Share

WARISAN DARI BAPAK
WARISAN DARI BAPAK
Penulis: Jingga Rinjani

Bab 1

Penulis: Jingga Rinjani
last update Terakhir Diperbarui: 2022-06-13 17:27:59

WARISAN DARI BAPAK 

[Fira, boleh tidak kalau tanah yang di samping rumah Wak Ijah itu, Kakak pinjam dulu.] 

Aku mengernyit. Pesan dari Kak Helmi datang pagi ini. Mas Lian yang sedang berjemur dengan Bapak pun ikut mengernyit. 

"Kenapa kamu, Dek?"

"Oh, nggak, Mas." 

Buru-buru aku menyimpan ponsel. Akan kuceritakan nanti saja, jangan di depan Bapak. 

Kami tiga bersaudara. Mas Cahyo anak pertama, tinggal di pulau seberang. Ia kini sudah mapan dengan keluarga bahagia. Yang kedua Kak Fatimah, ia tinggal tak jauh dari rumahku. Mungkin jika memakai kendaraan, kami hanya butuh waktu lima belas menit. Yang ketiga Mas Helmi, ia tinggal di kota Bogor, sementara aku si bungsu, tinggal di desa tempat kelahiran kami, Purwokerto. 

Masing-masing dari kami sudah diberi warisan dari Bapak meskipun beliau masih hidup. Kedua orang tuaku bercerai dahulu, sehingga kini Bapak ikut denganku, sementara Ibu dengan Mas Helmi. 

Beberapa bulan lalu, Mas Helmi sudah meminjam perhiasan yang pernah Ibu beri padaku, alasannya karena Ibu jatuh sakit sementara uang yang biasa kami kirim sudah habis. 

Bapak sendiri menderita stroke, aku memilih merawatnya karena anak dari pernikahan kedua beliau tak mau merawat. 

Aku menghela napas, Mas Lian yang menyadari ada yang tak beres, buru-buru mengajak Bapak untuk masuk karena matahari pun mulai meninggi. 

"Kenapa, Dek?" 

Kuangsurkan ponsel yang sedari tadi tersimpan di saku daster. Ia membacanya sambil mengernyit pula. 

"Bisa habis kalau semua dipinjam olehnya. Memang untuk apa sih, Dek?"

"Ya aku nggak tahu, Mas. Pusing Adek juga."

"Biar Mas balas aja, ya?" 

Aku mengangguk. Lalu menatap lelaki yang sudah tiga tahun ini menemani hari-hariku. 

Ting! 

Sebuah pesan masuk lagi. Aku buru-buru melihatnya. 

[Mas mau membangun kamar untuk Ibu, Dek. Kasihan Naura, ia merasa terganggu karena bau amis dari tubuh Ibu kalau terluka.] 

Aku mendesah. Lagi-lagi karena Ibu. Mas Lian menatap ke arahku. 

"Bagaimana, Dek?" 

"Menurut, Mas, bagaimana?" 

"Apa kita kirim uang tabungan saja? Sayang jika harus menjual tanah." 

Aku berpikir sebentar, kemudian mengangguk, menyetujui ide Mas Lian.

---

Malam ini, aku sedang mengobrol dengan Bapak sambil menonton televisi. Beliau hanya kaku di badan, sementara untuk berbicara masih terdengar jelas. 

"Bapak kangen sama kakak-kakakmu, kenapa mereka nggak pernah ke sini, ya? Fatimah pun begitu." 

Aku menghela napas. Anak-anak Bapak memang jarang berkunjung, paling hanya bertanya kabar dan mengirim uang. Mas Helmi dan Mas Cahyo bisa dihitung dengan jari jika berkunjung ke sini, mungkin jarak menjadi alasan keduanya. Namun Kak Fatimah? Rumahnya tak jauh, jika ke sini seminggu sekali. Itupun hanya menengok sebentar, lalu pergi. 

"Sudah, jangan dipikirkan, Pak. Nanti kalau sudah waktunya juga bakal ke sini." 

Tak lama kemudian, terdengar ucapan salam. Mas Lian datang sambil menentang sebuah plastik. 

