Rasa senang dan haru bercampur aduk di dalam hatiku saat ini, bagaimana tidak. Di depanku ada sosok yang ingin sekali aku temui, meskipun aku tidak tahu bahwa ini adalah jiwa Bapak atau hanyalah suatu memori yang sengaja Bapak simpan ketika dirinya meninggal.
Namun aku sangat senang, karena jujur selama aku kuliah di kota. Aku jarang sekali pulang ke Kampung Sepuh, terhitung hanya beberapa kali saja aku pulang ketika libur panjang semester. Itupun tidak lama, karena Ibu dan Bapak seperti tidak ingin membuatku berlama-lama tinggal di Kampung Sepuh.
Dan mereka selalu menyarankan aku untuk tetap tinggal di kota, dan menyuruhku untuk tidak terlalu memperdulikan Kampung Sepuh yang menjadi tempat kelahiranku ini.
Aku tersenyum sambil melihat
Terima kasih sudah menjadi pembaca setia WARUNG TENGAH MALAM ya Vote dan Komen bintang lima ya supaya saya masih tetap semangat untuk uploab bab terbaru Apabila ada kritik dan saran bisa follow hanzociwidey ya terima kasih.
Tampak ada benda yang entah darimana datangnya kini berada di genggaman tanganku, benda yang berbentuk gelang kecil berwarna hitam kelam, dan bentuknya yang tidak beraturan seperti akar pohon kecil yang dianyam menjadi gelang. Gelang itu tampak kecil dan sepertinya tidak cukup dipakai di tanganku pada saat itu. Tapi ketika aku menariknya, gelang tersebut sangatlah lentur. Seperti gelang-gelang karet yang sering dijual oleh penjual aksesoris yang berada di pinggir jalan. Namun gelang itu memancarkan aura aneh, yang membuatku merasakan pusing ketika aku baru saja tersadar di tengah rumah. “Apakah ini efek karena aku tidak sadarkan diri, atau efek dari gelang ini? ” Pikirku sambil melihat tanganku yang sedang menggenggam gelang itu. Aku bangun secara perlahan, aku menco
“Oha? ” Jawab Ibu, Mang Darman dan Mang Rusdi serentak kepada Pak Asep yang berlari ke arah mereka. “Iya Mang, Bu, siapa tahu kalian melihat anakku, karena hingga hari ini belum pulang kerumah. Terakhir dia ingin main bola di persawahan bekas panen di Kampung Parigi bersama teman-teman sekolahnya,” Kata Pak Asep yang menjelaskan tentang keadaan anaknya yang hilang. “Yee atuh Pak Asep mah, salah alamat atuh, kalau nanyain Oha ya ke Kampung Parigi, kalau nanyain kopi ama cemilan. Nah tanya ke warung ini," Kata Mang Darman sambil menyeruput kopi sambil tertawa kecil. “Hush, Pak Asep lagi panik ini,” Kata Ibu yang mencoba menghentikan candaan Mang Darman. Mang Darman langsung terdiam ketika Ibu berbicara seperti itu, tampaknya dia malu atas apa yang dia katakan, sehingga Ibu bereaksi seperti itu. “Mungkin si Oha nginep di rumah temannya Pak Asep, tahu sendiri kalau main bola pasti sampe sore,” Kata Ibu berkata kepada Pak Asep untuk sekedar menenan
“Pak gimana ya Pak, sudah seharian ini anak ku masih belum pulang? ” Kata seorang Ibu dengan baju kebaya dan samping sarung yang dia kenakan.Wajahnya terlihat sangat sedih dan panik, matanya berkaca-kaca ketika melaporkan tentang anaknya yang hingga saat ini belum ditemukan.Ibu itu ditemani suaminya yang kebetulan sedang libur bekerja. Dia mencoba menenangkan istrinya yang sedang bersedih, karena anak semata wayangnya hilang dan belum kembali hingga saat ini dari kemarin.Bahkan terlihat ada seorang Ibu lain yang menangis tersedu-sedu di depan Pak Caca dan aparat desa yang berada di sampingnya. Bahkan aparat desa terlihat sedang serius sedang mencatat keluhan warga pada siang itu, karena saking banyaknya laporan yang masuk pada siang itu.“Iya Bu saba
