Pov FiraAku mengejar Mbak Imah yang sudah berjalan menuju Mas Helmi. Gawat ini, bisa perang dunia ketiga. Meskipun kemarin aku galak pada Mas Helmi, tapi Mbak Imah lebih keras lagi. "Heh! Anak tak tahu diuntung!" Mas Helmi sampai terlonjak mendengar teriakan Mbak Imah. Wajahnya pucat pasi, ditambah ketika melihat kami datang. "M-mbak?" ."Apa? Kamu, ya! Nggak tahu malu! Sudah tiap bulan dikasih uang untuk ngerawat Ibu. Tega kamu berbuat seperti ini?" teriak Mbak Imah. Beberapa orang yang tengah makan dan ngopi disitu, menatap kami. Aku sendiri malu, tapi gimana lagi? "Mas, boleh minta tolong gendong Ibu ke mobil, nggak?" bisikku, karena Mbak Imah masih saja teriak-teriak. Mas Suryo mengangguk, kemudian berjalan ke arah Ibu. Ia mencium tangan wanita yang telah melahirkanku itu, kemudian menggendongnya menuju mobil. Setelahnya, Mas Suryo keluar menghampiri kami. "Hel, kalau kamu nggak ikhlas merawat Ibu, harusnya kamu bilang. Biar kami jemput beliau. Kalau kaya gini, kamu mau gi
"Apanya, Mbak?" "Ck! Ya gimana itu Ibu?" Aku menggaruk kecil kepalaku. "Ya gimana lagi? Mbak harus mau merawat Ibu. Aku kan sudah kebagian jatah merawat Bapak. Bukan perhitungan, tapi tahu sendiri kan kalau Bapak dan Ibu bukan mahram lagi." "Makasih ya, Mbak," ucap Mbak Imah pada pelayan yang mengantarkan makanan. "Jadi gimana, Mbak? Kalau Mbak nggak mau rawat Ibu, ya kita tukeran aja. Mbak rawat Bapak, aku rawat Ibu. Toh jarak rumah kita dekat," ucapku pada akhirnya. "Gimana, Mas?" "Ya sudah. Gimana baiknya aja." "Nanti aku kasih tahu Mas Cahyo hasil rundingan ini. Kamu juga kasih tahu suamimu, Fir." Aku mengangguk, lalu mulai menyantap makanan. --Esok pagi. Kami sudah selesai berkemas. Aku meminta Ibu untuk duduk di sofa saja karena seprai dan sarung bantal akan kulepas. Jangan salah, ini bukan berarti aku membuat pelayan hotel kesusahan, justru hal ini membuat pekerjaan mereka terasa ringan. Mereka tinggal gulung dan masukkan ke troli untuk dibawa ke laundry. Delapan j
Pov Helmi "Bu, ayo kita mulai kerjaan kita!" ucapku sambil membenahi letak tali pinggang. Ibu yang sedang istirahat habis ngepel, pun langsung bangun. Mungkin ia takut jika kulit tuanya itu terkena batang sapu atau malah tali pinggang ini. Kalian berpikir aku jahat? Aku hanya sedang membalas sakit hatiku! Karena dia, aku gagal masuk SMA ternama. Kecewa? Pasti. Sudah bikin malu, bikin masa depanku jadi suram aja! "Nih, pakaiannya, Bu!" ucap Ambar sambil melemparkan daster ke atas meja. Ibu mengambilnya tanpa suara. Biasanya, ia akan terisak diperlakukan begini. Mungkin, kemarin ia dapat pencerahan setelah anak-anaknya kumpul di sini. "Mas, usahain jangan sampai ketahuan. Oke?" "Siap. Istri Mas yang cantik ini, jaga rumah, ya!" ucapku sambil menjawil dagunya. "Ck! Jaga rumah terus! Aku juga mau shoping, Mas. Apa kata teman-teman sosialitaku, kalau lama aku nggak nongol?""Iya, iya. Mas janji, bakal bawa uang yang banyak buat kamu. Bu, udah belum? Lelet amat, sih?!" Ibu berjalan
"Tadi, Mbak Imah datang." "Hah? Maksudmu, dia datang ke pangkalan tempat Ibu ngemis?" teriak Ambar. Aku segera menutup mulutnya. Astaga, perempuan ini, mulutnya tak bisa dijaga sedikit, apa? "Jangan keras-keras, Ma! Nanti tetangga pada dengar. Bisa berabe kita!"Ambar mengangguk, kemudian minta maaf padaku. "Terus gimana ini? Tadi dapat berapa?" Aku berdecak. Lagi genting begini saja yang dipikirkannya hanya uang dan uang. Dia pikir, aku pohon uang? "Nih," ucapku sambil menyodorkan uang lima puluh ribu. Tentu saja itu uang pribadiku. Dari pagi sepi, dari mana Ibu dapat uang sebanyak itu? Aku terduduk di depan televisi, memikirkan nasibku setelahnya. Sudahlah ketahuan nilep duit penjualan hasil kebun Fira, sekarang ditambah dengan Mbak Imah membawa Ibu ke kampung. Arrrgh! Kacau-kacau! --Dua hari kemudian. Aku mendapat telpon dari Mas Cahyo, janganlan untuk mengangkatnya, melihat namanya di layar ponsel saja sudah membuatku ketar-ketir. Apa yang harus kukatakan? Bagaimana
