"Bapak mengancam?" tanya Mas Haris sambil menyeka keringat menggunakan saputangan, padahal jelas-jelas ruangan ini berpendingin udara dengan suhu enam belas derajat Celcius.
Dia memang akan berkeringat secara berlebihan jika sedang ketakutan. Aku paham betul itu, karena sudah belasan tahun mendampingi dirinya."Bapak tidak mengancam. Hanya memperingatkan!" tekan seraya menatap tajam."Oke, begini saja. Aku akan memberikan rumah yang sekarang ditinggali oleh Ambar dan juga mobil yang sedang dia pakai," usul lelaki berusia empat puluh tahun itu."Tidak. Itu belum cukup. Bapak maunya kamu menyerahkan segalanya!""Ya Tuhan... Sebenarnya yang anak Bapak ini siapa, sih? Aku, apa Ambar?""Bapak hanya membela yang benar. Walaupun yang anak kandung Bapak itu kamu, tetapi karena kamu salah Bapak tidak akan memihak.""Oke. Begini saja, bagaimana kalau semua aset yang aku miliki dibagi dua. Biar adil. Dulu pertama usaha memang menggunakan uang Ambar untuk modal, dan aku yang mengelolanya sampai menjadi maju dan berkembang seperti sekarang ini. Nggak adil, dong, kalau aku harus memberikan semuanya ke Ambar?"Nah, itu sadar kalau modalnya dari aku. Tapi kenapa malah lupa daratan? Mengkhianati orang yang sudah membantunya berjuang mulai dari nol hingga akhirnya menjadi jaya seperti ini."Bagaimana, Ambar?" Kini Bapak menatap wajahku serius."Aku setuju-setuju saja, asalkan dibagi secara adil dan hak asuh anak-anak sama aku. Sebab yang paling penting buat aku adalah anak-anak," jawabku mantap."Tidak bisa begitu, Ambar. Harta kita bagi dua, pun dengan anak-anak. Azriel sama kamu dan Syaqila sama aku!" Urat-urat di leher pria berwajah tampan namun telah memporak porandakan hatiku itu mulai terlihat menegang."Oke, kalau kamu mau Syaqila, berarti semua harta buat aku!" tantangku kemudian. Aku yakin Mas Haris tidak akan mungkin memilih anak daripada harta."Udah lah, Mas. Ngalah aja. Soal anak nanti kita bisa buat yang lucu-lucu. Nggak bandel-bandel kaya anak-anak kamu sekarang ini. Aku masih bisa ngasih kamu keturunan, kok!" sela Devi sambil menggamit tangan lelaki yang terlihat sedang berpikir itu tanpa rasa malu secuil pun.Harusnya mendengar ucapan Devi saat ini saja Mas Haris tahu kalau yang dia inginkan itu tidak lain adalah harta. Tapi yang namanya orang sedang dibutakan oleh cinta, yang salah pun tetap saja terlihat benar di matanya.Cukup lama ruang kerja Mas Haris diselimuti keheningan. Pria yang dulu selalu menjadi pelindung aku serta anak-anak itu masih terlihat berpikir, sambil sesekali menyeka keringat yang terus saja menyembul di dahi dan memijat pelipisnya.Hingga akhirnya dia memutuskan untuk memberikan hak asuh kedua buah hati kepadaku, dan dia memilih harta daripada anaknya.Menyakitkan mungkin jika salah satu diantara kedua anak-anak mendengarnya. Akan tetapi lebih baik memang jika anak-anak hidup bersamaku, karena aku tidak yakin kalau Devi akan menerima Syaqila di kehidupannya. Aku khawatir dia akan meracuni otak anak itu juga menyakitinya."Oke kalau begitu, biar aku hubungi pengacara untuk mengurus masalah ini, Mas!" kataku lagi."Pengacara? Buat apa? Semuanya sudah jelas, kan? Harta kita bagi dua, anak-anak sama kamu, pake acara bawa pengacara segala!" dengkus Mas Haris sambil menatap tajam wajahku."Buat antisipasi. Aku mau ada hitam di atas putih, dan membuat surat perjanjian kalau apa pun yang terjadi kamu tidak akan