ELA Aku dan Jim seperti sudah kerasukan setan. Kami bermain di pesta Afgan. Pria ini nyaris membuatku berteriak sebab aksi gilanya menyentuh salah satu anggota tubuh. Ia seakan tak puas melakukannya sekali, bahkan berkali-kali. Dan itu membuatku makin lepas kendali Andai ini di hotel sudah dipastikan akan berlanjut pada adegan lebih panas. Bahkan, aku sudah tak peduli dengan konsekuensi ke depan. Mau digugat cerai pun tak masalah. Yang penting keinginan ini dapat tersalurkan. Jim ternyata lebih liar dari sepupunya. Kevin masih menahan diri dari menjajah tubuh ini. Sementara dia seolah sudah yakin aku pun menginginkannya. Pantas saja dulu Cindy berpaling dari Afgan. Mungkin karena pria ini tak membiarkan wanita yang diinginkan dapat keluar dari cengkraman. Anehnya, aku tidak mempermasalahkan apakah status kami sudah resmi atau belum. Di benak ini hanya ada satu, yaitu ingin memadu asmara dengan Jim. “Kita lanjutkan besok, lebih dari ini, aku akan menghubungimu kapan dan di mana ki
ELADasar nakal, masa mau langsung main. But, tak masalahlah. Toh, aku juga sudah tak tahan. Tak perlu waktu lama, aku sudah berganti pakaian. Lingerie merah menyala kini sudah terpasang cantik di tubuhku. Namun, aku membalutnya dengan pakaian luar sebagai paduannya. Akhirnya, pria yang kutunggu datang juga. Lelaki yang masih menggunakan jas kantor itu tak menunda lagi. Dia langsung saja menerkamku. Untuk satu jam ke depan, kami berperilaku selayaknya pengantin yang baru saja memasuki malam pertama. Kuserahkan kesucian milik mas Adnan pada pria yang begitu ganas menjajah tiap inchi tubuhku. Ela, wanita yang senantiasa mengalahkan pria, kini kalah oleh keperkasaan seorang lelaki. Kewarasanku hilang seiring terjerumusnya kami dalam kawah kenikmatan. “Aku mencintaimu, Sayang. Aku ingin tiap saat berbagi kenikmatan denganmu,” bisik Jim setelah kami mengakhiri permainan panas ini. Aku pun ingin mengatakan hal tersebut, tapi tak kuasa lidah ini merangkainya. Aku masih syok dengan apa
ELAMas Adnan mengambil sesuatu dari tas selempangnya. Ia kemudian menyodorkan sebuah amplop berukuran panjang. “Ini surat panggilan sidang perceraian kita. Besok datanglah ke pengadilan agama!” “Sidang perceraian? Maksud kamu apa, Mas? Kamu gugat cerai aku? Kamu masih waras’kan tiba-tiba ngomong cerai?” Aku memberondong lelaki itu dengan sekian pertanyaan. Yang ditanya bukannya menjawab, malah melengos dari balkon. Kukejar pria yang masuk ke dalam kamar hingga tubuh ini sekarang menghalau langkahnya. “Aku mau mandi, minggirlah!” katanya dengan nada datar. Sebenarnya salah makan apa, sih, ini orang? Kenapa tiba-tiba jadi menyebalkan begini? Aku mencekal tangan pria yang baru kusadari matanya tak mau bertemu pandang. Untuk itu kusengaja mengunci bola bening itu agar tak bisa lepas lagi. “Kita bisa bicara baik-baik’kan? Jangan begini, Mas. Ayo kita ngobrol dari hati ke hati!” Mas Adnan tetap diam. Lalu ia mengambil ponsel, mengusap layar dan mencari sesuatu di sana. Setelah itu
ELAAku harus mengajaknya bercinta lagi, lalu merekam. Rekaman tersebut akan kujadikan alat untuk memaksanya menikahiku. Jika tidak, tunggu saja viral di media sosial. Cara ini akan ampuh untuk menundukkan Jim. Inilah jalan yang harus kutempuh agar sebelum jadi janda sudah punya pegangam baru. Ela tak boleh kalah, tak boleh hancur. Setelah menemukan ide cerdas, aku sedikit tenang. Artinya malam ini bisa tidur dalam ketenangan. * Aku melaksanakan rencana bar-bar keesokan harinya. Tentang sidang perceraian itu terserahlah, aku takkan datang. Tampaknya memang tidak ada harapan di tahap mediasi sedikitpun. Lebih baik aku fokus pada rencana plan yang sudah didealkan oleh hati. Pada resepsionis aku mengatakan telah membuat janji dengan Mr Jim di kantor ini. Melihat gayaku yang elegan, wanita bergincu nude pink itu sedikit percaya. Ia lalu menyampaikan pada jenjang birokrasi selanjutnya. Tak lupa aku mengirim pesan pada Jim bahwa sekarang kekasihya sudah ada di lobi kantor. Jika tak ma