Matahari sudah kembali turun di antara pegunungan yang menjulang tinggi yang mengelilingi Kampung Sepuh dan kampung-kampung sekitarnya, sehingga hanya terlihat sebuah cahaya kemerahan yang muncul di langit memberi warna pada awan yang kini berubah menjadi gelap secara perlahan-lahan. Aku yang sedang berjalan menyusuri jalanan di persawahan dengan Pak Asep sesekali melihat ke atas, dan kali ini tampak ratusan kelelawar yang muncul dari Gunung Sepuh yang keluar untuk mencari makan. Gunung Sepuh yang kita kenal selama ini dengan gunung yang penuh misteri dan dikeramatkan oleh banyak orang, namun di dalamnya banyak sekali hewan yang menjadikan gunung tersebut sebagai sarang dan tempat untuk berlindung. Seperti kelelawar-kelelawar ini, mungkin untuk orang-orang yang tinggal di kota. Akan menjadi hal yang aneh, apabila melihat ratusan kelelawar yang memenuhi langit setiap sore menuju malam. Mencoba mencari makan pada malam hari dengan memakan buah-buahan dari pepoh
“Dua orang?” Kataku heran. “Iya kang, yang kemarin ada di warung ini kan dua orang Kang,” Kata wanita itu sambil berdiri di depan etalase warung. “Oh, Mang Darman sama Mang Rusdi ya?” Kataku sambil tersenyum kepada wanita itu. Wanita itu hanya berdiri dan mengangguk kepadaku yang sedang duduk di depan warung. Dengan baju yang biasa dipakai oleh para petani ketika ke sawah, dengan kain sarung batik yang sudah lusuh dan terlihat juga lumpur di tangan dan kakinya. Yang menandakan bahwa wanita itu pulang dari sawah. Wanita ini adalah wanita yang sama dengan wanita yang tadi aku temui di saung pada sore hari di persawahan. Namun ketika pundakku di tepuk oleh Pak Asep dan berkata bahwa aku berbicara sendiri, mahluk tersebut sudah menghilang tanpa jejak, menyisakan saung ya
“Maneh edek naon kadieu peuting-peuting, edek mawa boeh ti makam anu karek dikuburkeun nya? (Kamu mau apa kesini malam-malam, mau bawa kain kafan dari makam yang baru saja dikuburkan ya? )” Hihihihihi Hihihihihi “Acan aya anu paeh deui di Kampung Sepuh mah, coba atuh paehan hiji mah eta warga Kampung Sepuh. Meh aya babaturan anyar jang didieu, boeh na bisa maneh pake jang ritual di Gunung Sepuh. (Belum ada yang mati di Kampung Sepuh mah, coba kamu bunuh satu warga Kampung Sepuh. Biar ada teman baru di sini, nanti kain kafan nya bisa kamu pakai untuk ritual Gunung Sepuh.)” Hihihihi Hihihihi Di tengah-tengah pemakaman Kampung Sepuh yang gelap ini, ternyata lebih menyeramkan ketika malam hari. Perasaan yang serasa diawasi oleh sesuatu yang memandangku secara bersamaan, kini terasa olehku saat ini. Sebuah pemakaman tua yang sudah lama ada, dan menjadi tempat tinggal terakhir untuk para manusia yang hidup di Kampung Sepuh dari setia
“Sepertinya para makhluk yang ada disini sengaja menjahili ku supaya aku tidak bisa mengejar makhluk yang membawa Oha itu, ” pikirku sambil berjalan ke arah pohon beringin yang kini tepat berada di lapangan itu. Settt Settt Settt Para kuntilanak yang duduk di atas ranting-ranting pohon beringin besar itu kini semakin lama semakin banyak, beberapa dari mereka bahkan berwarna merah darah. Lebih banyak daripada yang sering aku lihat di gerbang pintu masuk Gunung Sepuh. Wajahnya tertutup oleh rambut yang berantakan, namun aku tahu mereka sepertinya sangat waspada kepadaku, terlihat dari aura yang dikeluarkan oleh kuntilanak itu dengan mata merah yang muncul dari sela-sela rambut yang berantakan tersebut.
