ADNAN Tangisan semakin kencang kala nenek Difa ikut memeluk mereka. Kini, ruangan ini dipenuhi suara – suara memilukan. Setelah reda barulah pembicaraan dilanjutkan. Kami pun membahas tentang kebolehan keluarga menjenguk Difa. Untuk menjamin tak ada penculikan lagi, aku mensyaratkan tak boleh dibawa pergi meski sehari sebelum anak itu besar. Difa menolak saat nenek dan pamannya hendak meraihnya. Mimik ketakutan tampak jelas di sana. Aku jadi berpikiran negatif anak ini sering diperlakukan kasar. Awalnya ingin kusampaikan, tapi urung. Lebih baik tak memperpanjang masalah agar cepat kelar urusan ini. Kalaupun benar Difa sering diperlakukan buruk hapus saja dengan kasih sayang ke depannya. Biarlah itu jadi urusan mereka dengan Tuhan. Akhirnya momen paling ditunggu tiba. Kami pulang dengan kemenangan. Mendung yang menggelayuti hidup Lestari, kini menghilang. Binar-binar ceria pun telah tampak di wajahnya. Keceriaan Lestari tentu berefek pada hubungan kami. Jalanku untuk menyandingny
“Sialan kau Jim! Mengapa tak mengangkat telponku? Kau pikir bisa membuangku begitu saja setelah puas menikmati tubuh ini, hah!” Sudah seminggu Jim tak bisa dihubungi. Lelaki pengecut itu sepertinya berencana membuangku. Ini tak boleh dibiarkan. Aku tak mau jadi sampah jalanan. Suami tak punya, selingkuhan kabur yang berkonsekuensi transferan dihentikan.Bagaimana aku bisa bergaul dengan kaum sosialita kalau jatuh miskin? Oh, tidak! Ela tak boleh jatuh martabatnya. Aku harus mencari cara agar Jim menikahiku. Kalau tetap tak bisa berarti harus cari mangsa baru. Tapi siapa?Hammm! Aku, sih inginnya Afgan, tapi sepertinya sangat sulit ditaklukan. Takut juga berurusan dengan lelaki angkuh itu. Sudahlah mending cari yang lain.Rida sialan! Mengapa kau selalu memiliki yang aku inginkan? Mengapa hidupmu seberuntung itu.Arrgh!Kuacak rambut yang membuat penampilan seperti gembel tak mandi setahun. Iyalah sampai sore ini aku belum mandi. Sedang nyaman rebahan sebab perut mual, kepala pusing b
Rupanya dia membuka blokiranku. Huh, rindu juga dia. Dasar munafik! Pesona Ela tak mungkin semudah itu dilupakan sebab terlalu luar biasa.Oh, shit! Ternyata undangan pernikahan!Kurang ajar sekali pamer padaku. Oh, jadi ingin menunjukan kalau dirinya sudah laku? Huh, mana selera perempuannya burik begitu. Pantasnya jadi pembantu bukan nyonya Saputra.Tunggu! Pasti, dong Adnan mengundang keluarga Jim. Aku berseru dengan kata yes saat terbersit ide brilian.Jim, aku akan menunggumu di pesta. Biar kuberitahu dunia seperti apa hubungan kita. Kalau perlu aku akan konfersi pers untuk menyiarkan kabat kehamilan ini.Dan, ini juga kesempatan bertemu calon mertua. Dia pasti senang akan dapat cucu sebab menantunya alia Cindy belum hami sampai saat ini.Ela, oh, Ela! Keberuntungan kembali menyapamu kali ini. Kamu memang keren.Hai, bocah, dengar, ya jangan nyusahin mama. Ayo kerjasama biar kamu jadi pewaris harta keluarga Pratama.*Pada pesta pernikahan Adnan dan Lestari aku tampil cetar memba
Baiknya tak jadi, deh. Aku takut dia penyuka sesama jenis. Gaya gemulainya itu, loh. Dan, dia tak bawa pasangan wanita. Hohoho mending kabur. Oke, pria yang brewokan itu saja. Terlihat macho dan perkasa. Pasti hebat di ranjang. Hmm, otakku langsung liar. Ish, kenapa akhir-akhir ini aku jadi makin binal. Eh, what si brewok menghampiri si klimis. Oalah, mereka itu pasangan kekasih sepertinya. Duh, perutku langsung memberontak ingin keluar isinya. Nak, diam, dong. Bantu mama kerja cari papa. Jangan bikin mamamu mual. Aku elus sebentar perut untuk meredakan rasa yang hampir saja membuatku lari ke toilet. Seleraku menggoda para pria langsung runtuh seketika. Aku pun memutar badan dari kerumunan mereka, lalu mencari tempat duduk yang pas untuk memerhatikan Jim. “Boleh gabung?” Eh, bangsat! Kenapa cowok bajingan ini mendekatiku lagi. Rupanya hukuman dari keluarga sudah berakhir jadi bisa berkeliaran lagi cari mangsa. “Lama tak jumpa, Sayang. Kamu masih saja seksi dan menggodaku,” bisi
