"Mas, aku tak nyaman kalau ada orang lain di rumah kita," ucapku memprotes keputusan Mas Aryo.
"Mereka bukan orang lain, Dek. Mereka itu sudah seperti saudara bagiku," sahutnya santai seolah kecemasanku tak berarti.
"Tapi, Mas ... mereka kan bisa ngontrak atau ngekost," balasku yang masih berharap dia bisa mengerti kekhawatiran diri ini.
"Ya, memang mereka kan mau ngontrak, Dek. Berhubung belum dapat yang cocok, jadi untuk sementara biarlah di sini saja," pungkasnya kemudian berlalu meninggalkanku yang masih merasa kesal dengan keputusannya.
Bukan tanpa alasan aku seperti itu, saking seringnya membaca cerita di grup literasi F******k membuat diri ini menjadi khawatir.
Di beberapa cerita yang pernah kubaca, hadirnya orang ketiga sangat besar kemungkinannya membuat rumah tangga menjadi tidak harmonis lagi.
Hati ini benar-benar kesal dengan Mas Aryo, tak tahukah dia, begitu banyak bencana yang terjadi dalam rumah tangga hanya karena ada orang lain masuk ke dalamnya.
Menurut ceritanya, suamiku pernah berhutang budi pada Agus, temannya yang mau numpang sementara itu. Jangankan cuma teman, ipar aja kadang bisa berubah menjadi maut. Ya kan?! Dan tak banyak pula orang tua juga bisa menjadi alasan kehancuran rumah tangga anaknya. "Naudzubillah min dzalik, kami berlindung kepada Allah dari hal (buruk) itu.
****
"Mereka jadi tinggal di sini?" tanyaku, ketika melihat Mas Aryo sibuk membersihkan ruangan yang sudah beralih fungsi menjadi gudang itu. Aku masih berdiri di ambang pintu sambil terus memperhatikannya yang masih sibuk mengeluarkan beberapa benda yang tertata rapi di dalamnya.
"Iya, untuk sementara saja," jawabnya datar dengan keringat yang bercucuran di wajah dan badannya.
Aku berdecak mendengar jawabannya. Merasa jengkel dan kecewa. Aku pun berlalu begitu saja, meninggalkan lelakiku yang masih sibuk menata ruangan.
Katanya sih, mas Aryo sudah berusaha membantu temannya itu mencari tempat kos. Namun, mereka belum menemukan yang cocok. Ada saja alasannya, ada yang disukai, tapi sayang kamar mandinya di luar kamar. Ketika sudah menemukan yang sesuai selera mereka, eh katanya kemahalan, nah jadi bingung kan?!
****
"Assalamualaikum," ucap seseorang ketika aku sedang berada di dapur.
"Wa'alaikumussalam," balasku sambil berjalan ke depan.
"Loh? Kok sudah pulang, Mas?" tanyaku sambil meraih tangan kekar suamiku, kemudian menciumnya dengan takzim.
"Iya, mas izin pulang cepat," sahutnya yang terus berlalu ke dalam. Aku menatap punggung suamiku hingga lenyap dari pandangan karena sudah masuk ke kamar. "Tumben? Apa dia sedang sakit ya?" gumamku keheranan, karena tak biasanya Mas Aryo bersikap begitu. Perlahan aku pun kembali menutup pintu tanpa menguncinya.
Semenjak masuk ke kamar, Mas Aryo sama sekali tak keluar. Saat kutengok tadi dia sedang khusuk menatap ponselnya sambil rebahan.
Aku hanya memandanginya sesaat lalu kembali ke dapur melanjutkan acara masak yang belum selesai tadi.
"Alhamdulillah," ucapku, setelah selesai memasak dan beres-beres dapur. Kemudian melangkah ke kamar hendak mengambil ganti baju karena mau membersihkan diri yang terasa penat ini.
Kulihat mas Aryo sudah tertidur, "Mungkin dia lelah, semoga lelahmu menjadi berkah, Mas," ucapku. Sambil mengambil ponsel yang masih dipeganginya lalu meletakkan benda pipih itu di meja.
****
"Mau kemana, Mas?" tanyaku kaget, ketika tiba-tiba mas Aryo keluar dengan badan yang segar dan harum.
Mas Aryo hanya memandangku sekilas. Lekas kumatikan kran dan menaruh selang di tempatnya semula, berniat menghampirinya. Namun, suamiku itu malah berlalu menuju mobil milik bos-nya yang dikendarainya saat pulang tadi.