mengambil kembali apa yang sudah diberikan dan tidak akan mengambil anak-anak dariku.""Kamu nggak percaya sama aku, Ambar?""Memangnya kamu bisa dipercaya, Mas? Tidak bukan?""Shitt!!" Dia menatap murka. Pun dengan perempuan di sebelahnya yang terlihat tidak puas dengan keputusan yang Mas Haris ambil."Yasudah. Aku mau jemput Qila dulu. Sudah siang, takut dia terlalu lama menunggu. Kasihan!" ucapku seraya melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan lalu segera beranjak dari kursi, memutar badan meninggalkan ruang kerja Mas Haris tanpa berkata apa-apa lagi.Seluruh karyawan suami menatap iba ketika aku keluar dari ruangan tersebut. Mungkin mereka merasa kasihan kepadaku yang tiba-tiba saja dibuang oleh orang yang disayang.Menarik tuas pintu mobil, menghempaskan bokong secara perlahan di kursi kemudi lalu memejamkan mata, meremas dada yang terasa nyeri luar biasa.Tanpa bisa dibendung lagi buliran-buliran air hangat mengalir begitu saja melewati pipi. Aku berusaha untuk menahannya, akan tetapi air bah nan asin itu terus saja mendesak keluar.Meski di depan orang berusaha setegar karang, namun tetap saja hati ini rapuh dan terluka karena pengkhianatan suami.Ya Allah... Akhirnya pernikahan yang sudah dibina selama belasan tahun penuh dengan cinta, canda tawa juga air mata harus berakhir dengan perpisahan. Aku tidak pernah menyangka ini semua akan terjadi.Menghapus air mata, mengambil napas dalam-dalam, melonggarkan dada yang terasa seperti sedang dihimpit batu besar lalu membuangnya secara perlahan.Aku harus kuat. Tidak boleh terus meratap, karena itu hanya akan membuat diri ini lemah di hadapan mereka. Aku akan membuktikan kalau aku juga bisa hidup tanpa Mas Haris. Mungkin jodoh kami hanya sampai di sini, akhir cerita cinta harus berakhir seperti ini.Bismillah. Akan kurajut mimpi baru bersama anak-anak, berjalan lurus ke depan tanpa lagi menoleh ke belakang apalagi berbalik arah.***Syaqila sedang duduk di depan kelas bersama Caterina teman sekelasnya dan langsung menyunggingkan senyuman saat melihat aku datang. Aku segera merentangkan tangan, memeluk gadis kecil itu dan mencium puncak kepalanya dengan penuh cinta."Qila pikir Mama nggak akan jemput Qila," katanya sambil mendongak menatap wajahku."Mana mungkin Mama nggak jemput anak Mama yang cantik ini!" Menarik hidung Syaqila yang mancung, persis seperti ayahnya."Qila sayang sama Mama.""Mama juga lebih saaaayang sama Qila. Kita akan selalu bersama, dan Qila nggak akan pindah dari sekolah!""Apa Papa masih akan bersama kita juga?"Aku menoleh sambil menggigit bibir bawah. Haruskah aku mengatakan kepada dia kalau sang ayah telah memilih pergi dari kehidupan kami?"Ah, sepertinya belum waktunya Syaqila tahu. Biar saja kusembunyikan semua ini dari dia, dan akan kuberitahu nanti jika waktunya sudah tepat.***Hari ini, aku bersama mertua dan Mas Haris sudah berkumpul di ruang tamu untuk kembali membahas masalah pembagian harta. Sudah ada beberapa saksi, dan kami juga sudah membawa seorang pengacara.Setelah semua dihitung, Mas Haris akhirnya memberikan separuh tabungannya, rumah, mobil juga sepetak tanah yang dia beli dan niatnya akan dibangun ruko untuk membuka kantor cabang.Sedangkan Mas Haris, dia memilih perusahaan, separuh uang tabungan dan satu apartemen di kawasan Kalibata yang sekarang sedang ditinggali oleh dia juga gundiknya."Aku sengaja memilih perusahaan