Wanita itu sepertinya sangat hafal dengan leluhurku, sehingga dia mengetahui Bapak, Kakek bahkan Ki Wisesa. “Hampura lamun para makhluk didieu nyieun maneh nepi pindah alam. (Mohon maaf kalau para makhluk disini membuat kamu sampe harus berpindah alam. )” Secara mengejutkan wanita itu meminta maaf kepadaku mewakili para mahluk yang tadi datang dan mengagetkanku ketika tempat ini masih menjadi pemakaman Kampung Sepuh. Namun wibawanya sebagai pemimpin di tempat ini masih terlihat ketika dia sedikit menundukan kepalanya kepadaku untuk meminta maaf, atas apa yang dilakukan pada makhluk itu kepadaku beberapa waktu yang lalu. “Soalna, para makhluk didieu ngan bisa ngadahar rasa sieun anu osok dikaluarkeun ku jelema. (Soalnya, para makhluk disini hanya bisa memakan rasa tak
Waktu semakin malam, aku dan Iman kini berjalan melewati rumah-rumah di Kampung Sepuh menuju warung. Sekarang para warga bisa berjalan dengan santainya pada malam hari, bahkan tanpa bantuan senter sekalipun, karena baru beberapa bulan yang lalu jalanan Kampung Sepuh dipasangin lampu jalan bertenaga surya untuk penerangan. Ya siapa lagi kalau ada andil Pak Ardi di dalamnya, Pak Ardi benar-benar ingin merubah Kampung Sepuh agar bisa disamakan dengan kampung-kampung yang ada di sekitarnya. Sehingga apapun yang dia lakukan agar Kampung Sepuh bisa terlihat lebih modern dan bisa diterima oleh masyarakat yang masih menganggap Kampung Sepuh itu adalah Kampung Keramat. Ketika aku sampai, rupanya Ujang sudah duduk di depan warung. dengan aura yang kini tampak berbeda dari yang aku temui di siang hari. Aku yang baru sampai dipersilakan untuk duduk dan bersila, dan akupun secara tidak sadar mengikuti apa yang dia perintahkan. “Aku akan menunjukan A Sidik sesuatu.
Obrolan yang sangat panjang di depan warung tersebut membuatku terkesima, oleh cerita-cerita Ujang yang dia dapatkan dari pengalamannya sendiri ataupun dari para warga yang mengalami kejadian-kejadian diluar nalar yang terjadi di Kampung Sepuh ini.Setelah perjanjian yang mengikat mereka terputus, para warga mulai beradaptasi kembali dengan suasana malam. Dan sekarang mereka sudah terbiasa dengan malam hari di Kampung Sepuh yang kini sedang aku kunjungi.Disana pula aku mendapatkan beberapa cerita yang tidak aku tulis dalam cerita, cerita-cerita yang menyeramkan terutama ketika menyangkut Ujang pada masa kecil dengan mitos-mitos dan pantangan-pantangan yang ada di sekitar mereka.Pulau Jawa bagian selatan masih penuh misteri, dengan landscape pegunungan yang membentang hingga ke Pantai Selatan. Membuatnya banyak mitos dan kejadian-kejadian yang diluar nalar, yang sering kali bersinggungan dengan manusia yang hidup di dalamnya.Dan bagiku, itu adalah penga
Sebuah warung kecil, yang awalnya aku tuangkan dalam Kata-kata yang menjadi cerita hingga saat ini. Kini aku lihat sendiri bentuknya, sebuah warung yang dulunya hanya berada dalam imajinasiku sendiri. Kini, aku melihatnya dengan kedua mataku sendiri.Bekas-bekas runtuhnya warung yang aku ceritakan masih tersisa, dengan banyaknya genteng-genteng yang rusak karena hangus terbakar disusun dan disimpan di rumah Ujang. Warung itu tampak baru, karena setelah kejadian yang menimpa Ujang. Pak Ardi dan para warga sepakat membangun kembali warung tersebut.Warung yang kini aku lihat ini, adalah salah satu point utama dalam ceritaku. Dimana, banyak kejadian yang silih berganti muncul dan harus di hadapi oleh Ujang dan warga Kampung Sepuh.“Kang!” Kataku sambil berdiri dan menyapa Ujang yang mendekatiku.Ujang hanya tersenyum, sifatnya yang agak pendiam terlihat jelas olehku. Ujang tidak setampan atau setinggi orang-orang yang menjadi karakter utama di da
