Gusti Allah, dunia seolah berhenti berputar, aku benar-benar shock melihat apa yang terjadi di depan mata ...
"Gusti Allah ...," lirihku menyebut nama Tuhanku.
Kulihat mas Aryo sarapan berdua dengan Ratih, sesekali mereka berbincang lalu tertawa pelan bersama-sama.
Kedua manusia itu menengok ke belakang ketika mendengar aku berdehem.
"Eh, Dek. Sudah selesai baca Alqurannya? Yuk, sini! Ini Mbak Ratih sudah bikin sarapan dan sarapannya itu enak banget." Ucapannya itu secara tidak langsung sudah menjadi pujian untuk Ratih. Mendengar itu sudah membuat perempuan yang menggunakan daster panjang itu tersenyum malu.
"Sini, Mbak. Sarapan bareng," ajaknya. Gusti Allah bahkan dia menawari untuk sarapan bareng? "Woi! Aku yang punya rumah!" Tentu saja itu hanya diucapkan dalam hati.
Tanpa menjawab, kuteruskan langkahku ke tempat kompor.
Mengambil persediaan mie instan lalu mulai memasaknya. Tak lagi terdengar mereka bersuara. Hingga akhirnya aku sudah tak bisa menahan lagi."Mbak Ratih, kamu krasan tinggal di sini?" tanyaku, setelah tiba-tiba menemukan sebuah ide.
"Huk! Ap-apa, Mbak?" tanyanya gugup, bahkan dia sampai terbatuk.
"Kamu krasan tinggal di sini?" ucapku mengulangi lagi pertanyaan yang tadi.
"Betah, Mbak," jawabnya setelah sepersekian menit dia berfikir.
"Ok, kalau begitu ngekos aja di sini. Murah kok, sebulan lima ratus ribu. Nanti di depan kamarnya kamu, biar dibuatkan gerobak untuk tempat kompor, dapur kecil lah ... gimana?" Wanita itu gelagapan mendengar pertanyaan dariku, sontak dia memandang mas Aryo, seolah meminta pembelaan.
"Kamu itu ngomong apa sih, Dek? Jangan suka yang aneh-aneh. Selama Agus dan Mbak Ratih belum dapat kos atau kontrakan yang tepat, biarkan mereka tinggal di sini." Sudah dua kali ucapan mas Aryo membuat kepala Ratih menjadi besar.
"Oh, oke. Kalau gitu ...." Aku menggantungkan kalimat, karena akan mengangkat mie instan yang sudah matang. Setelah menaruh mie kepiring lekas aku mengaduknya dengan bumbu, hemmm aroma mie goreng sungguh menggugah selera. Sementara kedua orang tadi masih diam, demi menunggu lanjutan ucapanku.
"Ok, kalau gitu, kita yang akan cari kos," sambungku.
"Apa?!" Keduanya berseru karena kaget mendengar ucapanku.
"Gak usah kaget gitu dong, Mas. Kita masih mampu kok bayar kost-an. Lagian aku juga gak rewel-rewel amat jadi orang. Jadi hari ini kita sama-sama libur kerja. Setelah sarapan kita cari tempat kost. Ayo! Lekas dihabiskan." Setelah berkata cukup panjang kali lebar, aky pun kembali menyendok mie yang sudah tak panas lagi.
****
"Dek, kita gak usah cari kost, rumah ini cukup besar kalau cuma kita tempati bertiga," ucap mas Aryo ketika sudah berada di dalam kamar.
"Sepertinya kamu senang banget, Mas. Bisa berdekatan dengannya perempuan itu," balasku.
"Bukan begitu, Dek. Kalau dia ngekost untuk saat jelas mereka gak bisa. Mau bayar pakai apa? Keduanya gak kerja gitu? Kasihan mereka, Dek," pungkas suamiku.
