Anna's point a view
"Selamat datang!"Sambutan ceria si pelayan cantik dan senyum manisnya seketika menambah suasana hangat restoran yang sudah menjadi langgananku selama lima tahun ini.Masih dengan senyum manisnya, yang seakan-akan tak pernah pudar, si pelayan mengantarkanku ke meja yang sudah aku pesan beberapa hari sebelumnya.Walaupun sudah lima tahun berlalu, tetapi tempat ini, designnya dan suasana di dalam dan di luar ruangannya masih saja sama seperti dahulu. Dan sama seperti lima tahun yang lalu, meja kedua disudut ruangan dekat jendela inilah yang selalu menjadi favoritku sejak dulu. Alasannya sebenarnya sederhana. Hanya dari tempat duduk inilah, pemandangan taman di luar restoran bisa dilihat dengan lebih jelas. Alhasil, duduk sampai berjam-jam pun, aku bisa tahan di sini.Sama seperti kebiasaanku yang sudah-sudah, setiap kali datang ke tempat ini, aku selalu melongokkan kepalaku keluar jendela begitu sampai di tempat duduk ini. Angin bertiup kencang menerpa wajah dan rambutku. Kesejukkannya seakan mengangkat semua beban dan rasa khawatirku seketika. Ditambah lagi keharuman bunga mawar yang ikut berhembus ke arahku benar-benar membuatku rileks.Satu hiburan kecil memang, tapi efeknya selalu membuatku merasa lebih baik. Apalagi, aku tidak harus membayar lebih untuk mendapatkan semua ini. Hanya tinggal melonggokkan kepalaku saja, aku sudah dapat menikmati semua keindahan ini."Permisi, mbak! Mau pesan apa?" suara si pelayan seketika mengagetkanku. Tak mau terlihat seperti orang aneh, aku cepat-cepat menjauh dari jendela dan kembali mengubah posisi dudukku."Saya masih nunggu teman, mbak. Nanti saja pesannya kalau orangnya sudah datang." Mendengar itu si mbak pelayan mengangguk mengerti dan meninggalkanku dengan sopan.Setelah si pelayan pergi, tanganku langsung merogoh hand phone dari tasku dan secepat kilat mengetikkan pesan 'supaya cepat datang' pada temanku, yang kemarin berjanji akan datang setengah jam lebih awal tersebut. Dengan wajahnya yang super serius kemarin, dia membuatku percaya kalau kali ini tidak akan sama seperti lima tahun belakangan ini. Kali ini dia yang akan datang lebih dulu dan tidak akan membiarkanku menunggu lagi.Kenyataanya... cuma aku sendirian di sini. Padahal sudah lima belas menit berlalu dari perjanjian, tapi temanku itu tak kunjung datang juga."OTW" pesan balasan yang super singkat itu membuatku tersenyum. Sama seperti tempat ini, kebiasaan temanku yang satu ini juga tidak sedikitpun berubah. Selalu saja terlambat kalau diajak ke tempat ini. Aku juga heran kenapa, padahal dia yang mengenalkanku ke tempat ini dari pertama.Masih jelas sebenarnya di ingatanku hari itu. Dia berkata akan mentraktir aku ke tempat makan yang enak, murah, dan nyaman tempatnya. Mendengar kata 'traktiran', aku langsung mengiyakan saja. Waktu itu adalah hari seminggu setelah kelulusan kami dari SMA. Untuk merayakannya, aku mengira dia akan mengajakku ke tempat spesial dan membuatku bahagia.Dia memang membawaku ke tempat yang menyenangkan, tempat seperti yang di janjikannya; enak, murah, dan nyaman tempatnya. Namun betapa tak kusangka di hari pertama itu dia sudah membiarkanku menunggu selama empat puluh lima menit dan berhasil membuatku panik, karena sebenarnya di dompetku saat itu cuma ada uang lima ribu rupiah dan kalau dia benar-benar tidak datang, pastinya aku akan malu karena harus keluar dari tempat ini tanpa membeli apa-apa.Ingin rasanya mencubit lengannya