“Dik, rumah orang tua kamu dimana sih, aku dah nungguin di Alf*mart deket rumah kamu. ” Sebuah text W* tiba-tiba muncul di HP ku pada pagi itu. Dan ketika aku baca, ternyata Iman sudah sampai di Ciwidey tempat dimana orang tua ku tinggal. Hari ini adalah hari minggu di akhir Februari. Dan pada hari ini, aku sengaja mengosongkan jadwalku untuk berkunjung ke Kampung Sepuh bersama dengan Iman, anak dari Mang Rusdi yang kini bekerja di tempat yang sama denganku. Aku berkunjung ke Kampung Sepuh, semata-mata untuk bersilaturahmi kepada semua warga yang ada disana. Karena sudah memberiku izin untuk membuat cerita tentang mereka, termasuk dengan segala yang terjadi di dalamnya. Iman dan Mang Rusdi adalah dua orang yang namanya sama dengan cerita yang aku buat. Sedangkan sisanya, aku sengaja memberi nama baru. Dan itu sudah sesuai dengan kesepakatan mereka ketika aku membuat cerita ini. “Ok, tunggu nanti aku kesana, beli aja makanan ama minuman buat ol
Kini,Semuanya kembali normal, Tidak semua orang tahu akan cerita ini. Bahkan hanya beberapa orang yang aku percaya yang mengetahui tentang apa yang terjadi tentang pertarunganku dan Kala pada saat itu.Karena apabila aku bercerita kepada semua orang, pasti banyak orang yang tidak percaya. Karena menganggap itu hanyalah fantasi dan ilusi semata dari seseorang yang kehilangan kakinya di Gunung Sepuh.Namun, berbeda dengan Mang Rusdi dan Mang Darman. Yang kini sering kali menghabiskan waktunya untuk menemaniku di dalam warung, bahkan istri Mang Rusdi sering kali membantuku di rumah untuk sekedar membersihkan rumah dan memastikan aku bisa makan dengan lahap di hari itu.Karena mereka sadar, aku kini hanya sendirian di Kampung Sepuh. Sudah tidak ada lagi orang tua yang menjadi panutanku saat ini. Sehingga mereka secara sukarela membantuku dan menganggapku sebagai bagian dari keluarga mereka yang tidak boleh mereka abaikan.“Mang, nongkrong wae di
Dua minggu kemudian.Warung yang sudah hancur akibat aku bakar, kini kembali berdiri. Lengkap dengan etalase yang sudah diperbaiki dan barang-barang yang dagangan yang mengisi penuh etalase dan rak-rak dagangan di warungku ini.Dan suasana sore hari yang penuh dengan hilir mudik warga kampung yang pulang dari sawah dan ladang terlihat olehku yang kini menjaga lagi warung yang sudah aku buat kembali bersama para warga dengan bantuan modal dari Pak Ardi.Aku seperti biasa kini sedang duduk dan bercengkrama dengan Mang Rusdi dan Mang Darman yang baru pulang dari berkeliling kampung untuk berdagang. Canda dan tawa menghiasi obrolan-obrolan tersebut karena sesekali Mang Darman berceloteh dan bercanda atas apa yang dia lakukan.Mereka berdua sudah mengetahui kejadian yang menimpaku di tempat itu, bahkan pertarungan ku dengan Kala di Gunung Sepuh. Dan itu membuat mereka tercengang karena mereka tidak mengetahui bahwa ada makhluk yang seperti itu di Gunung Sepuh.
