WARISAN DARI BAPAK
[Fira, boleh tidak kalau tanah yang di samping rumah Wak Ijah itu, Kakak pinjam dulu.] Aku mengernyit. Pesan dari Kak Helmi datang pagi ini. Mas Lian yang sedang berjemur dengan Bapak pun ikut mengernyit. "Kenapa kamu, Dek?""Oh, nggak, Mas." Buru-buru aku menyimpan ponsel. Akan kuceritakan nanti saja, jangan di depan Bapak. Kami tiga bersaudara. Mas Cahyo anak pertama, tinggal di pulau seberang. Ia kini sudah mapan dengan keluarga bahagia. Yang kedua Kak Fatimah, ia tinggal tak jauh dari rumahku. Mungkin jika memakai kendaraan, kami hanya butuh waktu lima belas menit. Yang ketiga Mas Helmi, ia tinggal di kota Bogor, sementara aku si bungsu, tinggal di desa tempat kelahiran kami, Purwokerto. Masing-masing dari kami sudah diberi warisan dari Bapak meskipun beliau masih hidup. Kedua orang tuaku bercerai dahulu, sehingga kini Bapak ikut denganku, sementara Ibu dengan Mas Helmi. Beberapa bulan lalu, Mas Helmi sudah meminjam perhiasan yang pernah Ibu beri padaku, alasannya karena Ibu jatuh sakit sementara uang yang biasa kami kirim sudah habis. Bapak sendiri menderita stroke, aku memilih merawatnya karena anak dari pernikahan kedua beliau tak mau merawat. Aku menghela napas, Mas Lian yang menyadari ada yang tak beres, buru-buru mengajak Bapak untuk masuk karena matahari pun mulai meninggi. "Kenapa, Dek?" Kuangsurkan ponsel yang sedari tadi tersimpan di saku daster. Ia membacanya sambil mengernyit pula. "Bisa habis kalau semua dipinjam olehnya. Memang untuk apa sih, Dek?""Ya aku nggak tahu, Mas. Pusing Adek juga.""Biar Mas balas aja, ya?" Aku mengangguk. Lalu menatap lelaki yang sudah tiga tahun ini menemani hari-hariku. Ting! Sebuah pesan masuk lagi. Aku buru-buru melihatnya. [Mas mau membangun kamar untuk Ibu, Dek. Kasihan Naura, ia merasa terganggu karena bau amis dari tubuh Ibu kalau terluka.] Aku mendesah. Lagi-lagi karena Ibu. Mas Lian menatap ke arahku. "Bagaimana, Dek?" "Menurut, Mas, bagaimana?" "Apa kita kirim uang tabungan saja? Sayang jika harus menjual tanah." Aku berpikir sebentar, kemudian mengangguk, menyetujui ide Mas Lian.---Malam ini, aku sedang mengobrol dengan Bapak sambil menonton televisi. Beliau hanya kaku di badan, sementara untuk berbicara masih terdengar jelas. "Bapak kangen sama kakak-kakakmu, kenapa mereka nggak pernah ke sini, ya? Fatimah pun begitu." Aku menghela napas. Anak-anak Bapak memang jarang berkunjung, paling hanya bertanya kabar dan mengirim uang. Mas Helmi dan Mas Cahyo bisa dihitung dengan jari jika berkunjung ke sini, mungkin jarak menjadi alasan keduanya. Namun Kak Fatimah? Rumahnya tak jauh, jika ke sini seminggu sekali. Itupun hanya menengok sebentar, lalu pergi. "Sudah, jangan dipikirkan, Pak. Nanti kalau sudah waktunya juga bakal ke sini." Tak lama kemudian, terdengar ucapan salam. Mas Lian datang sambil menentang sebuah plastik. "Nih, Pak, Lian belikan martabak kesukaan Bapak."Wajah tua itu tersenyum, lalu