ADNANRumah, mobil dan uang yang diberikan pada Ela tak ada seujung kuku di sisi Jim. Ia takkan jadi bangkrut mengeluarkan itu untuk gundiknya. Jikapun Ela sudah tak layak pakai aku yakin akan segera dibuang ke jalanan. Ela, Ela yang bodoh itu sesungguhnya adalah kau. Andai dulu mau bersabar, aku pasti bisa memberimu apa yang diinginkan.. Tuan Pratama sangat percaya padaku. Bukan tak mungkin jabatan direktur utama akan diserahkan cepat pada Adnan Saputra. Ditinjau dari sisi manapun Kevin takkan becus memutar roda perusahaan. Bisa – bisa usaha mereka bangkrut dalam waktu cepat. Ah, sudahlah, itu pilihan hidupnya. Sekarang, aku dan dia sudah tak ada hubungan apapun. Kisah kami hanyalah satu sketsa buruk dalam hidup. * Lestari mudur dari latihan bisnis. Ia bilang tak punya kemampuan mencerna pelajaran. Meski tahu bukan itu alasan sesungguhnya, aku mengabulkan. Yang penting dia masih mau bekerja di sini. Untuk membuatnya nyaman, aku mulai menjaga jarak. Aku lebih banyak menyibukka d
ADNAN“Puas kamu, Hah! Pergi sana atau aku akan mengirim informasi pada Jim biar kau ditendang sekalian!” Setelah kepergian Lestari, aku meluapkan amarah pada Ela. Perempuan tak tahu malu ini sudah keterlaluan. Dia yang menciptakan salah paham di antara kami. Andai Ela tak pernah ke toko, pasti takkan ada kejadian ini. Harusnya tadi kubiarkan saja dia jatuh, pasti keadaan berbalik dari yang tadi. “Oalah ada pacarmu, toh? Hmm, seleramu benar-benar sudah jatuh, ya. But, baguslah jadi gak ada yang menyaingi kecantikanku sebagai wanita yang pernah menjadi istri Adnan Saputra. By the way, maafkan aku, dong, Sayang, jadinya kalian salah paham. Aku gak ada niat menghancurkan hubungan kalian, loh!” Ela bicara tanpa merasa bersalah. Lama-lama emosiku pada wanita ini bisa tak terkendali. Dia harus dihentikan agar tak jadi duri dalam hubunganku dengan Lestari atau wanita manapun. Kehadirannya adalah bahaya luar biasa bagi masa depanku. “Aku tak tahu apa motivasimu datang ke sini. Ingat satu
ADNAN Sayangnya aku berkhianat di saat kehidupan berjalan normal. Rusaklah semua hal yang bernilai indah.. “Saya akan laporin detil, Bos kondisi gebetan. Sukses, ya, Bos!” Adi menjalankan tugas dengan baik. Ia mmerhatikan Lestari dari sejak datang sampai pulang. Lalu, menyampaikan padaku hasil pengamatannya. Ia mengatakan hari ini Lestari banyak melamun, banyak salah mengerjakan tugas, uring-uringan sendiri. Menurut Adi itu tanda wanita sedang banyak pikiran. Bisa jadi efek dari kedatangan Ela ke sini. Katanya lagi mungkin cemburu. “Cemburu?” tanyaku memastikan. Aneh saja masa cemburu. Bukannya dia menolakku. Berarti ‘kan tak ada rasa. Atau penolakan itu di bibir saja, sementara di hati mengingkari. Ciri khas wanita. “Itu baru kemungkinan, Pak. Tapi saya yakin Lestari menaruh hati juga sama bapak. Saya juga suka melihat matanya tertuju ke arah ruang kantor bapak, nah itu pasti bentuk kerinduan.” Adi terus menerangkan analisa-analisa cinta. Ternyata dia pakar dalam hal wanita. J
ADNANAkhirnya Lestari menuruti perintahku. Ia berjalan menuju sofa, dan memilih duduk di kursi single sebelah kanan. Aku sendiri duduk di bagian yang berhadapan dengannya. Sebelum bicara, Lestari menghela napas cukup panjang, lalu mengembuskannya perlahan-lahan “Difalah alasan saya tak bisa menikah lagi!” Lestari memulai pembicaraan dengan nada bergetar. Ketika ia mengangkat wajah, kulihat matanya sudah dipenuhi kabut. Detik berikutnya kabut itu berubah menjadi air yang meluruh membasahi pipinya. “Mereka mengambil Difa dengan alasan aku tak bisa memberi kehidupan layak padanya. Ibu almarhum suamiku hanya memberi kesempatan sebulan sekali padaku untuk bertemu Difa. Kalau melanggar, aku tak boleh bertemu sama sekali.” Ucapannya terhenti sebab tangisannya sudah mengalahkan kemampuan lidah merangkai kata. Jika boleh, aku ingin sekali merengkuh wanita yang ternyata menanggung kepedihan dalam hidupnya. “Mereka juga mengatakan jika saya menikah lagi, Difa tak bisa ditemui untuk selaman
