Ibu tampak terdiam. Aku tahu, beliau ingin memberitahu sesuatu, namun ada kemungkinan lain yang membuatnya terdiam.
"Nggak apa-apa, Nduk. Mereka baik sama Ibu." Aku mendesah, beberapa kali aku bertanya, namun sepertinya Ibu kekeuh menyembunyikan perbuatan mereka yang sebenarnya. Mas Lian memberi kode untukku menyudahi acara tanya-tanya ini. Aku mengangguk. Mobil menuju sebuah mall besar. Cibinong city mall. "Ayo, Bu, kita turun!" ajakku begitu mobil sudah berhenti di tempat parkir. Aku menuntun Ibu dan mengajaknya untuk naik ke lantai dua. Ibu tampak kagum. Padahal, beliau satu kota dengan mall ini, namun rasanya baru kali ini ia datang. "Bu, kita makan dulu, ya?"Ibu mengangguk cepat, beliau memegang perutnya kemudian berjalan mengikutiku. Kami duduk di restoran cepat saji. Mas Lian dan Bapak datang setelah bersusah payah membawa tubuh renta Bapak ke atas. Sebenarnya, beliau masih mampu berdiri, hanya saja untuk berjalan kerap kali jatuh. Itu disebabkan beberapa tahun lalu beliau tertabrak truk. Makanan kami sudah datang. Mata Ibu berbinar. Aku terenyuh melihatnya. "Ibu sudah lapar banget, ya?" Ibu mengangguk. "Alhamdulillah, ketemu makan," gumamnya yang masih terdengar jelas di telingaku. "Maksud Ibu?" Beliau tersentak, kemudian menggeleng. Ah, sepertinya banyak sekali teka-teki di sini. Aku sendiri sampai pusing. Saat sedang enak makan, ponselku berdering. Panggilan video dari Mbak Fatimah. "Hallo, Mbak." "Iya. Kamu ke Bogor, Fir? Kok warungmu tutup?" Aku menepuk jidat. Bisa-bisanya lupa tak memberitahunya. Aku nyengir saja. "Iya, Mbak, lupa." "Dasar." Aku mengarahkan kamera ke wajah Ibu, namun secepat kilat dimatikan oleh Mbak Fatimah. Aku menghela napas. Selalu begitu. Ia memang masih belum bisa memaafkan Ibu. Wajah renta yang tadinya penuh dengan binar itu meredup. Beliau pasti merindukan anak perempuannya itu. "Sudah, lagipula itu kesalahanmu sendiri, Nur. Kalau kamu tak begitu, mungkin anak-anakmu takkan membencimu." "Bapak!" Bapak hanya diam. Sementara Ibu menghentikan suapannya. Duh, kenapa jadi mellow begini, sih? "Bapak, nggak boleh gitu. Katanya sudah memaafkan Ibu?" "Iya, tetap saja kelakuannya itu lah yang membuat anak-anak jauh darinya." Aku terdiam. Memberi kesempatan Bapak untu berbicara meskipun sedikit keterlaluan. Mas Lian menguatkan Ibu, dan mengatakan agar tak terlalu mempedulikan ucapan Bapak. Aku mengangguk saat wanita yang melahirkanku itu menoleh. Usai makan, aku mengajak Ibu ke stand pakaian. Banyak gamis yang terpajang. Awalnya Ibu menolak, namun aku memaksa. Ada satu gamis yang membuatku tertarik. "Belikan Ambar juga, Fir. Nanti potong dari uang jatah Ibu."Aku menoleh. "Fira akan belikan untuk Mbak Ambar, asal Ibu mau jujur pada Fira." Ibu mengangguk, lalu berkata, "Nanti malam, Ibu akan ceritakan padamu semuanya, Fir." --Kami pulang ketika adzan isya berkumandang. Entah kenapa, padahal kami baru saja menempuh perjalanan tujuh jam, ditambah tadi di rumah Mbak Ambar belum rebahan satu menit pun, tapi rasanya badan ini tidaklah capek. Apa karena sudah bertemu dengan Ibu? Makanya capek itu hilang begitu saja? Kubuka pintu sembari mengucap salam. Kulihat Naura tengah belajar, ia berlari menyalamiku. "Naura lagi belajar?" "Iya, Tante." Naura sendiri berumur delapan tahun. Ia anak tunggal dari Mas Helmi dan juga Mbak