ADNANBermodal alamat yang tertera di data karyawan, aku mencari rumahnya. Dengan bantuan Gmap alamat tersebut dapat mudah ditemukan. Wajah Lestari yang pucat makin syok melihat kedatangan kami. Namun, ia segera mengembalikan ketenangan sebab harus menyambut dua bocah yang menghambur ke arahnya. “Maaf tak bilang dulu mau menjenguk ke sini. Saya beranikan diri datang sebab anak-anak rindu pada tante Lestari.” Itu yang keluar dari lisanku. Namun, ada yang tak terucap sebenarnya sebab masih ditahan, yaitu aku juga sama, rindu .. Azka dan Azkia berhamburan ke arah Lestari. Mereka berebut ingin mendapat ciuman dan pelukan dari tante barunya. Namun, tetap saja kakak harus mengalah pada adik. Meski dongkol, putra sulungku terpaksa menunggu antrian dipeluk. “Wah, adik Azkia makin cantik aja, kakak Azka juga makin ganteng,” puji Lestari setelah melepas pelukan. Saking serunya pertemuan mereka, aku jadi terlupakan. Akhirnya hanya memandangi adegan di depan mata. “Papanya tidak disambut, n
ADNANSelain kelak bisa jadi kepercayaan, juga aku akan punya jalan lebih dekat. Setidaknya kami punya waktu berdua lebih banyak. Wah, wah otakku sudah traveling ke mana-mana, ini. Semua demi bisa dekat dengan Lestari. Dipikir lucu juga sampai harus pasang perangkap untuk mendapat perhatian seorang anak wanita. “Wah, saya? Gak salah, Pak? Saya ‘kan baru.” Wajah Lestari asli kaget saat kukatakan akan melatihnya berbisnis. Apalagi ketika dikatakan tiap hari aku langsung yang akan memberinya pemahaman dan arahan dalam pengembangan usaha. “Kenapa gak yang lain aja, Pak? Saya jadi gak enak, eh!” “Karena saya lihat kamu amanah dan profesional. Punya potensi besar juga untuk memiliki kemampuan lebih. Jadi, ini permintaan sekaligus perintah, ya. Gak boleh nolak!” Lestari tak bisa berargumen lagi. Aku tahu dia belum bersedia, tapi tak bisa menyangkal keputusanku yang memang bersifat memaksa. Akhirnya kami sepakat, Lestari akan dilatih dua jam sehari di rentang waktu kerja. Wanita ini se
ADNAN“Saya punya rencana besar untuk masa depan, tapi tak bisa mewujudkan sendiri sebab butuh bantuan. Saya merasa bu Lestari orang yang tepat untuk membantu mewujudkan cita-cita tersebut.” “Saya? Masa, sih, Pak. Saya kan gak punya apa-apa untuk pengembangan bisnis. Sepertinya bapak salah orang.” Mendengar itu aku jadi tertawa. Lucu juga dia langsung menyimpulkan sebuah masa depan itu selalu terkait dengan pengembangan harta. Apa sikapku selama ini tidak sedikitpun disadari sebagai bentuk perhatian pria pada wanita. Jadi baginya hubungan kami tak lebih dari bos dan pegawainya. “Ini bukan soal bisnis, tak ada kaitannya sama sekali. Ini soal perasaan saya pada bu Lestari. Perasaan ingin dekat sebagai pria pada wanita.” Lestari sempat terpaku mendengar perkataanku. Ia menatap sekilas, lalu menundukkan kepala. Cukup lama wanita itu bersikap demikian hingga dalam hatiku muncul keresahan. Apakah ia terganggu dengan ungkapan perasaanku? Atau malah senang. “Saya belum punya rencana men
ADNANRumah, mobil dan uang yang diberikan pada Ela tak ada seujung kuku di sisi Jim. Ia takkan jadi bangkrut mengeluarkan itu untuk gundiknya. Jikapun Ela sudah tak layak pakai aku yakin akan segera dibuang ke jalanan. Ela, Ela yang bodoh itu sesungguhnya adalah kau. Andai dulu mau bersabar, aku pasti bisa memberimu apa yang diinginkan.. Tuan Pratama sangat percaya padaku. Bukan tak mungkin jabatan direktur utama akan diserahkan cepat pada Adnan Saputra. Ditinjau dari sisi manapun Kevin takkan becus memutar roda perusahaan. Bisa – bisa usaha mereka bangkrut dalam waktu cepat. Ah, sudahlah, itu pilihan hidupnya. Sekarang, aku dan dia sudah tak ada hubungan apapun. Kisah kami hanyalah satu sketsa buruk dalam hidup. * Lestari mudur dari latihan bisnis. Ia bilang tak punya kemampuan mencerna pelajaran. Meski tahu bukan itu alasan sesungguhnya, aku mengabulkan. Yang penting dia masih mau bekerja di sini. Untuk membuatnya nyaman, aku mulai menjaga jarak. Aku lebih banyak menyibukka d
