Tubuhku tiba-tiba langsung merinding, angin malam tiba-tiba berhembus ke dalam warung. Hawa dingin yang tidak biasa, yang membuatku bergidik merinding. Hawa yang tadinya tenang dan hanya terdengar suara binatang malam berubah menjadi hawa yang mencekam.
Suara tersebut semakin mendekat dan menjadi jelas dan mengusik keheningan di malam itu. Malam yang tadinya hening dalam sekejap berubah menjadi malam yang menyeramkan.
Senter di hp rupanya tidak terlalu membantu karena suara itu masih ada dan terdengar dengan jelas, suara sesosok makhluk yang seperti berjalan mendekat ke arah warung dengan nafas yang berat di seberang jalan.
“Duh mana ya lilinya ko ga ada,” pikirku dalam keadaan panik pada malam itu.
Sreeet, Sreeet, HEEEH, HEEEH
Suara tersebut semakin mendekat dan menjadi jelas dan mengusik keheningan di malam itu. Malam yang tadinya hening berubah menjadi malam yang menyeramkan. Senter di hp rupanya tidak terlalu membantu karena suara itu masih ada, suara sesosok makhluk yang seperti berjalan mendekat ke arah warung dengan nafas yang berat di seberang jalan.
Aku mencoba memberanikan diri menyenter asal suara tersebut, senter dari HP rupanya tidak sampai ke seberang jalan, tetapi samar-samar kulihat beberapa tanaman di kebun bergerak. Seperti ada seseorang yang mencoba melewatinya. Terlihat dari suara dedaunan yang jatuh dan suara ranting pohon yang patah.
Kresek, kresek
HEEEH, HEEEEEEEEEH
Suara itu masih mengganggu, konsentrasiku tiba-tiba pecah karena suara menyeramkan itu terus-terusan ada, dia seperti terus berjalan mendekat ke arah warung. Namun akhirnya aku mencoba berpikir jernih mencoba menghiraukan suara yang menyeramkan.
Di dalam kegelapan warung dengan senter HP yang menjadi satu-satunya penerangan pada waktu itu. Aku kembali mencari lilin. Kemudian aku ingat bahwa di belakang warung ada sebuah gudang tempat penyimpanan barang dagangan warung yang belum di pajang di etalase.
“Mungkin lilin ada di ruang belakang,”
Aku langsung berlari ke ruangan belakang, ruangan belakang adalah ruangan kecil di belakang warung. Sebuah ruangan kecil yang memanjang, tempat menyimpan barang dagangan yang ditumpuk memanjang.
Di sebelah kiri terdapat kamar mandi kecil dan di sebelahnya terdapat ruangan kecil tanpa pintu yang di dalamnya terdapat kompor kecil, panci untuk memasak air dan beberapa alat makan serta gelas. Biasanya tempat itu dipakai untuk memasak air ketika ada yang pesan kopi dan mie rebus.
Kulihat stok dagangan di ruangan belakang menumpuk dan rapi diurutkan sesuai jenisnya, ada tumpukan mie rebus, tumpukan rokok, dan ada juga beberapa tumpukan barang-barang lainya.
Karena kampung sepuh ini adalah kampung kecil jadi biasanya Ibu jarang untuk berbelanja, paling ketika stok menipis Ibu menyuruh seseorang untuk menyewa mobil bak terbuka untuk berbelanja ke pasar induk di untuk menyimpan stok dagangan di dalam gudang selama beberapa bulan.
Aku mencari-cari box lilin di tumpukan box yang ada di ruangan belakang, aku mencoba berpikir positif untuk menghiraukan suara yang mengganggu di seberang warung. Fokus utamaku pada saat itu hanya mendapatkan lilin, mengingat dari catatan yang Ibu kasih ketika lilin menyala semua suara itu akan hilang.
“Syukurlah, akhirnya ketemu juga,” kataku sambil menghela napas meskipun tubuhku masih dalam keadaan merinding. Kulihat ada box lilin yang bertumpuk di atas tumpukan box sabun di bawahnya. Aku pun mengambil box tersebut dan membukanya.