Ah, memang benar apa yang diucapkan mas Aryo. Namun yang membuat aku kesal itu sikap perempuan yang sepantaran denganku itu. Sikapnya yang terlalu akrab pada lelaki lain, membuatku merasa kalau dia itu seperti ulat bulu, gatel dan bikin sebel.
"Kenapa harus kita si, Mas? Keluarganya pada kemana?" bantahku yang semakin tak mengerti dengan pola pikir mas Aryo.
Hening, tak ada balasan lagi dari suamiku, saat kutengok ternyata dia sedang tersenyum sambil menatap ponselnya.
"Dek ... Aku berangkat dulu, ya. Nanti kamu kalau mau berangkat hati-hati ya, jangan suka marah-marah, gak baik untuk kesehatan." Mas Aryo berkata sambil menyimpan ponsel di saku celananya, lelakiku itu berjalan ke arahku yang sedang duduk di sisi ranjang. Meraih tanganku menciumnya kemudian menciumi seluruh wajahku. Dia memang seperti itu, kalau aku sedang ngambek dia yang akan mencium tanganku.
"Udah, ya. Aku berangkat dulu. Daa, istriku tercinta, muach! Assalamualaikum ...."
"Wa'alaikumussalam," jawabku sambil menunjuknya dengan dua jari, jari telunjuk dan jari tengah. Setelah mengarahkan kedua jari tadi ke mataku.
Suamiku itu bekerja sebagai sopir kantor, Alhamdulillah apapun pekerjaannya, aku sangat mencintainya. Walau beberapa hari terakhir sikapnya sangat menyebalkan. Aku sendiri bekerja di sebuah percetakan fotokopi.
****
Setelah merapikan penampilanku di depan cermin, lekas aku keluar kamar, tak lupa mengunci pintunya, hal yang jarang kulakukan sebelumnya.
Karena waktu sudah menunjukkan pukul delapan kurang sepuluh menit. Gegas mengeluarkan sepeda mini dengan merk Phoenix, alat transportasi kesayanganku. Walau di rumah ada sepeda motor metic merk terbaru yang dibeli dari hasil kerjaku sendiri. Aku lebih suka naik sepeda onthel ini.
Sekilas menengok ke ruang belakang, sepi, tak ada aktivitas di sana. Aku hanya menghendikkan bahu, lalu kembali meneruskan langkahku keluar rumah.
"Yang sabar ya, Nak Mila," ucap Bu Asih ketika berpapasan denganku di depan rumah.
Ada apa?
"Yang sabar ya, Nak Mila," ucap Bu Asih ketika berpapasan denganku di depan rumah. "Ada apa?" Sungguh aku tak mengerti mengapa tetanggaku itu berkata begitu. Sebenarnya hati ini ingin sekali bertanya lebih banyak. Namun, karena waktu yang sudah mepet, aku harus menahannya dulu. Alhamdulillah, walau pikiran ini melayang saat naik sepeda tadi, gara-gara masih kepikiran kata-kata Bu Asih, "Yang sabar ya, Nak Mila" memang ada apa? Ih! Gemes deh! **** Hari ini terasa sangat panjang dan lama, apalagi gak begitu banyak pelanggan yang datang, semakin membuat hariku kurang bergairah. Aku hanya melirik sekilas ketika kurasakan sesuatu yang dingin menempel di tanganku. "Napa sih? Lesu banget hari ini?" tanya Ari temanku, wanita yang masih senang melajang itu memberikan sebungkus es tebu padaku. "Ar--" Aku mengurungkan niat untuk bercerita padanya. Rasanya malu jika harus mengumbar masalah rumah tangga kita. "Kenapa sih?" Ari semakin penasaran, jiwa keponya meronta-ronta. "Gak jadi ah," p
