ADNANSelain kelak bisa jadi kepercayaan, juga aku akan punya jalan lebih dekat. Setidaknya kami punya waktu berdua lebih banyak. Wah, wah otakku sudah traveling ke mana-mana, ini. Semua demi bisa dekat dengan Lestari. Dipikir lucu juga sampai harus pasang perangkap untuk mendapat perhatian seorang anak wanita. “Wah, saya? Gak salah, Pak? Saya ‘kan baru.” Wajah Lestari asli kaget saat kukatakan akan melatihnya berbisnis. Apalagi ketika dikatakan tiap hari aku langsung yang akan memberinya pemahaman dan arahan dalam pengembangan usaha. “Kenapa gak yang lain aja, Pak? Saya jadi gak enak, eh!” “Karena saya lihat kamu amanah dan profesional. Punya potensi besar juga untuk memiliki kemampuan lebih. Jadi, ini permintaan sekaligus perintah, ya. Gak boleh nolak!” Lestari tak bisa berargumen lagi. Aku tahu dia belum bersedia, tapi tak bisa menyangkal keputusanku yang memang bersifat memaksa. Akhirnya kami sepakat, Lestari akan dilatih dua jam sehari di rentang waktu kerja. Wanita ini se
ADNAN“Saya punya rencana besar untuk masa depan, tapi tak bisa mewujudkan sendiri sebab butuh bantuan. Saya merasa bu Lestari orang yang tepat untuk membantu mewujudkan cita-cita tersebut.” “Saya? Masa, sih, Pak. Saya kan gak punya apa-apa untuk pengembangan bisnis. Sepertinya bapak salah orang.” Mendengar itu aku jadi tertawa. Lucu juga dia langsung menyimpulkan sebuah masa depan itu selalu terkait dengan pengembangan harta. Apa sikapku selama ini tidak sedikitpun disadari sebagai bentuk perhatian pria pada wanita. Jadi baginya hubungan kami tak lebih dari bos dan pegawainya. “Ini bukan soal bisnis, tak ada kaitannya sama sekali. Ini soal perasaan saya pada bu Lestari. Perasaan ingin dekat sebagai pria pada wanita.” Lestari sempat terpaku mendengar perkataanku. Ia menatap sekilas, lalu menundukkan kepala. Cukup lama wanita itu bersikap demikian hingga dalam hatiku muncul keresahan. Apakah ia terganggu dengan ungkapan perasaanku? Atau malah senang. “Saya belum punya rencana men
ADNANRumah, mobil dan uang yang diberikan pada Ela tak ada seujung kuku di sisi Jim. Ia takkan jadi bangkrut mengeluarkan itu untuk gundiknya. Jikapun Ela sudah tak layak pakai aku yakin akan segera dibuang ke jalanan. Ela, Ela yang bodoh itu sesungguhnya adalah kau. Andai dulu mau bersabar, aku pasti bisa memberimu apa yang diinginkan.. Tuan Pratama sangat percaya padaku. Bukan tak mungkin jabatan direktur utama akan diserahkan cepat pada Adnan Saputra. Ditinjau dari sisi manapun Kevin takkan becus memutar roda perusahaan. Bisa – bisa usaha mereka bangkrut dalam waktu cepat. Ah, sudahlah, itu pilihan hidupnya. Sekarang, aku dan dia sudah tak ada hubungan apapun. Kisah kami hanyalah satu sketsa buruk dalam hidup. * Lestari mudur dari latihan bisnis. Ia bilang tak punya kemampuan mencerna pelajaran. Meski tahu bukan itu alasan sesungguhnya, aku mengabulkan. Yang penting dia masih mau bekerja di sini. Untuk membuatnya nyaman, aku mulai menjaga jarak. Aku lebih banyak menyibukka d
ADNAN“Puas kamu, Hah! Pergi sana atau aku akan mengirim informasi pada Jim biar kau ditendang sekalian!” Setelah kepergian Lestari, aku meluapkan amarah pada Ela. Perempuan tak tahu malu ini sudah keterlaluan. Dia yang menciptakan salah paham di antara kami. Andai Ela tak pernah ke toko, pasti takkan ada kejadian ini. Harusnya tadi kubiarkan saja dia jatuh, pasti keadaan berbalik dari yang tadi. “Oalah ada pacarmu, toh? Hmm, seleramu benar-benar sudah jatuh, ya. But, baguslah jadi gak ada yang menyaingi kecantikanku sebagai wanita yang pernah menjadi istri Adnan Saputra. By the way, maafkan aku, dong, Sayang, jadinya kalian salah paham. Aku gak ada niat menghancurkan hubungan kalian, loh!” Ela bicara tanpa merasa bersalah. Lama-lama emosiku pada wanita ini bisa tak terkendali. Dia harus dihentikan agar tak jadi duri dalam hubunganku dengan Lestari atau wanita manapun. Kehadirannya adalah bahaya luar biasa bagi masa depanku. “Aku tak tahu apa motivasimu datang ke sini. Ingat satu