"Nih, Pak, Lian belikan martabak kesukaan Bapak."

Wajah tua itu tersenyum, lalu mengucapkan terima kasih pada suamiku. 

"Makasih ya, Mas," ucapku. 

"Sama-sama." 

Kami pun makan sambil menonton televisi. 

"Nduk, apa kita jenguk ibumu saja?" 

Uhuk-uhuk! 

Aku yang tengah minum pun sampai tersedak mendengar ucapan Bapak. 

"Beneran, Pak?" 

Beliau mengangguk. Aku dan Mas Lian saling pandang, lalu senyum bahagia terbit di wajah kami berdua. 

Selama ini, Bapak tak mau jika kuajak berkunjung ke Bogor, alasannya masih sakit hati dengan perbuatan Ibu yang meninggalkannya demi laki-laki lain dulu. 

"Baik, Pak. Habis ini istirahat, ya? Besok kita berangkat pagi-pagi," ucap Mas Lian. 

Bapak mengangguk, lalu memutar roda dan masuk ke dalam kamar. 

"Kira-kira, apa yang membuat Bapak tiba-tiba mau bertemu dengan Ibu, Dek?" 

Aku menggeleng. Apapun alasannya, aku bahagia akan bertemu dengan Ibu. Kubereskan sisa makan kami, lalu mematikan lampu ruang tengah dan masuk ke dalam kamar. 

"Dek, mengenai uang itu, sepertinya kita bawa saja, nggak usah ditransfer." 

Aku mengangguk. 

--

Esok subuh. 

Kami sudah bersiap. Aku pun sudah menuliskan TUTUP di depan toko sembako di depan rumah dan di bengkel Mas Lian. 

Bapak dan Mas Lian sudah duduk di dalam mobil, sementara aku mengecek semua benda-benda berbahaya yang sekiranya masih dalam keadaan menyala. 

"Siap?" 

"Oke!" jawabku. 

Mobil meluncur menuju Bogor. Sengaja aku tak memberitahu Mas Helmi, apalagi Ibu. Biar jadi kejutan. 

Setelah menempuh tujuh jam perjalanan, akhirnya kami sampai pada pukul dua siang. Nampak rumah Mas Helmi itu sepi. Mungkin semuanya sedang tidur siang. Kakak keduaku itu menempati rumah peninggalan Nenek. 

"Loh, Fira?" 

Aku menoleh ke sumber suara. Ada Mbok Marni yang tengah memegang sapu, senyum terukir di wajahnya. 

"Assalamu'alaikum, Mbok," ucapku pada Mbok Marni. Dia adalah tetangga kami waktu masih menempati rumah ini. 

"Apa kabar, Mbok?" 

"Baik. Kalian tumben sekali ke sini. Padahal kan..."

"Fira!" 

Belum selesai Mbok Marni selesai meneruskan ucapannya, Mbak Ambar--kakak iparku, memanggil. Ia menatapku dengan mata melotot. Tumben sekali? 

"Sebentar ya, Mbok."

Aku menyalami Mbak Ambar, lalu disusul oleh Mas Lian yang mendorong kursi roda Bapak. 

"Pak," ucap Mbak Ambar sambil mencium tangan Bapak. 

"Kalian kok ke sini tanpa bilang-bilang dulu, si? Aturan ngomong dong!" 

Aku mengernyit. Kenapa Mbak Ambar seolah tak senang dengan kehadiran kami. Sadar sedang kuperhatikan, wanita beranak tiga itu salah tingkah. 

"Ayo, masuk." 

Ia membuka pintu rumah, lalu menyuruh kami duduk. Tak ada senyum di wajahnya, apakah kedatangan kami ke sini hanya mengganggu saja? 

"Ibu mana, Mbak?" 

Mbak Ambar gelagapan, tangannya saling meremas. 

"Mbak?" 

"Eh, anu..."

Aku terdiam. Sepertinya, aku tahu kenapa ia bersikap seperti ini. 

Fix, ada yang tak beres! 