HEEEEH, HEEEH
Suara itu ternyata masih ada dan semakin jelas terdengar, sesudah membuka box lilin itu aku mencoba mencoba berlari kembali membawa lilin itu ke warung untuk dinyalakan. Dan ketika aku keluar aku terkejut.
"Astaga..!"
Jujur aku tiba-tiba tidak bisa bergerak, badanku terasa lemas. Di depan warung berdiri sesosok makhluk yang baru kali ini aku lihat, sesosok makhluk yang tinggi besar, berbulu, dengan rahang dan wajah yang menakutkan. Rambutnya panjang dan sebagian menutupi wajahnya.
Dengan badan yang penuh bulu lebat dari atas ke bawah. Kemudian, di tanganya itu seperti menyeret sesuatu yang dibungkus dengan kain kafan putih yang sudah kotor. Kain kafan yang biasa digunakan orang-orang untuk membungkus jenazah sebelum dikuburkan.
Kulihat bungkusan kain kafan yang dibawa makhluk itu menggeliat-menggeliat seperti hidup, seperti berusaha melepaskan diri dari genggaman makhluk itu. Sesekali makhluk itu memukul bungkusan kain kafan itu untuk membuatnya berhenti menggeliat. tetapi apa yang ada di dalamnya itu seperti berusaha untuk keluar dari dalam bungkusan itu.
Aku tiba-tiba terduduk di lantai tak percaya atas yang kulihat selama ini, karena selama ini makhluk seperti ini hanya ada pada cerita-cerita Ibu ketika aku kecil, apabila aku bandel untuk bisa lekas tidur di malam hari, Ibu akan bercerita makhluk yang menyeramkan, yang seringkali menculik anak kecil ketika malam tiba, makhluk yang Ibu ceritakan adalah genderuwo, sesosok makhluk yang tinggi besar, berbulu lebat, dan wajah yang menakutkan mirip dengan apa yang kulihat di depanku ini.
“Astaga..!! Ini memang Genderuwo yang sering Ibu ceritakan.”
Aku semakin takut untuk melangkahkan kaki ke depan meskipun lilin ada di tanganku pada saat itu, tetapi tubuhku seperti menolak melangkah ke depan warung apalagi ada makhluk yang seperti itu, aku hanya bisa duduk sambil ketakutan.
DUG, DUG, DUG
Tiba-tiba genderuwo tersebut memukul-mukul etalase warung, sambil menatapku yang duduk ketakutan, dan akupun masih belum berani mendekat karena sosok itu ada di depan warung. aku mencoba menenangkan diri, mencoba mengingat catatan yang Ibu tulis untukku. Di sana aku ingat aku harus mencoba menghidupkan lilin ini supaya gangguanya hilang, memang sedikit tidak masuk akal, tetapi sepertinya harus dicoba.
Aku pun berlari ke etalase mencari korek untuk menerangkan lilin, tanpa sedikitpun menoleh ke genderuwo tersebut, Aku hanya bisa menundukan muka dan tanpa melihatnya sedikitpun. Setelah aku dapat korek di etalase, aku berlari kembali ke ruang belakang.
Hah, hah, hah
Nafasku tiba-tiba berat aku duduk kembali menyender di box dagangan warung, tanganku masih belum berhenti bergetar, lilin yang aku pegang ini harus segera aku nyalakan seperti di catatan yang Ibu berikan. Ketika lampu padam, lilin harus segera di nyalakan sebagai pengganti cahaya listrik, dan aku yakin ketika lilin menyala makhluk itu akan hilang.
Trak, trak
Brrrrr
Akhirnya api di lilin sudah menyala, dengan terangnya lilin tersebut semoga dapat mengusir kegelapan di malam itu, meskipun cahayanya tidak seterang lampu tetapi setidaknya bisa menerangi warung di malam itu.
Lilin sudah menyala, tetapi aku masih takut untuk melangkah kembali ke depan warung, karena aku takut makhluk itu masih di sana.