mengucapkan terima kasih pada suamiku. "Makasih ya, Mas," ucapku. "Sama-sama." Kami pun makan sambil menonton televisi. "Nduk, apa kita jenguk ibumu saja?" Uhuk-uhuk! Aku yang tengah minum pun sampai tersedak mendengar ucapan Bapak. "Beneran, Pak?" Beliau mengangguk. Aku dan Mas Lian saling pandang, lalu senyum bahagia terbit di wajah kami berdua. Selama ini, Bapak tak mau jika kuajak berkunjung ke Bogor, alasannya masih sakit hati dengan perbuatan Ibu yang meninggalkannya demi laki-laki lain dulu. "Baik, Pak. Habis ini istirahat, ya? Besok kita berangkat pagi-pagi," ucap Mas Lian. Bapak mengangguk, lalu memutar roda dan masuk ke dalam kamar. "Kira-kira, apa yang membuat Bapak tiba-tiba mau bertemu dengan Ibu, Dek?" Aku menggeleng. Apapun alasannya, aku bahagia akan bertemu dengan Ibu. Kubereskan sisa makan kami, lalu mematikan lampu ruang tengah dan masuk ke dalam kamar. "Dek, mengenai uang itu, sepertinya kita bawa saja, nggak usah ditransfer." Aku mengangguk. --Esok subuh. Kami sudah bersiap. Aku pun sudah menuliskan TUTUP di depan toko sembako di depan rumah dan di bengkel Mas Lian. Bapak dan Mas Lian sudah duduk di dalam mobil, sementara aku mengecek semua benda-benda berbahaya yang sekiranya masih dalam keadaan menyala. "Siap?" "Oke!" jawabku. Mobil meluncur menuju Bogor. Sengaja aku tak memberitahu Mas Helmi, apalagi Ibu. Biar jadi kejutan. Setelah menempuh tujuh jam perjalanan, akhirnya kami sampai pada pukul dua siang. Nampak rumah Mas Helmi itu sepi. Mungkin semuanya sedang tidur siang. Kakak keduaku itu menempati rumah peninggalan Nenek. "Loh, Fira?" Aku menoleh ke sumber suara. Ada Mbok Marni yang tengah memegang sapu, senyum terukir di wajahnya. "Assalamu'alaikum, Mbok," ucapku pada Mbok Marni. Dia adalah tetangga kami waktu masih menempati rumah ini. "Apa kabar, Mbok?" "Baik. Kalian tumben sekali ke sini. Padahal kan...""Fira!" Belum selesai Mbok Marni selesai meneruskan ucapannya, Mbak Ambar--kakak iparku, memanggil. Ia menatapku dengan mata melotot. Tumben sekali? "Sebentar ya, Mbok."Aku menyalami Mbak Ambar, lalu disusul oleh Mas Lian yang mendorong kursi roda Bapak. "Pak," ucap Mbak Ambar sambil mencium tangan Bapak. "Kalian kok ke sini tanpa bilang-bilang dulu, si? Aturan ngomong dong!" Aku mengernyit. Kenapa Mbak Ambar seolah tak senang dengan kehadiran kami. Sadar sedang kuperhatikan, wanita beranak tiga itu salah tingkah. "Ayo, masuk." Ia membuka pintu rumah, lalu menyuruh kami duduk. Tak ada senyum di wajahnya, apakah kedatangan kami ke sini hanya mengganggu saja? "Ibu mana, Mbak?" Mbak Ambar gelagapan, tangannya saling meremas. "Mbak?" "Eh, anu..."Aku terdiam. Sepertinya, aku tahu kenapa ia bersikap seperti ini. Fix, ada yang tak beres! --"Bapak, mau minum?" Kami semua terdiam. Kenapa pula Mbak Ambar tak menjawab pertanyaanku dan malah menanyakan hal yag tak seharusnya tak ditanyakan? Tanpa menunggu jawaban Bapak, kakak iparku itu berjalan ke