--

"Bapak, mau minum?" Kami semua terdiam. Kenapa pula Mbak Ambar tak menjawab pertanyaanku dan malah menanyakan hal yag tak seharusnya tak ditanyakan? 

Tanpa menunggu jawaban Bapak, kakak iparku itu berjalan ke dapur. Aku dan Mas Lian saling memandang. Ia mengangguk, seolah mengerti arti dari tatapanku. 

Aku menghela napas, Bapak termangu di kursi rodanya. Tubuh rentanya, berusaha memaafkan kesalahan Ibu. Hati nuraninya, seolah kuat untuk tak mengingat kenangan pahit masa lalu. 

"Silakan diminum, Pak, Lian, Fira." 

Kami semua mengangguk. Mbak Ambar kembali lagi ke dapur, seolah menghindar dari kami. Begitu datang lagi ke sini sambil membawa cemilan, kucekal tangannya dan menyuruhnya untuk duduk di hadapanku. 

"A-apa, Fir?" 

"Dari tadi, Fira nanya ke Mbak Ambar. Ibu mana?" 

Ia tampak gelisah, tangannya sampai berkeringat. Akupun mendesah, semoga Ibu baik-baik saja. 

"Apa Ibu sudah meninggal dan kalian tak memberitahu kami?" 

Mata Mbak Ambar membeliak, seolah aku ini tengah memfitnahnya. Hei, reaksi apa itu? Apa memang, tebakanku itu benar?

Bab terkait

  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 2

    "Jangan asal ngomong kamu, Fir. Dosa kamu sudah fitnah Mbak seperti ini!" ucap Mbak Ambar berapi-api. "Ya sudah, kalau begitu, Mbak tunjukkan di mana Ibu!" Mbak Ambar kembali terdiam. Tepat saat itu, sebuah motor masuk ke halaman rumah. Kami semua berdiri. Itu Mas Helmi, di belakangnya ada seorang tua renta yang susah payah untuk turun. Kakak ketigaku itu melirik ke mobil, namun ia sepertinya tak mengetahui jika kami datang. Soalnya, mobil itu baru setahun kemarin Mas Lian beli, sementara kami terakhir ke sini tiga tahun lalu, saat belum memiliki apa-apa. "Ayo cepat, Bu! Payah banget, sih, hari ini malah cuma dapat segini?" Sebuah pemandangan begitu menusuk relung kalbu. Ibuku, seorang yang dulunya cantik jelita, kini menjelma menjadi perempuan renta yang sedikit bongkok. Yang paling membuatku sedih adalah baju yang Ibu kenakan. Daster pemberianku yang sudah ada tambalan di sana sini. "Ya maaf, Helmi. Ibu tadi pusing banget kepalanya." Aku segera berdiri dan menghampiri mereka

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-13
  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 3

    Ibu tampak terdiam. Aku tahu, beliau ingin memberitahu sesuatu, namun ada kemungkinan lain yang membuatnya terdiam. "Nggak apa-apa, Nduk. Mereka baik sama Ibu." Aku mendesah, beberapa kali aku bertanya, namun sepertinya Ibu kekeuh menyembunyikan perbuatan mereka yang sebenarnya. Mas Lian memberi kode untukku menyudahi acara tanya-tanya ini. Aku mengangguk. Mobil menuju sebuah mall besar. Cibinong city mall. "Ayo, Bu, kita turun!" ajakku begitu mobil sudah berhenti di tempat parkir. Aku menuntun Ibu dan mengajaknya untuk naik ke lantai dua. Ibu tampak kagum. Padahal, beliau satu kota dengan mall ini, namun rasanya baru kali ini ia datang. "Bu, kita makan dulu, ya?"Ibu mengangguk cepat, beliau memegang perutnya kemudian berjalan mengikutiku. Kami duduk di restoran cepat saji. Mas Lian dan Bapak datang setelah bersusah payah membawa tubuh renta Bapak ke atas. Sebenarnya, beliau masih mampu berdiri, hanya saja untuk berjalan kerap kali jatuh. Itu disebabkan beberapa tahun lalu beli

