"Yang sabar ya, Nak Mila," ucap Bu Asih ketika berpapasan denganku di depan rumah.
"Ada apa?" Sungguh aku tak mengerti mengapa tetanggaku itu berkata begitu. Sebenarnya hati ini ingin sekali bertanya lebih banyak. Namun, karena waktu yang sudah mepet, aku harus menahannya dulu.
Alhamdulillah, walau pikiran ini melayang saat naik sepeda tadi, gara-gara masih kepikiran kata-kata Bu Asih, "Yang sabar ya, Nak Mila" memang ada apa? Ih! Gemes deh!
****
Hari ini terasa sangat panjang dan lama, apalagi gak begitu banyak pelanggan yang datang, semakin membuat hariku kurang bergairah.
Aku hanya melirik sekilas ketika kurasakan sesuatu yang dingin menempel di tanganku.
"Napa sih? Lesu banget hari ini?" tanya Ari temanku, wanita yang masih senang melajang itu memberikan sebungkus es tebu padaku.
"Ar--" Aku mengurungkan niat untuk bercerita padanya. Rasanya malu jika harus mengumbar masalah rumah tangga kita.
"Kenapa sih?" Ari semakin penasaran, jiwa keponya meronta-ronta.
"Gak jadi ah," pungkasku.
"Ya elah, Mil. Kayak sama siapa aja? Padahal ini yang kunanti selama ini. Rumah tanggamu kan selama ini adem-ayem aja, kayak pengantin baru terus, jarang bertengkar, eh tiba-tiba kok kamu kelihatan sumpek banget, pasti ada sesuatu ini. Ayo cerita aja, aku siap kok menjadi pendengar yang baik," ocehnya panjang dan lama kayak coki-coki #eh.
"Gak ada," sahutku lalu kembali meletakkan kepala di atas meja.
"Mila! Yaelah. Beneran gak mau es tebunya?" Aku menggeleng.
"Mau soda gembira, biar kembali ceria." Aku tersenyum setelah mengucapkannya. Kira-kira dia mau gak ya membelikan untukku?
Hening tak ada jawaban hanya detik jam yang terdengar bak irama pengiring hati yang merana.
****
"Ni, nanti gelasnya kamu yang balikin." Mataku berbinar melihat sesuatu di dalam gelas dengan ukuran jumbo itu.
Seolah mendapat kekuatan, gegas aku meraih gelas lalu mengangkat kemudian mendekatkan ke mulutku. Alhamdulillah ... MasyaAllah seger banget.
****
"Mil, kalau pulang jangan lupa gelasnya ya!" seru Ari yang lebih dulu pulang karena sudah dijemput adiknya.
Aku hanya mengacungkan jempol, tanda kalau pasti beres. Setelah merapikan semua peralatan dan menutup pintu serta menguncinya.
"Ini, Bu. Gelasnya terima kasih ya ...." Tak lupa kupersembahkan senyum terbaik untuk Ibu War pemilik warung es.
Sepertinya ada yang aneh, wanita tambun itu masih saja memandangku dengan tatapan yang menghujam langsung ke manik mataku.
"Bayar dulu, Neng. Terima kasih belum jadi alat transaksi," ucapnya mak jleb ke hatiku.
Aku sempat membuka lebar mata serta mulutku mendengarnya. Tanpa menunggu lebih lama, segera mengeluarkan lembaran berwarna ungu dari saku rok yang kupakai.
"Ini, Bu. Maaf ya, kukira tadi sudah dibayar sama temanku. Maaf ya ... em masih ada kembaliannya tidak?" tanyaku hati-hati.
"Eh, ini pas Neng. Tadi temannya ambil gorengan," balasnya tanpa melihat ke arahku. Tangannya sibuk meracik beberapa macam es dalam gelas.
"Oh ya, sudah. Mari, Bu. Permisi ...." Sepertinya dia tak dengar kata pamitku, buktinya dia gak menyahut.
"Iya, Neng. Makasih ya." Aku tak menyangka dia membalas walau agak terlambat.