Butuh beberapa menit untukku untuk bisa memberanikan diri supaya bisa melangkahkan kaki ke depan warung, aku berjalan perlahan ke arah depan dengan lilin di tangan. Dan ketika aku ke warung, warung serasa sepi kembali. Seperti tidak ada siapa-siapa di sana, padahal ketika lilin belum menyala aku yakin ada Genderuwo yang menyeramkan di depan warung sembari memukul-mukul etalase.
Malam kembali hening seperti sebelumnya warung yang sepi, kondisi warung juga kembali tenang, hanya sebatang lilin yang menyinari warung malam itu tetapi tidak tampak seperti habis di teror oleh genderuwo yang tadi muncul.
Aku mencoba memberanikan diri untuk memastikan bahwa genderuwo itu telah menghilang. Aku keluar warung dengan lilin di tanganku ini, mencoba melihat ke arah seberang jalan, kulihat hanya ada kebun yang gelap seperti tidak pernah terjadi apa-apa di sana.
Aku kembali ke warung dan mencoba menyalakan kembali saklar listrik dengan memindahkan tombol saklar yang ditempel di dinding depan warung, sehingga warung akhirnya bisa kembali terang seperti sebelumnya.
Catatan yang disimpan di atas rak aku buka kembali, kubaca kembali satu per satu poinnya dengan seksama. Seketika Ada perasaan marah pada saat itu, apa sebenarnya yang disembunyikan orang tuaku tentang ini. Aku kira ini hanya candaan saat Ibu menuliskan catatan yang seolah-olah menakut-nakutiku seperti saat aku kecil dulu.
Sebenarnya apa yang orang tuaku sembunyikan tentang warung ini, tentang mengapa aku tidak boleh bermain di warung di malam hari. Mereka tidak memberitahukan padaku tentang kebenaran warung ini. Sepertinya semuanya itu saling berkaitan, apalagi dengan catatan yang dituliskan oleh Ibu padaku.
Banyak pertanyaan yang muncul akan kejadian malam ini dan satu-satunya jawaban atas pertanyaan ini adalah aku harus menanyakan langsung kepada Ibuku.
“Aku harus meminta penjelasan Ibu, karena ini terlalu aneh untukku.”
Aku melihat jam dinding di malam itu yang masih menunjukkan pukul 12:30 malam. Tetapi karena terlalu banyak pertanyaan yang muncul setelah kejadian tadi aku pun bergegas keluar warung untuk pulang ke rumah.
Aku meninggalkan warung di malam itu, melangkahkan kaki keluar warung dan pulang ke rumah. Aku harus secepatnya bertemu Ibu untuk menceritakan tentang kejadian tadi dan menanyakan tentang apa sebenarnya yang terjadi tentang warung ini. Karena aku yakin pasti ada sesuatu yang disembunyikan oleh orang tuaku tentang warung yang tidak pernah ditutup ini.
Aku melangkah ke arah jalan berbelok ke arah rumah dan meninggalkan warung dalam keadaan kosong tidak ada seorang pun yang jaga. Namun apa yang kulihat pada malam itu sungguh berbeda.
“Sepertinya ini bukan kampung yang aku kenal.”