ADNAN“Puas kamu, Hah! Pergi sana atau aku akan mengirim informasi pada Jim biar kau ditendang sekalian!” Setelah kepergian Lestari, aku meluapkan amarah pada Ela. Perempuan tak tahu malu ini sudah keterlaluan. Dia yang menciptakan salah paham di antara kami. Andai Ela tak pernah ke toko, pasti takkan ada kejadian ini. Harusnya tadi kubiarkan saja dia jatuh, pasti keadaan berbalik dari yang tadi. “Oalah ada pacarmu, toh? Hmm, seleramu benar-benar sudah jatuh, ya. But, baguslah jadi gak ada yang menyaingi kecantikanku sebagai wanita yang pernah menjadi istri Adnan Saputra. By the way, maafkan aku, dong, Sayang, jadinya kalian salah paham. Aku gak ada niat menghancurkan hubungan kalian, loh!” Ela bicara tanpa merasa bersalah. Lama-lama emosiku pada wanita ini bisa tak terkendali. Dia harus dihentikan agar tak jadi duri dalam hubunganku dengan Lestari atau wanita manapun. Kehadirannya adalah bahaya luar biasa bagi masa depanku. “Aku tak tahu apa motivasimu datang ke sini. Ingat satu
ADNAN Sayangnya aku berkhianat di saat kehidupan berjalan normal. Rusaklah semua hal yang bernilai indah.. “Saya akan laporin detil, Bos kondisi gebetan. Sukses, ya, Bos!” Adi menjalankan tugas dengan baik. Ia mmerhatikan Lestari dari sejak datang sampai pulang. Lalu, menyampaikan padaku hasil pengamatannya. Ia mengatakan hari ini Lestari banyak melamun, banyak salah mengerjakan tugas, uring-uringan sendiri. Menurut Adi itu tanda wanita sedang banyak pikiran. Bisa jadi efek dari kedatangan Ela ke sini. Katanya lagi mungkin cemburu. “Cemburu?” tanyaku memastikan. Aneh saja masa cemburu. Bukannya dia menolakku. Berarti ‘kan tak ada rasa. Atau penolakan itu di bibir saja, sementara di hati mengingkari. Ciri khas wanita. “Itu baru kemungkinan, Pak. Tapi saya yakin Lestari menaruh hati juga sama bapak. Saya juga suka melihat matanya tertuju ke arah ruang kantor bapak, nah itu pasti bentuk kerinduan.” Adi terus menerangkan analisa-analisa cinta. Ternyata dia pakar dalam hal wanita. J
ADNANAkhirnya Lestari menuruti perintahku. Ia berjalan menuju sofa, dan memilih duduk di kursi single sebelah kanan. Aku sendiri duduk di bagian yang berhadapan dengannya. Sebelum bicara, Lestari menghela napas cukup panjang, lalu mengembuskannya perlahan-lahan “Difalah alasan saya tak bisa menikah lagi!” Lestari memulai pembicaraan dengan nada bergetar. Ketika ia mengangkat wajah, kulihat matanya sudah dipenuhi kabut. Detik berikutnya kabut itu berubah menjadi air yang meluruh membasahi pipinya. “Mereka mengambil Difa dengan alasan aku tak bisa memberi kehidupan layak padanya. Ibu almarhum suamiku hanya memberi kesempatan sebulan sekali padaku untuk bertemu Difa. Kalau melanggar, aku tak boleh bertemu sama sekali.” Ucapannya terhenti sebab tangisannya sudah mengalahkan kemampuan lidah merangkai kata. Jika boleh, aku ingin sekali merengkuh wanita yang ternyata menanggung kepedihan dalam hidupnya. “Mereka juga mengatakan jika saya menikah lagi, Difa tak bisa ditemui untuk selaman