Aku kembali berdiri, di tengah-tengah hamparan rerumputan yang luas. Dengan salah satu pohon besar yang ada di puncak yang terlihat olehku dari kejauhan. Rerumputan itu kini tampak lebih hijau dari sebelumnya, dan tidak terlihat lagi ilalang-ilalang yang tinggi menjulang hingga menutupi badanku saat itu. Panas yang terik, dengan angin segar yang berhembus dari pegunungan membuatku merasakan suatu perasaan yang sangat lega. Entah mengapa. Hatiku kini terasa sangat tenang ketika berada di tempat ini. Aku pun berjalan, melewati rerumputan tersebut dengan kakiku yang tidak memakai alas kaki sama sekali. Mencoba untuk berjalan dan duduk kembali di pohon besar yang berdiri di tengah-tengah rerumputan di atas sana. Jalanan yang kulalui sangat begitu mulus, tidak ada serangga-serangga yang menggigit kakiku, tidak ada jalanan yang becek bercampur lumpur. Juga tidak ada lagi lubang yang membuatku terperosok. Semuanya sangatlah berbeda, aku seper
Pandangan ku tiba-tiba gelap, aku sudah tidak bisa merasakan apapun lagi. Aku yang sudah pasrah kini hanya bisa membiarkan tubuhku yang tertutup oleh tanah yang menimpaku seketika dari atas sana. Dan para warga yang menyaksikan hal itu secara langsung tiba-tiba panik dan langsung berteriak memanggilku. “UJANGGGGGGGG!!!” Mang Rusdi yang pertama berlari ke arah tanah longsoran tersebut dan memindahkan batu, ranting-ranting dan tanah untuk mencariku dengan kedua tangannya. Begitu juga dengan Aki Karma, Mang Dadang, dan Mang Uha serta warga-warga yang lainnya yang membantu memindahkan semua material longsor yang menutupi tubuhku, dan berharap aku masih bisa bertahan dengan tubuh yang tertutup oleh longsoran tanah tersebut. Sedangkan Pak Ardi, dia langsung menelpon anaknya dan Pak Caca untuk segera meminta bantuan. Karena kini situasinya sangat berbeda, Pak Ardi membutuhkan lebih banyak orang agar bisa lebih cepat menyelamatkan aku yang berada di d
Mereka semua berlari masuk ke dalam hutan Gunung Sepuh yang masih terlihat gelap dan menyeramkan, dengan aura mistis yang kental dan terasa oleh semua warga Kampung Sepuh pada pagi itu.Meskipun waktu itu adalah waktu di mana pagi akan menjelang, namun tetap saja. aura-aura mistis yang terasa oleh para warga yang sedang berlari ke dalam sangatlah terasa.Apalagi dari mereka semua, hampir sebagian besar belum pernah keluar pada dalam gelap semasa hidupnya, mereka sudah terbuai oleh bantal dan selimut tebal dari mereka lahir hingga saat ini, dan mereka mematuhi larangan untuk keluar rumah hingga pagi tiba. Sehingga mereka tidak mengetahui rasanya masuk ke dalam hutan pada saat-saat seperti ini.“JANGGGG, UJANGGGG!!!!!”Mang Rusdi berteriak-teriak sambil berlari. Senternya di arahkan ke segala arah, mencoba mencariku di dalam gelapnya hutan Gunung Sepuh yang luas tersebut. Para warga lainnya juga melakukan hal yang sama, mereka berlari sambil men