Aku berhenti beberapa langkah setelah keluar dari warung, kemudian melihat sekelilingku yang nampak berbeda dari kampung yang aku kenal. Harusnya jarak antara warung dan rumah tak sampai 15 meter jaraknya. Hanya terpisah oleh pekarangan dan kebun kecil depan rumah, tapi apa yang kulihat ini seperti tempat yang asing. Tempat yang seharusnya menjadi lokasi rumahku, terlihat hanya sebuah bangunan kosong yang sepertinya sudah lama ditinggalkan yang dimana dinding rumah tersebut sudah banyak yang lapuk dimakan usia, seperti tidak ada kehidupan di dalamnya, atapnya sebagian sudah tidak ada bahkan sebagian sudah berlumut dan ditutupi oleh ilalang serta tumbuhan liar yang merambat melalui tembok. “Ini dimana?” pikiranku kembali kacau setelah kejadian genderuwo tadi. Kampung
Pasar malam yang kulihat ini seperti pasar malam yang ada di waktu-waktu tertentu di kampung, di sisi kanan dan kiri jalan berjajar stan makanan yang menggugah selera sembari diterangi obor dan lampu minyak. Stan makanan yang terbuat dari kayu dan beratapkan rumbia dengan bangku dan meja kecil tempat pengunjung stan duduk dan menikmati makanan di malam itu. Orang-orang yang hilir mudik kesana kemari menikmati suasana pasar malam, mereka saling bercengkrama satu sama lain dan di iringi oleh sesekali tawa senang dari pengunjung. Di ujung deretan stan terdapat satu panggung kecil yang terbuat dari kayu dengan penerangan obor di kedua sisinya di atasnya terdapat satu panggung kecil yang tertutup oleh kain berwarna hitam dan batang pisang di atasnya, dan di belakangnya terdapat dalang yang sedang melakukan pagelaran wayang golek dan diiringi oleh gamelan khas Sund
“Ujang tidak kenapa-kenapa kan?” tanya Indah. “Hmmm, iya, Ndah tidak kenapa-kenapa kok,” jawabku. Aku berbalik melihat ke pasar malam tadi, tiba-tiba yang kulihat malah pemandangan yang berbeda. Yang di hadapanku ini hanyalah sebuah lahan kosong yang membentang luas disertai pohon-pohon besar di kedua sisinya, tidak ada tanda-tanda bahwa tempat tersebut adalah pasar malam yang ramai dikunjungi oleh banyak orang. Hanya lahan kosong dengan ilalang yang dikelilingi pohon besar. “Bukanya tadi di sini ada pasar malam Indah?” tanyaku kepada Indah. “Itu memang pasar malam jang, tapi bukan pasar malam untuk manusia.”
Kondisi warung tampak tidak karuan, seluruh dagangan di atas etalase yang awalnya tertata rapi terlihat berantakan. Semua jajanan telah hilang dan berhamburan hingga keluar warung, seperti ada sesuatu yang datang dan memakan makanan yang ada di warung hingga dibawa keluar. Tetapi ada hal aneh, di lantai banyak berserakan uang pecahan lima puluh ribu dan seratus ribuan. Uang tersebut berserakan di sekitaran warung. Aku mengambil salah satu uang yang tercecer di lantai tersebut. “Apa ada perampok yang mencoba mencuri warung?” pikirku. Aku pun berlari ke dalam warung dan mengecek rak uang, aku membuka perlahan rak tersebut untuk melihat dalamnya. Karena ditakutkan bahwa uang yang berserakan adalah uang yang ada di dalam ra
“Kang pesen kopi hideung (kang pesan kopi hitam).” Tiba-tiba terdengar suara wanita itu memesan kopi kepadaku. “Kang pesen kopi hideung (kang pesan kopi hitam).” Wanita itu mengulang ucapannya kepadaku, tapi ketika wanita itu berbicara tiba-tiba badanku merinding. Seakan-akan ada aura mistis yang menakutkan terpancar dari wanita itu. Wanita duduk dan menghadap ke arah jalan sehingga aku hanya melihat punggung nya dengan rambut panjang yang hampir menyentuh lantai. Dengan baju putih yang lusuh dan rambut panjang yang kusut terlihat beberapa daun kering yang menempel di rambutnya semakin membuatku semakin yakin bahwa wanita itu bukan manusia. Wanita itu duduk terdiam tanpa sesekali menggerakan tanganya, s