karena sangat yakin kamu tidak bisa mengurusnya. Kamu itu cuma punya keahlian di dapur dan di sumur doang. Jadi aku kasih lahan kosong supaya jika suatu saat kamu butuh uang tinggal dijual saja. Nggak perlu mikir untuk memajukan perusahaan.Jadi, jika nanti perusahaan aku sudah lebih maju, kamu tidak berhak meminta bagian lagi, karena kamu sudah tidak ada hak. Aku juga menjatuhkan talak yang ke dua untuk kamu, dan tolong segera urus perceraian kita. Seharusnya harta gono-gini itu dibagi setelah majelis hakim memutuskan ikatan pernikahan kita. Tetapi karena aku ini orang baik, aku membaginya dari sekarang!" ucap Mas Haris tanpa rasa bersalah sama sekali."Baik kalau begitu. Tapi walaupun kita sudah berpisah, kamu masih punya kewajiban menafkahi anak-anak setiap bulannya. Kamu tidak boleh sampai lalai!""Nggak bisa gitu, dong. Enak saja. Harta sudah dibagi dua, tapi kamu masih menuntut nafkah. Dasar perempuan serakah!" protes Devi murka."Diam kamu, Devi!!" sentak Bapak sambil menggebrak meja."Oke. Aku akan tetap menafkahi anak-anak sampai mereka lulus kuliah," ucap Mas Haris kemudian."Mas? Kamu jangan gila dong?" Devi masih saja memprotes. "Kalau kamu masih memberikan uang sama anak-anak kamu, bagaimana dengan jatah aku dan keluarga aku. Aku nggak mau kalau uang bulanan aku sampai berkurang!""Tolong kamu diam dulu, Dev. Jangan bikin aku tambah pusing!" bentak Mas Haris pada selingkuhannya, membuat perempuan perebut laki orang itu mendengkus kesal."Kamu lihat, Haris, belum apa-apa saja dia sudah seperti itu. Bagaimana nanti kalau kalian sudah menikah? Apa kamu tidak bisa melihat keburukan yang selalu dia tunjukkan?" Bapak bertanya seraya menunjuk wajah Devi.Mas Haris hanya diam membisu, menundukkan kepala tanpa lagi menjawab ucapan Bapak. Entah dia sedang berpikir dan mulai sadar kalau Devi hanya menginginkan hartanya saja, atau hanya karena malas berdebat dengan Bapak aku tidak tahu."Urusannya sudah selesai 'kan? Sekarang sebaiknya kita pulang, Mas. Aku malas berada di rumah ini terus!" sungut Devi seraya beranjak dari sofa dan menarik tangan Mas Haris tanpa memberi izin mantan suamiku untuk berpamitan kepada ibu dan bapak.Aku hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkahnya, pun dengan mertua. Mata dan hati Mas Haris sudah benar-benar buta karena cinta, sampai tidak bisa melihat keburukan yang selalu Devi tunjukkan."Astaghfirullahaladzim... Sebenarnya setan apa yang merasuki Haris sampai dia menjadi seperti itu, Bu. Bapak doakan semoga saja usahanya bangkrut dan dia merasakan seperti apa sakitnya dibuang oleh orang yang dia sayang, agar bisa merasakan apa yang dirasakan oleh Ambar saat ini!" ucap Bapak membuat pandangan kami semua tertuju kepadanya."Ya Allah, Pak. Jangan nyumpahin anak seperti itu. Nggak baik. Sebaiknya Bapak doakan semoga Allah segera membuka pintu hatinya dan mengubah sikapnya yang buruk itu. Doa orangtua itu langsung didengar dan dikabu