ADNAN Sidang pertama perceraian berjalan tanpa kehadiran Ela. Artinya keputusan cerai tak perlu menunggu lama sebab mediasi telah gagal. Paling juga satu kali sidang lagi katanya. Wanita itu pun entah ada di mana. Pagi-pagi sudah pergi, pulang larut malam. Begitu terus hingga kami bagai orang asing yang tak pernah saling kenal sebelumnya. Bahkan, asmara membara yang pernah membakar jiwa, hilang tanpa sisa. Seluruh cinta gila yang kupersembahkan padanya berganti jadi sebuah penyesalan. Tak ada lagi di hatiku walau sejumput rasa padanya. Mungkin inilah yang terjadipada Rida setahun yang lalu. Seperti ini sakitnya. Syukurlah sidang berjalan lancar meski tanpa kehadiran pihak tergugat.. Walau keputusan sudah jelas, proses perceraian kami tetap harus melewati jalur aturannya. Aku memang tak mau menunda-nunda lagi untuk lepas darinya. Lebih cepat lebih baik hingga bisa mendepaknya dari kehidupanku. Berlama-lama satu rumah dengan wanita murahan itu hanya akan membuatku kehilangan kewara
ADNAN Sambil naik perahu, kami berselancar di lorong panjang. Di kiri dan kanan lorong itu ada berbagai jenis boneka yang bergerak-gerak. Alunan musik khas anak-anak pun mengiringi para pengunjung yang menikmati suasana menyenangkan ini. “Ecaa! Ecaaa!” teriak Azkia kegirangan. Ia menunjuk beberapa boneka yang terihat oleh matanya. Azka pun menikmati suasana wahana ini. Ia juga kadang menunjuk satu dan dua boneka. Lalu, bertanya tentang apa yang dilihatnya itu. Dari istana boneka, aku membawa mereka naik bianglala. Sungguh, ini hal menakjubkan untuk keduanya. Mereka bisa melihat Jakarta dari ketinggian. Kali ini yang lebih antusias adalah Azka. Ia tak henti berdecak sebagai simbol ke kekaguman. Terkadang bertanya tentang apa yang membuatnya penasaran. “Kalau kakak suka ketinggian, nanti sudah besarnya jadi pilot, mau?” Setelah kulempar pertanyaan itu, Azka mulai bertanya banyak hal tentang pilot dan pesawat. Ia terlihat antusias mendengar tiap penjelasan. Sepertinya tingkat kete
ADNAN Saat ini aku benar-benar telah melepaskan beban masa lalu. Ela dan segala kebinalannya telah hilang dari lembaran kehidupan. Fokusku saat ini adalah menata masa depan. Membesarkan usaha hingga bisa mengembalikan kejayaan masa lalu. Tentang anak-anak, hubungan kami semakin dekat. Aku di jadwal kesepakatan pasti akan datang. Malah Azka sekarang sudah diizinkan menginap di rumah. Mungkin karena Rida juga tahu kalau di sana sudah tak ada Ela. Meski Afgan telah menanggung biaya hidup anak-anak, aku tetap tak lepas tanggung jawab. Sudah kusiapkan nafkah untuk mereka. Rida pun tak menolak walau itu tak seberapa dibanding limpahan materi dari ayah sambungnya. Lamunanku buyar oleh ketukan di pintu. Setelah kuizinkan, masuklah Nining dan teman yang ia sebut dengan nama Lestari Adiyasa. Wanita itu berkulit kuning langsat, badannya imut dalam artian pendek. Mungkin hanya sedadaku. Parasnya ayu khas suku Jawa. Dandanannya sederhana. Wajah hanya dipoles make up tipis. Pakaian sekedar me
