Malam semakin larut, sepi dan sunyi menemani Mang Darman dan Mang Rusdi yang masih tetap berjaga di dalam warung itu. Mereka sebenarnya takut, namun karena ada tawaran yang menggiurkan dari Pak Ardi. Mereka mencoba menghilangkan ketakutan mereka demi beberapa lembaran uang merah dan uang biru yang mereka dapatkan di esok hari.
Mang Rusdi sedang asyik duduk di depan warung, dengan ditemani secangkir kopi dan rokok yang menemaninya pada malam itu. Juga radio tua yang sengaja dia bawa dari rumah sebagai hiburan untuk mengusir sepi. Dengan suara lagu dangdut yang tidak terlalu jelas terdengar, namun hal itu bisa menjadi hiburan satu-satunya untuk mengusir sepi ketika mereka berjaga.
Mengingat Kampung Sepuh ada
Terima kasih sudah menjadi pembaca setia WARUNG TENGAH MALAM ya Vote dan Komen bintang lima ya supaya saya masih tetap semangat untuk uploab bab terbaru Apabila ada kritik dan saran bisa follow hanzociwidey ya terima kasih.
Mang Rusdi terlihat panik dengan berlari ke arah belakang warung dengan terburu-buru, tumpahan ampas kopi dan mie rebus yang terlihat kotor di bajunya, bahkan radio yang menyala kini terlihat padam karena kena tumpahan air mie yang berada dekat dengan radio it. Namun sepertinya Mang Rusdi tidak peduli. Dia terus berlari dengan rasa takut yang sangat terlihat dari wajahnya yang nampak panik ke ruangan belakang menghampiri Mang Darman yang berada di sana. Ruangan belakang adalah ruangan kecil di belakang warung. Sebuah ruangan kecil yang memanjang, tempat menyimpan barang dagangan yang ditumpuk memanjang. Di sebelah kiri terdapat kamar mandi kecil dan di sebelahnya terdapat ruangan kecil tanpa pintu yang di dalamnya terdapat kompor kecil, panci untuk memasak air dan beberapa alat makan serta gelas. Biasanya tempat
Bau sesuatu yang terbakar kini tercium jelas oleh Mang Rusdi dan Mang Darman, baru saja mereka berdua melangkahkan kaki ke arah warung, kini mereka harus mencium bau sesuatu yang terbakar. Sesuatu yang mereka percaya bahwa apabila tercium sesuatu yang gosong, berarti ada makhluk yang menyeramkan lain yang sedang memata-matai mereka. “Mang, kayaknya bakalan muncul pocong atau genderuwo sepertinya kali ini Mang,” Kata Mang Darman yang kali ini memegang baju Mang Rusdi karena ketakutan. “Hush gak boleh gitu, ketemu tuyul aja kita seperti ini. Apalagi muncul dua makhluk itu,” Kata Mang Rusdi yang mencoba menahan Mang Darman agar tidak berbicara sembarangan tentang para makhluk yang suka datang ke warung. Mereka berjalan perlahan ke luar warung, mencoba melihat keadaan sekitar warung karena terlihat sepi, tidak
“Mang, Mang naha jadi mati lampu gini? ” Kata Mang Darman yang panik karena seluruh lampu di warung menjadi gelap gulita. Rasa sunyi dan sepi menyelimuti mereka yang baru pertama kali merasakan menjaga warung di Kampung Sepuh pada malam hari, Mang Rusdi yang tidak tahu apa-apa ikutan panik. Karena dia takut, akibat kompor yang terus-terusan menyala tadi, mengakibatkan ada kabel yang terbakar di dekat kompor yang membuat konslet. “Duh gimana ini?” Kata Mang Rusdi yang masih berdiri di dekat kompor yang baru saja dia matikan. "Coba Mang Darman, pinjam HP nya. Biasanya kan di HP suka ada senternya, soalnya aku gak bawa HP malam ini, cuman bawa radio doang,” Kata Mang Rusdi yang berteriak ke Mang Darman dalam kegelapan malam di warung itu. “Aduh Mang, HP ku mah masih HP
“Eh!” Mang Darman dan Mang Rusdi menengok secara bersamaan ke depan warung. Dan terlihat sesosok wanita berdiri di depan etalase warung sembari tersenyum hangat kepada mereka berdua. Sosok wanita Ibu-ibu muda, dengan wajah yang tampak masih cantik dan kulitnya putih. Serta memakai kebaya yang sederhana juga sebuah topi caping yang dikalungkan di belakang leher. Meskipun pada saat itu warung dalam keadaan gelap gulita akibat listrik yang mati, namun kecantikanya masih terlihat meskipun hanya diterangi oleh cahaya lilin yang disimpan di atas etalase. Wanita itu tampak tersenyum kepada Mang Rusdi dan Mang Darman, dan secara tak sadar Mang Darman membalas senyuman dari wanita tersebut.