sampai biru saat dia datang empat puluh lima menit kemudian. Tapi karena begitu datang dia langsung tersenyum dan mengucapkan kata "sorry" berkali-kali, mau tak mau aku akhirnya menelan kemarahanku dan memaafkannya.Sekarang pun tak ada bedanya, tetap saja dia membiarkanku menunggu. Tapi entah sampai berapa lama kali ini aku harus menunggu.Kesejukan angin yang berhembus dari luar jendela, membuat kepalaku menoleh ke arah luar restoran. Alunan musik yang mengalun dengan indah pun membuat pikiranku terbang ke masa lalu. Ke masa dimana pertama kali aku bertemu dengan sahabatku itu.Si tukang telat itu sebenarnya kukenal di SMA, di kelas dua SMA tepatnya. Namanya Alex. Alex Tjandra.Pertemuan pertamaku dengan Alex sebenarnya bisa di bilang memalukan. Kalau diingat lagi, aku terkadang masih merasa malu. Semua di awali karena 'kebiasaan anehku' hingga jodoh pertemanan kami pun di mulai.Saat duduk di SMA, aku sebenarnya sudah di masukkan dalam golongan anak-anak aneh di sekolahku. Perpustakaan berjalan adalah sebutanku saat itu. Kebiasaanku yang selalu membawa dan membaca buku kemana-mana, membuatku di anugerahi julukan seperti itu.Mencintai dan membawa buku kemana-mana sebenarnya bukan suatu dosa atau kesalahan fatal yang tidak bisa diampuni atau bahkan dianggap aneh. Hanya saja kebiasaanku membaca buku tanpa peduli waktu dan tempatlah yang membuatku pantas di sebut seperti ini.Sebenarnya kebiasaan anehku ini tidaklah muncul begitu saja. Memang sih sejak kecil aku sudah di biasakan membaca buku oleh kedua orang tuaku. Mama papaku yang keduanya berprofesi sebagai dosen sastra Inggris, sebenarnya mempunyai hobi yang sama, yaitu membaca dan mengkoleksi buku, terutama novel-novel klasik.Saking banyaknya koleksi buku mereka hingga satu ruangan belajar di penuhi buku semua. Kecintaan mereka pada novel klasik pulalah yang membuatku di namai seperti novel kesayangan mereka, Anna Karenina, karangan penulis novel Rusia yang terkenal, Leo Tolstoy.Mungkin karena terbiasa hidup dengan orang tua pencinta buku, hobi itu akhirnya menular juga padaku, anak semata wayang mereka. Tapi kebiasaanku tetap dalam batas normal dan tidak pernah sampai membuatku mendapat masalah karenanya.Hanya saja kebiasaan itu berubah menjadi 'aneh' saat aku duduk di bangku SMP. Duniaku yang menyenangkan waktu di Sekolah Dasar seakan sirna dan menjadi seperti hidup di dunia yang tidak aku kenal ketika di SMP.Sampai saat ini pun aku masih bingung dan tak tahu alasannya tapi entah mengapa saat di SMP aku selalu SENDIRI. Mereka memperlakukanku seperti 'Makhluk Kasat Mata'. Seakan-akan mereka tak melihatku, tak perlu berbicara denganku dan sama sekali tak menganggapku ada.Diperlakukan seperti itu berbulan-bulan membuatku malu dan minder. Ingin rasanya kabur dan menghindar dari sekolah. Tapi di sisi lain, aku sadar jika sampai orang tuaku tahu, pasti akan menambah beban pikiran mereka. Maka seberapa malu dan sulitnya pun hari-hariku saat itu, aku tetap bertahan.Lama-kelamaan aku mulai terbiasa dengan kesendirianku dan mulai cuek walaupun banyak yang menganggapku aneh dan menggosipkanku sana sini. Aku tak menganggap mereka penting, toh mereka juga tak pernah menganggapku.Maka di saat aku tak mendapat hiburan dari seorang teman pun, bukulah yang menjadi sahabatku dan juga tamengku, yang dapat mengalihkanku dari apa saja yang terjadi di sekitarku. Penghiburan yang aku dapatkan dari sebuah buku membuatku melupakan kesendirianku dan