"Hah!" Aku ngos-ngosan, padahal hanya dari halaman sampai kasur depan televisi.
Mataku memicing ke arah pot bunga yang sengaja diletakkan di atas meja televisi. Aku pun berdiri dan mengambil benda pipih yang sengaja kutaruh di sini tadi pagi. "Bagus, nanti kita lihat, apa saja yang kalian lakukan seharian ini pada Ibu." -Malam hari, aku sengaja mengajak Mas Lian ke rumah makan dekat sini. Sengaja juga aku tak membawa Bapak dan Ibu serta. Jika kalian berpikir bahwa aku ingin berduaan dengan suamiku, kalian salah. "Mas, mau pesan apa?" "Apa aja, Dek. Kamu lupa kalau suamimu ini gentong?" jawabnya yang sukses membuat kami tergelak. Aku memanggil pelayan dan menyebutkan pesanan kami. Setelahnya, aku mulai membuka ponsel. Sedari di rumah tadi, aku sudah gatal ingin membuka, tapi kutahan karena ada Ibu. "Nggak nyangka aku loh, Dek." Aku mendongak, Mas Lian tengah menatapku dengan wajah tengilnya. "Nggak nyangka apa?" "Ya nggak nyangka aku kalau kamu juga bisa romantis gini. Tumbenan banget ngajak makan di luar." "Pede jreng kamu itu!" Mas Lian terbahak, kemudian memegang jemariku. Andai tak ingat dengan tujuan utamaku ke sini, mungkin akupun sudah ikut terhanyut dalam gombalannya. "Mas, aku ngajak kamu ke sini karena mau nunjukin ini!" Aku menggeser kursi jadi bersebelahan dengannya. Tak kupedulikan tatapan pengunjung lain yang menatap aneh ke arah kami. Wong bayar-bayar sendiri kok ngurus amat! "Apaan ini?" "Aku kemarin sengaja nggak bawa ponsel, Mas. Kuaktifkan kamera lalu menyetingnya jadi video. Untung saja, kita pergi cuma beberapa jam aja. Pas banget lagi, aku ngecek baterai tinggal lima persen. Selamet-selamet!" "Lah, memang mau ngapain? Kok pakai direkam segala?" "Udah, nggak usah kebanyakan nanya!" ketusku. Kuklik tombol play dan mulai menonton. Awalnya semua tampak normal. Namun, setelah lima menit, aku melihat Mbak Ambar datang membawa piring berisi nasi dan juga satu potong tempe, lalu menyuruh Ibu untuk memakannya. Seketika hatiku terenyuh. Mas Lian menoleh ke arahku, lalu menggenggam erat tangan ini. Sungguh, terbuat dari apa hati Mbak Ambar? Lalu terlihat Mas Helmi datang dan duduk di hadapan Ibu. "Makan aja lama bener. Ayo, mumpung belum siang. Bisa nggak dapat banyak nanti!" ucap Mas Helmi tepat di depan wajah Ibu.Air mata yang sedari tadi kutahan, akhirnya lolos juga. Melihat anak lelaki memperlakukan ibunya sedemikian rupa. "Tapi, Hel, Ibu capek. Pusing." "Alah, alesan! Dulu pas bikin malu sekeluarga memangnya gak pusing?" Ibu terdiam. Mungkin ia merasa tertohok mendengar ucapan Mas Helmi. Tanganku mengepal. Lalu memalingkan wajah. Tak sanggup melihat lebih jauh lagi. "Dek, lanjutin. Biar semua jelas." "Adek nggak tega, Mas." Obrolan kami terjeda karena pesanan kami datang. Tak kuhiraukan lagi kepulan asap yang biasanya menggoda itu. Mas Lian menekan kembali tombol Play. Adegan itu masih sama, hingga akhirnya Ibu ke belakang dan tak lama kemudian terdengar suara teriakan Ibu. Permintaan tolong, dan juga lolongan kesakitan. Astaghfirullah! Apa yang sudah dilakukan oleh kakakku itu? Lalu, tubuh renta itu