kakakmu. Hmm... Ia
Hujan masih saja turun dengan deras. Rintiknya begitu ruah bahkan tak mau berhenti saat tubuh tanpa nyawa ditimbun tanah merah yang juga basah.Apa dunia sedang ikut berduka untuk terlepasnya sebuah nyawa dari raga? Siapa yang tahu. Yang jelas, empat orang penggali makam akhirnya bisa pulang ke rumah mereka dengan mengantongi lembaran rupiah.Senyum syukur yang mereka pancarkan tidak ada hubungannya dengan punggung sepi yang menatapi makam dengan nisan baru. Obrolan mereka yang meninggalkan area makam, tak memiliki korelasi apapun dengan sorot mata yang sedang lelaki pemilik barisan gigi paling rapi tunjukan. Mungkin satu-satunya penghubung mereka dengan lelaki itu hanya cipratan air yang membawa tanah pada sepatu pun ujung celana.Entah kalimat apa yang ia ucapkan pada makam yang diguyur hujan itu. Rintik dan tetesan air dari langit seolah tak membiarkan telinga manusia mendengar apa yang lelaki pemilik barisan rapi itu sampaikan.Pun, gerakan tubuhnya yang akhirnya berbalik lal
Pernahkan kamu merasa ingin mati sampai tak bisa melihat dirimu membayangkan hari esok? Pernahkan kamu dikhianati duniamu sampai bernafas saja terasa sesak?Pernahkan kamu merasa dirimu jadi manusia paling bodoh hanya karena mengikuti kata hatimu? Pernahkah kamu merasa sendirian diantara tawa menggema yang bahkan matamu lihat dan menyentuh kulit telingamu yang tipis?Jika tidak pernah, jangan berani-beraninya menyalahkan pilihan yang ku ambil. Aku adalah anak yang tumbuh dengan tuntutan orang tua yang lupa jika sentuhan hangat itu hal yang penting. Aku adalah anak yang tidak diajari untuk mengasihi orang lain jika orang itu tidak mampu memberiku sesuatu.Aku adalah anak yang diajari semua yang kumiliki ada harganya termasuk kehidupan nyaman yang merenggut senyum polosku. Apa aku melawan? Tidak! Karena menjalani hidup seperti itu adalah apa yang dunia kenalkan padaku! Sampai datang hari dimana seseorang bertanya, 'apa aku bahagia?'Ah, andai saja aku tidak diam seolah kalimatnya
PRANGG! Bunyi cangkir yang jatuh bersama isinya itu membiat suster Yuli menoleh pada wanita yang berdiri langsung menatapi pintu.Suster yang dengan senang hati menerima tawaran Arga untuk merawat Anna ini, menatap Anna yang tangannya terkepal saat Arga masuk membawa tubuh wanita yang tangannya lunglai di udara. Tanpa kata, Arga langsung meletakkan tubuh Arini di atas lantai dingin di hadapan Anna. Wanita paruh baya yang dulu mengambil dirinya sebagain anak dengan syarat, Arga harus melupakan masa lalu. Hal yang tidak akan pernah bisa Arga lakukan meski ia begitu pandai bermain lakon."Aku ingin ibu mengenalnya, Bu," ucap Arga mengusap pipi Arini. Begitu lembut dan penuh rasa.Tatapan yang tidak pernah Anna lihat dari anak yang ia rawat dan besarkan dengan segala tuntutan kesempurnaan tanpa cela."Namanya Arini, Bu, usianya 28 tahun," ucap Arga masih menatap Arini dengan pandangan yang begitu lembut.Pandangan yang masih tersisa saat ia mendongak menatap sang ibu yang menahan nafany
Aku tidak lagi bisa melihat Banyu karena mobil yang kunaiki tenggelam semakin dalam, sementara air yang masuk dari celah-celah mobil sudah menenggelamkan separuh lututku.Bohong jika aku tidak merasa takut saat air dingin danau semakin menenggelamkan kakiku. Dan akan terus naik sampai tak ada lagi ruang tersisa untuk udara.Menenggelamkan apa pun yang ada di dalamnya termasuk diriku.Aku bisa merasakan punggungku berkeringat meski seluruh tubuhku merasa dingin. Rambut-rambut halusku berdiri sementara tanganku yang gemetar kutahan untuk menurunkan jendela karena itu satu-satunya jalan keluarku.'Apa aku menyerah pada hidupku?'Kurasa iya, aku menyerah untuk hidup. Tapi, bukan karena aku ingin mati. "Ingin mati?" Ucapku menatapi tanganku yang gemetaran. Bahkan tremor yang kulihat tidak berhenti ketika kedua tanganku, kusatukan. Rasanya ... rasanya aku bisa melihat akan berakhir seperti apa diriku. Sendirian di dalam mobil yang akan jatuh ke dasar danau. "Apa akan ada orang yang menem