"Breng-sek kamu, Ambar. Teman sendiri lagi kesusahan malah nggak mau nolongin. Awas saja, aku adukan kamu nanti sama Mas Haris, biar dia mengambil kembali apa yang sudah diberikan!" teriak Devi sambil terus mengusap wajahnya yang sudah terlihat seperti monster."Maaf, Devi. Untuk kali ini aku tidak lagi mau membantu kamu. Kapok. Kamu itu kan ditulung malah mentung!" ujarku sambil mengayunkan kaki meninggalkan selingkuhan suami yang masih berada di dalam kubangan.Pun dengan Azriel yang langsung masuk ke dalam dengan terburu-buru."Ada apa, Bang? Kok kamu balik lagi? Ada yang ketinggalan?" tanyaku sambil menghampiri si sulung di kamarnya."Ada tugas aku yang ketinggalan, Ma. Makanya aku balik lagi ambil tugas ini, kebetulan juga jam pelajaran masih sepuluh menit lagi," jawabnya sambil melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya lalu mencium pipi ini dan segera pergi.Aku terus menatap punggung anak laki-lakiku yang semakin beranjak besar, bahkan sekarang menggantikan po
"Hus! Hus! Hus! Pergi dari sini, jangan kotori persaudaraan kami!" Mbak Rika mengibas-ngibaskan tangan mengusir Devi dari hadapan kami."Tapi, Jeng? Aku ini..." Perempuan ulet keket itu masih bersikeras untuk bergabung."Sudah kami bilang kalau kami tidak menerima pelakor di tengah-tengah kami! Ini itu circle-nya wanita baik-baik, bukan perebut laki orang seperti kamu!" potong Mbak Rianti semakin terlihat emosi."Kalian akan menyesal sudah nolak aku di sini. Aku akan mengadukan kalian sama Mas Haris biar dia memutuskan kerjasama dengan suami-suami kalian!" ancam Devi sambil menghentakkan kaki dan pergi meninggalkan kami.Beberapa orang yang ada di acara arisan langsung mendekatiku, memeluk serta memberikan kata-kata motivasi supaya aku kuat menghadapi pelakor seperti dia."Saya juga akan mengandukan perselingkuhan Pak Haris ke suami saya supaya dia dikasih pelajaran. Mbak Ambar nggak keberatan kan, kalau saya memberitahu suami tentang hal ini?" ujar Mbak Rianti. Dia adalah istri dari
"Dasar anak se*an. Awas saja kamu Azriel. Saya tidak akan melepaskan kamu!" ancam Mas Haris seraya berusaha bangun, mengusap sudut bibirnya yang mengeluarkan sedikit darah lalu berjalan gontai meninggalkan kamar.Napas Azriel masih naik turun tidak beraturan menahan emosi. Aku terus memeluk tubuhnya, menumpahkan air mata sambil tidak henti-hentinya mengingatkan dia untuk mengucap istighfar.Tidak lama kemudian Syaqila berlari masuk dan menghambur ke dalam pelukan, ikut menangis sambil mendekap erat pinggang ini."Qila takut, Mama," lirihnya dengan suara bergetar."Qila nggak usah takut. Ada Abang yang akan melindungi Qila dan Mama dari si Haris breng-sek itu!" sungut si sulung masih dengan nada meninggi, bahkan sekarang malah memanggil ayahnya tanpa embel-embel papa."San, tolong ambilkan minum buat abang!" titahku kepada Sani yang tengah berdiri di muka pintu dengan mata sudah berembun. Sepertinya dia juga ketakutan melihat kelakuan mant
"Sialan si Azriel. Disekolahin tinggi-tinggi tapi malah berani melawan orang tua. Ini pasti ajaran si Ambar yang gagal mendidik anak!" Aku mencengkram kemudi hingga buku-buku tanganku memutih. Kesal, marah, emosi karena perbuatan putra sulungku yang sudah berani menghajarku hingga babak belur.Memangnya salah kalau aku masih menggauli ibunya. Toh, baru jatuh talak dua. Masih bisa rujuk jika aku mau merujuknya. Dasar Ambar sok suci, pura-pura nolak, padahal dalam hati begitu menginginkan sentuhan lelaki.Mobil kulajukan dengan kecepatan tinggi membelah jalanan kota, tidak perduli dengan suara klakson kendaraan lain yang mungkin memperingatkan aku untuk hati-hati dalam mengemudi. Amarahku saat ini sedang meninggi dan sulit terkendali, mengingat apa yang sudah dilakukan anakku sendiri di rumah tadi.Arghh! Sialan. Awas saja kamu Ambar. Aku pastikan hidup kamu akan hancur perlahan, dan kamu akan mengemis untuk kembali kepadaku.Dasar peremp
