Bunyi baling-baling helikopter memenuhi udara, membawa Maura dan Raven menuju rumah sakit di mana ibunya terbaring koma. Langit yang mulai memudar menjadi oranye dengan semburat sinar cemerlang di kejauhan menciptakan suasana tenang, yang berbanding terbalik dengan suasana hati Raven yang kacau balau. Maura yang duduk di sebelahnya sesekali mencuri pandang pada wajah pria yang selalu tampak tak tergoyahkan itu, namun untuk hari ini sorot matanya tampak seolah dipenuhi oleh kebingungan. Raven menatap kosong ke luar jendela dengan pikiran yang melayang. Ia tidak tahu apa yang harus dirasakannya. Seumur hidup, ia telah belajar membenci ibunya. Wanita yang telah meninggalkannya dengan Santiago, seseorang yang tidak ragu untuk menyiksa dan telah memanfaatkannya kemampuannya. Tapi sekarang setelah mendengar kabar bahwa ibunya dalam kondisi kritis, perasaan yang lain mulai bermunculan, sesuatu yang tidak pernah ia sangka dan terasa aneh, yaitu rasa rindu yang tak terjelaskan.
Raven berdiri di depan pintu kamar rumah sakit dengan tangannya yang masih menggenggam erat jemari Maura. Ruangan di balik pintu itu terasa lebih dingin daripada koridor yang panjang dan sunyi yang baru saja mereka lewati. Di dalam sana terbaring sosok yang selama ini ia anggap sebagai salah satu sumber penderitaan dalam hidupnya. Ibu. "Raven, kita bisa melakukannya kapan pun kamu merasa sudah siap," Maura berkata pelan, menatap Raven dengan penuh pengertian. Raven mengangguk tanpa suara, lalu menarik napas panjang sebelum kemudian ia pun membuka pintu itu dengan perlahan. Begitu pintu terbuka, aroma khas antiseptik langsung menyerbu hidungnya. Di dalam ruangan itu hanya ada bunyi monoton dari mesin-mesin yang memonitor detak jantung dan pernapasan ibunya. Wanita yang pernah menjadi segalanya baginya, yang dulu ia cintai dan benci dalam ukuran yang sama, kini terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Kulitnya tampak pucat dengan wajah yang tirus. Ada alat bantu p
Tepat di depan mereka, ada sebuah api unggun yang menyala dengan sangat anggun dan indah, memancarkan cahayanya yang hangat. Di samping api unggun, ada selembar kain besar terbentang tak jauh, serta belasan bola lampu yang bertebaran di atas pasir. Tidak hanya itu, tapi ada juga sebuah tenda kemah berwarna putih yang estetik dengan dihiasi tirai lampu-lampu kecil serta bunga-bunga yang memberi sentuhan romantis pada malam yang gelap. Cahaya dari api unggun dan lampu-lampu kecil itu menciptakan pemandangan yang syahdu, kontras dengan lautan yang berkilauan di belakangnya. "Raven..." Maura menatap pria itu dengan bingung, tidak tahu harus berkata apa. "Ini... apa? Kenapa~~" Raven menoleh ke arahnya dengan memulas senyum samar. “Ini hadiah kecil dariku,” ucapnya dengan nada rendah. "Sebagai ucapan terima kasih untukmu. Untuk kehadiranmu, dan untuk selalu ada di sampingku." Maura pun terdiam. Hatinya tersentuh melihat apa yang ada di hadapannya. Gadis itu tidak pernah meng