"Mau jemput Agus," jawabnya, "Dek, nanti kamu harus bersikap baik pada mereka," imbuhnya setelah sudah berada dalam mobil dan tanpa menunggu jawaban dariku, mobil yang dikendarainya sudah melaju pergi.
Aku bahkan lupa bernapas saat mendengar pesannya. "Ada apa dengan suamiku?" tanyaku entah pada siapa. Semenjak mas Aryo mengungkapkan rencana itu dan ketika aku kurang menyetujuinya, lelakiku itu seolah berubah.
Aku bahkan lupa bernapas saat mendengar pesannya. "Ada apa dengan suamiku?" tanyaku entah pada siapa. Semenjak mas Aryo mengungkapkan rencana itu dan ketika aku kurang menyetujuinya, lelakiku itu seolah berubah. ***** Aku masih mondar-mandir dalam rumah, gelisah melanda hati karena mas Aryo tak kunjung datang. Berdiri sebentar kemudian duduk lagi, begitu terus hingga aku merasa lelah sendiri. Beberapa kali diri ini mencoba menghubunginya. Namun, tak diangkat olehnya, chat yang kukirim juga belum dibaca. "Kemana kamu, Mas? Ada apa?" gumamku. Khawatir bercampur kesal. Aku terjaga ketika mendengar suara berisik di ruang belakang. Pelan kubuka mata dan mencoba menajamkan pendengaran. Setelah yakin dengan apa yang kudengar, gegas memaksa tubuh ini untuk segera bangkit, berbagai hal buruk memenuhi pikiranku. "Ah!!!!" jeritku saat melihat seorang wanita sedang duduk di kursi lain. Wanita itu juga nampak kaget, dia sampai memundurkan badan sambil memegang dadanya. "Siapa kamu?!" tanyaku
"Auw!" Seketika dia menjerit ketika aku mencubit pahanya. "Enak saja suruh anggap seperti rumah sendiri," dengusku kesal setelah perempuan yang menggunakan daster panjang itu sudah berlalu ke ruang belakang. **** Seperti biasa aku selalu terbangun di sepertiga malam, langsung menuju ke ruang belakang untuk membersikan diri. Mandi sebelum subuh ini sudah menjadi kebiasaan bagiku setelah aku tahu betapa besar manfaatnya untuk tubuh dan kesehatan kita salah satunya bisa bantu hilangkan stres. Manfaat mandi sebelum subuh yang pertama adalah untuk membantu menghilangkan perasaan stres dan depresi yang kita alami, bantu cegah hipertensi, meningkatkan kesuburan, menjaga kesehatan kulit dan dapat menurunkan kadar gula darah. Setelah itu aku akan 'berbincang' pada Sang Pencipta, memohon ampunan juga meminta keberkahan. "Astaghfirullah," aku terjingkat ketika mendengar bunyi benda jatuh dari arah dapur. Setelah itu terdengar bunyi kompor dinyalakan. "Ya Allah, kenapa rumahku jadi horor be
21+ Kami yang baru setengah mainan pun harus berhenti karena mendengar teriakkan yang cukup keras. "Apa lagi sih?" gerutuku dengan suara serak. "Tunggu sebentar ya, Dek," ucap mas Aryo dengan napas memburu. "Gak usah, Mas. Biarin aja," sahutku manja, kemudian memutuskan melanjutkan kegiatan tadi. Namun, gair*h suamiku itu sudah tak seperti tadi. Aku pun menghentikan gerakannya, mendorongnya untuk melepaskan diri ini. "Hai ada apa?" tanyanya gusar. "Udahan, aku mau lihat kenapa perempuan itu teriak," balasku, dengan perasaan dongkol aku turun dari ranjang, merapikan pakaian lalu berjalan gontai ke luar kamar. "Ada apa, Mb-Astagfirullah," ucapku kaget. "Ada apa ini?" tanyaku. Aku yang tadinya kesal berubah menjadi panik melihat Ratih kewalahan memapah tubuh suaminya yang sudah terkapar di lantai. "Mas Aryo, tolong!" Bukannya menjawab, Ratih malah memanggil suamiku. "Sini-sini, biar saya bantu, Mbak." Aku pun bersiap untuk ikut mengangkat tubuh Agus. Namun dengan cepat Ratih men