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-13
  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 4

    "Hah!" Aku ngos-ngosan, padahal hanya dari halaman sampai kasur depan televisi.Mataku memicing ke arah pot bunga yang sengaja diletakkan di atas meja televisi. Aku pun berdiri dan mengambil benda pipih yang sengaja kutaruh di sini tadi pagi. "Bagus, nanti kita lihat, apa saja yang kalian lakukan seharian ini pada Ibu." -Malam hari, aku sengaja mengajak Mas Lian ke rumah makan dekat sini. Sengaja juga aku tak membawa Bapak dan Ibu serta. Jika kalian berpikir bahwa aku ingin berduaan dengan suamiku, kalian salah. "Mas, mau pesan apa?" "Apa aja, Dek. Kamu lupa kalau suamimu ini gentong?" jawabnya yang sukses membuat kami tergelak. Aku memanggil pelayan dan menyebutkan pesanan kami. Setelahnya, aku mulai membuka ponsel. Sedari di rumah tadi, aku sudah gatal ingin membuka, tapi kutahan karena ada Ibu. "Nggak nyangka aku loh, Dek." Aku mendongak, Mas Lian tengah menatapku dengan wajah tengilnya. "Nggak nyangka apa?" "Ya nggak nyangka aku kalau kamu juga bisa romantis gini. Tumben

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-13
  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 5

    Apa sih, Mbak?" Ia melengos dan pergi meninggalkan kami. Ck! Ada-ada saja. Sore hari. Aku dan Mbak Ratih keliling kampung. Banyak warga baru ternyata. Kami bertemu dengan Mbok Salimah, teman dekat Ibu. Beliau menyuruh kami masuk. "Apa kabar kalian, Nduk?" "Alhamdulillah baik, Mbok. Lama nggak ketemu, masih muda aja kelihatannya," godaku. "Ah, kalian bisa saja." Kami mengobrol banyak, hingga akhirnya Mbok Salimah menanyakan kabar Ibu. Justru ini membuatku menautkan alis. Apa maksudnya? "Memang Mbok nggak pernah lihat Ibu?" "Jarang, Nduk. Sekalinya keluar rumah, paling ke warung. Pernah pagi-pagi liat dia keluar pake daster rombeng, diseret-seret sama si Helmi." Aku dan Mbak Ratih menganga tak percaya. Meskipun aku sudah mendengar lolongan kesakitan Ibu lewat video kemarin, tapi aku tak pernah melihatnya secara langsung. "Mbok sering dengar si Ambar juga maki-maki Ibu kalian. Maaf, bukannya Mbok mau ngadu-ngadu, tapi Mbok nggak tega liat Ana--nama Ibu, diperlakukan kasar begi

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-13
  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 6

    Aku dan Mas Lian makan sepiring berdua. Kami memang sering begini, supaya keromantisan kami tetap terjaga. "Makan sepiring berdua, enak bener nggak harys nyuapin anak," ucap Mbak Ambar. "Kamu nyinyir sekali lagi, kujahit mulutmu, Mbar!"ucap Mbak Ratih. Bapak hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan kami. Mas Helmi makan dengan rakus, seolah ia tak ingat dengan kejadian tadi siang. --Pagi hari. Aku sudah bersiap, hari ini akan pergi memantau kebun. Kata Maman--penjaga kebun, harusnya hari ini panen jeruk dan juga sawo. "Kamu mau ke mana, Dek?" tanya Mas Helmi saat melihatku dan Mas Lian sudah rapi. "Mau ke kebun, Mas." "Loh, kenapa?" Alisku bertaut melihat sikap Mas Helmi. "Lah, memang aku harus punya alasan, kalau mau ke kebun sendiri?" Mas Helmi garuk-garuk kepala. Meihatnya, aku jadi was-was. Takut terjadi sesuatu dengan kebun. Sementara selama ini Mang Maman selalu rajin mentransfer uang hasil panen. "Em, anu, biar Mas saja." "Nggak usah, Mas. Biar aku sama Fira aj

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-21
  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 7