ADNAN“Pakailah ini!” perintahku dengan meyodorkan satu kotak merah yang permukaannya dilapisi kain beludru. Di dalam sana ada sebuah cincin tanda ikatan pertunangan.. “Ini dapat jadi bukti bahwa kita memang sudah bertunangan. Pakailah!” Mau tak mau Lestari menyematkan perhiasan itu di jarinya. Sudah kuduga pasti pas sebab ukuran jarinya tak jauh beda dengan ukuran jari manis Rida dan Ela. Intinya aku sudah berpengalaman dalam memilih cincin untuk wanita. Cincin tunangan itu kubeli kemarin setelah pembicaraan dengan Lestari beres.. Saat itu aku pulang lebih cepat dari jadwal karena memang mau ke toko perhiasan. “Terima kasih ini bagus sekali. Saya jadi gak enak merepotkan pak Adnan. Ini pasti mahal sekali’kan. Aduh saya beneran jadi gak enak.” Sebenarnya aku benci dengan perkataan seperti itu. Dipikir memangnya apa yang merepotkan. Bahkan memberikan semua yang dia butuhkan pun aku tak merasa direpotkan. Namun, aku menahan diri dari berdebat. Biar sajalah, anggap sikap seperti itu
RIDA“Ela selalu bilang takut tobatnya tak diterima. Ia selalu berkata dosanya sangat besar, ia ingin menebusnya meski harus bertaruh nyawa. Ela, Ela...” Akhirnya tangisan Jim pecah. Ia menutup wajah dengan satu tangan.. Aku yang menyaksikannya pun tak kuat menahan jatuhnya air mata. “Setahun aku mendampinginya dalam sakit. Kupenuhi pintanya agar mewujudkan ketenangan. Rupanya Ela lebih ingin pergi menghadap- Nya daripada tetap di sisiku. Katanya ia tak mau menyusahkanku, ia ingin pulang saja pada Allah. Dia juga sering menyuruhku menikah lagi dan menceraikannya. Aku, aku tak bisa. Ela adalah separuh jiwaku. Kalau dia pergi aku bagaimana?” Tangisanku kini telah bersuara. Aku tak menyangka seperti itu nasib mereka. Ela, kau telah menebus dosamu sungguh. Aku akan bersaksi di hadapan-Nya nanti bahwa kau telah berada di jalan-Nya. Setelah ini aku dan Jim terjebak dalam kebisuan. Hanya tangisan yang memenuhi gendang telinga. Sunyi... * Aku diizinkan masuk ke ruang rawat Ela. Hati in
RIDA Awalnya aku tak percaya melihat perubahan penampilan Ela. Wanita itu menutup auratnya rapat, tak berhias seperti dahulu. Pancaran wajah tak menguarkan aura keangkuhan, malah bersinar dan makin menguatkan pesona keelokan parasnya. Aku kembali mencubit punggung tangan sebelah untuk memastikan bahwa yang terlihat bukan ilusi. Kenyataannya terasa sakit tangan yang dicubit. Artinya ini alam nyata bukanlah mimpi. Kekagetanku akan perubahan penampilan Ella ditambah dengan keterkejutan melihat sikapnya. Dia mengucapkan salam dengan santun dan penuh kelembutan. Sungguh jejaknya di masa lalu benar-benar telah tertutup oleh perubahan itu. Aku hanya bisa melafadzkan hamdalah tasbih dan tahlil ketika yakin bahwa Ela memang telah berubah. Tiada kata yang dapat melukis bahagia ini selain mengucap puja puji syukur ke hadirat Ilahi. Kuseka air mata yang tak bisa dicegah untuk jatuh. Kiranya melihat musuh tobat lebih membahagiakan daripada menyaksikan kehancurannya. Ela pun sama, pipinya tel
ELAAku menyerahkan pemesanan makanan pada Jim. Bingung juga harus memesan apa sebab yang ada dalam daftar menu serasa asing. Aneh memang sebab kata Jim dulu kami sering ke sini. Wah, dapat darimana uang untuk membayarnya. “Makanannya pasti mahal, apa kau punya uang untuk membayar harganya?” Aku ingin memastikan bahwa kami tidak akan malu pulang dari sini. Jadi perlu diselidiki soal keuangan yang ia miliki. “Insya Allah, ada. Aku juga akan membawamu ke hotel. Kita akan menginap di sana sampai kau ingat tujuan kita ke sini. Tadinya aku mau membawamu pulang, tapi dipikir lagi lebih baik dituntaskan sekarang!” Aku hanya bisa bengong mendengar penjelasannya. Selepas itu aku hanya perlu meyakini bahwa yang dikatakan Jim itu benaLalu, aku membayangkan seperti apa kamar sebuah hotel. Pastilah bagus sekali. Kasurnya empuk, ruangannya luas, dinding kokoh dan jendela besar. Mungkin! Aku jadi tak sabar ingin ke sana. Bukan apa-apa, penasaran saja. Benarkah kenyataannya sesuai hayalanku.