Esok harinya, sesuai janji aku mengajak Devi ke sebuah showroom mobil tidak jauh dari apartemen. Wajah sang penghuni relung hati terlihat berbinar bahagia saat melihat-melihat koleksi mobil yang harganya membuat dada ini hampir tidak bisa bernapas itu.Namun demi cinta yang tengah membara dalam dada, apa pun akan kulakukan demi dia, meski harus menghabiskan uang tabuhan dan mengorbankan rumah tangga yang sudah belasan tahun dibina.Aku mencintai dia lebih dari apa pun di dunia ini, dan bahkan jika nyawa yang dia minta mungkin akan kuberikan juga.Bukannya terlalu berlebihan. Tetapi entahlah, semenjak bertemu dengan dia di acara anniversary perusahaan aku merasa jiwa mudaku kembali bergelora. Aku langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Padahal, dulu-dulu ketika Ambar memperkenalkan dia sebagai sahabatnya aku tidak pernah memiliki perasaan apa-apa.Hingga akhirnya Devi menghampiri, meminta bertukar nomer ponsel dan dia sering meminta pertolong
Suasana kantor terlihat sudah ramai lalu lalang karyawan karyawati seperti biasa. Aku segera memarkirkan mobil di tempat parkir khusus yang disediakan untukku, kemudian lekas turun sambil bersiul-siul mengungkapkan kebahagiaan dalam hati, karena sepertinya hari ini adalah hari keberuntunganku. Aku akan bertambah kaya raya dan sukses setelah berpisah dengan si Ambar.Kemarin banyak yang bilang kalau aku akan menyesal karena sudah berani menyakiti hati wanita yang sudah menemani hidupku mulai dari nol dan lebih memilih untuk mempertahankan Devi, dan katanya hidupku akan menderita karena pengkhianatan yang kulakukan. Buktinya sekarang, aku akan bertambah sukses dan kaya raya sebab proyek besar yang rencananya akan dikerjakan dua atau tiga bulan lagi malah sekarang sudah berada di depan mata.Duduk di kursi singgasana, memanggil office boy menyuruhnya untuk membuat secangkir kopi capuccino serta membelikan sarapan di kantin. Perut sudah terasa keroncongan karena belum diisi apa pun sebelu
Aku menelan saliva dengan susah payah. Mimpi apa semalam karena pagi-pagi seperti ini malah mendapat kabar buruk dari Pak Andika. Aku pikir dia datang untuk mempercepat kerjasama, eh, malah mutuskan kontrak kerjasama secara sepihak. Apes banget. Pusing kalau sudah seperti ini. Mana angsuran banyak, Devi juga semakin sering meminta transferan."Bapak yakin alasannya hanya karena itu? Apa jangan-jangan Bapak memutuskan kerjasama kita atas permintaan Bu Rianti?" pungkasku, karena tiba-tiba teringat kalau Devi pernah melihat Ambar sedang bersama dengan istri Pak Andika."Itu salah satunya juga!" jawabnya dengan enteng. Dasar suami takut istri. Nggak profesional. Masa menyangkut pautkan masalah pribadi dengan masalah perusahaan?"Pak, semua yang dikatakan Bu Rianti itu tidak benar. Saya tidak pernah selingkuh dengan siapa pun. Saya ini tipe laki-laki setia dan penyayang. Masa iya saya berani mengkhianati cinta istri saya yang sudah menemani saya dari nol!" "Itu Bapak sadar kalau istri Bap