Gusti Allah, dunia seolah berhenti berputar, aku benar-benar shock melihat apa yang terjadi di depan mata ... "Gusti Allah ...," lirihku menyebut nama Tuhanku. Kulihat mas Aryo sarapan berdua dengan Ratih, sesekali mereka berbincang lalu tertawa pelan bersama-sama. Kedua manusia itu menengok ke belakang ketika mendengar aku berdehem. "Eh, Dek. Sudah selesai baca Alqurannya? Yuk, sini! Ini Mbak Ratih sudah bikin sarapan dan sarapannya itu enak banget." Ucapannya itu secara tidak langsung sudah menjadi pujian untuk Ratih. Mendengar itu sudah membuat perempuan yang menggunakan daster panjang itu tersenyum malu. "Sini, Mbak. Sarapan bareng," ajaknya. Gusti Allah bahkan dia menawari untuk sarapan bareng? "Woi! Aku yang punya rumah!" Tentu saja itu hanya diucapkan dalam hati. Tanpa menjawab, kuteruskan langkahku ke tempat kompor.Mengambil persediaan mie instan lalu mulai memasaknya. Tak lagi terdengar mereka bersuara. Hingga akhirnya aku sudah tak bisa menahan lagi. "Mbak Ratih, kamu
"Yang sabar ya, Nak Mila," ucap Bu Asih ketika berpapasan denganku di depan rumah. "Ada apa?" Sungguh aku tak mengerti mengapa tetanggaku itu berkata begitu. Sebenarnya hati ini ingin sekali bertanya lebih banyak. Namun, karena waktu yang sudah mepet, aku harus menahannya dulu. Alhamdulillah, walau pikiran ini melayang saat naik sepeda tadi, gara-gara masih kepikiran kata-kata Bu Asih, "Yang sabar ya, Nak Mila" memang ada apa? Ih! Gemes deh! **** Hari ini terasa sangat panjang dan lama, apalagi gak begitu banyak pelanggan yang datang, semakin membuat hariku kurang bergairah. Aku hanya melirik sekilas ketika kurasakan sesuatu yang dingin menempel di tanganku. "Napa sih? Lesu banget hari ini?" tanya Ari temanku, wanita yang masih senang melajang itu memberikan sebungkus es tebu padaku. "Ar--" Aku mengurungkan niat untuk bercerita padanya. Rasanya malu jika harus mengumbar masalah rumah tangga kita. "Kenapa sih?" Ari semakin penasaran, jiwa keponya meronta-ronta. "Gak jadi ah," p
"Iya, dong. Kamu kan mantu kesayangan ibu," sahutnya. Ada yang aneh dari sikap ibu, mertuaku itu sama sekali tak menganggap jika ada Ratih di sini. **** Aku mengajak ibu masuk ke rumah, sambil menenteng beberapa bungkusan kresek. "Ini tadi aku yang membersihkan, Bu. Mbak Mila tadi gak sempet beres-beres, keburu kerja," celetuk Ratih tiba-tiba. "Ya bagus, dong! Kamu kan numpang di sini, jadi wajar kalau kamu sekedar bersih-bersih." Tak kusangka ucapan ibu sungguh menohok pas tepat sasaran. Bukankah mereka baru saja bertemu, tapi mengapa sepertinya ibu begitu tidak menyukai Ratih ya? Harusnya ibu itu menaruh simpati karena melihat kondisi Agus. Aneh!? *** Ibu benar-benar mengacuhkan Ratih, sedari tadi wanita kesayangan mas Aryo ini tak merespon pertanyaan yang sesekali Ratih ucapkan, bahkan beliau juga tidak mau meminum apa yang sudah Ratih buatkan. "Mil, ibu haus banget, tolong ambilkan ibu air ya," pintanya padaku. "Oh, iya, Bu," sahutku. "Kan sudah kubuatkan, Bu. Apa aku b
"Aryo masih belum kembali, setelah sampai di rumah dia langsung mengembalikan mobil bosnya." Ibu menjelaskan walau tanpa kutanya. Kembali aku hanya mengangguk.****Aku dan ibu masih di teras menunggu kedatangan mas Aryo, berbincang banyak hal, karena dari awal menjadi menantunya, aku sangat betah bila ngilobrol dengannya. Mas Aryo anak lelaki satu-satunya, dia terlahir sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara."Eh, Mbak Mila sudah pulang." Seperti biasa Ratih ikut nimbrung dengan kami, "udah dari tadi, Mbak?" tanyanya lagi."Iya, lumayan. Em ... Gimana, Mbak. Tawaranku yang kemarin?" Aku mencoba bersikap wajar."Tawaran apa, Mbak?" Entah dia benar-benar lupa atau cuma pura-pura."Soal kost-an, Mbak. Sampai kapan kamu mau tinggal di sini? Terus terang aku kurang nyaman jika kamu dan Agus lama-lama di sini," ucapku. Sementara ibu hanya memperhati