ditarik oleh Mas Helmi. Mataku semakin memanas melihatnya. Brak! Aku terkejut mendengar suara bantingan yang bisa kupastikan dari pintu. Pelan, aku seperti mendengar suara seseorang berbicara. Namun tak kelihatan rupanya karena tak ada di hadapan kamera. "Rasakan. Salah siapa kerjaannya nyusahin. Dikira ngerawat nenek-nenek itu nggak capek, kali!" Deg! Ini suara Mbak Ambar. Aku yakin itu. --Aku pulang setelah bisa meredakan emosi, meskipun belum sepenuhnya. "Assalamu'alaikum," ucap Mas Lian. Aku hanya diam saja, yang penting kuucapkan salam itu lewat hati. Pasangan suami istri itu tengah duduk santai di depan televisi. Mereka hanya melirik pada kami saat melewatinya. "Pergi malem-malem, eh pulangnya dengan tangan kosong!" Deg! Rasanya kepalaku hampir saja meledak mendengar ucapannya. Mas Lian menggandeng tanganku masuk ke dalam kamar. Untung ada dia, jika tidak, mungkin perang dunia ketiga sudah terjadi! "Sabar, Dek!" Aku hanya mengangguk, lalu menoleh ke arah Ibu yang sedang meringkuk. Seketika, air mata kembali turun. Meskipun pernah disakiti di masa lalu, namun tetap saja hati ini perih melihat kejadian tadi siang. "Bu!" Kugoncangkan tubuh Ibu, lalu mengeluarkan bungkusan tadi dan menyuruh beliau untuk makan. "Bapak udah makan belum ya, Mas?" "Bentar, Mas nanya. Kamu sama Ibu makan dulu, ya." Aku mengangguk. Tadi memang sengaja membungkusnya. Masa iya, aku tega melihat Ibu sendiri makan hanya berlauk tempe sementara aku makan enak? "Bapak sudah makan tadi dibelikan nasi goreng sama Mas Helmi." "Alhamdulillah, pakai uang Mas Helmi, kan?" Mas Lian menggeleng. "Uang Bapak."Aku mengelus dada. Sungguh tega Mas Helmi. -Pagi hari. Aku tengah memilih sayuran di tukang sayur, saat kulihat sebuah mobil masuk ke halaman. Melihat siapa yang turun, alisku segera bertaut. Safa dan Dika lebih dulu turun. Disusul oleh Mas Cahyo dan Mbak Ratih. Aku tersenyum, ternyata mereka benar akan datang. Buru-buru aku menambah belanjaan dengan daging dua kilo dan juga bumbu rendang. Ya, niatnya aku akan memasak rendang hari ini. Kesukaan Mas Cahyo. "Assalamu'alaikum!" "W*'alaikum salam," jawabku bersamaan dengan yang lain. Aku berlari dari belakang mereka."Apa kabarmu, Dek? Habis belanja?" tanya Mbak Ratih. "Baik, alhamdulillah. Mbak Ratih gimana?""Ya, seperti yang kamu lihat," jawabnya sambil memutar badan. Kuakui, wajah dan tubuh Mbak Ratih kian bagus. Ia memang kerap bercerita tengah mengurangi berat badan demi body goals versi dia. "Mbakmu makin cantik, tapi Masmu makin tua gini, Dek!" celetuk Mas Cahyo yang membuat aku dan Mbak Ratih tergelak. Aku menghampiri Safa. Sulung Mas Cahyo itu sudah masuk sekolah SMP, sementara Dika--adiknya, sudah kelas lima sekolah dasar. Mereka sangat sopan, selalu menyalamiku lebih dulu. Berbeda dengan Naura, meskipun mereka sama-sama sopan, hanya saja anak dari Mas Helmi itu tak terlalu menerapkan adab. Aku izin ke dapur. Mulai merebus daging bersama daun salam, sereh, dan lengkuas. Setelah mendidih, buang air dan juga bumbu tadi. Lalu mengulek bumbu-bumbunya. Aku membeli empat bungkus bumbu rendang padang