ELADasar nakal, masa mau langsung main. But, tak masalahlah. Toh, aku juga sudah tak tahan. Tak perlu waktu lama, aku sudah berganti pakaian. Lingerie merah menyala kini sudah terpasang cantik di tubuhku. Namun, aku membalutnya dengan pakaian luar sebagai paduannya. Akhirnya, pria yang kutunggu datang juga. Lelaki yang masih menggunakan jas kantor itu tak menunda lagi. Dia langsung saja menerkamku. Untuk satu jam ke depan, kami berperilaku selayaknya pengantin yang baru saja memasuki malam pertama. Kuserahkan kesucian milik mas Adnan pada pria yang begitu ganas menjajah tiap inchi tubuhku. Ela, wanita yang senantiasa mengalahkan pria, kini kalah oleh keperkasaan seorang lelaki. Kewarasanku hilang seiring terjerumusnya kami dalam kawah kenikmatan. “Aku mencintaimu, Sayang. Aku ingin tiap saat berbagi kenikmatan denganmu,” bisik Jim setelah kami mengakhiri permainan panas ini. Aku pun ingin mengatakan hal tersebut, tapi tak kuasa lidah ini merangkainya. Aku masih syok dengan apa
ELAMas Adnan mengambil sesuatu dari tas selempangnya. Ia kemudian menyodorkan sebuah amplop berukuran panjang. “Ini surat panggilan sidang perceraian kita. Besok datanglah ke pengadilan agama!” “Sidang perceraian? Maksud kamu apa, Mas? Kamu gugat cerai aku? Kamu masih waras’kan tiba-tiba ngomong cerai?” Aku memberondong lelaki itu dengan sekian pertanyaan. Yang ditanya bukannya menjawab, malah melengos dari balkon. Kukejar pria yang masuk ke dalam kamar hingga tubuh ini sekarang menghalau langkahnya. “Aku mau mandi, minggirlah!” katanya dengan nada datar. Sebenarnya salah makan apa, sih, ini orang? Kenapa tiba-tiba jadi menyebalkan begini? Aku mencekal tangan pria yang baru kusadari matanya tak mau bertemu pandang. Untuk itu kusengaja mengunci bola bening itu agar tak bisa lepas lagi. “Kita bisa bicara baik-baik’kan? Jangan begini, Mas. Ayo kita ngobrol dari hati ke hati!” Mas Adnan tetap diam. Lalu ia mengambil ponsel, mengusap layar dan mencari sesuatu di sana. Setelah itu
ELAAku harus mengajaknya bercinta lagi, lalu merekam. Rekaman tersebut akan kujadikan alat untuk memaksanya menikahiku. Jika tidak, tunggu saja viral di media sosial. Cara ini akan ampuh untuk menundukkan Jim. Inilah jalan yang harus kutempuh agar sebelum jadi janda sudah punya pegangam baru. Ela tak boleh kalah, tak boleh hancur. Setelah menemukan ide cerdas, aku sedikit tenang. Artinya malam ini bisa tidur dalam ketenangan. * Aku melaksanakan rencana bar-bar keesokan harinya. Tentang sidang perceraian itu terserahlah, aku takkan datang. Tampaknya memang tidak ada harapan di tahap mediasi sedikitpun. Lebih baik aku fokus pada rencana plan yang sudah didealkan oleh hati. Pada resepsionis aku mengatakan telah membuat janji dengan Mr Jim di kantor ini. Melihat gayaku yang elegan, wanita bergincu nude pink itu sedikit percaya. Ia lalu menyampaikan pada jenjang birokrasi selanjutnya. Tak lupa aku mengirim pesan pada Jim bahwa sekarang kekasihya sudah ada di lobi kantor. Jika tak ma
ADNAN Sidang pertama perceraian berjalan tanpa kehadiran Ela. Artinya keputusan cerai tak perlu menunggu lama sebab mediasi telah gagal. Paling juga satu kali sidang lagi katanya. Wanita itu pun entah ada di mana. Pagi-pagi sudah pergi, pulang larut malam. Begitu terus hingga kami bagai orang asing yang tak pernah saling kenal sebelumnya. Bahkan, asmara membara yang pernah membakar jiwa, hilang tanpa sisa. Seluruh cinta gila yang kupersembahkan padanya berganti jadi sebuah penyesalan. Tak ada lagi di hatiku walau sejumput rasa padanya. Mungkin inilah yang terjadipada Rida setahun yang lalu. Seperti ini sakitnya. Syukurlah sidang berjalan lancar meski tanpa kehadiran pihak tergugat.. Walau keputusan sudah jelas, proses perceraian kami tetap harus melewati jalur aturannya. Aku memang tak mau menunda-nunda lagi untuk lepas darinya. Lebih cepat lebih baik hingga bisa mendepaknya dari kehidupanku. Berlama-lama satu rumah dengan wanita murahan itu hanya akan membuatku kehilangan kewara