    "Gimana aku nggak kesel, Mbak, uang penjualan buah separuhnya sudah diambil sama Mas Helmi. Pantas saja beberpa bulan ini penghasilan menurun." Mbak Ratih tampak mengelus dada. "Mas, keluar kamu! Masih pagi, udah kelon aja!" Tak lama kemudian, Mbak Ambar keluar. Rambutnya acak-acakan, dasar jorok! "Apa sih? Berisik amat." "Mana Mas Helmi?" "Apa?" "Mana uang penjualan buah?" "Apa maksudmu?""Alah, jangan kebanyakan drama deh, Mas! Kamu, kan, yang bawa uang penjualan jeruk kemarin? Mang Maman sudah cerita semuanya!" Mas Helmi tampak gugup. Apalagi kami semua kini berdiri mengelilinginya. "Kalau begini terus, Ibu kamu bawa saja, Dek. Sekalian, nanti kamu jual aja itu kebun biar bebas nggak usah ke sini. Aku niat pergi ke sini mau liburan, kok yang ada malah bikin kepala pusing aja," gerutu Mas Cahyo."Jangan, Fir. Biar Ibu di sini aja. Ibu betah tinggal di sini, mungkin karena tempat kelahiran. Kamu do'akan saja semoga Ibu tetap sehat, ya.""Tapi, Bu.""Kamu dengar sendiri ucap

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-21
  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 8

    "Kamu hati-hati di jalan ya, Dek!" "Iya, Mas. Mas Cahyo nggak mau ikut kampungku? Mbak Imah kangen loh," ucapku sambil menunjukan pesan dari kakak keduaku itu. Mas Cahyo tersenyum, kemudian mengambil ponselku dan mengetik balasan untuk Kak Ima. Aku bersyukur, meskipun memiliki satu kakak yang bisa dikatakan nggak waras, tapi aku punya dua kakak yang menyayangiku. "Yaudah, Adek pulang, ya!" Aku memeluk Mbak Ratih, lalu Mas Cahyo. Sementara ke Mas Helmi dan Mbak Ambar, aku hanya bersalaman saja. Bukan bermaksud membedakan, tapi rasanya masih sakit hati dengan kenyataan yang baru saja kuketahui. "Kamu jaga kesehatan ya, Yo!" "Iya, Pak. Bapak juga, ya. Jangan makan makanan manis. Kurangi nasinya." Bapak tergelak. Beliau memang penyuka nasi. Teringat dulu sampai adu mulut hanya karena beliau tak terima aku kasih nasi sedikit di piringnya. "Insya Allah, Bapak mau hidup lebih lama lagi." Ibu menghampiri kami, lalu berbicara pada Bapak. "Maafkan aku ya, Pak. Semoga Bapak sehat terus

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-21
  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 9

    Mbak Imah tampak emosi, wajahnya berkeringat. Kulihat sekeliling, tak ada motor Mbak Imah, jangan bilang ia datang ke sini jalan kaki? "Mbak ke sini jalan kaki?" "Iya. Motornya lagi dipakai sama Bagas. Keterlaluan! Pasti ini perbuatan si Helmi. Dasar anak tak tahu diuntung!" Aku mengurut dada. Lalu teringat dengan hari pertama kami datang ke sana. Saat itu Mas Helmi pulang bersama Ibu dengan wajah kurang bersahabat. "Sebenci-bencinya aku sama Ibu, nggak ada niatan aku buat nyuruh beliau ngemis! Emang kurang seons itu Masmu!" "Mbak, jangan keras-keras, nanti Bapak dengar." "Biarin! Biar Bapak tahu kalau anak yang selalu dibangga-banggakannya itu membuat ulah! Malu, Mbak, Fira. Malu! Banyak yang menghujat karena dibilang membuang orang tua. Astaghfirullah!" Mas Lian datang karena mendengar suara Mbak Imah. Letak bengkel dan warung memang bersebelahan. Sepertinya ia juga sudah penasaran sejak tadi, hanya saja pelanggannya baru pergi. "Ada apa, Mbak? Kok kayak marah gitu?" "Masmu