yang tinggal diulek, bersama dengan bawang merah, bawang putih, cabe merah, dan juga jahe. Sambil menunggu masakan yang matangnya sekitar satu setengah jam itu, aku bergabung ke depan. Melepas rindu dengan Mas Cahyo dan juga Mbak Ratih. Kulihat, Mbak Ambar tengah menatap lurus ke gelang yang melingkar di lengan Mbak Ratih. Aku hanya bisa menggelengkan kepala. Begitulah Mbak Ambar, ia selalu menginginkan barang yang bukan miliknya. Seperti tanah kemarin, dan juga gelang milik kakak iparnya sendiri. "Kok pulang nggak kabar-kabar dulu, Mbak?" tanyaku pada Mbak Ratih yang duduk di sebelah Ibu, sementara para lelaki duduk di teras. "Iya, Masmu tuh. Tiba-tiba ngajakin pulang. Kami emang punya planning mau mudik, tapi bulan depan. Untung saja butik Mbak sudah ada yang menghandle, jadi bisa ditinggalkan seperti sekarang ini." "Lagi rame-ramenya, ya?" "Iya. Makanya kalian main dong, ke Bangka." "Ongkosnya aja udah selangit, Mbak. Apalagi kan kita emang harus membiayai kebutuhan kedua orang tua kita." Ctak! Terdengar suara cangkir beradu dengan piring pisin. Kulihat wajah Mbak Ambar memerah. "Kalian sengaja, kan, nyindir aku? Mentang-mentang aku dan Mas Helmi nggak ikutan menanggung kebutuhan Ibu dan Bapak?"Aku dan Mbak Ratih terbengong-bengong. Kenapa jadi ujungnya ke sana?Apa sih, Mbak?" Ia melengos dan pergi meninggalkan kami. Ck! Ada-ada saja. Sore hari. Aku dan Mbak Ratih keliling kampung. Banyak warga baru ternyata. Kami bertemu dengan Mbok Salimah, teman dekat Ibu. Beliau menyuruh kami masuk. "Apa kabar kalian, Nduk?" "Alhamdulillah baik, Mbok. Lama nggak ketemu, masih muda aja kelihatannya," godaku. "Ah, kalian bisa saja." Kami mengobrol banyak, hingga akhirnya Mbok Salimah menanyakan kabar Ibu. Justru ini membuatku menautkan alis. Apa maksudnya? "Memang Mbok nggak pernah lihat Ibu?" "Jarang, Nduk. Sekalinya keluar rumah, paling ke warung. Pernah pagi-pagi liat dia keluar pake daster rombeng, diseret-seret sama si Helmi." Aku dan Mbak Ratih menganga tak percaya. Meskipun aku sudah mendengar lolongan kesakitan Ibu lewat video kemarin, tapi aku tak pernah melihatnya secara langsung. "Mbok sering dengar si Ambar juga maki-maki Ibu kalian. Maaf, bukannya Mbok mau ngadu-ngadu, tapi Mbok nggak tega liat Ana--nama Ibu, diperlakukan kasar begi
Aku dan Mas Lian makan sepiring berdua. Kami memang sering begini, supaya keromantisan kami tetap terjaga. "Makan sepiring berdua, enak bener nggak harys nyuapin anak," ucap Mbak Ambar. "Kamu nyinyir sekali lagi, kujahit mulutmu, Mbar!"ucap Mbak Ratih. Bapak hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan kami. Mas Helmi makan dengan rakus, seolah ia tak ingat dengan kejadian tadi siang. --Pagi hari. Aku sudah bersiap, hari ini akan pergi memantau kebun. Kata Maman--penjaga kebun, harusnya hari ini panen jeruk dan juga sawo. "Kamu mau ke mana, Dek?" tanya Mas Helmi saat melihatku dan Mas Lian sudah rapi. "Mau ke kebun, Mas." "Loh, kenapa?" Alisku bertaut melihat sikap Mas Helmi. "Lah, memang aku harus punya alasan, kalau mau ke kebun sendiri?" Mas Helmi garuk-garuk kepala. Meihatnya, aku jadi was-was. Takut terjadi sesuatu dengan kebun. Sementara selama ini Mang Maman selalu rajin mentransfer uang hasil panen. "Em, anu, biar Mas saja." "Nggak usah, Mas. Biar aku sama Fira aj