ADNAN Sayangnya aku berkhianat di saat kehidupan berjalan normal. Rusaklah semua hal yang bernilai indah.. “Saya akan laporin detil, Bos kondisi gebetan. Sukses, ya, Bos!” Adi menjalankan tugas dengan baik. Ia mmerhatikan Lestari dari sejak datang sampai pulang. Lalu, menyampaikan padaku hasil pengamatannya. Ia mengatakan hari ini Lestari banyak melamun, banyak salah mengerjakan tugas, uring-uringan sendiri. Menurut Adi itu tanda wanita sedang banyak pikiran. Bisa jadi efek dari kedatangan Ela ke sini. Katanya lagi mungkin cemburu. “Cemburu?” tanyaku memastikan. Aneh saja masa cemburu. Bukannya dia menolakku. Berarti ‘kan tak ada rasa. Atau penolakan itu di bibir saja, sementara di hati mengingkari. Ciri khas wanita. “Itu baru kemungkinan, Pak. Tapi saya yakin Lestari menaruh hati juga sama bapak. Saya juga suka melihat matanya tertuju ke arah ruang kantor bapak, nah itu pasti bentuk kerinduan.” Adi terus menerangkan analisa-analisa cinta. Ternyata dia pakar dalam hal wanita. J
ADNANAkhirnya Lestari menuruti perintahku. Ia berjalan menuju sofa, dan memilih duduk di kursi single sebelah kanan. Aku sendiri duduk di bagian yang berhadapan dengannya. Sebelum bicara, Lestari menghela napas cukup panjang, lalu mengembuskannya perlahan-lahan “Difalah alasan saya tak bisa menikah lagi!” Lestari memulai pembicaraan dengan nada bergetar. Ketika ia mengangkat wajah, kulihat matanya sudah dipenuhi kabut. Detik berikutnya kabut itu berubah menjadi air yang meluruh membasahi pipinya. “Mereka mengambil Difa dengan alasan aku tak bisa memberi kehidupan layak padanya. Ibu almarhum suamiku hanya memberi kesempatan sebulan sekali padaku untuk bertemu Difa. Kalau melanggar, aku tak boleh bertemu sama sekali.” Ucapannya terhenti sebab tangisannya sudah mengalahkan kemampuan lidah merangkai kata. Jika boleh, aku ingin sekali merengkuh wanita yang ternyata menanggung kepedihan dalam hidupnya. “Mereka juga mengatakan jika saya menikah lagi, Difa tak bisa ditemui untuk selaman
ADNAN“Pakailah ini!” perintahku dengan meyodorkan satu kotak merah yang permukaannya dilapisi kain beludru. Di dalam sana ada sebuah cincin tanda ikatan pertunangan.. “Ini dapat jadi bukti bahwa kita memang sudah bertunangan. Pakailah!” Mau tak mau Lestari menyematkan perhiasan itu di jarinya. Sudah kuduga pasti pas sebab ukuran jarinya tak jauh beda dengan ukuran jari manis Rida dan Ela. Intinya aku sudah berpengalaman dalam memilih cincin untuk wanita. Cincin tunangan itu kubeli kemarin setelah pembicaraan dengan Lestari beres.. Saat itu aku pulang lebih cepat dari jadwal karena memang mau ke toko perhiasan. “Terima kasih ini bagus sekali. Saya jadi gak enak merepotkan pak Adnan. Ini pasti mahal sekali’kan. Aduh saya beneran jadi gak enak.” Sebenarnya aku benci dengan perkataan seperti itu. Dipikir memangnya apa yang merepotkan. Bahkan memberikan semua yang dia butuhkan pun aku tak merasa direpotkan. Namun, aku menahan diri dari berdebat. Biar sajalah, anggap sikap seperti itu
ADNAN“Saya sudah titip pesan pada pengacara saya untuk menyelidiki dengan tuntas jika terjadi sesuatu yang buruk pada kami. Abang pasti paham apa akibatnya kalau berurusan dengan hukum.. Bahkan yang akan masuk penjara bukan hanya satu, tapi sekeluarga dengan tuduhan bekerjasama dalam kejahatan!” Wajah pria itu memerah, rahangnya mengeras. Aku tahu ia sangat marah, tapi tak bisa berbuat apa-apa. “Jadi, apa mau kalian?” Pertanyaan itu adalah tanda kekalahan sang preman. Ketegangan meliputi ruang depan rumah keluarga suami Lestari. Ada helaan kasar dan derak jari yang ditekan kuat dari arah lelaki di depanku. Ia tentu tak bisa terima begitu saja tentang keinginan kami membawa Difa. Menurut Lestari, diambilnya Difa bukan semata-mata karena rasa sayang. Ada hal lain di balik semua itu. Mereka ingin mengelola harta warisan suaminya yang jatuh pada Difa. Mungkin kalau anak itu diurus ibunya, pihak keluarga tak bisa ikut menikmati. Masih menurutnya, selama ini suaminyalah yang banting