ELA Mataku terbuka saat aroma tajam menembus lubang hidung. Entah apa yang dioleskan di batang dan bawah hidung. Baunya tak menyenangkan. Meski sudah terbuka, aku belum otomatis menyadari ini sedang ada di mana? Maka dari itu kesibukan sekarang adalah menggerakkan bola mata ke kanan dan kiri. Karena tak juga menemukan jawaban, aku mencoba bangun. Ternyata untuk menggerakkan badan, tenaga ini sangatlah payah. Karena gagal, aku kembali rebahan. Mungkin butuh waktu beberapa saat lagi agar pulih. “Alhamdulilah kamu sudah sadar, Sayang!” Aku menoleh pada seseorang yang kini menghampiri. Jim ya dia Jim. Ya ampun kenapa harus ada jeda dulu baru mengingat. Hubunganku saat Ini dengannya apa? Mengapa dia mencium keningku? Oh, iya kami suami istri. Tapi, dari kapan kami menikah? Lalu, mas Adnan ke mana? Astagfirullah! Apa yang terjadi denganku? Mengapa tiba-tiba lupa ini dan itu? “Aku di mana?” tanyaku pada lelaki yang kini sedang mengelus pipi ini. “Kau tak ingat?” Jim malah balik ber
ADNAN Hari ini waktu yang kugunakan untuk membersamai keluarga. Kesempatan libur tak kusia-siakan sebab memang jarang punya waktu untuk mereka. Azka dan Azkia bukan jadwal di sini. Kemarin mereka baru dipulangkan pada Rida. Kadang, tak rela harus berpisah sementara dengan mereka. Namun, mau bagaimana lagi, hanya itu jalan nyaman agar anak-anak tetap mendapat kasih sayang orang tua kandungnya. Kurasa Rida pun sama. Meski tak diperlihatkan, aku bisa menduga ia tak rela kalau mereka dijemput. Dia akan mencium dan memeluk anak kami kalau waktu berpisah lagi. Meski saat ini sudah tak ada air mata, tetap saja di hati muncul denyut nyeri. Anak korban perceraian tetap tak bisa sama dengan anak yang hidup dalam naungan keluarga utuh. Mereka harus mengikuti ritme hidup orang tua yang telah tak satu rumah. Tak akan juga menyaksikan ayah dan ibunya bersama seiring sejalan lagi. Padahal, mungkin sangat ingin anak-anak itu melihat kembali kebersamaan tersebut. “Tuan, Nyonya maaf menganggu, ada
ADNAN“Ini adik kak Diva, kak Azkia dan ka Azka!” terangku saat ketiga bocah itu berkumpul mengelilingi adik bayinya. Mereka baru diijinkan menengok mama Lestari dan adik bayi. “Adik, adik?” celetuk Azkia. Mungkin dia bingung mengapa yang baru lahir pun di sebut adiknya. Selama ini yang Azkia tahu, adiknya adalah anak yang dilahirkan Rida. “Iya, dedek bayi ini adalah adik kak Azkia. Sama dengan adik Alfan” jawab Lestari. Setelah mengangguk, Azkia mulai memanggil bayi baru itu dengan kata Adik. Begitu juga Azka dan Diva. Mereka terlihat antusias mencandai adiknya. “Nah, sekarang adik bayi mau mimi dulu. Ayo kita bermain di luar!” Aku menggiring tiga bocah ini keluar untuk memberi kesempatan pada Lestari menidurkan putri kami. Bayi kecil itu baru berusia tujuh hari. Di ruang keluarga tak henti-hentinya tiga anak ini bertanya. Tentang bayi, tentang ingin mengajaknya bermain.. Bahkan Azkia ingin memberinya permen. Aku terangkan perlahan bahwa permen bukan makanan bayi. Kalau sampai