"Gimana aku nggak kesel, Mbak, uang penjualan buah separuhnya sudah diambil sama Mas Helmi. Pantas saja beberpa bulan ini penghasilan menurun." Mbak Ratih tampak mengelus dada. "Mas, keluar kamu! Masih pagi, udah kelon aja!" Tak lama kemudian, Mbak Ambar keluar. Rambutnya acak-acakan, dasar jorok! "Apa sih? Berisik amat." "Mana Mas Helmi?" "Apa?" "Mana uang penjualan buah?" "Apa maksudmu?""Alah, jangan kebanyakan drama deh, Mas! Kamu, kan, yang bawa uang penjualan jeruk kemarin? Mang Maman sudah cerita semuanya!" Mas Helmi tampak gugup. Apalagi kami semua kini berdiri mengelilinginya. "Kalau begini terus, Ibu kamu bawa saja, Dek. Sekalian, nanti kamu jual aja itu kebun biar bebas nggak usah ke sini. Aku niat pergi ke sini mau liburan, kok yang ada malah bikin kepala pusing aja," gerutu Mas Cahyo."Jangan, Fir. Biar Ibu di sini aja. Ibu betah tinggal di sini, mungkin karena tempat kelahiran. Kamu do'akan saja semoga Ibu tetap sehat, ya.""Tapi, Bu.""Kamu dengar sendiri ucap
"Kamu hati-hati di jalan ya, Dek!" "Iya, Mas. Mas Cahyo nggak mau ikut kampungku? Mbak Imah kangen loh," ucapku sambil menunjukan pesan dari kakak keduaku itu. Mas Cahyo tersenyum, kemudian mengambil ponselku dan mengetik balasan untuk Kak Ima. Aku bersyukur, meskipun memiliki satu kakak yang bisa dikatakan nggak waras, tapi aku punya dua kakak yang menyayangiku. "Yaudah, Adek pulang, ya!" Aku memeluk Mbak Ratih, lalu Mas Cahyo. Sementara ke Mas Helmi dan Mbak Ambar, aku hanya bersalaman saja. Bukan bermaksud membedakan, tapi rasanya masih sakit hati dengan kenyataan yang baru saja kuketahui. "Kamu jaga kesehatan ya, Yo!" "Iya, Pak. Bapak juga, ya. Jangan makan makanan manis. Kurangi nasinya." Bapak tergelak. Beliau memang penyuka nasi. Teringat dulu sampai adu mulut hanya karena beliau tak terima aku kasih nasi sedikit di piringnya. "Insya Allah, Bapak mau hidup lebih lama lagi." Ibu menghampiri kami, lalu berbicara pada Bapak. "Maafkan aku ya, Pak. Semoga Bapak sehat terus
Mbak Imah tampak emosi, wajahnya berkeringat. Kulihat sekeliling, tak ada motor Mbak Imah, jangan bilang ia datang ke sini jalan kaki? "Mbak ke sini jalan kaki?" "Iya. Motornya lagi dipakai sama Bagas. Keterlaluan! Pasti ini perbuatan si Helmi. Dasar anak tak tahu diuntung!" Aku mengurut dada. Lalu teringat dengan hari pertama kami datang ke sana. Saat itu Mas Helmi pulang bersama Ibu dengan wajah kurang bersahabat. "Sebenci-bencinya aku sama Ibu, nggak ada niatan aku buat nyuruh beliau ngemis! Emang kurang seons itu Masmu!" "Mbak, jangan keras-keras, nanti Bapak dengar." "Biarin! Biar Bapak tahu kalau anak yang selalu dibangga-banggakannya itu membuat ulah! Malu, Mbak, Fira. Malu! Banyak yang menghujat karena dibilang membuang orang tua. Astaghfirullah!" Mas Lian datang karena mendengar suara Mbak Imah. Letak bengkel dan warung memang bersebelahan. Sepertinya ia juga sudah penasaran sejak tadi, hanya saja pelanggannya baru pergi. "Ada apa, Mbak? Kok kayak marah gitu?" "Masmu