Ambar. Mendengar suara kami, kakak iparku itu keluar. Wajahnya masih tampak tak bersahabat. "Habis dari mana kalian?" tanyanya. "Habis jalan-jalan, Mbak," jawabku. "Wah, Ibu beli baju baru? Enak ya. Memangnya Ambar-" Bug! Belum sempat ia mengucapkan kata-katanya, segera kuberikan bungkusan berisi pakaiannya. "Ini buat Mbak Ambar," ucapku kemudian melenggang menuju kamar. "Mbak, kok koperku berantakan?" tanyaku. "Iya, tadi Naura pulang liat koper. Dikira punya kita, mau jalan-jalan. Kasihan dia, mau jalan-jalan aja kita gak sempat karena harus merawat Ibu," ucap Mbak Ambar. Aku jadi tak enak hati, lalu menjanjikan besok akan mengajaknya jalan-jalan. Anak itu tentu saja senang bukan main. Apalagi aku akan mengajaknya ke kebun binatang. "Mama ikut, kan?" tanyanya pada sang ibu. "Nggak, Nak. Kamu berangkat sama Om, Tante, Kakek aja." "Loh, Nenek?" "Biar Nenek di rumah." "Tapi, Ma-" "Naura, Nenek itu sakit. Makan nasi aja ga boleh banyak-banyak. Nanti kalau ikut, kasihan Om sama Tantemu." Anak itu akhirnya mengerti, lalu masuk ke kamar ibunya karena kamarnya akan kupakai tidur bersama Ibu. Sementara Mas Lian dan Bapak tidur di kasur depan televisi. Selesai mandi dan berganti baju, aku berbaring di samping Ibu. Kupandangi wajah tua yang seakan banyak beban itu. "Nduk, maafkan Ibu, ya," ucapnya tiba-tiba. "Mau sampai kapan, Ibu minta maaf?" "Kesalahan Ibu ini nggak bisa dimaafkan. Karena hal itu, kamu dan Fatimah dibully sekampung sehingga harus pulang ke kampung halaman bapakmu." Aku terdiam. Hal itu memang benar adanya. Apalagi, setelah itu, kakak-kakakku berebut warisan. Tadinya, Mas Cahyo menginginkan tanah dan rumah ini, sementara Mas Helmi mendapatkan ruko. Tapi begitu diberi syarat merawat Ibu, anak sulung keluarga ini pun mundur dan memilih ruko. Ya, sejahat itu memang kelakuan Ibu. Bukan hanya membuat mental kami terganggu, tapi juga membuat sebagian besar dari kami tak mau merawatnya. Bukan aku bermaksud untuk melalaikan tugas, namun aku sudah merawat Bapak. Itupun kadang kewalahan karena Bapak kadang memakai pampers. Lagipula, aku tak enak dengan Mas Lian. Bagaimanapun, ia juga masih punya tanggung jawab pada orang tuanya. "Bu, jadi, sebenarnya apa yang telah Mas Helmi dan Mbak Ambar lakukan pada Ibu?"Ibu terlihat menghela napas, lalu mengangkat satu lengan tangannya ke atas untuk menutupi wajah sembari menutup mata. "Mas dan Mbakmu selama ini baik sama Ibu, Nduk. Apalagi Helmi. Tapi, beberapa bulan belakangan ini, Helmi berubah. Jatah makan Ibu dikurangi."Kepalaku mendidih bukan main. Apa maksud Mas Helmi melakukan itu? Untuk apa kami mengirim uang jika untuk makan saja Ibu tak mendapat kelayakan?"Tapi, kamu jangan salah paham dulu, Nduk. Itu semua dilakukan mereka karena sayang sama Ibu. Penyakit diabetes itu nggak bisa makan nasi banyak-banyak. Begitupula dengan minum. Semua dibatasi. Jadi, Ibu berinisiatif untuk ikut bekerja di tempat Pak De Jarwo. Sebatas ingin ada kegiatan saja. Pegal badan Ibu jika nganggur terus." Tak lama, suara Ibu berubah sendu. Seperti ada kesedihan di sana. Tapi, seperti kata Ibu tadi, Mas Helmi melakukan ini untuk kebaikan Ibu juga. "Ibu nggak bohong, kan?" "Untuk apa, Nduk? Sekarang dah jelas, lebih baik kamu tidur. Ibu juga sudah mengantuk." Aku mengangguk, meskipun dalam hati masih ada sedikit keganjalan