Kevin diam, tapi aku yakin dia setuju dengan rencana ini. Ia pasti ingin namanya bersih kembali. Menurut Adnan, Jim dan Kevin itu saingan dari dulu. Maka mengadu domba mereka adalah jalan menuju kesuksesanku. Aku pura-pura ke toilet. Aku yakin Jim akan mengikuti. Dia pasti ingin membungkam sekingkuhannya ini. Dan tentu akan membuat janji-janji manis lagi. Setelah melepas hajat, aku segera keluar toilet. Dan hohoho di ujung lorong sudah berdiri ayah bayiku. “Rindu padaku?” tanyaku saat jarak kami sudah sangat dekat. Ia tak berkata, malah membawaku ke tempat lebih tersembunyi. “Mengapa memblokirku lagi, Sayang. Mau membuangku, ya. Apa kau tak rindu malam-malam indah kita?” Jim tak bicara. Ia seperti sedang menyusun kata untuk mengatakan hal penting. Barulah setelah sekian detik diam, mulutnya terbuka. “Aku akan memberimu sepuluh miliar. Anggap sebagai ucapan maafku. Kita tak bisa melanjutkan hubungan ini.” Kata-katanya seperti batu yang dilempar ke dalam cerukan hatiku. Lalu, men
“Sepertinya jangan, kita pulang saja. Lihatlah suasana pesta mantanmu jadi ricuh, ” usul Kevin dengan suara tak terlalu pelan. Mungkin karena suasana ramai jadi harus berlomba dengan kegaduhan. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Benar saja apa kata Kevin. Suara teriakan Cindy masih terdengar meski orangnya sudah tak terlihat. Keluarga Pratama satu per satu keluar ruangan. Dan, orang-orang saling membicarakan kejadian ini. Sudah tak berbisik lagi, tapi terang-terangan. Satu hal lagi yang tak kalah nengerikan, para tamu undangan mengarahkan pandangannya padaku. Melihat hal itu, nyaliku ciut juga. Kurapatkan tubuh pada Kevin agar dia mengerti bahwa mantan selingkuhannya ini butuh perlindungan.. “Bawa aku keluar dari sini, cepat!” pintaku. Tak mungkin saat ini masih berada di pesta. Bisa-bisa aku akan jadi bahan tontonan manusia. Bahkan lebih mengerikan dicibir dan direndahkan. Kevin memapahku menuju pintu keluar. Di bawah tatapan sinis orang-orang, aku melangkah. Rasan
Pria dan wanita itu saling pandang, lalu kembali mengarahkan wajahnya padaku. Menurut prediksiku tuan Pratama telah menerima, tapi istrinya belum. “Kita buat kesepakatan. Kami akan menjamin hidupmu dengan kemewahan, tapi hubunganmu dengan Jim harus berakhir. Setelah anak itu lahir, dia akan menjadi anak Cindy.” Kata-kata nyonya Pratama seperti palu yang menghantam dadaku. Jadi, ini maksud sesungguhnya aku dipanggil. Kurang ajar sekali mereka berani mempermainkanku. “Maaf, saya tidak bisa menerima kesepakatan itu. Saya takkan menyerahkan anak ini pada siapapun. Kalau Anda tak bisa menerima saya, tak apa, saya akan membesarkannya sendiri. Saya masih muda dan bisa bekerja!” gertakku. Kalian harus tahu bahwa Ela tak mudah diperdaya. Enak saja mau menyingkirkanku, lalu mengambil bayinya. Aku tidak sebodoh itu. “Lalu, apa maumu?” tanya tuan Pratama. “Saya ingin anak ini punya status yang jelas. Saya takkan menjual anak pada siapapun. Kalau memang tak diterima, tak apa, biar saya besar
