Mang Rusdi terlihat panik dengan berlari ke arah belakang warung dengan terburu-buru, tumpahan ampas kopi dan mie rebus yang terlihat kotor di bajunya, bahkan radio yang menyala kini terlihat padam karena kena tumpahan air mie yang berada dekat dengan radio it.
Namun sepertinya Mang Rusdi tidak peduli. Dia terus berlari dengan rasa takut yang sangat terlihat dari wajahnya yang nampak panik ke ruangan belakang menghampiri Mang Darman yang berada di sana.
Ruangan belakang adalah ruangan kecil di belakang warung. Sebuah ruangan kecil yang memanjang, tempat menyimpan barang dagangan yang ditumpuk memanjang.
Di sebelah kiri terdapat kamar mandi kecil dan di sebelahnya terdapat ruangan kecil tanpa pintu yang di dalamnya terdapat kompor kecil, panci untuk memasak air dan beberapa alat makan serta gelas. Biasanya tempat
Terima kasih sudah menjadi pembaca setia WARUNG TENGAH MALAM ya Vote dan Komen bintang lima ya supaya saya masih tetap semangat untuk uploab bab terbaru Apabila ada kritik dan saran bisa follow hanzociwidey ya terima kasih.
Bau sesuatu yang terbakar kini tercium jelas oleh Mang Rusdi dan Mang Darman, baru saja mereka berdua melangkahkan kaki ke arah warung, kini mereka harus mencium bau sesuatu yang terbakar. Sesuatu yang mereka percaya bahwa apabila tercium sesuatu yang gosong, berarti ada makhluk yang menyeramkan lain yang sedang memata-matai mereka. “Mang, kayaknya bakalan muncul pocong atau genderuwo sepertinya kali ini Mang,” Kata Mang Darman yang kali ini memegang baju Mang Rusdi karena ketakutan. “Hush gak boleh gitu, ketemu tuyul aja kita seperti ini. Apalagi muncul dua makhluk itu,” Kata Mang Rusdi yang mencoba menahan Mang Darman agar tidak berbicara sembarangan tentang para makhluk yang suka datang ke warung. Mereka berjalan perlahan ke luar warung, mencoba melihat keadaan sekitar warung karena terlihat sepi, tidak
“Mang, Mang naha jadi mati lampu gini? ” Kata Mang Darman yang panik karena seluruh lampu di warung menjadi gelap gulita. Rasa sunyi dan sepi menyelimuti mereka yang baru pertama kali merasakan menjaga warung di Kampung Sepuh pada malam hari, Mang Rusdi yang tidak tahu apa-apa ikutan panik. Karena dia takut, akibat kompor yang terus-terusan menyala tadi, mengakibatkan ada kabel yang terbakar di dekat kompor yang membuat konslet. “Duh gimana ini?” Kata Mang Rusdi yang masih berdiri di dekat kompor yang baru saja dia matikan. "Coba Mang Darman, pinjam HP nya. Biasanya kan di HP suka ada senternya, soalnya aku gak bawa HP malam ini, cuman bawa radio doang,” Kata Mang Rusdi yang berteriak ke Mang Darman dalam kegelapan malam di warung itu. “Aduh Mang, HP ku mah masih HP
“Eh!” Mang Darman dan Mang Rusdi menengok secara bersamaan ke depan warung. Dan terlihat sesosok wanita berdiri di depan etalase warung sembari tersenyum hangat kepada mereka berdua. Sosok wanita Ibu-ibu muda, dengan wajah yang tampak masih cantik dan kulitnya putih. Serta memakai kebaya yang sederhana juga sebuah topi caping yang dikalungkan di belakang leher. Meskipun pada saat itu warung dalam keadaan gelap gulita akibat listrik yang mati, namun kecantikanya masih terlihat meskipun hanya diterangi oleh cahaya lilin yang disimpan di atas etalase. Wanita itu tampak tersenyum kepada Mang Rusdi dan Mang Darman, dan secara tak sadar Mang Darman membalas senyuman dari wanita tersebut.