mengenai semua ini. --Esok pagi. Aku sudah selesai menyapu halaman, ketika Teh Ningsih lewat. Dulu, kami sering bermain bersama. "Fira!" Aku menoleh, lalu tersenyum seraya melambai. Ia datang menghampiri dan kami berpelukan. "Lama banget gak ke sini. Gak kangen sama aku?" "Loh, ya kangen, dong! Kamu tuh, kenapa nggak pernah jengukin ibumu? Kasihan dia, loh!""Kenapa?""Itu, Mbak Ambar-"Ningsih tiba-tiba diam, aku menoleh ke belakang. Ternyata Mbak Ambar datang sambil menenteng sebuah kresek. "Mau ke mana, Mbak?""Bukan urusanmu." Aku dan Ningsih terdiam. "Lanjutin, Teh!""Ntar aja deh, gak enak banget tempatnya. Nanti aku ke sini lagi." Aku berdecak melihat kepergian teman semasa kecilku dulu. Sepertinya, ia mengetahui banyak tentang kelakuan Mbak Ambar. "Sayuuuur!" Mendengar teriakan tukang sayur, akupun masuk ke dalam dan keluar lagi setelah mengambil dompet. Beberapa ibu-ibu sudah berkerumun. "Loh, Fira? Kamu datang kapan?" "Kemarin siang, Bu Indah.""Wah, untung saja kamu datang. Mending kamu bawa ibumu pulang kampung deh, Fir.""St! Jangan ikut campur," ucap Bu Yumi di sebelahnya. Mereka masih saudara jauh Ibu. "Kenapa memangnya, Bu?" "Aku nggak bisa cerita. Kalau kamu mau tau, mending kamu selidiki aja sendiri, Ndah. Aku nggak mau berurusan dengan Ambar. Mang, ini ayam setengah, bayam, tempe, sama bahan sambel jadi berapa?" "Dua puluh delapan ribu, Ceu." "Oke, nuhun, ya" ucap Bu Indah sambil pergi. Bu Yumi terlihat sekali buru-buru karena sedari tadi ia memilih sayuran sambil melirik ke arahku. Ya, benar. Sepertinya aku harus menyelidiki ini. "Mang, ayam sekilo, kentang, sama bakso jadi berapa?" "Tiga puluh tujuh, Mbak Fira." Aku menyerahkan uang pas, lalu masuk ke dalam rumah. Terlihat Naura sudah bangun dan mandi. "Tante, jadi pergi, kan?" Aku mengangguk. "Tante masak dulu. Kamu siap-siap aja." Ya, sepertinya, kepergian kami kali ini bisa kujadikan kesempatan untuk melihat bagaimana perlakuan Mas Helmi dan Mbak Ambar pada Ibu. Bagaimana caranya?"Hah!" Aku ngos-ngosan, padahal hanya dari halaman sampai kasur depan televisi.Mataku memicing ke arah pot bunga yang sengaja diletakkan di atas meja televisi. Aku pun berdiri dan mengambil benda pipih yang sengaja kutaruh di sini tadi pagi. "Bagus, nanti kita lihat, apa saja yang kalian lakukan seharian ini pada Ibu." -Malam hari, aku sengaja mengajak Mas Lian ke rumah makan dekat sini. Sengaja juga aku tak membawa Bapak dan Ibu serta. Jika kalian berpikir bahwa aku ingin berduaan dengan suamiku, kalian salah. "Mas, mau pesan apa?" "Apa aja, Dek. Kamu lupa kalau suamimu ini gentong?" jawabnya yang sukses membuat kami tergelak. Aku memanggil pelayan dan menyebutkan pesanan kami. Setelahnya, aku mulai membuka ponsel. Sedari di rumah tadi, aku sudah gatal ingin membuka, tapi kutahan karena ada Ibu. "Nggak nyangka aku loh, Dek." Aku mendongak, Mas Lian tengah menatapku dengan wajah tengilnya. "Nggak nyangka apa?" "Ya nggak nyangka aku kalau kamu juga bisa romantis gini. Tumben