malah jadi semakin nyaman dengannya.Hal ini lah yang membuatku terobsesi sampai bisa membuatku panik jika sehari saja tanpa sebuah buku di tanganku. Jadi, walaupun kebiasaan ini dianggap aneh, membuatku makin di jauhin, dan bahkan juga membuatku terkena masalah berkali-kali, aku tetap tak menghiraukannya dan tetap melanjutkan kebiasaanku tersebut.Salah masuk kelas, nabrak-nabrak orang karna keasyikan membaca, diomeli orang tua dan guru, hingga salah naik angkot sepulang sekolah dan akhirnya baru sampai di rumah jam tujuh malam, adalah beberapa masalah yang timbul sebagai efek dari kebiasaan membaca tak kenal tempat, tak kenal waktu tersebut.Tapi lucunya... kebiasaan yang awalnya lahir dari kondisiku di SMP yang tak mempunyai teman, di SMA justru kebiasaan buruk inilah yang membawaku bertemu kedua sahabat yang membuat kehidupan SMA ku berbeda dan jauh lebih menyenangkan.Sahabat pertama yang aku kenal sebenarnya bukanlah Alex. Sebelum bertemu Alex, suatu hari tanpa di sangka dan tak direncanakan, aku bertemu sahabat istimewaku, Erna Dharmawan.Hari itu, aku yang biasanya lebih memilih tinggal di kelas sambil membaca novel sewaktu istirahat, tiba-tiba merasa sumpek dan memutuskan untuk beli es di kantin.Sesampainya di sana, aku langsung memesan es kopyor dan berniat mencari tempat duduk yang sepi agar aku bisa menikmati es kopyorku dan melanjutkan membaca novelku dengan nyaman tanpa gangguan.Sayangnya... kebetulan siang itu antriannya cukup panjang dan aku terpaksa harus berdiri lama di antrian sebelum mendapatkan pesananku. Sambil terus mengeluh dalam hati karena malas menunggu, aku membuka dan membaca novelku kembali sambil berdiri mengantri.Setelah beberapa menit, akhirnya aku lupa dengan perasaan kesalku dan seketika tersihir dengan alur cerita romantis dari novel yang aku baca. Kebetulan bagian yang aku baca adalah bagian di mana si tokoh utama pria dalam cerita tersebut sedang berusaha memeluk dan mengecup kekasihnya.Tak ayal, setiap kata yang terpapar di bagian itu, yang diisi dengan penuh hasrat dan keromantisan, berhasil membuatku berdebar tak karuan dengan mata yang bagaikan menempel kuat dengan novel yang aku baca. Seakan-akan jika sedetik saja mataku beranjak dari kata-kata yang aku baca, fantasi yang terbentuk di kepalaku bisa buyar. Dan tentunya, aku tidak mau itu terjadi.Itulah sebabnya, saat pesanan es kopyorku jadi, aku langsung cepat-cepat membayar dan menyambar begitu saja es yang aku pesan dengan mata yang beranjak satu menit saja dari novel di tanganku. Dengan terburu-buru, aku berbalik hendak menuju tempat duduk yang sudah aku incar sebelumnya.Tapi tak kusangka saat berbalik, aku menubruk cewek yang berdiri mengantri di belakangku dan yang memperparah keadaan adalah es yang aku bawa tumpah dengan tak karuan mengenai kemeja putihnya.Karena terkejut, aku terdiam dan memandangi korban 'es kopyorku' dengan mulut menganga. Jujur aku tidak tahu harus berkata apa saat itu.Melihatku diam dan berdiri saja di sana, membuat cewek tersebut menggerutu dan langsung lari begitu saja dari kantin.Sadar aku sudah berbuat kesalahan lagi, dengan cepat aku meletakkan es kopyorku dan berlari mengejar cewek itu untuk meminta maaf.