Kami sampai di pintu gerbang mansion milik Edward Douglas alias suami Cindy. Untuk tembus ke dalam, harus melewati satpam yang tampangnya cukup garang. Jim akhirnya mengatakan bahwa Cindy pasti mau menemuinya. Ia sedikit memaksa pada satpam agar menyampaikan hal tersebut pada majikannya. Setelah debat cukup alot, akhirnya satpam itu menyerah. Dia menyampaikan kepada majikan bahwa ada tamu yang ingin bertemu. Tak lupa juga menyebut namaku. Kami butuh waktu sekitar sepuluh menit untuk menunggu izin masuk ke rumah Cindy. Untunglah kami duduk di dalam mobil hingga bisa bertahan lama dalam penantian ini. Jika tidak, akan terkena sengatan mentari Jakarta yang pastilah membakar kulit. Aku dan Jim mengucapkan hamdalah ketika izin untuk masuk telah keluar. Mobil pun kembali dikemudikan oleh Jim untuk memasuki gerbang menuju pelataran.. Ternyata jarak antar gerbang dan pintu utama lumayan jauh. Kalau ditempuh jalan kaki bisa-bisa kelelahan. Luar biasa memang tempat tinggal Edward Douglas.
“Jim, bolehkah aku minta bantuan?” “Apa, katakan saja!” “Aku ingin ke Jakarta.” Pria itu melepas pelukan, lantas mengubah posisi duduk. Ia kini menghadapkan badannya padaku. “Aku ingin menemui Rida, Adnan dan Cindy. Aku ingin minta maaf pada mereka. Bukankah kyai bilang dosa pada manusia akan diampuni Allah jika manusia itu mengampuninya.” Keputusanku untuk meminta maaf pada mereka sudah bulat. Ini adalah hasil perenungan panjang. Aku telah menang melawan ego yang selalu menghalangi atas nama harga diri. Aku tak pernah tahu kapan usia ini berakhir. Untuk itu harus segera menjalankan satu masalah yang belum terselesaikan, yaitu minta keikhlasan maaf dari orang-orang yang kusakiti. “Alhamdulillah, masya Allah. Inilah yang kutunggu, Ela. Kesediaanmu menyingkirkan ego. Besok kita minta izin kyai untuk pergi ke Jakarta. * “Pakailah kerudung dan gamis baru itu. Kita akan bertemu orang-orang baik. Anggap saja ini sebagai bentuk penghargaan pada manusia. Dan jangan sampai juga mereka
“Sedang apa, Sayang?” Aku bosan mengapa lelaki itu selalu bertanya demikian. Aku sudah mengatakan bahwa sedang menimang bayi mungil ini. Apa tak melihatnya? Ah, kurasa dia sudah gila. “Sssst, bayi baru tidur, jangan berisik, nanti dia bangun!” Untunglah, lelaki ini tak bertanya lagi. Ia hanya menatapku lama. Aneh, mengapa selalu begitu. Bertanya terus diam kalau sudah dijawab. Ya, ya mungkin dia kurang waras. Kasihan sekali. “Ela, mandi, yuk. ‘Kan sebentar lagi ustazah datang!” Dasar tak waras, mengapa dia menyuruhku mandi. Aku sudah mandi dengan bayi tadi pagi. Sekarang ‘kan sudah malam. Aku menepis tangan yang ingin menyentuh tubuh ini. Dengar, ya aku ini wanita bersuami. Mengapa pegang-pegang sembarangan. Dan, dia terus memaksaku. Tanganya direkatkan pada tubuh. Aku tak mau, tak mau! “Aaaaaa!” Aku marah, aku ingin menghajar lelaki kurang ajar ini. Aku tidak terimaaa. Dan, aku pun lemas. Lalu jatuh. * “Ela, makan sedikit saja, nanti kita jalan-jalan, ayo!” Kekuatan cin