Mengambil gawai, Haris segera menghubungi ibu mertua Roy, memberitahu kabar kematian menantunya serta meminta wanita itu mengabari para tetangga di kompleks tempat tinggal Roy supaya ketika jenazah pria berusia tiga puluh enam tahun itu tiba semua sudah disiapkan. “Itu sudah bukan urusan saya. Roy mau maninggal, mau ke mana, saya sudah tidak ada lagi urusan dengan dia. Kemarin saja waktu sehat dia nggak ingat sama saya, sekarang udah nggak ada malah saya yang suruh repot. Enggak! Enggak! Saya sudah tidak mau lagi berurusan dengan yang namanya Roy!” Tiba-tiba sambungan telepon terputus secara sepihak, membuat Haris menyentak napas kasar lalu mau tidak mau menghubungi Azriel untuk mengabari ketua Rukun Tetangga di kompleks tempat tinggal Roy bahwa salah satu warganya telah tiada. Setelah jenazah dimasukkan ke dalam ambulans, Ambar masuk ke dalam kamar Jasmine, menerbitkan senyuman kepada gadis itu lalu duduk di sebelahnya. “S
“Yasudah kalau begitu saya permisi dulu, Pak!” pamit dokter seraya mengalungkan stetoskop di lehernya.Haris menghela napas dalam-dalam lalu membuangnya secara perlahan. Ia kemudian beranjak dari kursi panjang, menatap sahabatnya yang tengah terbaring di atas ranjang dengan kabel elektroda menempel di dada serta ventilator di hidungnya. Suara monitor detak jantung bagai alunan lagu kematian membuat Haris merasa takut kehilangan sahabatnya, terlebih lagi akhir-akhir ini ada rasa benci bertengger di hati karena Roy memiliki perasaan spesial terhadap mantan istrinya.“Kamu harus kuat, Roy. Demi Jasmine juga Ambar,” gumamnya dalam hati, kedua bulat bening pria itu tidak lepas dari wajah Roy, terus merapalkan doa meminta kepada Sang Maha Pencipta agar lekas mengangkat penyakit yang sedang dirasakan oleh sahabatnya juga memberikan dia kekuatan untuk tetap bertahan.Setelah itu Haris pergi ke kamar Ambar, ingin melihat keadaan mantan istrinya dan t
Roy menggelengkan kepala sambil menghela napas, merasa tidak enak hati kepada wanita yang masih teramat dia cinta itu.“Maafin sikap anak aku ya, Ambar. Dia masih labil jadi gampang marah ketika apa yang diinginkannya tidak bisa didapatkan,” ucap Roy, merasa tidak enak hati kepada ibunda Azriel.“Nggak apa-apa, Mas. Aku ngerti kok. Aku juga minta maaf karena sudah menolak pinangan kamu. Tolong bilang ke Jasmine kalau aku sangat sayang sama dia dan akan tetap menjadi mamanya dia walaupun kita tidak bisa bersama.”“Nggak usah bahas masalah itu lagi. Mungkin kita memang tidak berjodoh. Kalau kita berjodoh, apa pun yang terjadi pasti Allah akan mempersatukan kita.” Bibir plum Roy melekuk senyum menutupi luka yang menganga di dada. “Yasudah aku permisi mau pulang dulu. Sudah sore soalnya,” pamit Ambar.“Kamu pulang sama siapa?”“Anak-anak.”“Loh, bukannya kalian ke sini naik motor? Mau bonc
“Baik nanti saya sampaikan sama Azriel kalau dia sudah sampai di pesantren. Soalnya sekarang dia sedang kuliah.” Gus Fauzan menjawab dengan suara serak, merasa sedikit cemburu karena orang yang dia kagumi akhirnya akan segera melabuhkan cintanya kepada Roy.Berkali-kali dia beristigfar dalam hati, memohon agar Tuhan segera mencabut rasa yang tertinggal agar tidak ada lagi dosa yang ia dapatkan karena terus menerus memikirkan wanita yang tidak halal baginya.Setelah mendengar kabar kalau ibunya dilamar oleh teman ayahnya, Azriel tidak langsung menghubungi sang bunda dan menyetujui lamaran tersebut. Dia terus berpikir apakah nanti ibunya akan bahagia jika kembali membina biduk rumah tangga, ataukah akan kembali menelan pil kecewa karena dikhianati oleh pasangannya. Jujur untuk saat ini sang pemilik rahang tegas lebih merasa nyaman melihat ibunya hidup sendiri dan hanya fokus kepada anak-anaknya tanpa kembali memiliki pendamping hidup.