***Setelah mengejarnya beberapa saat, dia terlihat terburu-buru berlari ke arah kamar mandi. Aku pun langsung mengikutinya ke dalam. Dan saat aku masuk, dia terlihat sedang berusaha melap bagian depan kemejanya dengan tisu berkali-kali.Melihat itu, aku benar-benar merasa bersalah. Karena tampaknya beberapa kali pun dia mencoba membersihkan noda merah bekas es kopyor tadi, noda tersebut tidak sedikit pun berkurang. Parahnya, bekas tumpahan tadi malah terlihat melebar di bandingkan sebelumnya."Maaf ya... gara-gara aku seragammu jadi kotor begini," seruku lirih seraya berharap dia tidak terlalu marah padaku.Tapi... entah karena masih marah atau mungkin tak mendengar ucapanku, cewek itu sama sekali tak merespon. Perhatiannya masih pada bagian depan kemejanya yang penuh noda tersebut.Aku jadi salah tingkah. Apalagi aku melihat ekspresi yang semula terlihat panik, tiba-tiba berganti menjadi ekspresi orang yang mau menangis."Mmm... gini aja. G
Semuanya bermula saat suatu malam Alex tiba-tiba datang ke rumahku dengan raut muka yang terlihat syok dan panik.Karena khawatir, aku berusaha menenangkannya seraya berkata,"Tidak biasanya kamu datang jam segini, lex? Ada apa?"Alex tak menjawab. Dia hanya mengangkat wajahnya lalu memandangiku dengan mata yang berkaca-kaca dan raut wajah yang di penuhi kesedihan mendalam.Seketika itu juga aku mengerti... Hanya satu orang saja yang bisa membuatnya bertingkah seperti ini."Ada apa dengan Erna, Lex?" tanyaku sambil mendekatinya perlahan."Dia... mutusin aku, An." Mata Alex tampak berkaca-kaca dan tangannya yang bergerak terus, menampakkan betapa gelisahnya dia.Kontan saja setelah mendengar itu, aku terkejut bukan main. Bagaimana bisa??? Sepulang sekolah, Erna dan Alex masih terlihat sangaaat... mesra. Mana mungkin dalam waktu beberapa jam saja tiba-tiba putus?Daripada menghabiskan waktu menduga-duga,
Ohhh... jika saja waktu bisa kuputar kembali. Aku pasti tak akan membiarkan dia pergi kemarin. Aku pasti-"Ini Non kamarnya," seru Pak Tino membuyarkan lamunanku.Walaupun rasa takut mulai menguasai diriku dan membuatku ingin kabur saja, tapi aku menguatkan diriku dan membuka pintu kamar rumah sakit itu perlahan. Sesampainya di dalam, aku langsung di peluk mama Alex yang tampaknya sedari tadi terus-terusan menangis."Syukurlah kamu datang, An. Dari tadi Alex nyariin kamu terus."Perkataan mama Alex hanya sayup-sayup terdengar olehku. Perhatiaanku terfokus pada cowok yang sedang terbaring dengan perban di kepala dan tangan kirinya saat itu. Dia tampak sangat lemah dan kesakitan. "Gi...mmana keadaan Alex, tante?"tanyaku sambil masih tak berkedip memandangi Alex.Mama Alex terlihat makin sedih dan bolak balik menyeka air matanya dengan sapu tangan."Kata dokter sih kepalanya nggak terlalu parah lukanya. Dalam wak
Setelah hari itu, sikap Alex menjadi susah di dekati dan lebih tertutup dari sebelumnya. Seringkali bahkan dia tidak mau merespon saat di ajak bicara. Hal ini berlanjut sampai berhari-hari. Siapapun tidak bisa mendekatinya. Bahkan orang tuanyapun, tak bisa membujuknya. Aku berusaha membawakan jajanan kesayangannya dan DVD film-film terbaru yang biasanya dia suka, tapi itu pun tak mengubah pendirian si keras kepala itu. Dia lebih memilih bertapa di kamarnya dan sudah tak mau lagi menyentuh peradaban.Aku menggigiti sandwich yang seharusnya kuberikan pada Alex sambil berpikir bagaimana mengubah kekeras kepalaan sahabatku itu, yang mulai membuatku ikut-ikutan emosi. Tapi nihil. Selalu saja hasilnya nihil. Bocah menyebalkan itu tetap saja bersembunyi di dalam kesunyian kamarnya dan tak mau bertemu dengan siapapun.Puncaknya adalah saat suatu hari aku datang menjenguk Alex sepulang sekolah seperti biasanya. Tiba-tiba terdengar kegaduhan di lantai atas. Kontan saja, aku