"Jang, Jang bangun bangun bangun,” Ibuku mencoba membangunkanku. Aku yang pingsan di lantai pada waktu itu perlahan bangun, aku membuka mata secara perlahan dan aku melihat Ibuku yang sedang berusaha membangunkanku dengan wajah yang nampak panik. Aku perlahan-lahan bangun dan duduk di lantai, akupun melihat gelas kopi yang pecah di sisiku dan air kopi yang telah mengering menyisakan bubuk kopi yang berserakan di lantai tercampur dengan pecahan-pecahan gelas. “Ujang tidak apa-apa kan,” kata Ibuku. “Ibu tau akhirnya akan jadi seperti ini, makanya kemarin Ibu tidak yakin kalau Ujang ingin jaga warung di malam hari,” kata Ibuku s
Sebuah pohon di atas bukit dengan rerumputan yang hijau dan pemandangan yang indah terlihat dari atas gunung. Di bawah pohon tersebut terdapat suatu sosok laki-laki tua berjubah putih yang duduk sambil memandang pemandangan di bawahnya. Di bawahnya terdapat hutan yang mengelilingi bukit itu, hutan yang sangat gelap dan beberapa dari mereka memunculkan aura yang menakutkan. Sungguh sangat kontras sekali dengan pemandangan yang indah di atas bukit itu. Di sela-sela pohon di hutan itu terdapat banyak sekali sepasang mata yang saling mengawasi satu sama lain, mata yang berwarna merah terang seperti memberi isyarat bahwa hutan tersebut adalah wilayahnya dan mereka seperti tidak akan membiarkan siapapun yang menginjakan kaki di sana. Tapi yang dilakukan oleh kakek-kakek itu hanya terdiam duduk menyandarkan tubuhnya ke
Aku terbangun dari mimpiku siang itu, dengan keringat yang membanjiri seluruh tubuhku dan belakang kepala yang panas seperti seseorang yang baru sembuh dari kesurupan. Kulihat mencoba duduk dan bersandar di dinding kamar, memikirkan arti dari mimpi itu. Semuanya terlihat sangat nyata seperti memutar waktu kembali ke masa lalu, masa di mana kampung ini masih hutan belantara. Aku kembali melihat sekeliling kamar yang tampak kosong pada siang itu, hanya angin berhembus dari jendela kamar menggerakan tirai jendela merah tua yang sudah lama dipasang. Aku lalu berdiri menuju ruang tengah mencoba mencari tahu sosok yang ada di mimpi itu dengan mencarinya di arsip-arsip keluargaku yang disimpan oleh almarhum Bapak di lemari kamarnya. Ketika aku keluar ternyata Ibuku sudah menungguku, dia duduk terdiam seperti menungguku bangun. Di sampingnya ada tas carrier yang sepe
Waktu semakin malam, aku dan Iman kini berjalan melewati rumah-rumah di Kampung Sepuh menuju warung. Sekarang para warga bisa berjalan dengan santainya pada malam hari, bahkan tanpa bantuan senter sekalipun, karena baru beberapa bulan yang lalu jalanan Kampung Sepuh dipasangin lampu jalan bertenaga surya untuk penerangan. Ya siapa lagi kalau ada andil Pak Ardi di dalamnya, Pak Ardi benar-benar ingin merubah Kampung Sepuh agar bisa disamakan dengan kampung-kampung yang ada di sekitarnya. Sehingga apapun yang dia lakukan agar Kampung Sepuh bisa terlihat lebih modern dan bisa diterima oleh masyarakat yang masih menganggap Kampung Sepuh itu adalah Kampung Keramat. Ketika aku sampai, rupanya Ujang sudah duduk di depan warung. dengan aura yang kini tampak berbeda dari yang aku temui di siang hari. Aku yang baru sampai dipersilakan untuk duduk dan bersila, dan akupun secara tidak sadar mengikuti apa yang dia perintahkan. “Aku akan menunjukan A Sidik sesuatu.