"Iya, dong. Kamu kan mantu kesayangan ibu," sahutnya. Ada yang aneh dari sikap ibu, mertuaku itu sama sekali tak menganggap jika ada Ratih di sini. **** Aku mengajak ibu masuk ke rumah, sambil menenteng beberapa bungkusan kresek. "Ini tadi aku yang membersihkan, Bu. Mbak Mila tadi gak sempet beres-beres, keburu kerja," celetuk Ratih tiba-tiba. "Ya bagus, dong! Kamu kan numpang di sini, jadi wajar kalau kamu sekedar bersih-bersih." Tak kusangka ucapan ibu sungguh menohok pas tepat sasaran. Bukankah mereka baru saja bertemu, tapi mengapa sepertinya ibu begitu tidak menyukai Ratih ya? Harusnya ibu itu menaruh simpati karena melihat kondisi Agus. Aneh!? *** Ibu benar-benar mengacuhkan Ratih, sedari tadi wanita kesayangan mas Aryo ini tak merespon pertanyaan yang sesekali Ratih ucapkan, bahkan beliau juga tidak mau meminum apa yang sudah Ratih buatkan. "Mil, ibu haus banget, tolong ambilkan ibu air ya," pintanya padaku. "Oh, iya, Bu," sahutku. "Kan sudah kubuatkan, Bu. Apa aku b
"Aryo masih belum kembali, setelah sampai di rumah dia langsung mengembalikan mobil bosnya." Ibu menjelaskan walau tanpa kutanya. Kembali aku hanya mengangguk.****Aku dan ibu masih di teras menunggu kedatangan mas Aryo, berbincang banyak hal, karena dari awal menjadi menantunya, aku sangat betah bila ngilobrol dengannya. Mas Aryo anak lelaki satu-satunya, dia terlahir sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara."Eh, Mbak Mila sudah pulang." Seperti biasa Ratih ikut nimbrung dengan kami, "udah dari tadi, Mbak?" tanyanya lagi."Iya, lumayan. Em ... Gimana, Mbak. Tawaranku yang kemarin?" Aku mencoba bersikap wajar."Tawaran apa, Mbak?" Entah dia benar-benar lupa atau cuma pura-pura."Soal kost-an, Mbak. Sampai kapan kamu mau tinggal di sini? Terus terang aku kurang nyaman jika kamu dan Agus lama-lama di sini," ucapku. Sementara ibu hanya memperhati
"Ada-ada saja, selalu saja seperti ini," gerutuku sambil melangkah ke pintu. Hati ini semakin kesal karena setiap kali membutuhkan sesuatu yang dipanggil itu selalu mas Aryo. Menyebalkan! "Ad-ada apa, Mbak?" tanyaku yang tak jadi kesal karena melihat wajahnya yang pucat. "Mbak, Mas Agus. Mas Agus jatuh lagi, tapi ada banyak darah di kepalanya, Mbak. Tolong," ratapnya padaku. "Ada apa ini? Ratih, kenapa, Rat? Apa yang terjadi?" tanya ibu. Kini perempuan yang sukses membuatku cemburu itu sudah terisak. Air matanya sudah menganak sungai di pipinya yang sedikit tirus. Ya Allah ... apa dia semenderita itu? Atau ini cuma pura-pura? Kami bergegas ke kamar yang di tempati Agus. Di sana terlihat Agus masih berada di lantai. Ada genangan darah di lantai, seperti dari kepalanya. "Jangan disentuh, Mila!" teriak ibu mengagetkanku, sontak kutarik kembali tanganku yang hampir menyentuh kepala Agus. "Kamu ambil air dan panggil suamimu," titah ibu padaku. "Iya, Bu," jawabku singkat, kemudian ge