Sejak hari itu, tingkahku jadi aneh saat bertemu Alex. Apalagi saat dia tersenyum atau memberiku pujian, pasti mukaku langsung semerah tomat dan hatiku tak mau berhenti deg-degan. Kalau sudah seperti itu, aku pasti jadi salah tingkah dan cepat-cepat menghindar dari tatapan Alex. Cowok itu kerap kali bertanya kenapa dengan diriku. Tentunya aku tak bisa menjawabnya. Aku sendiri tak tahu kenapa aku bisa jadi seaneh itu. Akhirnya cara satu-satunya ya berbohong sambil menyembunyikan perasaanku.Keanehan yang lain pun terus bermunculan setelahnya. Aku jadi selalu merasa Alex ada di mana-mana. Di kamarku, di kelas, di ruang makan, di manapun aku berada. Bahkan saat aku menutup mataku pun, wajahnya selalu terbayang. Alhasil, setiap kali aku ingin melakukan sesuatu, pikiranku jadi tidak fokus gara-gara di otakku isinya Alex, Alex, dan Alex melulu. Tapi intinya, hari-hariku saat itu benar-benar menyenangkan. Hatiku selalu berbunga-bunga setiap hari. Apalagi k
Seminggu setelahnya, aku menolak untuk datang ke rumah Alex. Hatiku masih terasa sakit dan aku tak yakin akan bisa menahan tangisku jika bertemu dia. Tapi dasar Alex nggak tau situasi, dia tak henti-hentinya menelpon. Sehari bisa sampai lima atau enam kali. Aku tidak mau bicara dengannya, jadi selalu mama atau papaku yang mengangkat telepon. Aku tau keluargaku pasti bingung dengan tingkahku tapi mereka biasanya tidak akan ikut campur sebelum aku sendiri yang cerita dan meminta pendapat mereka. Dengan demikian aku sedikit lega karena tidak harus menjelaskan semuanya kepada mereka.Aku pun mulai menyibukkan diri dengan cari-cari info kampus jurusan sastra asing yang cocok buatku. Aku berharap dengan begitu pikiranku sedikit teralihkan dari Alex. Untunglah, setelah mondar-mandir, akhirnya aku menemukan kampus yang bagus. Kontan saja, aku langsung memutuskan untuk cepat-cepat mendaftar ke kampus tersebut. Tapi saat aku baru sampai di depan pintu, aku di kagetkan dengan kehadira
Alex's point of viewAnna Karenina, dialah cewek yang melempariku dengan buku dan membuatku mimisan gara-gara mengira aku cowok mesum yang biasa masuk-masuk toilet cewek untuk ngintipin mereka. Sebenarnya sebelum kejadian di toilet cowok itu, aku sudah beberapa kali melihat dia mondar-mandir sambil membawa buku-buku tebal kemana-mana, dan seingatku aku sudah bolak-balik kena tabrak dia tapi dia kayaknya nggak ingat sama sekali kejadian-kejadian itu.GEMES... adalah perasaan pertama yang muncul saat melihat dia berusaha menampilkan muka memelasnya kepadaku dan memintaku untuk memaafkannya. Tak perlu pikir panjang aku langsung memaafkannya.Setelah hari itu kami mulai berteman baik. Well...sebenarnya aku sih yang selalu rajin mengunjungi kelasnya hanya untuk sekedar ngobrol atau ngerjain PR bareng. Pertamanya sih Anna terkesan cuek. Jika ditanya jawabannya selalu singkat dan perhatiaannya nggak pernah lepas dari buku. Apalagi ekspresinya selalu menyirat