****
Kukayuh sepeda mini ini dengan perasaan yang lebih ringan dari pada pas waktu berangkat tadi. Sampai di warung Mbak Na, aku berhenti untuk membeli kebutuhan untuk besok. Kebetulan di sana ada beberapa ibu-ibu yang lagi belanja juga.
"Baru pulang, Mil?" tanya Mbak Sari. Ketika aku melewatinya.
"Iya, Mbak," balasku sambil tersenyum.
"Mil, siapa sih wanita yang ada di rumahmu itu?" Sekarang giliran Mbak Rahma yang bertanya.
Aku memandangnya sekilas lalu kembali sibuk memilih beberapa sayuran.
"Oh, itu istrinya temannya mas Aryo, Mbak. Namanya Ratih, beberapa bulan yang lalu suaminya mengalami kecelakaan," jawabku.
"Oh ... hati-hati ya, Mil. Pokoknya kamu jangan sampai lengah, jaga baik-baik suamimu," pesannya. Aku sempat menyunggingkan senyum mendengarnya.
"Eh, dikasih tahu malah senyam-senyum," sewotnya.
"Iya-iya, Mbak. Terima kasih sudah diingatkan. Mereka gak lama kok. Kalau sudah menemukan kost atau kontrakan yang cocok mereka akan segera pergi. Terima kasih ya ...," ucapku sungguh-sungguh.
"Iyaaaa," balasnya sambil mengangguk.
"Sudah, Mbak. Berapa punyaku?" Mendengar pertanyaanku, Mbak Na segera mengambil kolkulator untuk menjumlah belanjaaku. Setelah selesai aku pun pamit pada mereka semua yang ada di warung.
****
Dari kejauhan bisa kulihat ada seorang sedang duduk di teras rumah, seorang wanita paruh baya.
"Ibuk?" Spontan aku bertanya sendiri. Gegas kukayuh sepeda lebih cepat.
"Ibu ...." Segera aku menghampiri wanita yang sudah melahirkan lelakiku itu. Wanita paruh baya yang masih kelihatan cantik itu berdiri menyambut diriku, segera meraih tangannya kemudian menciuminya dengan takzim. Setelah itu baru kami berpelukan.
"Sudah lama? Kok gak kasih kabar dulu, kan aku bisa jemput di terminal, Bu."
"Kan mau beri kejutan, Mil. Eh malah ibu yang terkejut," sahutnya.
"Maks--"
"Silakan diminum, Bu." Tiba-tiba Ratih sudah membawa nampan berisi dua gelas, satu air dan satu teh hangat.
"Oh, iya, Bu. Ini Ratih, istrinya teman mas Aryo. Untuk sementara mereka akan tinggal di sini." Aku menjelaskan pada ibu, tentang keberadaan Ratih.
"Oh iya, Mil. Ini ibu ada oleh-oleh untuk kamu." Wanita itu tak menggubris, beliau malah menyerahkan buah tangan padaku.
"Alhamdulillah ... terima kasih, Bu. Sudah repot-repot bawain Mila oleh-oleh," ucapku.
"Iya, dong. Kamu kan mantu kesayangan ibu," sahutnya. Ada yang aneh dari sikap ibu, mertuaku itu sama sekali tak menganggap jika ada Ratih di sini.