"Mbak, Mbak, kayaknya ada yang aneh dengan mas Agus," ucap seseorang si sampingku. "Dari tadi dia diam saja gak gerak sama sekali," imbuhnya. Aku yang masih setengah sadar tiba-tiba jadi melek sempurna demi mendengar apa yang dikatakan Ratih. "Kok bisa? Jangan ngada-ngada kamu, bukankah dia tadi sudah baik-baik saja?!" sentakku karena kaget. **** Duka terlihat jelas di wajah suamiku, dia begitu terpukul, terus menerus menyalakan dirinya sendiri yang tidak langsung membawa Agus ke rumah sakit. Bukan hanya mas Aryo, semalam kami juga berfikir kalau Agus sudah baik-baik saja. Namun, siapa yang tahu batas umur seseorang. Sering kali kita merasa tidak rela jika sesuatu yang kita sayang harus pergi untuk selamanya padahal kita tahu kalau jodoh, maut dan rezeki itu mutlak kehendak Allah SWT. **** Acara pemakaman sudah selesai, tak ada sanak saudara dari almarhum yang hadir. Sampai di sini aku masih belum bisa menemukan benang merah dari kejadian demi kejadian beberapa hari terakhir i
Setelah menyerahkan ponsel pada ibu, aku segera kembali ke kamar. Namun, aku tak menemukan mas Aryo di sana. Seolah ada yang menyuruh aku pun melangkah ke kamar belakang. "Apa yang kamu lakukan di sini, Mas?" tanyaku dengan suara bergetar melihat lelakiku tengah memeluk Ratih. **** "Dek," ucap mas Aryo kaget. Bukannya melepaskan diri Ratih malah semakin mempererat pelukannya. "Sudah saatnya dia tahu, Mas." Ratih berbicara sambil menatapku. "Aku atau kamu yang mengatakan," imbuhnya. Nafasku mulai tak beraturan, sangat sulit untuk menahan emosi yang sudah hampir meledak. "Mbak, sekarang saatnya kamu tahu. Sebenarnya aku dan mas Aryo itu sudah menikah secara siri dan sudah berjalan selama 6 bulan," terang wanita itu sambil tersenyum penuh kemenangan. Pertahananku rubuh, hampir saja aku terjatuh kalau saja tak ada seseorang yang menahan tubuhku. "Mas .... katakan sesuatu," ratapku pilu. Mata ini tak berkedip menatapnya, lelakiku itu pun melakukan hal yang sama. Hingga tetes bening
"Tolong, Pak Aryo! Tolong!" Tangis pilu dari Bu Hana yang sedang memohon padaku. Sebagai seorang ibu dialah yang sangat bersedih ketika anak kesayangannya diminta untuk menikahi seorang yang masih berstatus suami orang. "Hanya kamu yang bisa menolong kami, Yo." Kini Pak Surya ikut bicara. Sementara di kursi lain, seseorang sedang meringkuk dalam pelukan saudaranya. Dia masih muda, trauma pasca kejadian itu masih membuatnya sering mengalami ketakutan. Ditambah lagi ada masalah baru dari korban yang memintanya untuk bertanggung jawab dengan menikahi istrinya. Sungguh permintaan yang tak masuk akal dan terkesan memaksa. "Baik, baiklah, Pak. Saya bersedia," kataku akhirnya. Entah apa yang kupikirkan saat itu hingga bersedia menikahi istri korban kecelakaan tersebut. Aku bahkan lupa jika nanti pasti akan ada hati yang terluka. Waktu itu yang ada di benakku, adalah ketika kami sudah menikahinya, aku bisa menceraikannya. Jadi keluarga Pak Surya tidak terbebani lagi. "Terima kasih, Yo. Te
Ini malam ketujuh tahlil untuk almarhum Agus. Maka besok Ratih harus pergi dari rumahku. Terserah bagaimana cara mas Aryo, yang jelas aku gak mau tinggal serumah dengannya. "Dek." Suamiku itu mendekat ketika aku sudah bersiap untuk kerja. "Oiya, nanti saat aku pulang kerja. Pastikan dia sudah tidak ada di sini." Keputusanku sudah bulat dan dia harus mematuhinya. "Dek, rumah ini kan cukup besar, biar Ratih tinggal di sini ya? Aku dan kamu pergi kerja, sampai rumah sudah ada yang masak untuk kita." Seperti anak kecil, dia membujukku hanya karena ada yang menyiapkan makanan. "Kenapa dia gak mau pergi dari sini? Apa karena dia gak mau pisah sama kamu? Kalau memang itu alasannya, kamu boleh kok pergi bersamanya," sahutku. Aku berani taruhan mas Aryo gak akan mau meninggalkanku. "Apa maksudmu, Dek. Kita akan selalu bersama, aku dan kamu," sahutnya cepat. Tuh kan. "Kamu pikir gampang? Enak di kamu, tapi gak di aku. Aku gak mau tahu, pokoknya ketika aku sampai rumah, wanita itu sudah tid