Obrolan yang sangat panjang di depan warung tersebut membuatku terkesima, oleh cerita-cerita Ujang yang dia dapatkan dari pengalamannya sendiri ataupun dari para warga yang mengalami kejadian-kejadian diluar nalar yang terjadi di Kampung Sepuh ini.Setelah perjanjian yang mengikat mereka terputus, para warga mulai beradaptasi kembali dengan suasana malam. Dan sekarang mereka sudah terbiasa dengan malam hari di Kampung Sepuh yang kini sedang aku kunjungi.Disana pula aku mendapatkan beberapa cerita yang tidak aku tulis dalam cerita, cerita-cerita yang menyeramkan terutama ketika menyangkut Ujang pada masa kecil dengan mitos-mitos dan pantangan-pantangan yang ada di sekitar mereka.Pulau Jawa bagian selatan masih penuh misteri, dengan landscape pegunungan yang membentang hingga ke Pantai Selatan. Membuatnya banyak mitos dan kejadian-kejadian yang diluar nalar, yang sering kali bersinggungan dengan manusia yang hidup di dalamnya.Dan bagiku, itu adalah penga
Sebuah warung kecil, yang awalnya aku tuangkan dalam Kata-kata yang menjadi cerita hingga saat ini. Kini aku lihat sendiri bentuknya, sebuah warung yang dulunya hanya berada dalam imajinasiku sendiri. Kini, aku melihatnya dengan kedua mataku sendiri.Bekas-bekas runtuhnya warung yang aku ceritakan masih tersisa, dengan banyaknya genteng-genteng yang rusak karena hangus terbakar disusun dan disimpan di rumah Ujang. Warung itu tampak baru, karena setelah kejadian yang menimpa Ujang. Pak Ardi dan para warga sepakat membangun kembali warung tersebut.Warung yang kini aku lihat ini, adalah salah satu point utama dalam ceritaku. Dimana, banyak kejadian yang silih berganti muncul dan harus di hadapi oleh Ujang dan warga Kampung Sepuh.“Kang!” Kataku sambil berdiri dan menyapa Ujang yang mendekatiku.Ujang hanya tersenyum, sifatnya yang agak pendiam terlihat jelas olehku. Ujang tidak setampan atau setinggi orang-orang yang menjadi karakter utama di da
“Dik, rumah orang tua kamu dimana sih, aku dah nungguin di Alf*mart deket rumah kamu. ” Sebuah text W* tiba-tiba muncul di HP ku pada pagi itu. Dan ketika aku baca, ternyata Iman sudah sampai di Ciwidey tempat dimana orang tua ku tinggal. Hari ini adalah hari minggu di akhir Februari. Dan pada hari ini, aku sengaja mengosongkan jadwalku untuk berkunjung ke Kampung Sepuh bersama dengan Iman, anak dari Mang Rusdi yang kini bekerja di tempat yang sama denganku. Aku berkunjung ke Kampung Sepuh, semata-mata untuk bersilaturahmi kepada semua warga yang ada disana. Karena sudah memberiku izin untuk membuat cerita tentang mereka, termasuk dengan segala yang terjadi di dalamnya. Iman dan Mang Rusdi adalah dua orang yang namanya sama dengan cerita yang aku buat. Sedangkan sisanya, aku sengaja memberi nama baru. Dan itu sudah sesuai dengan kesepakatan mereka ketika aku membuat cerita ini. “Ok, tunggu nanti aku kesana, beli aja makanan ama minuman buat ol
Kini,Semuanya kembali normal, Tidak semua orang tahu akan cerita ini. Bahkan hanya beberapa orang yang aku percaya yang mengetahui tentang apa yang terjadi tentang pertarunganku dan Kala pada saat itu.Karena apabila aku bercerita kepada semua orang, pasti banyak orang yang tidak percaya. Karena menganggap itu hanyalah fantasi dan ilusi semata dari seseorang yang kehilangan kakinya di Gunung Sepuh.Namun, berbeda dengan Mang Rusdi dan Mang Darman. Yang kini sering kali menghabiskan waktunya untuk menemaniku di dalam warung, bahkan istri Mang Rusdi sering kali membantuku di rumah untuk sekedar membersihkan rumah dan memastikan aku bisa makan dengan lahap di hari itu.Karena mereka sadar, aku kini hanya sendirian di Kampung Sepuh. Sudah tidak ada lagi orang tua yang menjadi panutanku saat ini. Sehingga mereka secara sukarela membantuku dan menganggapku sebagai bagian dari keluarga mereka yang tidak boleh mereka abaikan.“Mang, nongkrong wae di
Dua minggu kemudian.Warung yang sudah hancur akibat aku bakar, kini kembali berdiri. Lengkap dengan etalase yang sudah diperbaiki dan barang-barang yang dagangan yang mengisi penuh etalase dan rak-rak dagangan di warungku ini.Dan suasana sore hari yang penuh dengan hilir mudik warga kampung yang pulang dari sawah dan ladang terlihat olehku yang kini menjaga lagi warung yang sudah aku buat kembali bersama para warga dengan bantuan modal dari Pak Ardi.Aku seperti biasa kini sedang duduk dan bercengkrama dengan Mang Rusdi dan Mang Darman yang baru pulang dari berkeliling kampung untuk berdagang. Canda dan tawa menghiasi obrolan-obrolan tersebut karena sesekali Mang Darman berceloteh dan bercanda atas apa yang dia lakukan.Mereka berdua sudah mengetahui kejadian yang menimpaku di tempat itu, bahkan pertarungan ku dengan Kala di Gunung Sepuh. Dan itu membuat mereka tercengang karena mereka tidak mengetahui bahwa ada makhluk yang seperti itu di Gunung Sepuh.