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-21

Bab terbaru

  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 84

    "Apa kamu tahu, Helmi masuk rumah sakit?" tanya Mbak Imah. "Apa Mbak Imah dan Fira kerja sama dengan Mas Helmi? Kemarin Fira juga ngomong gitu ... Loh." Suara Mbak Ambar menggantung saat kamera kubalik menggunakan kamera belakang. Bisa kulihat ia tertegun beberapa saat. Mungkin ia terkejut, karena sedari kemarin hanya menganggapku berbohong. "I-itu, Mas Helmi?" tanya Mbak Ambar, setelah menguasai diri. "Ya, itu suami yang kamu bilang kerja sama dengan kami. Bagaimana caranya kami kerja sama kalau keadaannya juga begitu?" tanya Mbak Imah, seraya terisak. Aku melihat air mata Mbak Ambar mengalir, lalu kuhembuskan napas yang terasa sesak. Apa ia sungguh-sungguh akan menceraikan Mas Helmi jika kenyataannya begini? "Aku akan ke sana," ucap Mbak Ambar. "Nggak perlu. Masih ada kami, keluarganya. Kamu fokus lah dulu pada kesembuhanmu sendiri. Jangan pedulikan Helmi," ucap Mbak Imah sambil mematikan ponsel. Hening. Isak tangis Mbak Imah masih terdengar. Meski ia bawel, cerewet, dan bah

  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 83

    "Halo, Fir? Kok diam? Mana Mas Helminya?" Aku semakin bingung saat mendengar Mbak Ambar menanyakan Mas Helmi. Tak apakah jika aku memberitahunya? "Mbak, tolong pikirkan lagi soal perceraian itu," ucapku pada akhirnya. Terdengar helaan napas panjang dari arah seberang telepon. Mungkin, ini berat bagi Mbak Ambar. "Berat, Fir. Apalagi kakakmu kasusnya sudah sampai menikahi orang lain dan tak memberitahuku. Apa kamu yakin, bakal diam saja kalau Lian nikah lagi? Apa kamu yakin, bakal menerima semuanya meski itu hanyalah masa lalu?" Lagi-lagi aku terdiam. Benar, beban setiap orang itu berbeda. Aku yakin, yang ditimpa Mbak Ambar sekarang ini begitu berat. Apalagi ini menyangkut mental. "Mana Mas Helminya? Biar Mbak suruh untuk menandatangi dan mengirimkannya sekarang juga." "Mas Helmi, ada di rumh sakit." "Rumah sakit? Apa Naura sakit? Atau, Ibu?" "Mbak, apa kamu pikir, Mas Helmi tidak bisa sakit sehingga yang kamu tanyakan hanyalah mertuamu dan anakmu sendiri. Mas Helmi, kecelakaan

  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 82

    "Apanya?" "Retak di bagian batok kepala, pendarahan di otak, dan juga patah kaki kiri." Mbak Imah langsung beristighfar. Benar memang, di antara satu garis keturunan, pasti ada satu yang berbeda, dan di keluarga kami adalah Mas Helmi. Entah sudah berapa kali masalah dan musibah yang menghampirinya. Kalau dulu, masih ada Bapak yang menjadi jalan mengadu kami, kalau sekarang? Kami harus bergotong-royong demi menyebabkan masalah yang ia lakan. "Setengahnya dicover bpjs katanya, Mbak. Jadi kita hanya perlu setengah lagi. Apa, kita perlu menjual rumah Mas Helmi di Bogor?" "Tapi, kalau kita ke sana nanti, bagaimana, Fir?" Aku menghela napas. Benar, di mana tempat kami akan tinggal jika suatu hari nanti kami ke sana? Karena masih banyak saudara dari Ibu, sehingga sudah pasti suatu hari nanti akan berkunjung. "Nanti, biar Fira yang atur, Mbak. Sekarang aku mau masuk dulu," ucapku pada Mbak Imah saat melihat Mas Surya keluar. Aku pun masuk, melihat berbagai selang yang dipasang di tubuh