Sebuah pohon di atas gunung dengan rerumputan yang hijau dan pemandangan yang indah terlihat dari atas sana. Di bawahnya terdapat hutan yang mengelilingi bukit itu, hutan yang sangat gelap dan beberapa dari mereka memunculkan aura yang menakutkan. Sungguh sangat kontras sekali dengan pemandangan yang indah di atas bukit itu. Di sela-sela pohon di hutan itu terdapat banyak sekali pasang mata yang saling mengawasi satu sama lain, mata yang berwarna merah terang seperti memberi isyarat bahwa hutan tersebut adalah wilayahnya dan mereka seperti tidak akan membiarkan siapa pun yang menginjakan kaki di sana. Aku kembali berdiri di tempat ini, tempat yang sepertinya tidak asing bagiku, rasanya aku pernah menginjakan kaki di tempat ini. Tapi aku tidak mengetahui kapan tepatnya aku berdiri di puncak seperti sekarang.
Rasa senang dan haru bercampur aduk di dalam hatiku saat ini, bagaimana tidak. Di depanku ada sosok yang ingin sekali aku temui, meskipun aku tidak tahu bahwa ini adalah jiwa Bapak atau hanyalah suatu memori yang sengaja Bapak simpan ketika dirinya meninggal. Namun aku sangat senang, karena jujur selama aku kuliah di kota. Aku jarang sekali pulang ke Kampung Sepuh, terhitung hanya beberapa kali saja aku pulang ketika libur panjang semester. Itupun tidak lama, karena Ibu dan Bapak seperti tidak ingin membuatku berlama-lama tinggal di Kampung Sepuh. Dan mereka selalu menyarankan aku untuk tetap tinggal di kota, dan menyuruhku untuk tidak terlalu memperdulikan Kampung Sepuh yang menjadi tempat kelahiranku ini. Aku tersenyum sambil melihat
Tampak ada benda yang entah darimana datangnya kini berada di genggaman tanganku, benda yang berbentuk gelang kecil berwarna hitam kelam, dan bentuknya yang tidak beraturan seperti akar pohon kecil yang dianyam menjadi gelang. Gelang itu tampak kecil dan sepertinya tidak cukup dipakai di tanganku pada saat itu. Tapi ketika aku menariknya, gelang tersebut sangatlah lentur. Seperti gelang-gelang karet yang sering dijual oleh penjual aksesoris yang berada di pinggir jalan. Namun gelang itu memancarkan aura aneh, yang membuatku merasakan pusing ketika aku baru saja tersadar di tengah rumah. “Apakah ini efek karena aku tidak sadarkan diri, atau efek dari gelang ini? ” Pikirku sambil melihat tanganku yang sedang menggenggam gelang itu. Aku bangun secara perlahan, aku menco
“Oha? ” Jawab Ibu, Mang Darman dan Mang Rusdi serentak kepada Pak Asep yang berlari ke arah mereka. “Iya Mang, Bu, siapa tahu kalian melihat anakku, karena hingga hari ini belum pulang kerumah. Terakhir dia ingin main bola di persawahan bekas panen di Kampung Parigi bersama teman-teman sekolahnya,” Kata Pak Asep yang menjelaskan tentang keadaan anaknya yang hilang. “Yee atuh Pak Asep mah, salah alamat atuh, kalau nanyain Oha ya ke Kampung Parigi, kalau nanyain kopi ama cemilan. Nah tanya ke warung ini," Kata Mang Darman sambil menyeruput kopi sambil tertawa kecil. “Hush, Pak Asep lagi panik ini,” Kata Ibu yang mencoba menghentikan candaan Mang Darman. Mang Darman langsung terdiam ketika Ibu berbicara seperti itu, tampaknya dia malu atas apa yang dia katakan, sehingga Ibu bereaksi seperti itu. “Mungkin si Oha nginep di rumah temannya Pak Asep, tahu sendiri kalau main bola pasti sampe sore,” Kata Ibu berkata kepada Pak Asep untuk sekedar menenan
Waktu semakin malam, aku dan Iman kini berjalan melewati rumah-rumah di Kampung Sepuh menuju warung. Sekarang para warga bisa berjalan dengan santainya pada malam hari, bahkan tanpa bantuan senter sekalipun, karena baru beberapa bulan yang lalu jalanan Kampung Sepuh dipasangin lampu jalan bertenaga surya untuk penerangan. Ya siapa lagi kalau ada andil Pak Ardi di dalamnya, Pak Ardi benar-benar ingin merubah Kampung Sepuh agar bisa disamakan dengan kampung-kampung yang ada di sekitarnya. Sehingga apapun yang dia lakukan agar Kampung Sepuh bisa terlihat lebih modern dan bisa diterima oleh masyarakat yang masih menganggap Kampung Sepuh itu adalah Kampung Keramat. Ketika aku sampai, rupanya Ujang sudah duduk di depan warung. dengan aura yang kini tampak berbeda dari yang aku temui di siang hari. Aku yang baru sampai dipersilakan untuk duduk dan bersila, dan akupun secara tidak sadar mengikuti apa yang dia perintahkan. “Aku akan menunjukan A Sidik sesuatu.