Aku kembali berdiri, di tengah-tengah hamparan rerumputan yang luas. Dengan salah satu pohon besar yang ada di puncak yang terlihat olehku dari kejauhan. Rerumputan itu kini tampak lebih hijau dari sebelumnya, dan tidak terlihat lagi ilalang-ilalang yang tinggi menjulang hingga menutupi badanku saat itu. Panas yang terik, dengan angin segar yang berhembus dari pegunungan membuatku merasakan suatu perasaan yang sangat lega. Entah mengapa. Hatiku kini terasa sangat tenang ketika berada di tempat ini. Aku pun berjalan, melewati rerumputan tersebut dengan kakiku yang tidak memakai alas kaki sama sekali. Mencoba untuk berjalan dan duduk kembali di pohon besar yang berdiri di tengah-tengah rerumputan di atas sana. Jalanan yang kulalui sangat begitu mulus, tidak ada serangga-serangga yang menggigit kakiku, tidak ada jalanan yang becek bercampur lumpur. Juga tidak ada lagi lubang yang membuatku terperosok. Semuanya sangatlah berbeda, aku seper
Pandangan ku tiba-tiba gelap, aku sudah tidak bisa merasakan apapun lagi. Aku yang sudah pasrah kini hanya bisa membiarkan tubuhku yang tertutup oleh tanah yang menimpaku seketika dari atas sana. Dan para warga yang menyaksikan hal itu secara langsung tiba-tiba panik dan langsung berteriak memanggilku. “UJANGGGGGGGG!!!” Mang Rusdi yang pertama berlari ke arah tanah longsoran tersebut dan memindahkan batu, ranting-ranting dan tanah untuk mencariku dengan kedua tangannya. Begitu juga dengan Aki Karma, Mang Dadang, dan Mang Uha serta warga-warga yang lainnya yang membantu memindahkan semua material longsor yang menutupi tubuhku, dan berharap aku masih bisa bertahan dengan tubuh yang tertutup oleh longsoran tanah tersebut. Sedangkan Pak Ardi, dia langsung menelpon anaknya dan Pak Caca untuk segera meminta bantuan. Karena kini situasinya sangat berbeda, Pak Ardi membutuhkan lebih banyak orang agar bisa lebih cepat menyelamatkan aku yang berada di d
Mereka semua berlari masuk ke dalam hutan Gunung Sepuh yang masih terlihat gelap dan menyeramkan, dengan aura mistis yang kental dan terasa oleh semua warga Kampung Sepuh pada pagi itu.Meskipun waktu itu adalah waktu di mana pagi akan menjelang, namun tetap saja. aura-aura mistis yang terasa oleh para warga yang sedang berlari ke dalam sangatlah terasa.Apalagi dari mereka semua, hampir sebagian besar belum pernah keluar pada dalam gelap semasa hidupnya, mereka sudah terbuai oleh bantal dan selimut tebal dari mereka lahir hingga saat ini, dan mereka mematuhi larangan untuk keluar rumah hingga pagi tiba. Sehingga mereka tidak mengetahui rasanya masuk ke dalam hutan pada saat-saat seperti ini.“JANGGGG, UJANGGGG!!!!!”Mang Rusdi berteriak-teriak sambil berlari. Senternya di arahkan ke segala arah, mencoba mencariku di dalam gelapnya hutan Gunung Sepuh yang luas tersebut. Para warga lainnya juga melakukan hal yang sama, mereka berlari sambil men