ANNA'S POINT OF VIEWBerjam-jam lamanya, aku mengunci diri di kamar dan menangis sejadi-jadinya. Saking lamanya aku menangis, sampai akhirnya aku kecapean dan jatuh tertidur. Keesokan harinya, aku di bangunkan oleh suara ketukan di pintu kamarku. "An... jam berapa ini! Mau sampai jam berapa kamu tidur?!" panggil mamaku sambil mengetuk pintuku dengan keras.Terkejut dengan kegaduhan yang di buat mamaku, aku berteriak balik sambil menaruh bantal menutupi kepalaku,"Sebentar lagi ma. Lagian ini kan hari minggu!" "Iya mama tau. Tapi ada temenmu tuh yang datang. Makanya cepetan bangun!" Gedoran di pintuku terdengar semakin keras. Begitulah mamaku. Setiap pagiku selalu diwarnai gedoran di pintu beserta omelan mamaku sekaligus. Sudah satu paket itu."Ha? Temen? Siapa?" Aku langsung melempar bantal yng ada di atas kepalaku, ke samping dan memegang kedua mataku yang bengkak dan terasa perih. Aku pasti tampak menyedihkan di mata orang lain sekarang ini."Alex sama pacarnya tuh... Ayo cepat ban
“Gimana hasilnya? Berhasilkah misi yang kuberikan?”tanya Erick pada saat aku baru saja sampai. Dia tampaknya sudah menungguku di dapur sedari tadi sambil mempersiapkan bahan-bahan apa saja yang akan dipakai hari ini. “Kayaknya sih enggak. Masih aja marah-marah terus kerjaannya. Malah tambah parah tingkat marah-marahnya sekarang.” Erick tersenyum mendengar jawabanku. “Justru bagus itu. Artinya dia bereaksi terhadap kamu dan malah lebih intens dari semula. Sudah siap kalau gitu untuk misi yang kedua.” “Misi kedua? Apa memangnya?”tanyaku penasaran. Bisa aja nih bocah nyiptain misi-misi seperti ini, pikirku. “Rayu dan campakkan!”jawabnya singkat tanpa penjelasan apapun. “Ha? Apa maksudnya ‘rayu dan campakkan’?” “Ya sama seperti kata yang kau dengar itu maksudnya. Aku mau kau merayunya terus dan waktu dia mulai mengikuti rayuanmu dan terperangkap di dalamnya, kejutkan dia dengan penolakan. Buat dia semakin bingung, semakin pena
"Pak, kalau ada masalah itu bisa diselesaikan baik-baik. Jangan main tangan kayak gini dong! Saya juga bisa pak, kalau main pukul!" Kelihatan sekali tampang bapak itu ingin menantangku. Dia maju selangkah mendekatiku dan tangannya meraih bagian depan kemejaku dan mencengkramnya."Kamu lihat dulu anakku, baru kau bisa komentar kayak gitu! Lihat itu badan anakku bentol-bentol semua gara-gara alergi. Kan sudah aku wanti-wanti dari awal kalau makanannya jangan ada udangnya. Anakku nggak bisa konsumsi makanan apapun yang memakai udang di dalamnya. Tapi lihat ini, saus yang dibawa pelayanmu ini ada udangnya. Dan anak saya sudah terlanjur memakannya. Untung saja baru sedikit masuk ke mulutnya. Kalau sampai kami nggak curiga dan memeriksanya tadi, anak saya pasti sudah memakannya semua dan langsung mengalami shock. Kalian tau alergi yang parah bisa mengakibatkan kematian! Dan sedikit saja, nyawa anak saya hampir terancam. Itu gara-gara keteledoran kalian!"bentaknya sambil menunjuk
ALEX’S POINT OF VIEWTak pernah sebelumnya, aku membayangkan akan menikah dengan paksaan seperti ini. Jaman sudah modern dan seharusnya tak ada lagi jenis pernikahan yang seperti ini. Tapi ya… di sinilah aku, menjadi salah satu korban dari sebuah pernikahan konyol, yang direncanakan orang tuaku dengan si iblis rakus, Anna Karenina. Ditambah lagi, saat teman-teman kuliah datang dan menggodaku waktu berada di pelaminan. Mereka sama sekali tak tahu kalau aku menikah karena dijodohkan. Pikir mereka aku dan Anna menikah karena sama-sama cinta. Itulah yang membuatku geram. Masalahnya, sepanjang pesta, mereka memaksaku untuk berfoto bersama istriku dengan pose-pose mesra yang diarahkan oleh mereka. Aku disuruh meluk Anna lah, nyium pipi dan keningnya lah, dan semua pose-pose yang membuatku ingin menendang mereka semua. Aku tau mereka sengaja mengerjai aku. Masalahnya, mereka nggak tau perasaanku sebenarnya. Dikiranya aku suka apa meluk-meluk sama nyium Anna?!