"Ada-ada saja, selalu saja seperti ini," gerutuku sambil melangkah ke pintu. Hati ini semakin kesal karena setiap kali membutuhkan sesuatu yang dipanggil itu selalu mas Aryo. Menyebalkan! "Ad-ada apa, Mbak?" tanyaku yang tak jadi kesal karena melihat wajahnya yang pucat. "Mbak, Mas Agus. Mas Agus jatuh lagi, tapi ada banyak darah di kepalanya, Mbak. Tolong," ratapnya padaku. "Ada apa ini? Ratih, kenapa, Rat? Apa yang terjadi?" tanya ibu. Kini perempuan yang sukses membuatku cemburu itu sudah terisak. Air matanya sudah menganak sungai di pipinya yang sedikit tirus. Ya Allah ... apa dia semenderita itu? Atau ini cuma pura-pura? Kami bergegas ke kamar yang di tempati Agus. Di sana terlihat Agus masih berada di lantai. Ada genangan darah di lantai, seperti dari kepalanya. "Jangan disentuh, Mila!" teriak ibu mengagetkanku, sontak kutarik kembali tanganku yang hampir menyentuh kepala Agus. "Kamu ambil air dan panggil suamimu," titah ibu padaku. "Iya, Bu," jawabku singkat, kemudian ge
Untuk kalian yang ada diluar sana, jadilah manusia yang bijak. Jangan melukai orang lain, jika kamu tak ingin terluka.Terima kasih untuk semua yang sudah membaca cerita ini, semoga bisa diambil hikmahnya. Aamiin Aamiin Aamiin ...***Malam ini aku kembali merenung, memilih berdiri di ambang jendela yang terbuka. Dari sini aku bisa melihat terangnya cahaya bulan purnama. Pikiran ini benar-benar tak tenang semenjak kunjungan mas Aryo ke sini."Lagi mikirin apa?" tanya Mas Bayu yang tiba-tiba sudah memeluk tubuh ini dari belakang. Lelaki itu berbicara tepat di telingaku, seketika membuat bulu romaku berdiri."Aku kepikiran sama dia, Mas. Bagaimana kalau lelaki itu berniat mengambil Lintang dariku?" Aku mengutarakan isi hatiku pada mas Bayu."Kamu gak usah khawatir, Sayang. Percayalah aku akan selalu melindungi kalian berdua." Mas Bayu menjeda kalimatnya, untuk mengecup pipiku sekilas."Bagaimanapun juga Aryo itu ayah kandungnya. Jadi ... Aku mengizinkannya untuk menengok Lintang sebulan
"Maaf, Nak Mila. Sepertinya ada yang harus diluruskan di sini," ucap seseorang dengan suara berat.Aku dan mas Nano sama-sama menoleh ke asal suara. Ada seorang bapak-bapak dengan kopiah khas berwarna putih."Maaf, Bapak ini siapa?" tanya mas Nano."Saya orang yang dimintai tolong oleh nak Aryo. Perkenalkan nama saya Husain," sahutnya sambil mengulurkan tangannya pada mas Nano."Saya Nano, kakaknya Mila. Mari silahkan masuk dulu. Ayo, Mila. Cuma sebentar saja," bujuknya, saat aku menolak ikut masuk ke rumah.****"Sebelumnya, cerai (talak) dalam Islam terbagi dua macam, ya Nak," ucap Pak Husain mengawali obrolan, setelah kami sudah duduk di ruang tamu. Semua menyimak termasuk Aryo dan Ratih."Yang pertama talak Sunni, yaitu talak yang dilakukan sesuai prosedur syariat. Yang kedua talak Bid’i, yaitu talak yang tidak sesuai prosedur syariat." Pak Husain berhenti sejenak, Pria dengan janggut tipisnya itu mengambil napas panjang sebelum kembali menjelaskan."Begini, Nak Aryo. Mentalak ist