Apa sih, Mbak?" Ia melengos dan pergi meninggalkan kami. Ck! Ada-ada saja. Sore hari. Aku dan Mbak Ratih keliling kampung. Banyak warga baru ternyata. Kami bertemu dengan Mbok Salimah, teman dekat Ibu. Beliau menyuruh kami masuk. "Apa kabar kalian, Nduk?" "Alhamdulillah baik, Mbok. Lama nggak ketemu, masih muda aja kelihatannya," godaku. "Ah, kalian bisa saja." Kami mengobrol banyak, hingga akhirnya Mbok Salimah menanyakan kabar Ibu. Justru ini membuatku menautkan alis. Apa maksudnya? "Memang Mbok nggak pernah lihat Ibu?" "Jarang, Nduk. Sekalinya keluar rumah, paling ke warung. Pernah pagi-pagi liat dia keluar pake daster rombeng, diseret-seret sama si Helmi." Aku dan Mbak Ratih menganga tak percaya. Meskipun aku sudah mendengar lolongan kesakitan Ibu lewat video kemarin, tapi aku tak pernah melihatnya secara langsung. "Mbok sering dengar si Ambar juga maki-maki Ibu kalian. Maaf, bukannya Mbok mau ngadu-ngadu, tapi Mbok nggak tega liat Ana--nama Ibu, diperlakukan kasar begi
Aku dan Mas Lian makan sepiring berdua. Kami memang sering begini, supaya keromantisan kami tetap terjaga. "Makan sepiring berdua, enak bener nggak harys nyuapin anak," ucap Mbak Ambar. "Kamu nyinyir sekali lagi, kujahit mulutmu, Mbar!"ucap Mbak Ratih. Bapak hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan kami. Mas Helmi makan dengan rakus, seolah ia tak ingat dengan kejadian tadi siang. --Pagi hari. Aku sudah bersiap, hari ini akan pergi memantau kebun. Kata Maman--penjaga kebun, harusnya hari ini panen jeruk dan juga sawo. "Kamu mau ke mana, Dek?" tanya Mas Helmi saat melihatku dan Mas Lian sudah rapi. "Mau ke kebun, Mas." "Loh, kenapa?" Alisku bertaut melihat sikap Mas Helmi. "Lah, memang aku harus punya alasan, kalau mau ke kebun sendiri?" Mas Helmi garuk-garuk kepala. Meihatnya, aku jadi was-was. Takut terjadi sesuatu dengan kebun. Sementara selama ini Mang Maman selalu rajin mentransfer uang hasil panen. "Em, anu, biar Mas saja." "Nggak usah, Mas. Biar aku sama Fira aj
"Gimana aku nggak kesel, Mbak, uang penjualan buah separuhnya sudah diambil sama Mas Helmi. Pantas saja beberpa bulan ini penghasilan menurun." Mbak Ratih tampak mengelus dada. "Mas, keluar kamu! Masih pagi, udah kelon aja!" Tak lama kemudian, Mbak Ambar keluar. Rambutnya acak-acakan, dasar jorok! "Apa sih? Berisik amat." "Mana Mas Helmi?" "Apa?" "Mana uang penjualan buah?" "Apa maksudmu?""Alah, jangan kebanyakan drama deh, Mas! Kamu, kan, yang bawa uang penjualan jeruk kemarin? Mang Maman sudah cerita semuanya!" Mas Helmi tampak gugup. Apalagi kami semua kini berdiri mengelilinginya. "Kalau begini terus, Ibu kamu bawa saja, Dek. Sekalian, nanti kamu jual aja itu kebun biar bebas nggak usah ke sini. Aku niat pergi ke sini mau liburan, kok yang ada malah bikin kepala pusing aja," gerutu Mas Cahyo."Jangan, Fir. Biar Ibu di sini aja. Ibu betah tinggal di sini, mungkin karena tempat kelahiran. Kamu do'akan saja semoga Ibu tetap sehat, ya.""Tapi, Bu.""Kamu dengar sendiri ucap
"Kamu hati-hati di jalan ya, Dek!" "Iya, Mas. Mas Cahyo nggak mau ikut kampungku? Mbak Imah kangen loh," ucapku sambil menunjukan pesan dari kakak keduaku itu. Mas Cahyo tersenyum, kemudian mengambil ponselku dan mengetik balasan untuk Kak Ima. Aku bersyukur, meskipun memiliki satu kakak yang bisa dikatakan nggak waras, tapi aku punya dua kakak yang menyayangiku. "Yaudah, Adek pulang, ya!" Aku memeluk Mbak Ratih, lalu Mas Cahyo. Sementara ke Mas Helmi dan Mbak Ambar, aku hanya bersalaman saja. Bukan bermaksud membedakan, tapi rasanya masih sakit hati dengan kenyataan yang baru saja kuketahui. "Kamu jaga kesehatan ya, Yo!" "Iya, Pak. Bapak juga, ya. Jangan makan makanan manis. Kurangi nasinya." Bapak tergelak. Beliau memang penyuka nasi. Teringat dulu sampai adu mulut hanya karena beliau tak terima aku kasih nasi sedikit di piringnya. "Insya Allah, Bapak mau hidup lebih lama lagi." Ibu menghampiri kami, lalu berbicara pada Bapak. "Maafkan aku ya, Pak. Semoga Bapak sehat terus