"Iya, dong. Kamu kan mantu kesayangan ibu," sahutnya. Ada yang aneh dari sikap ibu, mertuaku itu sama sekali tak menganggap jika ada Ratih di sini. **** Aku mengajak ibu masuk ke rumah, sambil menenteng beberapa bungkusan kresek. "Ini tadi aku yang membersihkan, Bu. Mbak Mila tadi gak sempet beres-beres, keburu kerja," celetuk Ratih tiba-tiba. "Ya bagus, dong! Kamu kan numpang di sini, jadi wajar kalau kamu sekedar bersih-bersih." Tak kusangka ucapan ibu sungguh menohok pas tepat sasaran. Bukankah mereka baru saja bertemu, tapi mengapa sepertinya ibu begitu tidak menyukai Ratih ya? Harusnya ibu itu menaruh simpati karena melihat kondisi Agus. Aneh!? *** Ibu benar-benar mengacuhkan Ratih, sedari tadi wanita kesayangan mas Aryo ini tak merespon pertanyaan yang sesekali Ratih ucapkan, bahkan beliau juga tidak mau meminum apa yang sudah Ratih buatkan. "Mil, ibu haus banget, tolong ambilkan ibu air ya," pintanya padaku. "Oh, iya, Bu," sahutku. "Kan sudah kubuatkan, Bu. Apa aku b
"Aryo masih belum kembali, setelah sampai di rumah dia langsung mengembalikan mobil bosnya." Ibu menjelaskan walau tanpa kutanya. Kembali aku hanya mengangguk.****Aku dan ibu masih di teras menunggu kedatangan mas Aryo, berbincang banyak hal, karena dari awal menjadi menantunya, aku sangat betah bila ngilobrol dengannya. Mas Aryo anak lelaki satu-satunya, dia terlahir sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara."Eh, Mbak Mila sudah pulang." Seperti biasa Ratih ikut nimbrung dengan kami, "udah dari tadi, Mbak?" tanyanya lagi."Iya, lumayan. Em ... Gimana, Mbak. Tawaranku yang kemarin?" Aku mencoba bersikap wajar."Tawaran apa, Mbak?" Entah dia benar-benar lupa atau cuma pura-pura."Soal kost-an, Mbak. Sampai kapan kamu mau tinggal di sini? Terus terang aku kurang nyaman jika kamu dan Agus lama-lama di sini," ucapku. Sementara ibu hanya memperhati
"Ada-ada saja, selalu saja seperti ini," gerutuku sambil melangkah ke pintu. Hati ini semakin kesal karena setiap kali membutuhkan sesuatu yang dipanggil itu selalu mas Aryo. Menyebalkan! "Ad-ada apa, Mbak?" tanyaku yang tak jadi kesal karena melihat wajahnya yang pucat. "Mbak, Mas Agus. Mas Agus jatuh lagi, tapi ada banyak darah di kepalanya, Mbak. Tolong," ratapnya padaku. "Ada apa ini? Ratih, kenapa, Rat? Apa yang terjadi?" tanya ibu. Kini perempuan yang sukses membuatku cemburu itu sudah terisak. Air matanya sudah menganak sungai di pipinya yang sedikit tirus. Ya Allah ... apa dia semenderita itu? Atau ini cuma pura-pura? Kami bergegas ke kamar yang di tempati Agus. Di sana terlihat Agus masih berada di lantai. Ada genangan darah di lantai, seperti dari kepalanya. "Jangan disentuh, Mila!" teriak ibu mengagetkanku, sontak kutarik kembali tanganku yang hampir menyentuh kepala Agus. "Kamu ambil air dan panggil suamimu," titah ibu padaku. "Iya, Bu," jawabku singkat, kemudian ge