ADNAN “Paaah!” Rengekan Azkia akhirnya jadi penolong. Kami segera kehilangan kecanggungan. Aku berdeham untuk mengembalikan keadaan seperti sedia kala. “Papa lagi kerja, Azkia main sama Tante aja, ya? Tuh, kita main di sana! Mau?” bujuk Lestar sambil menunggu arah kanan toko.. Gadis kecilku mengarahkan mata bulatnya pada tempat yang ditunjuk, ia lalu mengangguk. “Kalau begitu, ayo kita ke sana!” ajak Lestari. Azkia seakan lupa pada hal yang membuatnya merengek. Ia bahkan tak menoleh lagi padaku. Kalau begitu, aku bisa kembali menjalankan pekerjaan. Kehadiran Lestari cukup membantuku hingga jadwal kepulangan anak-anak tiba. Azka dan Azkia bahkan jadi enggan berpisah dengan wanita yang mengasuhnya itu. “Nanti main lagi sama, Tante. Sekarang Azka dan Azkia pulang dulu. Mama pasti sudah menunggu di rumah, oke!” “Endaaa!” sanggah Azkia. “Kita makan dulu, yuk sama Tante. Tapi janji kalau sudah beres harus mau pulang!” ucapku untuk mencari jalan kompromi. “Oke, ya?” tekanku. “Oke!
RIDA“Ela selalu bilang takut tobatnya tak diterima. Ia selalu berkata dosanya sangat besar, ia ingin menebusnya meski harus bertaruh nyawa. Ela, Ela...” Akhirnya tangisan Jim pecah. Ia menutup wajah dengan satu tangan.. Aku yang menyaksikannya pun tak kuat menahan jatuhnya air mata. “Setahun aku mendampinginya dalam sakit. Kupenuhi pintanya agar mewujudkan ketenangan. Rupanya Ela lebih ingin pergi menghadap- Nya daripada tetap di sisiku. Katanya ia tak mau menyusahkanku, ia ingin pulang saja pada Allah. Dia juga sering menyuruhku menikah lagi dan menceraikannya. Aku, aku tak bisa. Ela adalah separuh jiwaku. Kalau dia pergi aku bagaimana?” Tangisanku kini telah bersuara. Aku tak menyangka seperti itu nasib mereka. Ela, kau telah menebus dosamu sungguh. Aku akan bersaksi di hadapan-Nya nanti bahwa kau telah berada di jalan-Nya. Setelah ini aku dan Jim terjebak dalam kebisuan. Hanya tangisan yang memenuhi gendang telinga. Sunyi... * Aku diizinkan masuk ke ruang rawat Ela. Hati in
RIDA Awalnya aku tak percaya melihat perubahan penampilan Ela. Wanita itu menutup auratnya rapat, tak berhias seperti dahulu. Pancaran wajah tak menguarkan aura keangkuhan, malah bersinar dan makin menguatkan pesona keelokan parasnya. Aku kembali mencubit punggung tangan sebelah untuk memastikan bahwa yang terlihat bukan ilusi. Kenyataannya terasa sakit tangan yang dicubit. Artinya ini alam nyata bukanlah mimpi. Kekagetanku akan perubahan penampilan Ella ditambah dengan keterkejutan melihat sikapnya. Dia mengucapkan salam dengan santun dan penuh kelembutan. Sungguh jejaknya di masa lalu benar-benar telah tertutup oleh perubahan itu. Aku hanya bisa melafadzkan hamdalah tasbih dan tahlil ketika yakin bahwa Ela memang telah berubah. Tiada kata yang dapat melukis bahagia ini selain mengucap puja puji syukur ke hadirat Ilahi. Kuseka air mata yang tak bisa dicegah untuk jatuh. Kiranya melihat musuh tobat lebih membahagiakan daripada menyaksikan kehancurannya. Ela pun sama, pipinya tel
ELAAku menyerahkan pemesanan makanan pada Jim. Bingung juga harus memesan apa sebab yang ada dalam daftar menu serasa asing. Aneh memang sebab kata Jim dulu kami sering ke sini. Wah, dapat darimana uang untuk membayarnya. “Makanannya pasti mahal, apa kau punya uang untuk membayar harganya?” Aku ingin memastikan bahwa kami tidak akan malu pulang dari sini. Jadi perlu diselidiki soal keuangan yang ia miliki. “Insya Allah, ada. Aku juga akan membawamu ke hotel. Kita akan menginap di sana sampai kau ingat tujuan kita ke sini. Tadinya aku mau membawamu pulang, tapi dipikir lagi lebih baik dituntaskan sekarang!” Aku hanya bisa bengong mendengar penjelasannya. Selepas itu aku hanya perlu meyakini bahwa yang dikatakan Jim itu benaLalu, aku membayangkan seperti apa kamar sebuah hotel. Pastilah bagus sekali. Kasurnya empuk, ruangannya luas, dinding kokoh dan jendela besar. Mungkin! Aku jadi tak sabar ingin ke sana. Bukan apa-apa, penasaran saja. Benarkah kenyataannya sesuai hayalanku.