Menjelang sore, Helmi pulang dulu untuk tidur sebentar. Sementara Bu Ana tetap ditinggal di pasar. Melihat suaminya pulang, Ambar tersenyum lebar. "Gimana, Mas?" "Payah, cuma berapa ribu doang kali. Pasar sepi.""Ck! Padahal aku sudah pengen beli tas baru. Malu sama geng arisanku. Di antara kami, cuma aku doang yang dekil, Mas!" Helmi memperhatikan istrinya. Gelang tiga biji, kalung, anting, cincin bahkan sampai empat jarinya isi semua. Ini yang dinamakan dekil? Helmi geleng-geleng kepala. "Iya, Sayang, kamu tenang aja.""Terus Ibu mana? Kok nggak kamu bawa pulang?" "Masih di sana. Nanti lah pas magrib, biar nggak ketauan orang kalau aku sengaja menyuruh Ibu ngemis." Ambar mengangguk, kemudian mengambilkan bantal untuk suaminya. Ia sendiri berasal dari keluarga miskin. Makanya, sangat beruntung mendapatkan Helmi. Tentu saja, ini semua tak mudah baginya. Setiap bulan, ia harus mengunjungi sebuah gubuk tua demi membuat suaminya tetap menurut. Bertepatan dengan adzan magrib, Helmi
Pov FiraAku mengejar Mbak Imah yang sudah berjalan menuju Mas Helmi. Gawat ini, bisa perang dunia ketiga. Meskipun kemarin aku galak pada Mas Helmi, tapi Mbak Imah lebih keras lagi. "Heh! Anak tak tahu diuntung!" Mas Helmi sampai terlonjak mendengar teriakan Mbak Imah. Wajahnya pucat pasi, ditambah ketika melihat kami datang. "M-mbak?" ."Apa? Kamu, ya! Nggak tahu malu! Sudah tiap bulan dikasih uang untuk ngerawat Ibu. Tega kamu berbuat seperti ini?" teriak Mbak Imah. Beberapa orang yang tengah makan dan ngopi disitu, menatap kami. Aku sendiri malu, tapi gimana lagi? "Mas, boleh minta tolong gendong Ibu ke mobil, nggak?" bisikku, karena Mbak Imah masih saja teriak-teriak. Mas Suryo mengangguk, kemudian berjalan ke arah Ibu. Ia mencium tangan wanita yang telah melahirkanku itu, kemudian menggendongnya menuju mobil. Setelahnya, Mas Suryo keluar menghampiri kami. "Hel, kalau kamu nggak ikhlas merawat Ibu, harusnya kamu bilang. Biar kami jemput beliau. Kalau kaya gini, kamu mau gi
"Apanya, Mbak?" "Ck! Ya gimana itu Ibu?" Aku menggaruk kecil kepalaku. "Ya gimana lagi? Mbak harus mau merawat Ibu. Aku kan sudah kebagian jatah merawat Bapak. Bukan perhitungan, tapi tahu sendiri kan kalau Bapak dan Ibu bukan mahram lagi." "Makasih ya, Mbak," ucap Mbak Imah pada pelayan yang mengantarkan makanan. "Jadi gimana, Mbak? Kalau Mbak nggak mau rawat Ibu, ya kita tukeran aja. Mbak rawat Bapak, aku rawat Ibu. Toh jarak rumah kita dekat," ucapku pada akhirnya. "Gimana, Mas?" "Ya sudah. Gimana baiknya aja." "Nanti aku kasih tahu Mas Cahyo hasil rundingan ini. Kamu juga kasih tahu suamimu, Fir." Aku mengangguk, lalu mulai menyantap makanan. --Esok pagi. Kami sudah selesai berkemas. Aku meminta Ibu untuk duduk di sofa saja karena seprai dan sarung bantal akan kulepas. Jangan salah, ini bukan berarti aku membuat pelayan hotel kesusahan, justru hal ini membuat pekerjaan mereka terasa ringan. Mereka tinggal gulung dan masukkan ke troli untuk dibawa ke laundry. Delapan j