Pagi itu, Maura terbangun dengan sinar matahari yang perlahan merayap melalui celah tenda putih, menciptakan kilauan lembut di atas pasir pantai. Suara ombak yang berdebur serta semilir angin yang menggoyangkan kain tenda membuat suasana terasa begitu tenang dan damai. Namun yang membuatnya benar-benar terbangun bukanlah situasi di tempat itu, melainkan sebuah sensasi lembut yang terasa di tubuhnya. Ia membuka matanya lebih lebar, dan melihat Raven yang sedang sibuk menikmati setiap senti kulitnya. Bibir pria itu sedang berada di perutnya, untuk mengecup dan menjilati sekeliling pusarnya. Maura terkikik geli saat merasakan gelitik halus ujung lidah Raven di sana, "Kamu sudah bangun?" bisik Raven dengan senyum lembut, tanpa menghentikan sentuhannya yang hangat. Maura merasa dislokasi untuk sesaat. Bingung melihat posisi mereka di dalam tenda putih yang asing baginya. Ia pun merasa takjub ketika baru benar-benar menyadari bahwa saat ini mereka tengah berada di tepi pan
Maura sedang duduk di depan meja rias. Jemarinya dengan lincah menyisir rambutnya yang hitam legam, sementara cermin di depannya memantulkan bayangan seorang wanita yang tampak anggun. Dengan hati-hati, ia memoleskan lipstik berwarna merah lembut di bibirnya. Namun pandangannya sedikit melamun, seakan pikirannya tengah melayang ke tempat lain. Di tempat tidur yang terletak tak jauh darinya, Raven berbaring dengan tenang sambil memandanginya. Mata tajamnya mengikuti setiap gerakan Maura, seolah-olah ia tak ingin melewatkan satu detik pun momen itu. Ada sesuatu yang memikat baginya ketika melihat Maura berdandan, meskipun ini bukan pertama kalinya ia menyaksikan pemandangan tersebut. Raven bergerak untuk bersandar di kepala ranjang, lalu dengan nada tenang tapi penuh rasa ingin tahu ia pun bertanya, "Kenapa Grindelwald? Kenapa kamu memilih kota itu?" Pertanyaan itu membuat Maura berhenti menyisir rambutnya untuk sejenak. Raven memang pernah menanyakan hal yang sama sebelum
Di tengah kerumunan bandara yang padat serta kilatan kamera dan mikrofon yang diarahkan kepadanya, Raven King berusaha tenang saat seorang reporter mulai menghujaninya dengan pertanyaan-pertanyaan. Di sampingnya ada Maura yang berdiri dengan wajah yang tersenyum, meski gugup juga jelas terlihat di sana karena sorotan perhatian yang begitu besar. Melakukan wawancara singkat adalah bagian dari tugas yang diberikan oleh Stefan, sebagai cara untuk menyampaikan kepada publik bahwa Raven masih tetap akan melanjutkan penulisan bukunya, meskipun sedang liburan. "Raven, apa Anda akan pergi ke Grindelwald hanya untuk liburan, ataukah ada agenda lain yang ingin Anda capai di sana?" tanya seorang reporter dengan nada antusias. "Grindelwald adalah tempat yang indah, dan tentu saja kami ingin menikmati suasananya. Namun ada juga hal-hal pribadi yang ingin aku selesaikan di sana. Moora dan aku sama-sama membutuhkan waktu untuk menjernihkan pikiran kami. Jadi, bisa dibilang ini adalah gabunga
Maura masih tertegun ketika pintu terminal VIP dibuka, dan seorang staf bandara menyambut mereka dengan senyum penuh hormat. Di depan matanya, sebuah pesawat pribadi yang mewah telah menanti. Manik beningnya pun seketika membesar dan jantungnya berdegup kencang. Ini lebih dari yang pernah ia bayangkan! “Ini… pesawat kita?” tanyanya pelan dengan maniknya yang membulat tidak percaya. Semula ia mengira akan menaiki pesawat komersil dengan posisi duduk di business class untuk sekelas Raven King yang kaya raya dan terkenal, bukannya malah menyewa seluruh pesawat! Raven yang berjalan di sampingnya pun menganggukkan kepala ringan. “Ya, ini pesawat kita," sahut Raven. "Perjalanan akan memakan waktu belasan jam. Jadi untuk waktu yang selama waktu itu, aku tidak ingin ada yang mengganggu," tuturnya sembari mengecup jari Maura yang ada di dalam genggamannya. Begitu mereka masuk, Maura disambut oleh interior pesawat yang mewah dan serba putih yang elegan. Sofa dari bahan kulit lembut