  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 81

    "Apa, Mas?" "Nih." Dengan dad berdebar, segera kusaut ponsel dari Mas Lian. Setelah mengatur debar dalam dada, aku mulai berbicara. "Iya, saya Fira." "Korban bernama Pak Helmi, menjadi korban kecelakaan dengan mobil. Saat ini kondisinya kritis.""Ya Allah! Di rumah sakit mana, Bu?" Setelah mengantongi nama rumah sakitnya, segera aku menelepon Mbak Imah supaya bisa menemani ke sana. Untuk Mas Cahyo, mungkin nanti akan kuhubungi dan berangkat terpisah, mengingat jarak kami yang lumayan jauh. "Sudah siap, Fir?" tanya Mbak Imah. "Sudah, Mbak. Mas, tolong jagain Aya, ya. Kalau kamu kuajak, kasihan Ibu harus jagain dua cucunya." "Iya, beres. Sudah, sekarang kamu berangkat saja sana. Nggak usah pikirin yang di rumah, semoga Mas Helmi segera pulih. Jangan lupa kasih kabar, ya," ucap Mas Lian yang segera kuangguki. Setelah memakai jaket, kami langsung berangkat. Di sepanjang jalan tak hentinya aku beristighfar, semoga tak ada satu pun hal buruk yang menimpa kakakku itu. "Kok bisa kec

  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 80

    Habis magrib, Mas Helmi datang ke sini. Mas Surya pun ke sini lagi bersama Mbak Imah, karena aku kekeuh tak ingin memberikan surat itu. "Wih, ngumpul, nih." "Hel, tarik napas dulu," ucap Mas Surya. "Kenapa sih, Mas?" "Sudah, tarik napas dulu." Mas Helmi menuruti perkataan Mas Surya dan melakukannya. Saat sudah selesai, Mas Surya segera memberikan amplop tadi pagi. "Apa ini?" tanya Mas Helmi. "Buka saja." Mas Helmi pun mengambil amplop itu dengan bingung, lalu membuka isinya. Matanya membeliak saat membaca kop suratnya. "Pengadilan? Mas Surya mau menceraikan Mbak Imah?" Pletak! Mbak Imah melemparkan sendok ke kepala Mas Helmi. "Ngawur ngomongnya. Buka dulu. Lagian, nggak kamu baca itu siapa pengirimnya?" Mas Helmi tak menghiraukan ucapan Mbak Imah, lalu membuka surat itu. Matanya dua kali lebih besar dari yang tadi. Tentu saja, ia pasti amat terkejut karena itu. "I-ini, nggak benar, kan?" "Masa iya kami prank?" "Nggak mungkin, Mas. Masa iya Ambar menceraikanku?" Mas Su

  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 79

    "Mas!" teriakku. Mas Lian dan Ibu yang tengah menggendong Aya, segera menghampiri saat aku berteriak. Bagaimana aku tak marah, jika surat dari pengadilan ada di tanganku? "Kenapa, Dek?" "Apa ini?" "Maksudnya?" "Kamu mau menceraikan aku?" "Hahhh? Apa sih Dek? Jangan mengada-ada." "Lalu ini apa?" Mas Lian segera mengambil surat itu dari tanganku dan membacanya. Matanya membeliak, lalu menepuk jidatnya sendiri. Kenapa ia berekspresi seperti itu? "Ini, bukan untuk kam, Dek. Tapi untuk Mas Helmi." "Apa?" Kali ini giliran aku yang terkejut, hingga Athaya menangis karena mendengar teriakan kami. "Uuh, Sayang, maafkan Bunda, ya. Kaget, ya?" tanyaku sambil mengelus kepala anak yang sudah aktif itu. "Mas Helmi? Apa Mbak Ambar menceraikannya?" "Bisa jadi." "Tapi kan dia lagi hamil loh, Mas. Mana boleh cerai." "Kan perkiraan minggu depan lahiran." Aku menepuk jidat. Benar-benar telmi aku ini. Kenapa Mbak Ambar menggugat cerai Mas Helmi? Mengingat kali terakhir sebelum ia pergi, si