Untuk kalian yang ada diluar sana, jadilah manusia yang bijak. Jangan melukai orang lain, jika kamu tak ingin terluka.Terima kasih untuk semua yang sudah membaca cerita ini, semoga bisa diambil hikmahnya. Aamiin Aamiin Aamiin ...***Malam ini aku kembali merenung, memilih berdiri di ambang jendela yang terbuka. Dari sini aku bisa melihat terangnya cahaya bulan purnama. Pikiran ini benar-benar tak tenang semenjak kunjungan mas Aryo ke sini."Lagi mikirin apa?" tanya Mas Bayu yang tiba-tiba sudah memeluk tubuh ini dari belakang. Lelaki itu berbicara tepat di telingaku, seketika membuat bulu romaku berdiri."Aku kepikiran sama dia, Mas. Bagaimana kalau lelaki itu berniat mengambil Lintang dariku?" Aku mengutarakan isi hatiku pada mas Bayu."Kamu gak usah khawatir, Sayang. Percayalah aku akan selalu melindungi kalian berdua." Mas Bayu menjeda kalimatnya, untuk mengecup pipiku sekilas."Bagaimanapun juga Aryo itu ayah kandungnya. Jadi ... Aku mengizinkannya untuk menengok Lintang sebulan
"Maaf, Nak Mila. Sepertinya ada yang harus diluruskan di sini," ucap seseorang dengan suara berat.Aku dan mas Nano sama-sama menoleh ke asal suara. Ada seorang bapak-bapak dengan kopiah khas berwarna putih."Maaf, Bapak ini siapa?" tanya mas Nano."Saya orang yang dimintai tolong oleh nak Aryo. Perkenalkan nama saya Husain," sahutnya sambil mengulurkan tangannya pada mas Nano."Saya Nano, kakaknya Mila. Mari silahkan masuk dulu. Ayo, Mila. Cuma sebentar saja," bujuknya, saat aku menolak ikut masuk ke rumah.****"Sebelumnya, cerai (talak) dalam Islam terbagi dua macam, ya Nak," ucap Pak Husain mengawali obrolan, setelah kami sudah duduk di ruang tamu. Semua menyimak termasuk Aryo dan Ratih."Yang pertama talak Sunni, yaitu talak yang dilakukan sesuai prosedur syariat. Yang kedua talak Bid’i, yaitu talak yang tidak sesuai prosedur syariat." Pak Husain berhenti sejenak, Pria dengan janggut tipisnya itu mengambil napas panjang sebelum kembali menjelaskan."Begini, Nak Aryo. Mentalak ist
Bunyi pintu dibuka kasar membuat kami semua menengok ke asal suara. Di sana sudah ada Mas Aryo yang sedang berdiri di tengah pintu."Mila!" Lelaki itu berseru. Rahangnya mengeras karena sedang menahan amarah.Semua yang berada di sini terdiam untuk sesaat kerena melihat kedatangan mas Aryo yang tiba-tiba. Tak lama kemudian datang istri sirinya, kini mereka sudah berdiri berdampingan. Seperti biasa Ratih akan menggandeng lengan mas Aryo. Seakan ingin menegaskan kalau dia yang berhak atas diri lelaki itu."Mila, apa yang sudah kamu lakukan pada Ratih?!" tanyanya geram, tatapan matanya tepat menghujam manik mataku, seolah diri ini sudah melakukan kesalahan yang sangat fatal."Apa? Emang apa yang kulakukan padanya?" Jujur aku masih kurang faham dengan maksud pertanyaannya."Kamu boleh tak menyukainya, tapi jangan bersikap seperti preman. Mila, aku ini tetap suamimu, jadi gak usah cemburu sama Ratih! Mengertilah ... aku akan berusaha bersikap adil pada kalian," sahutnya dengan percaya diri