"Itu ibuku!" Maura berseru seraya menatap ke depan. Raven pun kemudian mencoba mengikuti arah pandangan Maura. Namun saat ia mencari sosoknya, tiba-tiba saja wanita berjaket merah itu berjalan menjauh dan menghilang di balik kerumunan turis yang sedang mengambil foto. Tanpa berpikir panjang, Maura pun segera berlari untuk mengejar. Meninggalkan Raven yang terpaku sejenak sebelum bergegas ikut menyusulnya. “Ibu!” Maura berteriak, berharap jika wanita itu akan mendengarnya. Langkah-langkahnya pun bergerak semakin cepat, berusaha keras menerobos kerumunan orang yang berjalan santai di jalur tepi tebing. “Tunggu!” Namun meskipun ia sudah berlari sekencang mungkin, sosok wanita itu terus bergerak lebih jauh dan membuat Maura mulai panik. Seluruh pikirannya dipenuhi dengan kebingungan. Jadi dugaannya ternyata benar! Ibunya ada di sini setelah menghilang dari hidupnya bertahun-tahun yang lalu, meninggalkan Maura dalam ketidakpastian dan luka batin yang mendalam. Saat Maura
Sore itu, Rhexton berdiri di ambang pintu kamar Maura. Ia mengetuknya pelan sebelum kemudian melongokkan kepala ke dalam. Maura sedang duduk di tempat tidur, tangannya sibuk menggulir layar ponsel sambil tersenyum samar, sepertinya membaca sesuatu yang menyenangkan. Tapi Rhexton tahu di balik tawa kecilnya, pasti ada rasa kesepian dan bosan karena Maura hanya menghabiskan hari-harinya di kamar. “Hai. Bagaimana kondisimu sore ini?" Maura mengangkat wajahnya untuk kemudian beradu tatap dengan manik kelabu serupa Raven. Seketika kerinduan pun kembali menyeruak batinnya, menggulirkan perih yang seolah mengiris kulitnya. Namun meskipun begitu, Maura pun tetap menyunggingkan senyum. "Aku baik. Kata dokter, kakiku akan segera sembuh," beritahu Maura. Rhexton berjalan mendekat untuk memeriksa kaki wanita itu, dan ia bernapas lega ketika melihat bengkaknya yang memang tampak mulai berkurang. Mungkin sekitar dua-tiga hari lagi barulah benar-benar akan sembuh. "Pasti kamu bosan, kan?
Maura membeku saat Rhexton mendadak menciumnya. Sentuhan itu datang begitu cepat dan begitu tiba-tiba, hingga otaknya butuh beberapa detik untuk memproses apa yang sedang terjadi. Bibir yang awalnya kaku perlahan merasakan tekanan yang semakin dalam dari bibir Rhexton. 'Tidak, ini tidak nyata', pikirnya. Tetapi sensasi lembut dan hangat di bibirnya itu membuktikan sebaliknya. Ini sungguh nyata. Ketika Maura mencoba untuk bergerak, Rhexton memegang erat bagian belakang kepalanya, membuatnya tak mampu menghindar. Kedua tangan Maura pun terangkat, berniat untuk mendorong tubuh pria itu menjauh. Tetapi Rhexton tidak bergeming sedikit pun. Pria itu seperti orang yang telah menahan diri begitu lama dan akhirnya menyerah pada dorongan hatinya. Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Maura. Ia mengerjap, merasakan panas yang mengalir di pipinya. Ia tidak menginginkan ini. Tidak seharusnya Rhexton menciumnya. Tapi ia juga tidak berdaya, kalah tenaga melawan genggaman kuat pria itu