dapur. Aku dan Mas Lian saling memandang. Ia mengangguk, seolah mengerti arti dari tatapanku. Aku menghela napas, Bapak termangu di kursi rodanya. Tubuh rentanya, berusaha memaafkan kesalahan Ibu. Hati nuraninya, seolah kuat untuk tak mengingat kenangan pahit masa lalu. "Silakan diminum, Pak, Lian, Fira." Kami semua mengangguk. Mbak Ambar kembali lagi ke dapur, seolah menghindar dari kami. Begitu datang lagi ke sini sambil membawa cemilan, kucekal tangannya dan menyuruhnya untuk duduk di hadapanku. "A-apa, Fir?" "Dari tadi, Fira nanya ke Mbak Ambar. Ibu mana?" Ia tampak gelisah, tangannya sampai berkeringat. Akupun mendesah, semoga Ibu baik-baik saja. "Apa Ibu sudah meninggal dan kalian tak memberitahu kami?" Mata Mbak Ambar membeliak, seolah aku ini tengah memfitnahnya. Hei, reaksi apa itu? Apa memang, tebakanku itu benar?"Jangan asal ngomong kamu, Fir. Dosa kamu sudah fitnah Mbak seperti ini!" ucap Mbak Ambar berapi-api. "Ya sudah, kalau begitu, Mbak tunjukkan di mana Ibu!" Mbak Ambar kembali terdiam. Tepat saat itu, sebuah motor masuk ke halaman rumah. Kami semua berdiri. Itu Mas Helmi, di belakangnya ada seorang tua renta yang susah payah untuk turun. Kakak ketigaku itu melirik ke mobil, namun ia sepertinya tak mengetahui jika kami datang. Soalnya, mobil itu baru setahun kemarin Mas Lian beli, sementara kami terakhir ke sini tiga tahun lalu, saat belum memiliki apa-apa. "Ayo cepat, Bu! Payah banget, sih, hari ini malah cuma dapat segini?" Sebuah pemandangan begitu menusuk relung kalbu. Ibuku, seorang yang dulunya cantik jelita, kini menjelma menjadi perempuan renta yang sedikit bongkok. Yang paling membuatku sedih adalah baju yang Ibu kenakan. Daster pemberianku yang sudah ada tambalan di sana sini. "Ya maaf, Helmi. Ibu tadi pusing banget kepalanya." Aku segera berdiri dan menghampiri mereka
Ibu tampak terdiam. Aku tahu, beliau ingin memberitahu sesuatu, namun ada kemungkinan lain yang membuatnya terdiam. "Nggak apa-apa, Nduk. Mereka baik sama Ibu." Aku mendesah, beberapa kali aku bertanya, namun sepertinya Ibu kekeuh menyembunyikan perbuatan mereka yang sebenarnya. Mas Lian memberi kode untukku menyudahi acara tanya-tanya ini. Aku mengangguk. Mobil menuju sebuah mall besar. Cibinong city mall. "Ayo, Bu, kita turun!" ajakku begitu mobil sudah berhenti di tempat parkir. Aku menuntun Ibu dan mengajaknya untuk naik ke lantai dua. Ibu tampak kagum. Padahal, beliau satu kota dengan mall ini, namun rasanya baru kali ini ia datang. "Bu, kita makan dulu, ya?"Ibu mengangguk cepat, beliau memegang perutnya kemudian berjalan mengikutiku. Kami duduk di restoran cepat saji. Mas Lian dan Bapak datang setelah bersusah payah membawa tubuh renta Bapak ke atas. Sebenarnya, beliau masih mampu berdiri, hanya saja untuk berjalan kerap kali jatuh. Itu disebabkan beberapa tahun lalu beli