"Mbak, Mbak, kayaknya ada yang aneh dengan mas Agus," ucap seseorang si sampingku. "Dari tadi dia diam saja gak gerak sama sekali," imbuhnya. Aku yang masih setengah sadar tiba-tiba jadi melek sempurna demi mendengar apa yang dikatakan Ratih. "Kok bisa? Jangan ngada-ngada kamu, bukankah dia tadi sudah baik-baik saja?!" sentakku karena kaget. **** Duka terlihat jelas di wajah suamiku, dia begitu terpukul, terus menerus menyalakan dirinya sendiri yang tidak langsung membawa Agus ke rumah sakit. Bukan hanya mas Aryo, semalam kami juga berfikir kalau Agus sudah baik-baik saja. Namun, siapa yang tahu batas umur seseorang. Sering kali kita merasa tidak rela jika sesuatu yang kita sayang harus pergi untuk selamanya padahal kita tahu kalau jodoh, maut dan rezeki itu mutlak kehendak Allah SWT. **** Acara pemakaman sudah selesai, tak ada sanak saudara dari almarhum yang hadir. Sampai di sini aku masih belum bisa menemukan benang merah dari kejadian demi kejadian beberapa hari terakhir i
Setelah menyerahkan ponsel pada ibu, aku segera kembali ke kamar. Namun, aku tak menemukan mas Aryo di sana. Seolah ada yang menyuruh aku pun melangkah ke kamar belakang. "Apa yang kamu lakukan di sini, Mas?" tanyaku dengan suara bergetar melihat lelakiku tengah memeluk Ratih. **** "Dek," ucap mas Aryo kaget. Bukannya melepaskan diri Ratih malah semakin mempererat pelukannya. "Sudah saatnya dia tahu, Mas." Ratih berbicara sambil menatapku. "Aku atau kamu yang mengatakan," imbuhnya. Nafasku mulai tak beraturan, sangat sulit untuk menahan emosi yang sudah hampir meledak. "Mbak, sekarang saatnya kamu tahu. Sebenarnya aku dan mas Aryo itu sudah menikah secara siri dan sudah berjalan selama 6 bulan," terang wanita itu sambil tersenyum penuh kemenangan. Pertahananku rubuh, hampir saja aku terjatuh kalau saja tak ada seseorang yang menahan tubuhku. "Mas .... katakan sesuatu," ratapku pilu. Mata ini tak berkedip menatapnya, lelakiku itu pun melakukan hal yang sama. Hingga tetes bening
"Tolong, Pak Aryo! Tolong!" Tangis pilu dari Bu Hana yang sedang memohon padaku. Sebagai seorang ibu dialah yang sangat bersedih ketika anak kesayangannya diminta untuk menikahi seorang yang masih berstatus suami orang. "Hanya kamu yang bisa menolong kami, Yo." Kini Pak Surya ikut bicara. Sementara di kursi lain, seseorang sedang meringkuk dalam pelukan saudaranya. Dia masih muda, trauma pasca kejadian itu masih membuatnya sering mengalami ketakutan. Ditambah lagi ada masalah baru dari korban yang memintanya untuk bertanggung jawab dengan menikahi istrinya. Sungguh permintaan yang tak masuk akal dan terkesan memaksa. "Baik, baiklah, Pak. Saya bersedia," kataku akhirnya. Entah apa yang kupikirkan saat itu hingga bersedia menikahi istri korban kecelakaan tersebut. Aku bahkan lupa jika nanti pasti akan ada hati yang terluka. Waktu itu yang ada di benakku, adalah ketika kami sudah menikahinya, aku bisa menceraikannya. Jadi keluarga Pak Surya tidak terbebani lagi. "Terima kasih, Yo. Te
Ini malam ketujuh tahlil untuk almarhum Agus. Maka besok Ratih harus pergi dari rumahku. Terserah bagaimana cara mas Aryo, yang jelas aku gak mau tinggal serumah dengannya. "Dek." Suamiku itu mendekat ketika aku sudah bersiap untuk kerja. "Oiya, nanti saat aku pulang kerja. Pastikan dia sudah tidak ada di sini." Keputusanku sudah bulat dan dia harus mematuhinya. "Dek, rumah ini kan cukup besar, biar Ratih tinggal di sini ya? Aku dan kamu pergi kerja, sampai rumah sudah ada yang masak untuk kita." Seperti anak kecil, dia membujukku hanya karena ada yang menyiapkan makanan. "Kenapa dia gak mau pergi dari sini? Apa karena dia gak mau pisah sama kamu? Kalau memang itu alasannya, kamu boleh kok pergi bersamanya," sahutku. Aku berani taruhan mas Aryo gak akan mau meninggalkanku. "Apa maksudmu, Dek. Kita akan selalu bersama, aku dan kamu," sahutnya cepat. Tuh kan. "Kamu pikir gampang? Enak di kamu, tapi gak di aku. Aku gak mau tahu, pokoknya ketika aku sampai rumah, wanita itu sudah tid