CINDY Pria yang kupuja ternyata pendusta. Jim memang bajingan. Rupanya dirinya tak benar-benar berubah. Selihai itukah ia memperdayaku setahun lamanya? Atau aku yang terlampau tolol telah percaya kembali padanya? Ini mungkin yang disebut buta karena cinta.Kata maaf hanya polesan bibir belaka. Mengapa aku begitu bodoh percaya pada mulut manisnya. Hingga saat sadar akan tipu daya, semua telah terlambat. Sebucin itu aku padanya. Bahkan, mereka tiap saat melakukan hubungan laknat. Aku tak bisa menerima kenyataan kini wanita binal itu mengandung anak Jim. Keputusanku telah bulat, cerai. “Kita tak harus cerai, Cin. Kita perbaiki segalanya dari awal. Aku akan berubah!” terang Jim yang terus berusaha meyakinkanku. Aku menepis kasar tangan Jim yang hendak menyentuh pundak. Memperbaiki apa setelah tidur dengan wanita lain setahun lamanya. Hanya perempuan bodoh yang bisa memaafkan kelakuan bejat itu. Lelaki bukan hanya Jim di dunia ini. Aku masih muda dan bisa mendapat yang lebih segalanya
RIDA“Ela selalu bilang takut tobatnya tak diterima. Ia selalu berkata dosanya sangat besar, ia ingin menebusnya meski harus bertaruh nyawa. Ela, Ela...” Akhirnya tangisan Jim pecah. Ia menutup wajah dengan satu tangan.. Aku yang menyaksikannya pun tak kuat menahan jatuhnya air mata. “Setahun aku mendampinginya dalam sakit. Kupenuhi pintanya agar mewujudkan ketenangan. Rupanya Ela lebih ingin pergi menghadap- Nya daripada tetap di sisiku. Katanya ia tak mau menyusahkanku, ia ingin pulang saja pada Allah. Dia juga sering menyuruhku menikah lagi dan menceraikannya. Aku, aku tak bisa. Ela adalah separuh jiwaku. Kalau dia pergi aku bagaimana?” Tangisanku kini telah bersuara. Aku tak menyangka seperti itu nasib mereka. Ela, kau telah menebus dosamu sungguh. Aku akan bersaksi di hadapan-Nya nanti bahwa kau telah berada di jalan-Nya. Setelah ini aku dan Jim terjebak dalam kebisuan. Hanya tangisan yang memenuhi gendang telinga. Sunyi... * Aku diizinkan masuk ke ruang rawat Ela. Hati in
RIDA Awalnya aku tak percaya melihat perubahan penampilan Ela. Wanita itu menutup auratnya rapat, tak berhias seperti dahulu. Pancaran wajah tak menguarkan aura keangkuhan, malah bersinar dan makin menguatkan pesona keelokan parasnya. Aku kembali mencubit punggung tangan sebelah untuk memastikan bahwa yang terlihat bukan ilusi. Kenyataannya terasa sakit tangan yang dicubit. Artinya ini alam nyata bukanlah mimpi. Kekagetanku akan perubahan penampilan Ella ditambah dengan keterkejutan melihat sikapnya. Dia mengucapkan salam dengan santun dan penuh kelembutan. Sungguh jejaknya di masa lalu benar-benar telah tertutup oleh perubahan itu. Aku hanya bisa melafadzkan hamdalah tasbih dan tahlil ketika yakin bahwa Ela memang telah berubah. Tiada kata yang dapat melukis bahagia ini selain mengucap puja puji syukur ke hadirat Ilahi. Kuseka air mata yang tak bisa dicegah untuk jatuh. Kiranya melihat musuh tobat lebih membahagiakan daripada menyaksikan kehancurannya. Ela pun sama, pipinya tel
ELAAku menyerahkan pemesanan makanan pada Jim. Bingung juga harus memesan apa sebab yang ada dalam daftar menu serasa asing. Aneh memang sebab kata Jim dulu kami sering ke sini. Wah, dapat darimana uang untuk membayarnya. “Makanannya pasti mahal, apa kau punya uang untuk membayar harganya?” Aku ingin memastikan bahwa kami tidak akan malu pulang dari sini. Jadi perlu diselidiki soal keuangan yang ia miliki. “Insya Allah, ada. Aku juga akan membawamu ke hotel. Kita akan menginap di sana sampai kau ingat tujuan kita ke sini. Tadinya aku mau membawamu pulang, tapi dipikir lagi lebih baik dituntaskan sekarang!” Aku hanya bisa bengong mendengar penjelasannya. Selepas itu aku hanya perlu meyakini bahwa yang dikatakan Jim itu benaLalu, aku membayangkan seperti apa kamar sebuah hotel. Pastilah bagus sekali. Kasurnya empuk, ruangannya luas, dinding kokoh dan jendela besar. Mungkin! Aku jadi tak sabar ingin ke sana. Bukan apa-apa, penasaran saja. Benarkah kenyataannya sesuai hayalanku.