  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 78

    "Nggak, Mas, aku cuma nanya doang kok." "Awas macem-macem." "Perasaan dulu yang ngejar kamu, Fir, kok sekarang yang bucin malah Mas Lian?" "Mau tau rahasianya?" "Iya, apa?" tanya Fitri sambil mencondongkan badannya demi mendengarkan jawabanku. Namun justru itu yang membuatku menahan tawa. "Pesonaku." "Njiiir!" Pletak! Aku malah dijitak oleh Fitri.--Esok hari. Aku mengantar Naura berangkat sekolah. Ia masih terlihat lemas, mungkin karena efek berjauhan dengan ibunya. "Apa kamu nggak curiga, kok Mbak Ambar tega ninggalin anaknya?" "Astaghfirullah, Fitri! Kalau mau gabung, panggil dulu, kek, jangan asal ngomong aja. Kaget!"Fitri hanya nyengir saja, namun aku kepikiran dengan kata-katanya. Benar, kenapa Mbak Ambar tega meninggalkan Naura? Apa benar, sekolah menjadi alasan utama, atau ada alasan yang lainnya? "Kenapa? Baru kepikiran?" Aku mengangguk, lalu membenarkan topi yang dikenakan oleh Aya. Cuaca sedang panas, jam setengah tujuh pagi saja matahari sudah menunjukkan si

  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 77

    Mbak Ambar menatap Mas Helmi, "Iya, sama Papa." Entah kenapa, aku merasa ada yang aneh dari tatapan kakak iparku itu. Setelah berpamitan, mobil mulai melaju. Tangis Naura terus terdengar. Wajar, ia baru berusia sepuluh tahun dan juga begitu dimanja oleh Mbak Ambar, sehingga pasti sangat kehilangan. "Emangnya, jadwal Ambar lahiran, kapan, Hel?" tanya Mbak Imah. "Dua mingguan lagi, Mbak. Mungkin, dia masih takut apa-apanya sendiri, jadi mau lahiran di rumah Mama. Padahal dia sudah punya pengalaman. Tapi ya sudah lah, nggak papa, toh cuma dua mingguan ini. Nanti bisa ke sana pas Ambar mau melahirkan.""Lagian bukan kamu ikut ke sana, Hel," ucap Bu Romlah, entah kapan ia ada di sini. "Saya kan kerja, Bu. Kalau nggak kerja dan di sana cuma nganggur, ya ga enak. Meski mertua saya nggak kaya Bu Romlah, tetep aja ga enak, toh?" "Loh, memangnya saya kenapa?" tanya Bu Romlah. "Cerewet, bawel, tukang gosip!" jawab kami bersamaan lalu masuk ke dalam rumahku. --Pagi hari. Aku sedang sibuk

  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 76

    "Makanya, kalau nggak mau jadi bahan gosip mereka, nggak usah betingkah." "Siapa yang betingkah sih, Yang? Orang Riska ke sini sendiri, kok. Aku nggak mungkin lah, nolak pelanggan." "Pelanggan tapi nggak bayar!" ucapku, lalu keluar kamar, hendak mengambil Athaya di rumah Mbak Ambar, karena kata Ibu, tadi di bawa oleh Kak Ratih saat aku dan Mas Lian di kamar menuju rumah Mbak Ambar. Ketika di teras, aku terkejut melihat Riska masih di sini, bahkan duduk di teras warungku. Kuambil napas banyak, lalu menghampirinya. "Ada apa lagi?" "Aku bukan orang miskin, jadi mau bayar ongkos isi angin tadi. Nih," ucapnya sambil memberikan uang pada Mas Lian, padahal jelas-jelas aku yang lebih dekat dengan tempatnya berdiri. "Terima kasih," ucapku sambil merebut uang itu dan meminta Mas Cahyo untuk menutup bengkel Mas Lian. Bener-bener si Riska, gak ada malunya meski ada aku, istri sahnya Mas Lian. "Yang, kamu jangan cemburu gitu, dong! Aku sama Riska itu nggak ada apa-apa. Masa kamu marah-marah

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status