ADNAN Sambil naik perahu, kami berselancar di lorong panjang. Di kiri dan kanan lorong itu ada berbagai jenis boneka yang bergerak-gerak. Alunan musik khas anak-anak pun mengiringi para pengunjung yang menikmati suasana menyenangkan ini. “Ecaa! Ecaaa!” teriak Azkia kegirangan. Ia menunjuk beberapa boneka yang terihat oleh matanya. Azka pun menikmati suasana wahana ini. Ia juga kadang menunjuk satu dan dua boneka. Lalu, bertanya tentang apa yang dilihatnya itu. Dari istana boneka, aku membawa mereka naik bianglala. Sungguh, ini hal menakjubkan untuk keduanya. Mereka bisa melihat Jakarta dari ketinggian. Kali ini yang lebih antusias adalah Azka. Ia tak henti berdecak sebagai simbol ke kekaguman. Terkadang bertanya tentang apa yang membuatnya penasaran. “Kalau kakak suka ketinggian, nanti sudah besarnya jadi pilot, mau?” Setelah kulempar pertanyaan itu, Azka mulai bertanya banyak hal tentang pilot dan pesawat. Ia terlihat antusias mendengar tiap penjelasan. Sepertinya tingkat kete
ADNAN Saat ini aku benar-benar telah melepaskan beban masa lalu. Ela dan segala kebinalannya telah hilang dari lembaran kehidupan. Fokusku saat ini adalah menata masa depan. Membesarkan usaha hingga bisa mengembalikan kejayaan masa lalu. Tentang anak-anak, hubungan kami semakin dekat. Aku di jadwal kesepakatan pasti akan datang. Malah Azka sekarang sudah diizinkan menginap di rumah. Mungkin karena Rida juga tahu kalau di sana sudah tak ada Ela. Meski Afgan telah menanggung biaya hidup anak-anak, aku tetap tak lepas tanggung jawab. Sudah kusiapkan nafkah untuk mereka. Rida pun tak menolak walau itu tak seberapa dibanding limpahan materi dari ayah sambungnya. Lamunanku buyar oleh ketukan di pintu. Setelah kuizinkan, masuklah Nining dan teman yang ia sebut dengan nama Lestari Adiyasa. Wanita itu berkulit kuning langsat, badannya imut dalam artian pendek. Mungkin hanya sedadaku. Parasnya ayu khas suku Jawa. Dandanannya sederhana. Wajah hanya dipoles make up tipis. Pakaian sekedar me
ADNAN “Paaah!” Rengekan Azkia akhirnya jadi penolong. Kami segera kehilangan kecanggungan. Aku berdeham untuk mengembalikan keadaan seperti sedia kala. “Papa lagi kerja, Azkia main sama Tante aja, ya? Tuh, kita main di sana! Mau?” bujuk Lestar sambil menunggu arah kanan toko.. Gadis kecilku mengarahkan mata bulatnya pada tempat yang ditunjuk, ia lalu mengangguk. “Kalau begitu, ayo kita ke sana!” ajak Lestari. Azkia seakan lupa pada hal yang membuatnya merengek. Ia bahkan tak menoleh lagi padaku. Kalau begitu, aku bisa kembali menjalankan pekerjaan. Kehadiran Lestari cukup membantuku hingga jadwal kepulangan anak-anak tiba. Azka dan Azkia bahkan jadi enggan berpisah dengan wanita yang mengasuhnya itu. “Nanti main lagi sama, Tante. Sekarang Azka dan Azkia pulang dulu. Mama pasti sudah menunggu di rumah, oke!” “Endaaa!” sanggah Azkia. “Kita makan dulu, yuk sama Tante. Tapi janji kalau sudah beres harus mau pulang!” ucapku untuk mencari jalan kompromi. “Oke, ya?” tekanku. “Oke!
ADNANBermodal alamat yang tertera di data karyawan, aku mencari rumahnya. Dengan bantuan Gmap alamat tersebut dapat mudah ditemukan. Wajah Lestari yang pucat makin syok melihat kedatangan kami. Namun, ia segera mengembalikan ketenangan sebab harus menyambut dua bocah yang menghambur ke arahnya. “Maaf tak bilang dulu mau menjenguk ke sini. Saya beranikan diri datang sebab anak-anak rindu pada tante Lestari.” Itu yang keluar dari lisanku. Namun, ada yang tak terucap sebenarnya sebab masih ditahan, yaitu aku juga sama, rindu .. Azka dan Azkia berhamburan ke arah Lestari. Mereka berebut ingin mendapat ciuman dan pelukan dari tante barunya. Namun, tetap saja kakak harus mengalah pada adik. Meski dongkol, putra sulungku terpaksa menunggu antrian dipeluk. “Wah, adik Azkia makin cantik aja, kakak Azka juga makin ganteng,” puji Lestari setelah melepas pelukan. Saking serunya pertemuan mereka, aku jadi terlupakan. Akhirnya hanya memandangi adegan di depan mata. “Papanya tidak disambut, n