ELA Mataku terbuka saat aroma tajam menembus lubang hidung. Entah apa yang dioleskan di batang dan bawah hidung. Baunya tak menyenangkan. Meski sudah terbuka, aku belum otomatis menyadari ini sedang ada di mana? Maka dari itu kesibukan sekarang adalah menggerakkan bola mata ke kanan dan kiri. Karena tak juga menemukan jawaban, aku mencoba bangun. Ternyata untuk menggerakkan badan, tenaga ini sangatlah payah. Karena gagal, aku kembali rebahan. Mungkin butuh waktu beberapa saat lagi agar pulih. “Alhamdulilah kamu sudah sadar, Sayang!” Aku menoleh pada seseorang yang kini menghampiri. Jim ya dia Jim. Ya ampun kenapa harus ada jeda dulu baru mengingat. Hubunganku saat Ini dengannya apa? Mengapa dia mencium keningku? Oh, iya kami suami istri. Tapi, dari kapan kami menikah? Lalu, mas Adnan ke mana? Astagfirullah! Apa yang terjadi denganku? Mengapa tiba-tiba lupa ini dan itu? “Aku di mana?” tanyaku pada lelaki yang kini sedang mengelus pipi ini. “Kau tak ingat?” Jim malah balik ber
ADNAN Hari ini waktu yang kugunakan untuk membersamai keluarga. Kesempatan libur tak kusia-siakan sebab memang jarang punya waktu untuk mereka. Azka dan Azkia bukan jadwal di sini. Kemarin mereka baru dipulangkan pada Rida. Kadang, tak rela harus berpisah sementara dengan mereka. Namun, mau bagaimana lagi, hanya itu jalan nyaman agar anak-anak tetap mendapat kasih sayang orang tua kandungnya. Kurasa Rida pun sama. Meski tak diperlihatkan, aku bisa menduga ia tak rela kalau mereka dijemput. Dia akan mencium dan memeluk anak kami kalau waktu berpisah lagi. Meski saat ini sudah tak ada air mata, tetap saja di hati muncul denyut nyeri. Anak korban perceraian tetap tak bisa sama dengan anak yang hidup dalam naungan keluarga utuh. Mereka harus mengikuti ritme hidup orang tua yang telah tak satu rumah. Tak akan juga menyaksikan ayah dan ibunya bersama seiring sejalan lagi. Padahal, mungkin sangat ingin anak-anak itu melihat kembali kebersamaan tersebut. “Tuan, Nyonya maaf menganggu, ada
ADNAN“Ini adik kak Diva, kak Azkia dan ka Azka!” terangku saat ketiga bocah itu berkumpul mengelilingi adik bayinya. Mereka baru diijinkan menengok mama Lestari dan adik bayi. “Adik, adik?” celetuk Azkia. Mungkin dia bingung mengapa yang baru lahir pun di sebut adiknya. Selama ini yang Azkia tahu, adiknya adalah anak yang dilahirkan Rida. “Iya, dedek bayi ini adalah adik kak Azkia. Sama dengan adik Alfan” jawab Lestari. Setelah mengangguk, Azkia mulai memanggil bayi baru itu dengan kata Adik. Begitu juga Azka dan Diva. Mereka terlihat antusias mencandai adiknya. “Nah, sekarang adik bayi mau mimi dulu. Ayo kita bermain di luar!” Aku menggiring tiga bocah ini keluar untuk memberi kesempatan pada Lestari menidurkan putri kami. Bayi kecil itu baru berusia tujuh hari. Di ruang keluarga tak henti-hentinya tiga anak ini bertanya. Tentang bayi, tentang ingin mengajaknya bermain.. Bahkan Azkia ingin memberinya permen. Aku terangkan perlahan bahwa permen bukan makanan bayi. Kalau sampai