Alex mengekoriku dari belakang dan menarik tanganku seketika. Tubuhku langsung tersentak ke arahnya dan mendarat tepat di lengannya. “Apa-apaan sih, lex?! Lepas! Tanganku sakit,” teriakku sambil mencoba menarik tanganku kembali. “Aku nggak akan lepaskan tanganmu kalau kau masih belum menarik keputusanmu itu. Gila apa kamu, berani-beraninya ingin bekerja di restoranku! Mau cari gara-gara ya. Mentang-mentang kamu tau Erna juga bekerja di sana!” amuk Alex dengan kasar. Wajahnya terlalu dekat dan cengkramannya pada tanganku pun semakin kuat terasa. “Kenapa harus bertanya lagi. Bukannya kamu tau kalau aku menikahimu karna memang mau memisahkanmu dari Erna?! Jadi ya suka atau tidak, kau harus siap melihatku sebulan lagi berkeliaran di restoran yang kau agung-agungkan itu. Aku ingin lihat, apa teman kencanmu itu masih bisa bertingkah, kalau aku ada di sana?!” Kemarahan di mata Alex semakin menyala. Dia bahkan terlihat seperti akan memakanku hidup-hidup. Mata h
Paginya aku dibangunkan oleh nada dering ponsel yang sejak tadi berbunyi terus. Ingin sekali aku tak menghiraukannya karna masih mengantuk. Tapi karna deringnya berbunyi terus menerus tanpa ampun dan memekakkan telingaku, terpaksa aku mengulurkan tanganku dan meraih ponsel yang berada di atas meja lampu, di samping ranjang. Mataku terbelalak saat melihat nama mertuaku di layar ponsel. Entah kenapa, aku merasa ada hal yang buruk terjadi saat menerima panggilan mertuaku kali ini. Segera aku menekan tombol hijau untuk menerima panggilan itu.Nada suara mama mertuaku itu saat panggilan tersambung, terdengar seperti nada orang yang sedih dan khawatir. “Anna… kamu kenapa nggak terus terang sama mama? Kenapa nggak bilang kalau Alex nggak tinggal sama kamu di Bali? Ya ampun, An… kalau ada hal seperti ini, jangan disembunyikan dari papa mama. Jangan disimpan sendiri.”Aku tak menyangka mama mertuaku ini bisa mengetahui hal memalukan ini. Padahal aku sudah dengan h
Masih jam lima sore dan aku sudah kehabisan ide untuk melakukan apa saja di kamar sendirian. Kakiku sih sudah agak mendingan setelah dikompres dan diberi balsam. Tapi untuk keluar sendiri sore-sore begini untuk mengelilingi sekitar daerah sini, aku tak begitu berani. Takutnya nanti nyasar nggak bisa balik ke hotel gimana. Mungkin lebih baik aku turun ke bawah, ke restoran hotel dan makan malam di sana. Sekalian biar ganti suasana. Bosan soalnya diam terus di dalam kamar. Siapa tahu nanti makanan yang disajikan jauh lebih enak dari yang aku pesan kemarin. Setelah mandi dan merapikan barangku, aku keluar dari kamarku dan langsung masuk ke dalam lift. Aku memeriksa penampilanku di depan cermin besar yang ada di dinding lift. Pintu lift terbuka saat sudah sampai di lantai yang kutuju. Dengan girang, aku melangkahkan kakiku keluar. Tapi, betapa kagetnya aku saat berpapasan dengan Alex dan Erna pas keluar dari lift. Pria yang sebenarnya adalah suamiku itu, m