Sebuah pohon di atas gunung dengan rerumputan yang hijau dan pemandangan yang indah terlihat dari atas sana. Di bawahnya terdapat hutan yang mengelilingi bukit itu, hutan yang sangat gelap dan beberapa dari mereka memunculkan aura yang menakutkan. Sungguh sangat kontras sekali dengan pemandangan yang indah di atas bukit itu. Di sela-sela pohon di hutan itu terdapat banyak sekali pasang mata yang saling mengawasi satu sama lain, mata yang berwarna merah terang seperti memberi isyarat bahwa hutan tersebut adalah wilayahnya dan mereka seperti tidak akan membiarkan siapa pun yang menginjakan kaki di sana. Aku kembali berdiri di tempat ini, tempat yang sepertinya tidak asing bagiku, rasanya aku pernah menginjakan kaki di tempat ini. Tapi aku tidak mengetahui kapan tepatnya aku berdiri di puncak seperti sekarang.
Rasa senang dan haru bercampur aduk di dalam hatiku saat ini, bagaimana tidak. Di depanku ada sosok yang ingin sekali aku temui, meskipun aku tidak tahu bahwa ini adalah jiwa Bapak atau hanyalah suatu memori yang sengaja Bapak simpan ketika dirinya meninggal. Namun aku sangat senang, karena jujur selama aku kuliah di kota. Aku jarang sekali pulang ke Kampung Sepuh, terhitung hanya beberapa kali saja aku pulang ketika libur panjang semester. Itupun tidak lama, karena Ibu dan Bapak seperti tidak ingin membuatku berlama-lama tinggal di Kampung Sepuh. Dan mereka selalu menyarankan aku untuk tetap tinggal di kota, dan menyuruhku untuk tidak terlalu memperdulikan Kampung Sepuh yang menjadi tempat kelahiranku ini. Aku tersenyum sambil melihat
Tampak ada benda yang entah darimana datangnya kini berada di genggaman tanganku, benda yang berbentuk gelang kecil berwarna hitam kelam, dan bentuknya yang tidak beraturan seperti akar pohon kecil yang dianyam menjadi gelang. Gelang itu tampak kecil dan sepertinya tidak cukup dipakai di tanganku pada saat itu. Tapi ketika aku menariknya, gelang tersebut sangatlah lentur. Seperti gelang-gelang karet yang sering dijual oleh penjual aksesoris yang berada di pinggir jalan. Namun gelang itu memancarkan aura aneh, yang membuatku merasakan pusing ketika aku baru saja tersadar di tengah rumah. “Apakah ini efek karena aku tidak sadarkan diri, atau efek dari gelang ini? ” Pikirku sambil melihat tanganku yang sedang menggenggam gelang itu. Aku bangun secara perlahan, aku menco
“Oha? ” Jawab Ibu, Mang Darman dan Mang Rusdi serentak kepada Pak Asep yang berlari ke arah mereka. “Iya Mang, Bu, siapa tahu kalian melihat anakku, karena hingga hari ini belum pulang kerumah. Terakhir dia ingin main bola di persawahan bekas panen di Kampung Parigi bersama teman-teman sekolahnya,” Kata Pak Asep yang menjelaskan tentang keadaan anaknya yang hilang. “Yee atuh Pak Asep mah, salah alamat atuh, kalau nanyain Oha ya ke Kampung Parigi, kalau nanyain kopi ama cemilan. Nah tanya ke warung ini," Kata Mang Darman sambil menyeruput kopi sambil tertawa kecil. “Hush, Pak Asep lagi panik ini,” Kata Ibu yang mencoba menghentikan candaan Mang Darman. Mang Darman langsung terdiam ketika Ibu berbicara seperti itu, tampaknya dia malu atas apa yang dia katakan, sehingga Ibu bereaksi seperti itu. “Mungkin si Oha nginep di rumah temannya Pak Asep, tahu sendiri kalau main bola pasti sampe sore,” Kata Ibu berkata kepada Pak Asep untuk sekedar menenan
“Pak gimana ya Pak, sudah seharian ini anak ku masih belum pulang? ” Kata seorang Ibu dengan baju kebaya dan samping sarung yang dia kenakan.Wajahnya terlihat sangat sedih dan panik, matanya berkaca-kaca ketika melaporkan tentang anaknya yang hingga saat ini belum ditemukan.Ibu itu ditemani suaminya yang kebetulan sedang libur bekerja. Dia mencoba menenangkan istrinya yang sedang bersedih, karena anak semata wayangnya hilang dan belum kembali hingga saat ini dari kemarin.Bahkan terlihat ada seorang Ibu lain yang menangis tersedu-sedu di depan Pak Caca dan aparat desa yang berada di sampingnya. Bahkan aparat desa terlihat sedang serius sedang mencatat keluhan warga pada siang itu, karena saking banyaknya laporan yang masuk pada siang itu.“Iya Bu saba