Kami sampai di pintu gerbang mansion milik Edward Douglas alias suami Cindy. Untuk tembus ke dalam, harus melewati satpam yang tampangnya cukup garang. Jim akhirnya mengatakan bahwa Cindy pasti mau menemuinya. Ia sedikit memaksa pada satpam agar menyampaikan hal tersebut pada majikannya. Setelah debat cukup alot, akhirnya satpam itu menyerah. Dia menyampaikan kepada majikan bahwa ada tamu yang ingin bertemu. Tak lupa juga menyebut namaku. Kami butuh waktu sekitar sepuluh menit untuk menunggu izin masuk ke rumah Cindy. Untunglah kami duduk di dalam mobil hingga bisa bertahan lama dalam penantian ini. Jika tidak, akan terkena sengatan mentari Jakarta yang pastilah membakar kulit. Aku dan Jim mengucapkan hamdalah ketika izin untuk masuk telah keluar. Mobil pun kembali dikemudikan oleh Jim untuk memasuki gerbang menuju pelataran.. Ternyata jarak antar gerbang dan pintu utama lumayan jauh. Kalau ditempuh jalan kaki bisa-bisa kelelahan. Luar biasa memang tempat tinggal Edward Douglas.
“Jim, bolehkah aku minta bantuan?” “Apa, katakan saja!” “Aku ingin ke Jakarta.” Pria itu melepas pelukan, lantas mengubah posisi duduk. Ia kini menghadapkan badannya padaku. “Aku ingin menemui Rida, Adnan dan Cindy. Aku ingin minta maaf pada mereka. Bukankah kyai bilang dosa pada manusia akan diampuni Allah jika manusia itu mengampuninya.” Keputusanku untuk meminta maaf pada mereka sudah bulat. Ini adalah hasil perenungan panjang. Aku telah menang melawan ego yang selalu menghalangi atas nama harga diri. Aku tak pernah tahu kapan usia ini berakhir. Untuk itu harus segera menjalankan satu masalah yang belum terselesaikan, yaitu minta keikhlasan maaf dari orang-orang yang kusakiti. “Alhamdulillah, masya Allah. Inilah yang kutunggu, Ela. Kesediaanmu menyingkirkan ego. Besok kita minta izin kyai untuk pergi ke Jakarta. * “Pakailah kerudung dan gamis baru itu. Kita akan bertemu orang-orang baik. Anggap saja ini sebagai bentuk penghargaan pada manusia. Dan jangan sampai juga mereka
“Sedang apa, Sayang?” Aku bosan mengapa lelaki itu selalu bertanya demikian. Aku sudah mengatakan bahwa sedang menimang bayi mungil ini. Apa tak melihatnya? Ah, kurasa dia sudah gila. “Sssst, bayi baru tidur, jangan berisik, nanti dia bangun!” Untunglah, lelaki ini tak bertanya lagi. Ia hanya menatapku lama. Aneh, mengapa selalu begitu. Bertanya terus diam kalau sudah dijawab. Ya, ya mungkin dia kurang waras. Kasihan sekali. “Ela, mandi, yuk. ‘Kan sebentar lagi ustazah datang!” Dasar tak waras, mengapa dia menyuruhku mandi. Aku sudah mandi dengan bayi tadi pagi. Sekarang ‘kan sudah malam. Aku menepis tangan yang ingin menyentuh tubuh ini. Dengar, ya aku ini wanita bersuami. Mengapa pegang-pegang sembarangan. Dan, dia terus memaksaku. Tanganya direkatkan pada tubuh. Aku tak mau, tak mau! “Aaaaaa!” Aku marah, aku ingin menghajar lelaki kurang ajar ini. Aku tidak terimaaa. Dan, aku pun lemas. Lalu jatuh. * “Ela, makan sedikit saja, nanti kita jalan-jalan, ayo!” Kekuatan cin