Busyet! Orang ini jalannya cepat sekali. Manalagi tadi saat mengejar maling kakiku terkilir, jadi sekarang dibuat jalan cepat kayak gini rasanya jadi sakit banget. Menyesal aku tadi pakai sepatu yang ada haknya, jadi malah memperparah rasa sakit yang ada di pergelangan kakiku. Ngapain juga aku sok-sokan dandan pakai sepatu cantik yang senada dengan baju yang aku pakai. Toh tak ada yang memperdulikan penampilanku di sini. Hasilnya, jadi gini kan. Kaki uda mau patah rasanya. Jalanpun jadi nggak nyaman banget, sampai-sampai terkadang terpincang-pincang saat mengikuti cepatnya jalan si bule ini. Dia sih enak, posturnya tinggi, jadi bisa jalan lebih cepat. Lagipula, kakinya nggak cidera, jadi enak saja jalan tanpa beban. Setelah lebih dari sepuluh menit kami berjalan, sampailah kami di sebuah restoran Prancis yang bernama ‘Le Ciel’, yang berarti 'Surga'. Restorannya sedikit lebih kecil daripada restoran Alex, tapi suasana di dalam restorannya benar-benar nyaman dan
Bila hati sudah tercabik-cabik, keindahan macam apapun tetap takkan bisa mengubah keadaan. Aku tahu bahwa kamar yang disewa mertuaku ini termasuk mewah, indah dan lengkap dengan fasilitas yang super fantastis. Mataku tau itu. Tapi masalahnya hatiku sama sekali tak tertarik. Aku hanya memandang sekilas desain hotel yang unik itu dan tak begitu tertarik lagi. Hatiku sakit, bahkan sekarang badanku pun ikut-ikutan nyeri. Kepalaku begitu berdenyut-denyut seperti mau pecah rasanya. Tak kuat lagi untuk membongkar isi koper yang aku bawa, kubaringkan saja tubuhku di ranjang yang super besar itu sambil menatap nanar ke arah jendela yang ditutupi tirai besar nan berat berwarna merah maroon itu. Entah apapun yang ada di dunia luar saat ini, aku tak tahu dan aku tak peduli. Yang pasti takkan sememuakkan yang kualami hari ini. Mungkin lebih baik aku tidur. Mungkin dengan itu aku bisa merasa lebih baik dan melupakan semuanya. Semoga saja ketika aku bangun nanti, semua ingatan
Kuangkat gaunku yang basah tinggi-tinggi saat membuka pintu dan masuk ke dalam. Aku nggak mau air yang menetes dari gaunku mengenai lantai. Yah... memang nggak terlalu berguna karna baru saja aku melangkah ke dalam, lantai rumah itu jadi becek dan kotor seketika. Kakiku yang tak beralas kaki waktu berjalan di jalanan lah yang menyebabkan itu. Bodohnya, aku lupa hal itu dan masuk saja.Nanti saja aku pel lagi, pikirku sambil terus berjalan masuk dan naik ke lantai atas menuju kamar Alex. Saat itulah, aku melihat koper-koperku yang diletakkan begitu saja di luar, di samping pintu kamar Alex. Bocah itu rupanya mengeluarkan lagi barang-barangku dari kamarnya. Kurang ajar! Tak hanya aku, dia juga jijik rupanya dengan barang-barangku. Kuangkat koper itu dengan sedih dan bermaksud membawanya masuk ke dalam, tanpa sepengetahuan si setan itu. Sial! Pintunya ternyata dikunci dari dalam. Alex belum selesai menghukumku rupanya hari ini. Kali ini dia bahkan tak memperbolehkanku masuk ke ruangann