Obrolan yang sangat panjang di depan warung tersebut membuatku terkesima, oleh cerita-cerita Ujang yang dia dapatkan dari pengalamannya sendiri ataupun dari para warga yang mengalami kejadian-kejadian diluar nalar yang terjadi di Kampung Sepuh ini.Setelah perjanjian yang mengikat mereka terputus, para warga mulai beradaptasi kembali dengan suasana malam. Dan sekarang mereka sudah terbiasa dengan malam hari di Kampung Sepuh yang kini sedang aku kunjungi.Disana pula aku mendapatkan beberapa cerita yang tidak aku tulis dalam cerita, cerita-cerita yang menyeramkan terutama ketika menyangkut Ujang pada masa kecil dengan mitos-mitos dan pantangan-pantangan yang ada di sekitar mereka.Pulau Jawa bagian selatan masih penuh misteri, dengan landscape pegunungan yang membentang hingga ke Pantai Selatan. Membuatnya banyak mitos dan kejadian-kejadian yang diluar nalar, yang sering kali bersinggungan dengan manusia yang hidup di dalamnya.Dan bagiku, itu adalah penga
Sebuah warung kecil, yang awalnya aku tuangkan dalam Kata-kata yang menjadi cerita hingga saat ini. Kini aku lihat sendiri bentuknya, sebuah warung yang dulunya hanya berada dalam imajinasiku sendiri. Kini, aku melihatnya dengan kedua mataku sendiri.Bekas-bekas runtuhnya warung yang aku ceritakan masih tersisa, dengan banyaknya genteng-genteng yang rusak karena hangus terbakar disusun dan disimpan di rumah Ujang. Warung itu tampak baru, karena setelah kejadian yang menimpa Ujang. Pak Ardi dan para warga sepakat membangun kembali warung tersebut.Warung yang kini aku lihat ini, adalah salah satu point utama dalam ceritaku. Dimana, banyak kejadian yang silih berganti muncul dan harus di hadapi oleh Ujang dan warga Kampung Sepuh.“Kang!” Kataku sambil berdiri dan menyapa Ujang yang mendekatiku.Ujang hanya tersenyum, sifatnya yang agak pendiam terlihat jelas olehku. Ujang tidak setampan atau setinggi orang-orang yang menjadi karakter utama di da
“Dik, rumah orang tua kamu dimana sih, aku dah nungguin di Alf*mart deket rumah kamu. ” Sebuah text W* tiba-tiba muncul di HP ku pada pagi itu. Dan ketika aku baca, ternyata Iman sudah sampai di Ciwidey tempat dimana orang tua ku tinggal. Hari ini adalah hari minggu di akhir Februari. Dan pada hari ini, aku sengaja mengosongkan jadwalku untuk berkunjung ke Kampung Sepuh bersama dengan Iman, anak dari Mang Rusdi yang kini bekerja di tempat yang sama denganku. Aku berkunjung ke Kampung Sepuh, semata-mata untuk bersilaturahmi kepada semua warga yang ada disana. Karena sudah memberiku izin untuk membuat cerita tentang mereka, termasuk dengan segala yang terjadi di dalamnya. Iman dan Mang Rusdi adalah dua orang yang namanya sama dengan cerita yang aku buat. Sedangkan sisanya, aku sengaja memberi nama baru. Dan itu sudah sesuai dengan kesepakatan mereka ketika aku membuat cerita ini. “Ok, tunggu nanti aku kesana, beli aja makanan ama minuman buat ol
Kini,Semuanya kembali normal, Tidak semua orang tahu akan cerita ini. Bahkan hanya beberapa orang yang aku percaya yang mengetahui tentang apa yang terjadi tentang pertarunganku dan Kala pada saat itu.Karena apabila aku bercerita kepada semua orang, pasti banyak orang yang tidak percaya. Karena menganggap itu hanyalah fantasi dan ilusi semata dari seseorang yang kehilangan kakinya di Gunung Sepuh.Namun, berbeda dengan Mang Rusdi dan Mang Darman. Yang kini sering kali menghabiskan waktunya untuk menemaniku di dalam warung, bahkan istri Mang Rusdi sering kali membantuku di rumah untuk sekedar membersihkan rumah dan memastikan aku bisa makan dengan lahap di hari itu.Karena mereka sadar, aku kini hanya sendirian di Kampung Sepuh. Sudah tidak ada lagi orang tua yang menjadi panutanku saat ini. Sehingga mereka secara sukarela membantuku dan menganggapku sebagai bagian dari keluarga mereka yang tidak boleh mereka abaikan.“Mang, nongkrong wae di
Dua minggu kemudian.Warung yang sudah hancur akibat aku bakar, kini kembali berdiri. Lengkap dengan etalase yang sudah diperbaiki dan barang-barang yang dagangan yang mengisi penuh etalase dan rak-rak dagangan di warungku ini.Dan suasana sore hari yang penuh dengan hilir mudik warga kampung yang pulang dari sawah dan ladang terlihat olehku yang kini menjaga lagi warung yang sudah aku buat kembali bersama para warga dengan bantuan modal dari Pak Ardi.Aku seperti biasa kini sedang duduk dan bercengkrama dengan Mang Rusdi dan Mang Darman yang baru pulang dari berkeliling kampung untuk berdagang. Canda dan tawa menghiasi obrolan-obrolan tersebut karena sesekali Mang Darman berceloteh dan bercanda atas apa yang dia lakukan.Mereka berdua sudah mengetahui kejadian yang menimpaku di tempat itu, bahkan pertarungan ku dengan Kala di Gunung Sepuh. Dan itu membuat mereka tercengang karena mereka tidak mengetahui bahwa ada makhluk yang seperti itu di Gunung Sepuh.