Bunyi pintu dibuka kasar membuat kami semua menengok ke asal suara. Di sana sudah ada Mas Aryo yang sedang berdiri di tengah pintu."Mila!" Lelaki itu berseru. Rahangnya mengeras karena sedang menahan amarah.Semua yang berada di sini terdiam untuk sesaat kerena melihat kedatangan mas Aryo yang tiba-tiba. Tak lama kemudian datang istri sirinya, kini mereka sudah berdiri berdampingan. Seperti biasa Ratih akan menggandeng lengan mas Aryo. Seakan ingin menegaskan kalau dia yang berhak atas diri lelaki itu."Mila, apa yang sudah kamu lakukan pada Ratih?!" tanyanya geram, tatapan matanya tepat menghujam manik mataku, seolah diri ini sudah melakukan kesalahan yang sangat fatal."Apa? Emang apa yang kulakukan padanya?" Jujur aku masih kurang faham dengan maksud pertanyaannya."Kamu boleh tak menyukainya, tapi jangan bersikap seperti preman. Mila, aku ini tetap suamimu, jadi gak usah cemburu sama Ratih! Mengertilah ... aku akan berusaha bersikap adil pada kalian," sahutnya dengan percaya diri
"Kamu ... mau kan, bertahan? Kita coba dulu menyadarkan Aryo," lanjutnya.Demi Allah aku sampai tersedak mendengar kalimat yang keluar dari mulut Ibuku.Setelah batuk akibat tersedak tadi reda, kini aku tengah memandang ibu yang sedang tersenyum."Ibu ... Boleh gak orang hamil dicerai?""Ibu juga kurang faham, Mil. Tunggu ibu punya seorang teman yang mengerti tentang masalah seperti ini, mungkin dia bisa memberikan masukan dan memberi jalan keluar," jawab ibu. Wanita yang masih gesit di usianya yang tak muda lagi itu bangkit."Mau kemana, Bu?""Ambil ponsel. Tunggu ibu akan segera kembali. Jangan keluar kamar dulu, oke?" pesannya sebelum meninggalkan kamarku.Aku hanya tersenyum dan menyatukan jari jempol dan jari telunjuk hingga membentuk huruf O.Kembali aku merenung, apa keputusanku ini sudah tepat?"Ya Allah tolong hamba, tunjukkanlah jalan yang terbaik untukku." Selalu kupanjatkan doa di setiap tarikan napas ini.Banyak yang bilang dengan kita rela dan ikhlas dimadu, balasannya
Setelah aku sampai di sana, akan kupastikan kalau aku tak akan keluar dari sana. Itu rumah suamiku, jadi akan menjadi milikku juga istri satu-satunya mas Aryo."Tunggu kedatanganku, Mila," gumamku. Aku benar-benar gak sabar menunggu nanti malam.***Kedatangan kami disambut oleh Mila. Aku sendiri sedikit terkesan dengan penampilannya, dia nampak berbeda. Wajahnya kelihatan semakin berseri, begitu juga dengan bentuk badannya yang kelihatan sedikit berisi tapi nampak se*si. Seperti ada aura yang sangat baik di dirinya.Tak kusangka mas Aryo langsung menghambur memeluknya. Tentu saja itu membuatku cemburu dan jengkel. Sepertinya jalanku akan lebih mudah, karena Mila sudah melakukan penolakan pada mas Aryo dengan mendorong tubuh suamiku itu, dengan segera aku menggandeng tangannya.Mas Aryo memaksaku untuk mengatakan yang sebenarnya pada Mila, kalau yang mengirim pesan bukanlah dia, tapi aku. Saat seorang laki-laki yang dipanggil mas Nano itu pamit masuk ke dapur untuk menemui ibunya."Ce