****************"Kenapa kau begitu keras kepala bertahan untuk hidup?"Suara yang terdengar begitu putus asa itu terdengar di dalam kamar penuh barang pecah yang sengaja di banting, dilempar, dihempaskan semau tangan yang memegangnya.Tangan gadis muda dengan wajah kuyu yang terlihat begitu lelah apalagi saat memandang perutnya yang membuncit."Kenapa kau begitu keras kepala untuk hidup?" Ulang gadis muda itu dengan mata menatap perutnya sendiri. Ia seolah sedang mengajak bicara bakal manusia yang tumbuh dengan sangat baik meskipun sudah banyak cara dan usaha ia upayakan agar janin yang tumbuh sehat di dalam rahimnya mati. "Apa yang kau harapkan dariku? Aku tidak akan pernah menerima kehadiranmu, aku tidak akan mau menerima keberadaanmu dan aku tidak ingin kau hadir dalam kehidupanku.""Apa yang kau harapkan dengan bertahan, hah? Kenapa kau tidak mati saja?"Anna, gadis dengan wajah begitu kuyu itu menatap wanita lain yang masuk ke dalam kamarnya setelah men
"Kamu harus menghilang, Arini."Aku yang matanya membesar hanya bisa menatap Anggita dengan waspada. Sementara Anggita berjalan mendekati dapur, mengambil pisau yang membuat ku berteriak seperti orang kesetanan saat ia menghampiri kamar."JANGAN, ANGGITA! JANGAN LAKUKAN! AKU AKAN PERGI! AKU AKAN PERGI! ANGITA!"Brug! Aku yang berteriak bahkan jatuh tersungkur bersama kursi yang membuatku makin tak bisa bergerak saat Anggita mengangkat tubuh bulat Banyu yang tangannya jatuh lunglai."KEN! KEN!"Sampai aku tidak tahu kalimat apa saja yang kuteriakkan dalam ketakutan saat Anggita mengangkat tubuh kecil Banyu lalu menggendongnya dan menghampiriku yang terus memohon."Kenapa kamu menangis, Arini? Aku tidak akan menyakiti Banyu."Aku berusaha menghentikan isakku. Sementara mataku menatapi Anggita dengan permohonan yang terpancar dari seluruh diri. "Aku hanya membawa Banyu agar kamu tidak macam-macam."Aku benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang Anggita katakan, saat tangannya yang m
Nyut!!Kepalaku begitu sakit. Mungkin karena aku belum tidur sama sekali.Nyut!!Tidur? Ah, iya. Aku baru tidur tiga jam kurang sejak kemarin malam. Pantas saja kepalaku berdenyut-denyut.Nyut!"Kemarin?" Rasanya aku mengucapkan kalimat itu dengan otak yang berpikir, sementara mataku masih terpejam rapat.Bukan hal biasa, karena setelah aku menelan obat agar bisa tidur, tubuhku akan terbangun lebih dahulu dibandingkan mata. tapi, aku yang masih belum mampu membuka mata merasakan rasa tak biasa. Rasa yang membuat seluruh diriku merasa waspada.'Waspada? Waspada pada apa?' Aku yang rasanya tidak bisa menggerakkan tubuh ingin membuka mata. Tapi, mataku yang rapat terpejam terasa begitu berat sekedar untuk kuangkat.'Apa yang terjadi?' Aku yang kesadarannya belum sepenuhnya bangkit, bisa merasakan dahiku berkeringat. Sementara dadaku berdetak begitu cepat. Otakku menggali memori. Aku yang keluar dari rumah Arga bertemu dengan Nabila juga wanita tua yang kembali terkejut menatapiku, 's
Aku yang memutuskan memejamkan mata, bisa merasakan langit gelap semakin cerah. Dan benar saja saat aku membuka mata, langit pagi yang mendung sudah lebih terang. "Ga," panggilku pada lelaki yang kepalanya sudah bersender pada kepala sofa. Sementara tangannya yang memeluk pundakku sudah meregang.Aku menarik nafasku dalam, menatapi lelaki dengan barisan gigi rapi yang masih lelap tertidur. "Aku pulang dulu, terimakasih sudah mau mendengarkan ceritaku," ucapku menyentuh pipi Arga lalu bangun dari sofa yang membuatku sadar bokongku kebas. Aku menghampiri pintu yang semalam kubuka dengan password yang Arga berikan padaku, lalu membuka pintu yang otomatis tertutup begitu aku sudah keluar. Lorong tidak begitu sepi, aku bisa melihat dua anak berseragam SD berdiri di depan lift sementara empat orang dewasa di samping mereka bercengkrama. Dari lorong lain aku bisa mendengar suara langkah terburu-buru yang lalu bergabung dengan kumpulan manusia yang sudah berkumpul menunggu lift terbuka.