Aku kembali berdiri, di tengah-tengah hamparan rerumputan yang luas. Dengan salah satu pohon besar yang ada di puncak yang terlihat olehku dari kejauhan. Rerumputan itu kini tampak lebih hijau dari sebelumnya, dan tidak terlihat lagi ilalang-ilalang yang tinggi menjulang hingga menutupi badanku saat itu. Panas yang terik, dengan angin segar yang berhembus dari pegunungan membuatku merasakan suatu perasaan yang sangat lega. Entah mengapa. Hatiku kini terasa sangat tenang ketika berada di tempat ini. Aku pun berjalan, melewati rerumputan tersebut dengan kakiku yang tidak memakai alas kaki sama sekali. Mencoba untuk berjalan dan duduk kembali di pohon besar yang berdiri di tengah-tengah rerumputan di atas sana. Jalanan yang kulalui sangat begitu mulus, tidak ada serangga-serangga yang menggigit kakiku, tidak ada jalanan yang becek bercampur lumpur. Juga tidak ada lagi lubang yang membuatku terperosok. Semuanya sangatlah berbeda, aku seper
Pandangan ku tiba-tiba gelap, aku sudah tidak bisa merasakan apapun lagi. Aku yang sudah pasrah kini hanya bisa membiarkan tubuhku yang tertutup oleh tanah yang menimpaku seketika dari atas sana. Dan para warga yang menyaksikan hal itu secara langsung tiba-tiba panik dan langsung berteriak memanggilku. “UJANGGGGGGGG!!!” Mang Rusdi yang pertama berlari ke arah tanah longsoran tersebut dan memindahkan batu, ranting-ranting dan tanah untuk mencariku dengan kedua tangannya. Begitu juga dengan Aki Karma, Mang Dadang, dan Mang Uha serta warga-warga yang lainnya yang membantu memindahkan semua material longsor yang menutupi tubuhku, dan berharap aku masih bisa bertahan dengan tubuh yang tertutup oleh longsoran tanah tersebut. Sedangkan Pak Ardi, dia langsung menelpon anaknya dan Pak Caca untuk segera meminta bantuan. Karena kini situasinya sangat berbeda, Pak Ardi membutuhkan lebih banyak orang agar bisa lebih cepat menyelamatkan aku yang berada di d
Mereka semua berlari masuk ke dalam hutan Gunung Sepuh yang masih terlihat gelap dan menyeramkan, dengan aura mistis yang kental dan terasa oleh semua warga Kampung Sepuh pada pagi itu.Meskipun waktu itu adalah waktu di mana pagi akan menjelang, namun tetap saja. aura-aura mistis yang terasa oleh para warga yang sedang berlari ke dalam sangatlah terasa.Apalagi dari mereka semua, hampir sebagian besar belum pernah keluar pada dalam gelap semasa hidupnya, mereka sudah terbuai oleh bantal dan selimut tebal dari mereka lahir hingga saat ini, dan mereka mematuhi larangan untuk keluar rumah hingga pagi tiba. Sehingga mereka tidak mengetahui rasanya masuk ke dalam hutan pada saat-saat seperti ini.“JANGGGG, UJANGGGG!!!!!”Mang Rusdi berteriak-teriak sambil berlari. Senternya di arahkan ke segala arah, mencoba mencariku di dalam gelapnya hutan Gunung Sepuh yang luas tersebut. Para warga lainnya juga melakukan hal yang sama, mereka berlari sambil men