"Hah!" Aku ngos-ngosan, padahal hanya dari halaman sampai kasur depan televisi.Mataku memicing ke arah pot bunga yang sengaja diletakkan di atas meja televisi. Aku pun berdiri dan mengambil benda pipih yang sengaja kutaruh di sini tadi pagi. "Bagus, nanti kita lihat, apa saja yang kalian lakukan seharian ini pada Ibu." -Malam hari, aku sengaja mengajak Mas Lian ke rumah makan dekat sini. Sengaja juga aku tak membawa Bapak dan Ibu serta. Jika kalian berpikir bahwa aku ingin berduaan dengan suamiku, kalian salah. "Mas, mau pesan apa?" "Apa aja, Dek. Kamu lupa kalau suamimu ini gentong?" jawabnya yang sukses membuat kami tergelak. Aku memanggil pelayan dan menyebutkan pesanan kami. Setelahnya, aku mulai membuka ponsel. Sedari di rumah tadi, aku sudah gatal ingin membuka, tapi kutahan karena ada Ibu. "Nggak nyangka aku loh, Dek." Aku mendongak, Mas Lian tengah menatapku dengan wajah tengilnya. "Nggak nyangka apa?" "Ya nggak nyangka aku kalau kamu juga bisa romantis gini. Tumben
Apa sih, Mbak?" Ia melengos dan pergi meninggalkan kami. Ck! Ada-ada saja. Sore hari. Aku dan Mbak Ratih keliling kampung. Banyak warga baru ternyata. Kami bertemu dengan Mbok Salimah, teman dekat Ibu. Beliau menyuruh kami masuk. "Apa kabar kalian, Nduk?" "Alhamdulillah baik, Mbok. Lama nggak ketemu, masih muda aja kelihatannya," godaku. "Ah, kalian bisa saja." Kami mengobrol banyak, hingga akhirnya Mbok Salimah menanyakan kabar Ibu. Justru ini membuatku menautkan alis. Apa maksudnya? "Memang Mbok nggak pernah lihat Ibu?" "Jarang, Nduk. Sekalinya keluar rumah, paling ke warung. Pernah pagi-pagi liat dia keluar pake daster rombeng, diseret-seret sama si Helmi." Aku dan Mbak Ratih menganga tak percaya. Meskipun aku sudah mendengar lolongan kesakitan Ibu lewat video kemarin, tapi aku tak pernah melihatnya secara langsung. "Mbok sering dengar si Ambar juga maki-maki Ibu kalian. Maaf, bukannya Mbok mau ngadu-ngadu, tapi Mbok nggak tega liat Ana--nama Ibu, diperlakukan kasar begi
Aku dan Mas Lian makan sepiring berdua. Kami memang sering begini, supaya keromantisan kami tetap terjaga. "Makan sepiring berdua, enak bener nggak harys nyuapin anak," ucap Mbak Ambar. "Kamu nyinyir sekali lagi, kujahit mulutmu, Mbar!"ucap Mbak Ratih. Bapak hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan kami. Mas Helmi makan dengan rakus, seolah ia tak ingat dengan kejadian tadi siang. --Pagi hari. Aku sudah bersiap, hari ini akan pergi memantau kebun. Kata Maman--penjaga kebun, harusnya hari ini panen jeruk dan juga sawo. "Kamu mau ke mana, Dek?" tanya Mas Helmi saat melihatku dan Mas Lian sudah rapi. "Mau ke kebun, Mas." "Loh, kenapa?" Alisku bertaut melihat sikap Mas Helmi. "Lah, memang aku harus punya alasan, kalau mau ke kebun sendiri?" Mas Helmi garuk-garuk kepala. Meihatnya, aku jadi was-was. Takut terjadi sesuatu dengan kebun. Sementara selama ini Mang Maman selalu rajin mentransfer uang hasil panen. "Em, anu, biar Mas saja." "Nggak usah, Mas. Biar aku sama Fira aj