"Mau apa lagi kamu?" bentak mas Aryo. Aku saja sampai kaget dia bisa seperti itu karena selama tiga tahun bersama tak pernah sekalipun dia memperlakukan aku begitu. Perempuan itu berbalik, Ya Allah mukanya serem banget kalau lagi emosi seperti itu. "Mau kemana kamu?!" Kembali mas Aryo mencekal tangannya. "Lepas, Mas. Aku mau ambil barangku yang tertinggal di jemuran!" serunya sambil mengayunkan tangannya agar bisa terlepas dari cekalan mas Aryo. Setelah terlepas wanita itu segera berlari ke arahku, melihatnya seperti itu aku pun minggir dan di luar dugaan dia pun jatuh tersungkur karena hendak mendorong diri ini. "Auh! Sialan. Mas Aryooo! Tolong!" serunya sambil tangannya menggapai-gapai minta segera dibantu. Tubuhku beringsut mundur, agar tak sampai mengenainya. "Ayo, bangun. Mangkanya jangan ngeyel!" Mas Aryo nampak kesal saat membantu Ratih berdiri. "Kamu gak adil, Mas. Aku ini juga istrimu!" Ratih begitu murka, sampai-sampai dia menghentakkan kakinya saat bicara. "Jangan ba
Untuk kalian yang ada diluar sana, jadilah manusia yang bijak. Jangan melukai orang lain, jika kamu tak ingin terluka.Terima kasih untuk semua yang sudah membaca cerita ini, semoga bisa diambil hikmahnya. Aamiin Aamiin Aamiin ...***Malam ini aku kembali merenung, memilih berdiri di ambang jendela yang terbuka. Dari sini aku bisa melihat terangnya cahaya bulan purnama. Pikiran ini benar-benar tak tenang semenjak kunjungan mas Aryo ke sini."Lagi mikirin apa?" tanya Mas Bayu yang tiba-tiba sudah memeluk tubuh ini dari belakang. Lelaki itu berbicara tepat di telingaku, seketika membuat bulu romaku berdiri."Aku kepikiran sama dia, Mas. Bagaimana kalau lelaki itu berniat mengambil Lintang dariku?" Aku mengutarakan isi hatiku pada mas Bayu."Kamu gak usah khawatir, Sayang. Percayalah aku akan selalu melindungi kalian berdua." Mas Bayu menjeda kalimatnya, untuk mengecup pipiku sekilas."Bagaimanapun juga Aryo itu ayah kandungnya. Jadi ... Aku mengizinkannya untuk menengok Lintang sebulan
"Maaf, Nak Mila. Sepertinya ada yang harus diluruskan di sini," ucap seseorang dengan suara berat.Aku dan mas Nano sama-sama menoleh ke asal suara. Ada seorang bapak-bapak dengan kopiah khas berwarna putih."Maaf, Bapak ini siapa?" tanya mas Nano."Saya orang yang dimintai tolong oleh nak Aryo. Perkenalkan nama saya Husain," sahutnya sambil mengulurkan tangannya pada mas Nano."Saya Nano, kakaknya Mila. Mari silahkan masuk dulu. Ayo, Mila. Cuma sebentar saja," bujuknya, saat aku menolak ikut masuk ke rumah.****"Sebelumnya, cerai (talak) dalam Islam terbagi dua macam, ya Nak," ucap Pak Husain mengawali obrolan, setelah kami sudah duduk di ruang tamu. Semua menyimak termasuk Aryo dan Ratih."Yang pertama talak Sunni, yaitu talak yang dilakukan sesuai prosedur syariat. Yang kedua talak Bid’i, yaitu talak yang tidak sesuai prosedur syariat." Pak Husain berhenti sejenak, Pria dengan janggut tipisnya itu mengambil napas panjang sebelum kembali menjelaskan."Begini, Nak Aryo. Mentalak ist