Dono tersenyum penuh arti, lalu mengeluarkan sebuah bungkusan plastik hitam. Aku mengerutkan kening."Apa itu?""Kamu anterin barang ini ke alamat ini, nanti kubayar tiga ratus ribu. Gimana?"Aku mengerutkan kening. Hawa-hawanya memang tak bagus."Apa ini?""Barang bagus, lah.""Nark*b* ya?" tanyaku."Ssst! Jangan kenceng-kenceng! Sama aja kayak yang lagi lu isep itu," ucap Doni sambil melirik ke arah yang lain. Takut pengunjung lain mendengarnya, mungkin.Mataku membeliak, lalu membuang rokok yang masih ada setengah batang. Dono cekikikan melihat aksiku."Kenapa, Hel? Bukannya enak? Selama ini kamu menikmatinya, tuh!""Tapi nggak gini juga lah, Don! Masa kamu ngasih aku barang haram ini?!""Ya lagian, kamu juga nggak pernah nanya, tuh. Isep main isep aja."Gila, benar-benar gila si Dono! Sebejatnya aku, tak pernah berpikiran untuk mengonsumsi barang seperti ini."Sudah lah, Hel, toh kamu pun pasti sudah positif."Keringat sebiji jagung mulai keluar dari dahi. Aku memang sudah beberap
"Elah, kamu, Don!"Ambar melengos pergi begitu melihat Dono datang. Ia memang seperti begitu, katanya kapan aku hidupnya maju kalau masih saja berteman dengan pengangguran?Ah masa bodo, yang penting aku punya rumah dan tanah, meskipun sudah tak luas lagi."Kenapa, Don?""Aku, mau memberikan opsi kedua buatmu supaya dapat uang lagi, nih. Mau, nggak?"Alisku bertaut. Apalagi yang akan ditawarkannya padaku?---Pov Imah"Mas, maaf, ya, kalau kita sampai merawat Bapak," ucapku tak enak pada Mas Suryo."Iya, nggak papa, Ma. Insya Allah aku ikhlas."Hatiku terenyuh, sangat beruntung memiliki suami sebaik dan sesabar dirinya. Bapak sedang berada di kamar, mungkin masih asing tinggal di sini, karenanya beliau lebih asyik di dalam kamar."Terima kasih, Mas. Padahal orang tuamu juga sedang sakit. Tapi aku malah menambah bebanmu."Mas Suryo tersenyum sambil mengelus kepalaku. Empat belas tahun menikah dengannya, aku tak pernah merasakan kecewa. Semoga saja, jangan."Nduk, Bapak mau duduk di lua
Aku merebut ponsel di tangan Mas Suryo. Alangkah terkejutnya aku membaca pesan itu. Gigiku gemeletuk, ini nggak bisa dibiarkan!"Kamu kenapa, Nduk?" tanya Bapak mengagetkanku."Eh, anu ... Nggak kok, Pak. Bapak mau ke mana?""Mau ke kamar mandi."Mas Suryo sigap membantu Bapak, membuatku makin tak enak hati dengannya. Tapi, Insya Allah ini akan menjadi ladang pahala buatku dan juga suamiku."Ma, makan pake apa?" Bagas--anakku, dagang tiba-tiba setelah main seharian."Liat di bawah tudung saji."Bagas mengangguk, kemudian berjalan menuju dapur. Aku masih duduk di ruang tamu. Si Helmi, kalau dibiarin malah makin meresahkan.Kusambar kunci dan meminta izin pada Mas Suryo melalui isyarat, kemudian dia di depan kamar mandi. Jika aku bersuara, pasti Bapak akan bertanya-tanya.Sampai di depan rumah Fira, kulihat ia tengah duduk termenung bersama di bengkel milik suaminya. Kulihat bengkel itu ramai."Dek!""Eh, jya, Mbak?""Ayo masuk rumah, Mbak mau bicara!"Aku mengikuti Fira yang lebih dulu
Melihatku datang, Maman yang tadinya tengah memegang uang, buru-buru dimasukkan ke dalam tasnya. Cih, dasar tikus!"Heh, Man! Kamu mau korupsi, ya? Itu uang kenapa kamu umpetin begitu melihat aku datang?" tanyaku di depan para pekerja.Aku sebenarnya sudah eneg sama mandor satu ini. Kadang suka melawan, makanya harus kukerasin."Nggak, Pak. Kan sudah selesai dihitung," kilahnya."Mana? Aku mau hitung juga!""Tapi, Pak...""Apa kamu mau, aku laporin ke adikku karena ketahuan mau korupsi?"Beberapa pekerja mulai bisik-bisik, sehingga mau tak mau akhirnya Maman mengeluarkan uang yang sedari tadi di dalam tasnya. Ia mengulurkan dengan wajah lesu, seperti tak ikhlas. Cih, aku ini kakaknya Fira, jadi lebih layak aku yang pegang daripada dia.Kuhitung semuanya. Sepertinya, baru ada pemborong yang datang. Terbukti di tangan ini ada uang lima juta."Nih!" Aku menyerahkan uang dua juta ke tangan Maman. Ia melongo menatap uang yang tetap ada dalam genggamanku."Lalu itu, Pak?""Apa?""Itu, kenap