"Kamu ... mau kan, bertahan? Kita coba dulu menyadarkan Aryo," lanjutnya.Demi Allah aku sampai tersedak mendengar kalimat yang keluar dari mulut Ibuku.Setelah batuk akibat tersedak tadi reda, kini aku tengah memandang ibu yang sedang tersenyum."Ibu ... Boleh gak orang hamil dicerai?""Ibu juga kurang faham, Mil. Tunggu ibu punya seorang teman yang mengerti tentang masalah seperti ini, mungkin dia bisa memberikan masukan dan memberi jalan keluar," jawab ibu. Wanita yang masih gesit di usianya yang tak muda lagi itu bangkit."Mau kemana, Bu?""Ambil ponsel. Tunggu ibu akan segera kembali. Jangan keluar kamar dulu, oke?" pesannya sebelum meninggalkan kamarku.Aku hanya tersenyum dan menyatukan jari jempol dan jari telunjuk hingga membentuk huruf O.Kembali aku merenung, apa keputusanku ini sudah tepat?"Ya Allah tolong hamba, tunjukkanlah jalan yang terbaik untukku." Selalu kupanjatkan doa di setiap tarikan napas ini.Banyak yang bilang dengan kita rela dan ikhlas dimadu, balasannya
Setelah aku sampai di sana, akan kupastikan kalau aku tak akan keluar dari sana. Itu rumah suamiku, jadi akan menjadi milikku juga istri satu-satunya mas Aryo."Tunggu kedatanganku, Mila," gumamku. Aku benar-benar gak sabar menunggu nanti malam.***Kedatangan kami disambut oleh Mila. Aku sendiri sedikit terkesan dengan penampilannya, dia nampak berbeda. Wajahnya kelihatan semakin berseri, begitu juga dengan bentuk badannya yang kelihatan sedikit berisi tapi nampak se*si. Seperti ada aura yang sangat baik di dirinya.Tak kusangka mas Aryo langsung menghambur memeluknya. Tentu saja itu membuatku cemburu dan jengkel. Sepertinya jalanku akan lebih mudah, karena Mila sudah melakukan penolakan pada mas Aryo dengan mendorong tubuh suamiku itu, dengan segera aku menggandeng tangannya.Mas Aryo memaksaku untuk mengatakan yang sebenarnya pada Mila, kalau yang mengirim pesan bukanlah dia, tapi aku. Saat seorang laki-laki yang dipanggil mas Nano itu pamit masuk ke dapur untuk menemui ibunya."Ce
Pov Ratih Aku sungguh terkejut bercampur kesal mendengar kabar kalau mas Agus mengalami kecelakaan dan sudah dibawa ke rumah sakit. "Kenapa bisa kecelakaan sih? Kalau sudah begini siapa yang susah? Apa-apa gak bisa hati-hati. Apa tadi kata Pak Polisi? Parah? Oalah Agus! Agus! Belum juga membuat hidupku bahagia kamu wes kena musibah, Gus ... Agus. Apes!" omelku sepanjang aku berkemas beberapa barang yang akan kubawa ke rumah sakit. "Bang, anterin ke rumah sakit," pintaku pada tukang ojek yang standby di pos kamling. "Siapa yang sakit, Mbak?" tanyanya kepo. "Mas Agus kecelakaan," sahutku sambil menerima helm darinya. "Innalilahi, di mana kecelakaannya, Mbak?" Pak ojek malah ngajak ngobrol. "Kurang tahu, Pak. Udah ah! Ayok cepetan!" sungutku. "Iya, iya. Ayo, Mbak. Duh, kasihan si Agus. Mudah-mudahan selamat tidak terjadi apa-apa," Pak ojek berdoa sambil menjalankan motornya. "Terima kasih, Bang. Ini, aku cuma punya duit segitu, Bang. Terima aja ya." Aku tak ped