Bunyi pintu dibuka kasar membuat kami semua menengok ke asal suara. Di sana sudah ada Mas Aryo yang sedang berdiri di tengah pintu."Mila!" Lelaki itu berseru. Rahangnya mengeras karena sedang menahan amarah.Semua yang berada di sini terdiam untuk sesaat kerena melihat kedatangan mas Aryo yang tiba-tiba. Tak lama kemudian datang istri sirinya, kini mereka sudah berdiri berdampingan. Seperti biasa Ratih akan menggandeng lengan mas Aryo. Seakan ingin menegaskan kalau dia yang berhak atas diri lelaki itu."Mila, apa yang sudah kamu lakukan pada Ratih?!" tanyanya geram, tatapan matanya tepat menghujam manik mataku, seolah diri ini sudah melakukan kesalahan yang sangat fatal."Apa? Emang apa yang kulakukan padanya?" Jujur aku masih kurang faham dengan maksud pertanyaannya."Kamu boleh tak menyukainya, tapi jangan bersikap seperti preman. Mila, aku ini tetap suamimu, jadi gak usah cemburu sama Ratih! Mengertilah ... aku akan berusaha bersikap adil pada kalian," sahutnya dengan percaya diri
"Kamu ... mau kan, bertahan? Kita coba dulu menyadarkan Aryo," lanjutnya.Demi Allah aku sampai tersedak mendengar kalimat yang keluar dari mulut Ibuku.Setelah batuk akibat tersedak tadi reda, kini aku tengah memandang ibu yang sedang tersenyum."Ibu ... Boleh gak orang hamil dicerai?""Ibu juga kurang faham, Mil. Tunggu ibu punya seorang teman yang mengerti tentang masalah seperti ini, mungkin dia bisa memberikan masukan dan memberi jalan keluar," jawab ibu. Wanita yang masih gesit di usianya yang tak muda lagi itu bangkit."Mau kemana, Bu?""Ambil ponsel. Tunggu ibu akan segera kembali. Jangan keluar kamar dulu, oke?" pesannya sebelum meninggalkan kamarku.Aku hanya tersenyum dan menyatukan jari jempol dan jari telunjuk hingga membentuk huruf O.Kembali aku merenung, apa keputusanku ini sudah tepat?"Ya Allah tolong hamba, tunjukkanlah jalan yang terbaik untukku." Selalu kupanjatkan doa di setiap tarikan napas ini.Banyak yang bilang dengan kita rela dan ikhlas dimadu, balasannya
Setelah aku sampai di sana, akan kupastikan kalau aku tak akan keluar dari sana. Itu rumah suamiku, jadi akan menjadi milikku juga istri satu-satunya mas Aryo."Tunggu kedatanganku, Mila," gumamku. Aku benar-benar gak sabar menunggu nanti malam.***Kedatangan kami disambut oleh Mila. Aku sendiri sedikit terkesan dengan penampilannya, dia nampak berbeda. Wajahnya kelihatan semakin berseri, begitu juga dengan bentuk badannya yang kelihatan sedikit berisi tapi nampak se*si. Seperti ada aura yang sangat baik di dirinya.Tak kusangka mas Aryo langsung menghambur memeluknya. Tentu saja itu membuatku cemburu dan jengkel. Sepertinya jalanku akan lebih mudah, karena Mila sudah melakukan penolakan pada mas Aryo dengan mendorong tubuh suamiku itu, dengan segera aku menggandeng tangannya.Mas Aryo memaksaku untuk mengatakan yang sebenarnya pada Mila, kalau yang mengirim pesan bukanlah dia, tapi aku. Saat seorang laki-laki yang dipanggil mas Nano itu pamit masuk ke dapur untuk menemui ibunya."Ce
Pov Ratih Aku sungguh terkejut bercampur kesal mendengar kabar kalau mas Agus mengalami kecelakaan dan sudah dibawa ke rumah sakit. "Kenapa bisa kecelakaan sih? Kalau sudah begini siapa yang susah? Apa-apa gak bisa hati-hati. Apa tadi kata Pak Polisi? Parah? Oalah Agus! Agus! Belum juga membuat hidupku bahagia kamu wes kena musibah, Gus ... Agus. Apes!" omelku sepanjang aku berkemas beberapa barang yang akan kubawa ke rumah sakit. "Bang, anterin ke rumah sakit," pintaku pada tukang ojek yang standby di pos kamling. "Siapa yang sakit, Mbak?" tanyanya kepo. "Mas Agus kecelakaan," sahutku sambil menerima helm darinya. "Innalilahi, di mana kecelakaannya, Mbak?" Pak ojek malah ngajak ngobrol. "Kurang tahu, Pak. Udah ah! Ayok cepetan!" sungutku. "Iya, iya. Ayo, Mbak. Duh, kasihan si Agus. Mudah-mudahan selamat tidak terjadi apa-apa," Pak ojek berdoa sambil menjalankan motornya. "Terima kasih, Bang. Ini, aku cuma punya duit segitu, Bang. Terima aja ya." Aku tak ped