ADNAN“Pakailah ini!” perintahku dengan meyodorkan satu kotak merah yang permukaannya dilapisi kain beludru. Di dalam sana ada sebuah cincin tanda ikatan pertunangan.. “Ini dapat jadi bukti bahwa kita memang sudah bertunangan. Pakailah!” Mau tak mau Lestari menyematkan perhiasan itu di jarinya. Sudah kuduga pasti pas sebab ukuran jarinya tak jauh beda dengan ukuran jari manis Rida dan Ela. Intinya aku sudah berpengalaman dalam memilih cincin untuk wanita. Cincin tunangan itu kubeli kemarin setelah pembicaraan dengan Lestari beres.. Saat itu aku pulang lebih cepat dari jadwal karena memang mau ke toko perhiasan. “Terima kasih ini bagus sekali. Saya jadi gak enak merepotkan pak Adnan. Ini pasti mahal sekali’kan. Aduh saya beneran jadi gak enak.” Sebenarnya aku benci dengan perkataan seperti itu. Dipikir memangnya apa yang merepotkan. Bahkan memberikan semua yang dia butuhkan pun aku tak merasa direpotkan. Namun, aku menahan diri dari berdebat. Biar sajalah, anggap sikap seperti itu
ADNAN“Saya sudah titip pesan pada pengacara saya untuk menyelidiki dengan tuntas jika terjadi sesuatu yang buruk pada kami. Abang pasti paham apa akibatnya kalau berurusan dengan hukum.. Bahkan yang akan masuk penjara bukan hanya satu, tapi sekeluarga dengan tuduhan bekerjasama dalam kejahatan!” Wajah pria itu memerah, rahangnya mengeras. Aku tahu ia sangat marah, tapi tak bisa berbuat apa-apa. “Jadi, apa mau kalian?” Pertanyaan itu adalah tanda kekalahan sang preman. Ketegangan meliputi ruang depan rumah keluarga suami Lestari. Ada helaan kasar dan derak jari yang ditekan kuat dari arah lelaki di depanku. Ia tentu tak bisa terima begitu saja tentang keinginan kami membawa Difa. Menurut Lestari, diambilnya Difa bukan semata-mata karena rasa sayang. Ada hal lain di balik semua itu. Mereka ingin mengelola harta warisan suaminya yang jatuh pada Difa. Mungkin kalau anak itu diurus ibunya, pihak keluarga tak bisa ikut menikmati. Masih menurutnya, selama ini suaminyalah yang banting
ADNAN Tangisan semakin kencang kala nenek Difa ikut memeluk mereka. Kini, ruangan ini dipenuhi suara – suara memilukan. Setelah reda barulah pembicaraan dilanjutkan. Kami pun membahas tentang kebolehan keluarga menjenguk Difa. Untuk menjamin tak ada penculikan lagi, aku mensyaratkan tak boleh dibawa pergi meski sehari sebelum anak itu besar. Difa menolak saat nenek dan pamannya hendak meraihnya. Mimik ketakutan tampak jelas di sana. Aku jadi berpikiran negatif anak ini sering diperlakukan kasar. Awalnya ingin kusampaikan, tapi urung. Lebih baik tak memperpanjang masalah agar cepat kelar urusan ini. Kalaupun benar Difa sering diperlakukan buruk hapus saja dengan kasih sayang ke depannya. Biarlah itu jadi urusan mereka dengan Tuhan. Akhirnya momen paling ditunggu tiba. Kami pulang dengan kemenangan. Mendung yang menggelayuti hidup Lestari, kini menghilang. Binar-binar ceria pun telah tampak di wajahnya. Keceriaan Lestari tentu berefek pada hubungan kami. Jalanku untuk menyandingny
“Sialan kau Jim! Mengapa tak mengangkat telponku? Kau pikir bisa membuangku begitu saja setelah puas menikmati tubuh ini, hah!” Sudah seminggu Jim tak bisa dihubungi. Lelaki pengecut itu sepertinya berencana membuangku. Ini tak boleh dibiarkan. Aku tak mau jadi sampah jalanan. Suami tak punya, selingkuhan kabur yang berkonsekuensi transferan dihentikan.Bagaimana aku bisa bergaul dengan kaum sosialita kalau jatuh miskin? Oh, tidak! Ela tak boleh jatuh martabatnya. Aku harus mencari cara agar Jim menikahiku. Kalau tetap tak bisa berarti harus cari mangsa baru. Tapi siapa?Hammm! Aku, sih inginnya Afgan, tapi sepertinya sangat sulit ditaklukan. Takut juga berurusan dengan lelaki angkuh itu. Sudahlah mending cari yang lain.Rida sialan! Mengapa kau selalu memiliki yang aku inginkan? Mengapa hidupmu seberuntung itu.Arrgh!Kuacak rambut yang membuat penampilan seperti gembel tak mandi setahun. Iyalah sampai sore ini aku belum mandi. Sedang nyaman rebahan sebab perut mual, kepala pusing b