"Gimana aku nggak kesel, Mbak, uang penjualan buah separuhnya sudah diambil sama Mas Helmi. Pantas saja beberpa bulan ini penghasilan menurun." Mbak Ratih tampak mengelus dada. "Mas, keluar kamu! Masih pagi, udah kelon aja!" Tak lama kemudian, Mbak Ambar keluar. Rambutnya acak-acakan, dasar jorok! "Apa sih? Berisik amat." "Mana Mas Helmi?" "Apa?" "Mana uang penjualan buah?" "Apa maksudmu?""Alah, jangan kebanyakan drama deh, Mas! Kamu, kan, yang bawa uang penjualan jeruk kemarin? Mang Maman sudah cerita semuanya!" Mas Helmi tampak gugup. Apalagi kami semua kini berdiri mengelilinginya. "Kalau begini terus, Ibu kamu bawa saja, Dek. Sekalian, nanti kamu jual aja itu kebun biar bebas nggak usah ke sini. Aku niat pergi ke sini mau liburan, kok yang ada malah bikin kepala pusing aja," gerutu Mas Cahyo."Jangan, Fir. Biar Ibu di sini aja. Ibu betah tinggal di sini, mungkin karena tempat kelahiran. Kamu do'akan saja semoga Ibu tetap sehat, ya.""Tapi, Bu.""Kamu dengar sendiri ucap
"Kamu hati-hati di jalan ya, Dek!" "Iya, Mas. Mas Cahyo nggak mau ikut kampungku? Mbak Imah kangen loh," ucapku sambil menunjukan pesan dari kakak keduaku itu. Mas Cahyo tersenyum, kemudian mengambil ponselku dan mengetik balasan untuk Kak Ima. Aku bersyukur, meskipun memiliki satu kakak yang bisa dikatakan nggak waras, tapi aku punya dua kakak yang menyayangiku. "Yaudah, Adek pulang, ya!" Aku memeluk Mbak Ratih, lalu Mas Cahyo. Sementara ke Mas Helmi dan Mbak Ambar, aku hanya bersalaman saja. Bukan bermaksud membedakan, tapi rasanya masih sakit hati dengan kenyataan yang baru saja kuketahui. "Kamu jaga kesehatan ya, Yo!" "Iya, Pak. Bapak juga, ya. Jangan makan makanan manis. Kurangi nasinya." Bapak tergelak. Beliau memang penyuka nasi. Teringat dulu sampai adu mulut hanya karena beliau tak terima aku kasih nasi sedikit di piringnya. "Insya Allah, Bapak mau hidup lebih lama lagi." Ibu menghampiri kami, lalu berbicara pada Bapak. "Maafkan aku ya, Pak. Semoga Bapak sehat terus
Mbak Imah tampak emosi, wajahnya berkeringat. Kulihat sekeliling, tak ada motor Mbak Imah, jangan bilang ia datang ke sini jalan kaki? "Mbak ke sini jalan kaki?" "Iya. Motornya lagi dipakai sama Bagas. Keterlaluan! Pasti ini perbuatan si Helmi. Dasar anak tak tahu diuntung!" Aku mengurut dada. Lalu teringat dengan hari pertama kami datang ke sana. Saat itu Mas Helmi pulang bersama Ibu dengan wajah kurang bersahabat. "Sebenci-bencinya aku sama Ibu, nggak ada niatan aku buat nyuruh beliau ngemis! Emang kurang seons itu Masmu!" "Mbak, jangan keras-keras, nanti Bapak dengar." "Biarin! Biar Bapak tahu kalau anak yang selalu dibangga-banggakannya itu membuat ulah! Malu, Mbak, Fira. Malu! Banyak yang menghujat karena dibilang membuang orang tua. Astaghfirullah!" Mas Lian datang karena mendengar suara Mbak Imah. Letak bengkel dan warung memang bersebelahan. Sepertinya ia juga sudah penasaran sejak tadi, hanya saja pelanggannya baru pergi. "Ada apa, Mbak? Kok kayak marah gitu?" "Masmu