Mbak Imah tampak emosi, wajahnya berkeringat. Kulihat sekeliling, tak ada motor Mbak Imah, jangan bilang ia datang ke sini jalan kaki? "Mbak ke sini jalan kaki?" "Iya. Motornya lagi dipakai sama Bagas. Keterlaluan! Pasti ini perbuatan si Helmi. Dasar anak tak tahu diuntung!" Aku mengurut dada. Lalu teringat dengan hari pertama kami datang ke sana. Saat itu Mas Helmi pulang bersama Ibu dengan wajah kurang bersahabat. "Sebenci-bencinya aku sama Ibu, nggak ada niatan aku buat nyuruh beliau ngemis! Emang kurang seons itu Masmu!" "Mbak, jangan keras-keras, nanti Bapak dengar." "Biarin! Biar Bapak tahu kalau anak yang selalu dibangga-banggakannya itu membuat ulah! Malu, Mbak, Fira. Malu! Banyak yang menghujat karena dibilang membuang orang tua. Astaghfirullah!" Mas Lian datang karena mendengar suara Mbak Imah. Letak bengkel dan warung memang bersebelahan. Sepertinya ia juga sudah penasaran sejak tadi, hanya saja pelanggannya baru pergi. "Ada apa, Mbak? Kok kayak marah gitu?" "Masmu
Menjelang sore, Helmi pulang dulu untuk tidur sebentar. Sementara Bu Ana tetap ditinggal di pasar. Melihat suaminya pulang, Ambar tersenyum lebar. "Gimana, Mas?" "Payah, cuma berapa ribu doang kali. Pasar sepi.""Ck! Padahal aku sudah pengen beli tas baru. Malu sama geng arisanku. Di antara kami, cuma aku doang yang dekil, Mas!" Helmi memperhatikan istrinya. Gelang tiga biji, kalung, anting, cincin bahkan sampai empat jarinya isi semua. Ini yang dinamakan dekil? Helmi geleng-geleng kepala. "Iya, Sayang, kamu tenang aja.""Terus Ibu mana? Kok nggak kamu bawa pulang?" "Masih di sana. Nanti lah pas magrib, biar nggak ketauan orang kalau aku sengaja menyuruh Ibu ngemis." Ambar mengangguk, kemudian mengambilkan bantal untuk suaminya. Ia sendiri berasal dari keluarga miskin. Makanya, sangat beruntung mendapatkan Helmi. Tentu saja, ini semua tak mudah baginya. Setiap bulan, ia harus mengunjungi sebuah gubuk tua demi membuat suaminya tetap menurut. Bertepatan dengan adzan magrib, Helmi
Pov FiraAku mengejar Mbak Imah yang sudah berjalan menuju Mas Helmi. Gawat ini, bisa perang dunia ketiga. Meskipun kemarin aku galak pada Mas Helmi, tapi Mbak Imah lebih keras lagi. "Heh! Anak tak tahu diuntung!" Mas Helmi sampai terlonjak mendengar teriakan Mbak Imah. Wajahnya pucat pasi, ditambah ketika melihat kami datang. "M-mbak?" ."Apa? Kamu, ya! Nggak tahu malu! Sudah tiap bulan dikasih uang untuk ngerawat Ibu. Tega kamu berbuat seperti ini?" teriak Mbak Imah. Beberapa orang yang tengah makan dan ngopi disitu, menatap kami. Aku sendiri malu, tapi gimana lagi? "Mas, boleh minta tolong gendong Ibu ke mobil, nggak?" bisikku, karena Mbak Imah masih saja teriak-teriak. Mas Suryo mengangguk, kemudian berjalan ke arah Ibu. Ia mencium tangan wanita yang telah melahirkanku itu, kemudian menggendongnya menuju mobil. Setelahnya, Mas Suryo keluar menghampiri kami. "Hel, kalau kamu nggak ikhlas merawat Ibu, harusnya kamu bilang. Biar kami jemput beliau. Kalau kaya gini, kamu mau gi