ELA Mataku terbuka saat aroma tajam menembus lubang hidung. Entah apa yang dioleskan di batang dan bawah hidung. Baunya tak menyenangkan. Meski sudah terbuka, aku belum otomatis menyadari ini sedang ada di mana? Maka dari itu kesibukan sekarang adalah menggerakkan bola mata ke kanan dan kiri. Karena tak juga menemukan jawaban, aku mencoba bangun. Ternyata untuk menggerakkan badan, tenaga ini sangatlah payah. Karena gagal, aku kembali rebahan. Mungkin butuh waktu beberapa saat lagi agar pulih. “Alhamdulilah kamu sudah sadar, Sayang!” Aku menoleh pada seseorang yang kini menghampiri. Jim ya dia Jim. Ya ampun kenapa harus ada jeda dulu baru mengingat. Hubunganku saat Ini dengannya apa? Mengapa dia mencium keningku? Oh, iya kami suami istri. Tapi, dari kapan kami menikah? Lalu, mas Adnan ke mana? Astagfirullah! Apa yang terjadi denganku? Mengapa tiba-tiba lupa ini dan itu? “Aku di mana?” tanyaku pada lelaki yang kini sedang mengelus pipi ini. “Kau tak ingat?” Jim malah balik ber
ADNAN Hari ini waktu yang kugunakan untuk membersamai keluarga. Kesempatan libur tak kusia-siakan sebab memang jarang punya waktu untuk mereka. Azka dan Azkia bukan jadwal di sini. Kemarin mereka baru dipulangkan pada Rida. Kadang, tak rela harus berpisah sementara dengan mereka. Namun, mau bagaimana lagi, hanya itu jalan nyaman agar anak-anak tetap mendapat kasih sayang orang tua kandungnya. Kurasa Rida pun sama. Meski tak diperlihatkan, aku bisa menduga ia tak rela kalau mereka dijemput. Dia akan mencium dan memeluk anak kami kalau waktu berpisah lagi. Meski saat ini sudah tak ada air mata, tetap saja di hati muncul denyut nyeri. Anak korban perceraian tetap tak bisa sama dengan anak yang hidup dalam naungan keluarga utuh. Mereka harus mengikuti ritme hidup orang tua yang telah tak satu rumah. Tak akan juga menyaksikan ayah dan ibunya bersama seiring sejalan lagi. Padahal, mungkin sangat ingin anak-anak itu melihat kembali kebersamaan tersebut. “Tuan, Nyonya maaf menganggu, ada
ADNAN“Ini adik kak Diva, kak Azkia dan ka Azka!” terangku saat ketiga bocah itu berkumpul mengelilingi adik bayinya. Mereka baru diijinkan menengok mama Lestari dan adik bayi. “Adik, adik?” celetuk Azkia. Mungkin dia bingung mengapa yang baru lahir pun di sebut adiknya. Selama ini yang Azkia tahu, adiknya adalah anak yang dilahirkan Rida. “Iya, dedek bayi ini adalah adik kak Azkia. Sama dengan adik Alfan” jawab Lestari. Setelah mengangguk, Azkia mulai memanggil bayi baru itu dengan kata Adik. Begitu juga Azka dan Diva. Mereka terlihat antusias mencandai adiknya. “Nah, sekarang adik bayi mau mimi dulu. Ayo kita bermain di luar!” Aku menggiring tiga bocah ini keluar untuk memberi kesempatan pada Lestari menidurkan putri kami. Bayi kecil itu baru berusia tujuh hari. Di ruang keluarga tak henti-hentinya tiga anak ini bertanya. Tentang bayi, tentang ingin mengajaknya bermain.. Bahkan Azkia ingin memberinya permen. Aku terangkan perlahan bahwa permen bukan makanan bayi. Kalau sampai