Pov Ratih Aku sungguh terkejut bercampur kesal mendengar kabar kalau mas Agus mengalami kecelakaan dan sudah dibawa ke rumah sakit. "Kenapa bisa kecelakaan sih? Kalau sudah begini siapa yang susah? Apa-apa gak bisa hati-hati. Apa tadi kata Pak Polisi? Parah? Oalah Agus! Agus! Belum juga membuat hidupku bahagia kamu wes kena musibah, Gus ... Agus. Apes!" omelku sepanjang aku berkemas beberapa barang yang akan kubawa ke rumah sakit. "Bang, anterin ke rumah sakit," pintaku pada tukang ojek yang standby di pos kamling. "Siapa yang sakit, Mbak?" tanyanya kepo. "Mas Agus kecelakaan," sahutku sambil menerima helm darinya. "Innalilahi, di mana kecelakaannya, Mbak?" Pak ojek malah ngajak ngobrol. "Kurang tahu, Pak. Udah ah! Ayok cepetan!" sungutku. "Iya, iya. Ayo, Mbak. Duh, kasihan si Agus. Mudah-mudahan selamat tidak terjadi apa-apa," Pak ojek berdoa sambil menjalankan motornya. "Terima kasih, Bang. Ini, aku cuma punya duit segitu, Bang. Terima aja ya." Aku tak ped
"Assalamualaikum ...." Riuh suara salam dari luar membuat kami semua menoleh sambil serempak menjawab salam. Kedua Ibu terlihat berbinar, aku dan kedua mas masih bingung, sedangkan Ratih nampak pucat. **** Ibuku dan ibu mertua berdiri secara bersamaan, keduanya berjalan menghampiri tamu yang baru datang. "Alhamdulillah, sudah sampai, bagaimana perjalanannya, Bu, Pak?" tanya ibu, seperti biasa Ibuku itu memang pandai bergaul dan cepat akrab dengan siapa pun. "Alhamdulillah. Lancar, Bu," sahut keduanya. Mereka menjawab dengan sangat santun. "Alhamdulillah. Silahkan masuk," ucap ibu mertuaku ramah. "Mbak!" Ibu berseru, sekejap kemudian Mbak Rahma dan Mbak Sari keluar dari dapur sambil membawa nampan. Aku benar-benar tercengang melihat kedua kepoker tersebut. "Kapan mereka masuk?" tanya batinku. "Udah jangan bengong, Mil. Kayak lihat hantu aja, kamu itu," kata Mbak Rahma sambil mengedipkan sebelah matanya. "Silahkan diminum, Bu, Pak." Sekali lagi ibu menaw
Ada sebuah pesan masuk di aplikasi W******p. Tertera nama 'my hubby' di layar ponsel. Aku masih tertegun menatap pada ponsel setelah membaca pesan darinya, tanpa kuingin mata ini langsung memanas meloloskan butiran bening yang membasahi pipi. *** Tanpa bertanya, Ibu mengambil ponsel yang ada di tanganku. Sementara aku sudah tak bisa lagi menahan air mata yang seolah tak ada habisnya. Betapa diri ini sudah berusaha mengiklaskannya. Namun, tetap saja rasanya sakit. "Sudah, gak pa-pa. Mungkin, ini yang terbaik. Percayalah, kalau Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya, Allah tahu kamu kuat, kamu sanggup, jadi gak usah terlalu bersedih ya, Mil." Aku tahu ibu hanya ingin menghiburku, walau sebenarnya hati wanita itu juga terluka. Bahkan, mungkin saja lukanya lebih dalam dari pada yang kurasakan. "Menangis lah, menangis lah, Nak. Buang lah dukamu bersama air mata. Menangis lah, Nak. Menangis lah." Kembali ibu berucap sambil mendekap erat tubuhku.
"Mbak tolong dibantu temannya ya," pintanya pada Ari. Sahabatku itu mengangguk, dan bersiap memapah diri ini ke kamar mandi. Air mata masih terus saja menetes."Semoga tidak, semoga hasilnya negatif," doaku dalam hati."Ya Allah, aku belum siap. Ar ... Aku belum siap Ar," ratapku setelah hampir sampai di pintu kamar mandi."Sudah, sudah. Yakinlah apa yang terjadi itulah yang terbaik untukmu. Ok, semua akan baik-baik saja," hibur Ari.Dinginnya lantai kamar mandi serasa menusuk tulang, membuat tubuhku semakin menggigil. Setelah melakukan seperti yang diperintahkan Bu Bidan, tanganku bergetar saat mengangkat benda kecil agak panjang itu.Aku membekap mulutku dengan sebelah tanganku. Garis dua ... Itu artinya aku hamil. Aku semakin terisak sambil sesekali tersenyum. Rasanya seperti ada yang berbunga-bunga. Namun, perih pun ikut menyapa.Cukup lama aku berada dalam kamar mandi. Hening tak terdengar suara apapun. Namun, aku tahu di luar ruangan ini masih ada Ari yang setia menungguku.Tangi