Raven merasakan tubuhnya memanas, darahnya berdesir lebih cepat dari biasanya. Efek obat itu perlahan menguasainya, mengaburkan pikiran dan logikanya hanya dalam sekejap. Tapi seorang Raven King bukanlah pria biasa yang akan begitu mudahnya menyerah. Ia telah terlalu banyak bertarung dan berada di situasi under pressure, terlalu terlatih oleh Santiago yang membuatnya kuat sekaligus tak terkalahkan. Di balik tatapan kosong manik kelabunya itu, sesungguhnya otaknya tengah bekerja untuk mencoba mencari jalan keluar. Ia tahu satu hal pasti, bahwa wanita di depannya adalah kunci untuk kebebasannya. Wanita itu semakin mendekatkan wajahnya yang memulas senyuman penuh kemenangan. “Bagaimana rasanya, Raven? Menyerah pada sesuatu yang tak bisa kamu kendalikan?” Raven mengangkat wajahnya perlahan, menatapnya dengan mata yang tampak berkilat antara amarah dan gairah. Ia sengaja membiarkan tatapannya berkabut, seolah dirinya benar-benar telah terjerumus nafsu dan tak mampu mengontrol diri
"Selamat, Nyonya. Hasil tes kesehatan Anda cukup sudah keluar, dan semuanya normal. Anda sekarang sudah boleh pulang," ucap ramah seorang pria paruh baya berkacamata yang mengenakan jas putih dokter. Maura duduk di tempat tidur rumah sakit, wajahnya terlihat lebih segar meskipun tubuhnya masih terasa lemah. Ia mengucapkan terima kasih seraya tersenyum kecil saat dokter menyatakan bahwa ia sudah boleh pulang, setelah tiga hari dirawat di rumah sakit. Namun perasaan lega itu pun dengan segera berubah menjadi perasaan rikuh, ketika Rhexton tiba-tiba muncul dari balik pintu dan masuk ke dalam ruangan. Pria itu tersenyum dan menyapa sang Dokter, sambil menanyakan kondisi Maura. Raut wajahnya pun tampak gembira ketika mendengar kabar baik tentang kepulangan Maura. Untuk beberapa saat mereka masih berdiskusi, hingga akhirnya dokter pun permisi dan meninggalkan ruangan. “Aku akan menggendongmu ke kursi roda,” ujar Rhexton tegas dan tiba-tiba, tanpa sedikit pun memberi ruang kepada
Maura sedang duduk di depan laptop milik Raven, manik gelapnya terus menelusuri layar monitor dengan konsentrasi penuh. Jarinya dengan lincah bergerak di atas touchpad untuk membuka folder demi folder, dokumen demi dokumen, berharap menemukan secuil informasi yang bisa mengarahkan dirinya pada keberadaan tunangannya. Namun hampir dua jam berlalu dan hasilnya tetaplah nihil. Tidak ada dokumen mencurigakan, tidak ada pesan tersembunyi, tidak ada yang mengindikasikan alasan mengapa Raven menghilang tanpa jejak. Maura menghela napas pelan, kedua tangannya memijat pelipisnya yang berdenyut. Rasa frustrasi bercampur kelelahan perlahan-lahan menguasainya. Namun ia menolak menyerah. Ini bukan tentang dirinya lagi, tapi ini tentang Raven, pria yang begitu berarti baginya. “Aku harus menemukannya,” bisiknya lirih, seolah memberi dirinya semangat untuk terus berusaha. Ketukan di pintu mengalihkan perhatiannya. Maura menoleh, membiarkan beberapa detik berlalu sebelum menjawab. “
Maura duduk diam di kursi belakang mobil yang meluncur perlahan di jalanan gelap. Kepalanya bersandar pada jendela, mata menatap kosong ke luar. Lewis yang bertindak menjadi pengawal sekaligus supirnya, melirik dari kaca spion dengan ekspresi prihatin. Setelah beberapa saat hening, ia akhirnya bertanya. “Apakah ada informasi dari Tuan Tobias, Nona?” Maura menghela napas panjang sebelum menggeleng lemah. “Tidak ada. Dia tampak sama terkejutnya dengan aku soal hilangnya Raven. Bahkan aku bisa merasakan, di balik ketenangannya, dia sedang mencoba mencerna situasi ini.” Lewis mengangguk pelan, tatapannya kembali ke jalan di depan. "Dan bagaimana dengan Mansion itu? Apa ada hal lain yang mencurigakan?” Maura menarik napas, mencoba merangkai kata-kata. "Mansion itu sekarang ada di tangan Rhexton. Dia tinggal di sana dan... dia akan menjabat sebagai CEO King Enterprise. Tobias bilang, itu keputusan yang terbaik untuk saat ini.” Lewis menoleh sedikit, seakan memastikan bahwa