Kami sampai di pintu gerbang mansion milik Edward Douglas alias suami Cindy. Untuk tembus ke dalam, harus melewati satpam yang tampangnya cukup garang. Jim akhirnya mengatakan bahwa Cindy pasti mau menemuinya. Ia sedikit memaksa pada satpam agar menyampaikan hal tersebut pada majikannya. Setelah debat cukup alot, akhirnya satpam itu menyerah. Dia menyampaikan kepada majikan bahwa ada tamu yang ingin bertemu. Tak lupa juga menyebut namaku. Kami butuh waktu sekitar sepuluh menit untuk menunggu izin masuk ke rumah Cindy. Untunglah kami duduk di dalam mobil hingga bisa bertahan lama dalam penantian ini. Jika tidak, akan terkena sengatan mentari Jakarta yang pastilah membakar kulit. Aku dan Jim mengucapkan hamdalah ketika izin untuk masuk telah keluar. Mobil pun kembali dikemudikan oleh Jim untuk memasuki gerbang menuju pelataran.. Ternyata jarak antar gerbang dan pintu utama lumayan jauh. Kalau ditempuh jalan kaki bisa-bisa kelelahan. Luar biasa memang tempat tinggal Edward Douglas.
“Jim, bolehkah aku minta bantuan?” “Apa, katakan saja!” “Aku ingin ke Jakarta.” Pria itu melepas pelukan, lantas mengubah posisi duduk. Ia kini menghadapkan badannya padaku. “Aku ingin menemui Rida, Adnan dan Cindy. Aku ingin minta maaf pada mereka. Bukankah kyai bilang dosa pada manusia akan diampuni Allah jika manusia itu mengampuninya.” Keputusanku untuk meminta maaf pada mereka sudah bulat. Ini adalah hasil perenungan panjang. Aku telah menang melawan ego yang selalu menghalangi atas nama harga diri. Aku tak pernah tahu kapan usia ini berakhir. Untuk itu harus segera menjalankan satu masalah yang belum terselesaikan, yaitu minta keikhlasan maaf dari orang-orang yang kusakiti. “Alhamdulillah, masya Allah. Inilah yang kutunggu, Ela. Kesediaanmu menyingkirkan ego. Besok kita minta izin kyai untuk pergi ke Jakarta. * “Pakailah kerudung dan gamis baru itu. Kita akan bertemu orang-orang baik. Anggap saja ini sebagai bentuk penghargaan pada manusia. Dan jangan sampai juga mereka
“Sedang apa, Sayang?” Aku bosan mengapa lelaki itu selalu bertanya demikian. Aku sudah mengatakan bahwa sedang menimang bayi mungil ini. Apa tak melihatnya? Ah, kurasa dia sudah gila. “Sssst, bayi baru tidur, jangan berisik, nanti dia bangun!” Untunglah, lelaki ini tak bertanya lagi. Ia hanya menatapku lama. Aneh, mengapa selalu begitu. Bertanya terus diam kalau sudah dijawab. Ya, ya mungkin dia kurang waras. Kasihan sekali. “Ela, mandi, yuk. ‘Kan sebentar lagi ustazah datang!” Dasar tak waras, mengapa dia menyuruhku mandi. Aku sudah mandi dengan bayi tadi pagi. Sekarang ‘kan sudah malam. Aku menepis tangan yang ingin menyentuh tubuh ini. Dengar, ya aku ini wanita bersuami. Mengapa pegang-pegang sembarangan. Dan, dia terus memaksaku. Tanganya direkatkan pada tubuh. Aku tak mau, tak mau! “Aaaaaa!” Aku marah, aku ingin menghajar lelaki kurang ajar ini. Aku tidak terimaaa. Dan, aku pun lemas. Lalu jatuh. * “Ela, makan sedikit saja, nanti kita jalan-jalan, ayo!” Kekuatan cin