"Assalamualaikum ...." Riuh suara salam dari luar membuat kami semua menoleh sambil serempak menjawab salam. Kedua Ibu terlihat berbinar, aku dan kedua mas masih bingung, sedangkan Ratih nampak pucat. **** Ibuku dan ibu mertua berdiri secara bersamaan, keduanya berjalan menghampiri tamu yang baru datang. "Alhamdulillah, sudah sampai, bagaimana perjalanannya, Bu, Pak?" tanya ibu, seperti biasa Ibuku itu memang pandai bergaul dan cepat akrab dengan siapa pun. "Alhamdulillah. Lancar, Bu," sahut keduanya. Mereka menjawab dengan sangat santun. "Alhamdulillah. Silahkan masuk," ucap ibu mertuaku ramah. "Mbak!" Ibu berseru, sekejap kemudian Mbak Rahma dan Mbak Sari keluar dari dapur sambil membawa nampan. Aku benar-benar tercengang melihat kedua kepoker tersebut. "Kapan mereka masuk?" tanya batinku. "Udah jangan bengong, Mil. Kayak lihat hantu aja, kamu itu," kata Mbak Rahma sambil mengedipkan sebelah matanya. "Silahkan diminum, Bu, Pak." Sekali lagi ibu menaw
Ada sebuah pesan masuk di aplikasi W******p. Tertera nama 'my hubby' di layar ponsel. Aku masih tertegun menatap pada ponsel setelah membaca pesan darinya, tanpa kuingin mata ini langsung memanas meloloskan butiran bening yang membasahi pipi. *** Tanpa bertanya, Ibu mengambil ponsel yang ada di tanganku. Sementara aku sudah tak bisa lagi menahan air mata yang seolah tak ada habisnya. Betapa diri ini sudah berusaha mengiklaskannya. Namun, tetap saja rasanya sakit. "Sudah, gak pa-pa. Mungkin, ini yang terbaik. Percayalah, kalau Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya, Allah tahu kamu kuat, kamu sanggup, jadi gak usah terlalu bersedih ya, Mil." Aku tahu ibu hanya ingin menghiburku, walau sebenarnya hati wanita itu juga terluka. Bahkan, mungkin saja lukanya lebih dalam dari pada yang kurasakan. "Menangis lah, menangis lah, Nak. Buang lah dukamu bersama air mata. Menangis lah, Nak. Menangis lah." Kembali ibu berucap sambil mendekap erat tubuhku.
"Mbak tolong dibantu temannya ya," pintanya pada Ari. Sahabatku itu mengangguk, dan bersiap memapah diri ini ke kamar mandi. Air mata masih terus saja menetes."Semoga tidak, semoga hasilnya negatif," doaku dalam hati."Ya Allah, aku belum siap. Ar ... Aku belum siap Ar," ratapku setelah hampir sampai di pintu kamar mandi."Sudah, sudah. Yakinlah apa yang terjadi itulah yang terbaik untukmu. Ok, semua akan baik-baik saja," hibur Ari.Dinginnya lantai kamar mandi serasa menusuk tulang, membuat tubuhku semakin menggigil. Setelah melakukan seperti yang diperintahkan Bu Bidan, tanganku bergetar saat mengangkat benda kecil agak panjang itu.Aku membekap mulutku dengan sebelah tanganku. Garis dua ... Itu artinya aku hamil. Aku semakin terisak sambil sesekali tersenyum. Rasanya seperti ada yang berbunga-bunga. Namun, perih pun ikut menyapa.Cukup lama aku berada dalam kamar mandi. Hening tak terdengar suara apapun. Namun, aku tahu di luar ruangan ini masih ada Ari yang setia menungguku.Tangi