"Turunkan dia." Suara berat yang memberikan perintah itu terdengar menggema di ruangan gelap dan lembab yang kini bercampur aroma darah. Seorang pria tampak menganggukkan kepalanya, lalu perlahan menarik tuas yang yang terhubung dengan tali yang mengikat kaki pria yang sedang digantung terbalik itu. Suara berderik yang nyaring dari besi tuas yang berkarat terdengar bagaikan jeritan makhluk kegelapan yang di tengah keheningan ini. Pria yang digantung terbalik itu sejak tadi diam tak bergeming, bahkan ketika tubuhnya kini telah turun dan terbaring di atas lantai yang kotor dan basah. "Ah, rupanya dia pingsan," ucap si suara berat itu sambil menyentuhkan ujung sepatunya ke kepala pria yang diam terbaring di lantai. "Atau jangan-jangan... dia sudah mati?" cetus pria bersuara berat itu lagi. Pria bersuara berat itu membungkuk sedikit, memperhatikan tubuh yang tergeletak di lantai dengan mata menyipit tajam. "Hei, periksa dia. Pastikan dia masih bernapas. Kalau dia mati,
Tobias King duduk di sofa mewah dengan postur yang tenang, namun tatapannya tajam, menyelidik setiap detail dari sosok Maura. Gadis itu terlihat jauh lebih sehat dibandingkan terakhir kali ia tiba ke mansion ini bersama Helen, ibunya. Wajah Maura yang sebelumnya pucat pasi kini tampak lebih cerah, dengan rona halus di pipinya. Bahkan tubuhnya terlihat lebih berisi, seolah-olah telah melalui masa pemulihan yang cukup baik. Namun perhatian Tobias tidak hanya berhenti di situ. Pandangannya tertuju pada bagian perut Maura yang tertutup oleh atasan longgar, mungkin untuk menutupi kehamilannya. Sebuah pertanyaan pun seketika muncul di dalam pikirannya. 'Apakah Maura tahu bahwa kami pernah bertemu sebelumnya?' Tobias tersenyum kecil, sebuah senyum yang tidak sampai ke matanya. Saat terakhir kali Maura berada di mansion ini, kondisinya sangat kritis, bahkan nyaris tidak selamat. Rasanya tidak mungkin Maura mengingatnya, kecuali Raven yang menceritakan soal dirinya. Kalau pun Maura
Maura melangkahkan perlahan kakinya yang terasa berat perlahan ke dalam kamar, seolah beban emosionalnya turut membebani tubuhnya. Matanya yang sembab tampak masih merah karena air mata yang baru saja ia tahan di hadapan Lewis. Namun pemandangan di depan mata membuat napasnya tertahan sesaat. Ia menatap nanar pada nampan berisi segelas susu, beberapa kue, dan potongan buah tersaji rapi di atas meja kecil di dekat ranjang, "Raven." Nama itu pun seketika langsung terlintas di benaknya. Maura tahu, hanya Raven yang memiliki perhatian seperti ini. Tidak ada orang lain yang tahu kebiasaannya yang menyukai susu cokelat hangat disertai camilan ringan untuk menemaninya. Dengan tangan yang sedikit gemetar, Maura pun berjalan mendekati meja itu. Ia menyentuh gelas susu tersebut, tetapi rasa dingin segera merayap ke telapak tangannya. Susu itu telah lama berada di sini, kehangatannya telah hilang... sama seperti hatinya yang kini telah membeku karena kehilangan kehangatan yang