"Assalamualaikum ...." Riuh suara salam dari luar membuat kami semua menoleh sambil serempak menjawab salam. Kedua Ibu terlihat berbinar, aku dan kedua mas masih bingung, sedangkan Ratih nampak pucat. **** Ibuku dan ibu mertua berdiri secara bersamaan, keduanya berjalan menghampiri tamu yang baru datang. "Alhamdulillah, sudah sampai, bagaimana perjalanannya, Bu, Pak?" tanya ibu, seperti biasa Ibuku itu memang pandai bergaul dan cepat akrab dengan siapa pun. "Alhamdulillah. Lancar, Bu," sahut keduanya. Mereka menjawab dengan sangat santun. "Alhamdulillah. Silahkan masuk," ucap ibu mertuaku ramah. "Mbak!" Ibu berseru, sekejap kemudian Mbak Rahma dan Mbak Sari keluar dari dapur sambil membawa nampan. Aku benar-benar tercengang melihat kedua kepoker tersebut. "Kapan mereka masuk?" tanya batinku. "Udah jangan bengong, Mil. Kayak lihat hantu aja, kamu itu," kata Mbak Rahma sambil mengedipkan sebelah matanya. "Silahkan diminum, Bu, Pak." Sekali lagi ibu menaw
Ada sebuah pesan masuk di aplikasi W******p. Tertera nama 'my hubby' di layar ponsel. Aku masih tertegun menatap pada ponsel setelah membaca pesan darinya, tanpa kuingin mata ini langsung memanas meloloskan butiran bening yang membasahi pipi. *** Tanpa bertanya, Ibu mengambil ponsel yang ada di tanganku. Sementara aku sudah tak bisa lagi menahan air mata yang seolah tak ada habisnya. Betapa diri ini sudah berusaha mengiklaskannya. Namun, tetap saja rasanya sakit. "Sudah, gak pa-pa. Mungkin, ini yang terbaik. Percayalah, kalau Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya, Allah tahu kamu kuat, kamu sanggup, jadi gak usah terlalu bersedih ya, Mil." Aku tahu ibu hanya ingin menghiburku, walau sebenarnya hati wanita itu juga terluka. Bahkan, mungkin saja lukanya lebih dalam dari pada yang kurasakan. "Menangis lah, menangis lah, Nak. Buang lah dukamu bersama air mata. Menangis lah, Nak. Menangis lah." Kembali ibu berucap sambil mendekap erat tubuhku.
"Mbak tolong dibantu temannya ya," pintanya pada Ari. Sahabatku itu mengangguk, dan bersiap memapah diri ini ke kamar mandi. Air mata masih terus saja menetes."Semoga tidak, semoga hasilnya negatif," doaku dalam hati."Ya Allah, aku belum siap. Ar ... Aku belum siap Ar," ratapku setelah hampir sampai di pintu kamar mandi."Sudah, sudah. Yakinlah apa yang terjadi itulah yang terbaik untukmu. Ok, semua akan baik-baik saja," hibur Ari.Dinginnya lantai kamar mandi serasa menusuk tulang, membuat tubuhku semakin menggigil. Setelah melakukan seperti yang diperintahkan Bu Bidan, tanganku bergetar saat mengangkat benda kecil agak panjang itu.Aku membekap mulutku dengan sebelah tanganku. Garis dua ... Itu artinya aku hamil. Aku semakin terisak sambil sesekali tersenyum. Rasanya seperti ada yang berbunga-bunga. Namun, perih pun ikut menyapa.Cukup lama aku berada dalam kamar mandi. Hening tak terdengar suara apapun. Namun, aku tahu di luar ruangan ini masih ada Ari yang setia menungguku.Tangi