"Karena hanya kamu yang mampu menyematkan cinta di dalam dada setelah sekian lama aku menduda.""Dih, sok puitis!"Roy terkekeh. Binar bahagia terpancar jelas di wajah penuh kharisma laki-laki itu, apalagi ketika melihat ekspresi Ambar yang tidak lagi sedingin saat pertama kali mereka datang ke tempat tersebut. Keceriaan kembali diperlihatkan oleh ibunda Azriel serta Syaqila, mimik wajah yang selalu membuat Roy merasakan rindu jika beberapa saat tidak bertemu.Tidak lama kemudian pelayan kedai datang membawa empat mangkuk bakso, mempersilakan mereka untuk menikmati dan baik Ambar maupun anak-anak segera menyantap makanan yang terbuat dari daging giling berbentuk bulat tersebut tanpa lagi berbicara.Selesai makan-makan, seperti janjinya Roy mengajak anak-anak untuk ke mal juga menonton, membuat Jasmine serta Syaqila bersorak kegirangan saking senangnya.Roy membayangkan kalau saat ini mereka sudah benar-benar
Hari Minggu, dengan alasan Jasmine ingin bertemu Roy mendatangi kediaman Ambar, menemui perempuan yang akhir-akhir ini membuat dia tidak bisa memejamkan mata, ingin melepas rindu yang terus saja membelenggu kalbu.Roy sangat ingin sekali segera mempersunting Ambar setelah tahu Gus Fauzan mundur dari pertempuran, menjadikan ibu dua anak itu sebagai kekasih halalnya juga ibu sambung Jasmine yang memang selama ini terus saja mendamba dia menjadi ibunya.Namun, lagi dan lagi nyalinya menciut ketika bersitatap dengan Ambar, terlebih lagi jika diperhatikan perempuan dengan wajah keibuan itu seperti mulai menghindar."Ambar, kita ajak jalan anak-anak lagi, yuk! Makan bakso atau apa kek? Kaya tempo hari. Iya nggak anak-anak?" ajak Roy seraya menoleh ke arah Jasmine juga Syaqila yang terlihat sedang sibuk mengerjakan pekerjaan rumah mereka."Iya, Ma. Aku juga bosen di rumah terus," rengek putri sulungnya, memasang wajah manja seolah mendukung kedekatan Roy dengan Ambar."Tapi Mama masak, Dek.
Pagi-pagi sekali, seperti biasa Ambar sudah berjibaku dengan pekerjaannya di dapur menyiapkan sarapan untuk dia juga anaknya. Mata dengan iris coklat itu mengembun ketika menatap kursi tempat biasa Azriel duduk dan sekarang dalam keadaan kosong. Rasa rindu seketika menelusup ke dalam kalbu, membuat dia ingin segera kembali bertemu dengan si sulung walau belum dua puluh empat jam mereka berpisah.Bel rumah terdengar berbunyi nyaring. Syaqila yang sedang membantu ibunya segera mengayunkan kaki menuju ke halaman, dan senyum gadis berusia sebelas tahun tersebut terkembang lebar kala melihat Jasmine datang bertamu ke rumahnya."Mama Ambarnya ada?" tanya Jasmine sambil melongok ke belakang teman sekolahnya, mencari keberadaan wanita yang sudah membuat dia merasa nyaman bahkan terus berharap kalau Ambar bisa menjadi ibu sambungnya."Lagi masak di dapur, ayo masuk, kamu sama siapa?""Sendiri.""Kok nggak sama Om Roy?""Ayah lagi ke luar
POV Author.Gus Fauzan menatap pintu rumah Ambar yang sudah tertutup, mengusap wajah gusar seiring rasa sesak yang mengimpit dada.Sebenarnya dia ingin sekali menikahi ibu beranak dua itu, akan tetapi ada perasaan tidak tega melihat Jasmine memohon sambil menangis di hadapannya. Dan sekarang, ketika dia memutuskan untuk membatalkan khitbah, justru ia malah menyakiti hati orang yang ia kagumi, sebab Ambar merasa dipermainkan olehnya."Apa keputusan Abi sudah mantap?" tanya Salman saat melihat sang mertua terus saja melamun dengan wajah memerah seperti menahan tangis."Insyaallah ini yang terbaik untuk kami semua, Man. Abi tidak mau menyakiti hati Jasmine. Dia begitu mendambakan figur seorang ibu seperti dek Ambar." Gus Fauzan menjawab dengan suara serak."Tapi apa Abi tidak memikirkan perasaan Abi sendiri, juga perasaan Mbak Ambar?"Terdengar helaan napas berat. Gus Fauzan kembali mengusap wajah, mencoba menepis bayang wajah Ambar meskipun senyuman wanita itu terus saja menari dalam ba
Aku menghela napas dalam-dalam, berusaha melonggarkan dada yang terasa seperti sedang terimpit batu besar, lalu membuangnya secara perlahan menatap penuh bimbang mantan suami yang tengah menangis sendirian.Urusan dengan Gus Fauzan belum selesai, sekarang malah ditambah Mas Haris yang masih berharap bisa rujuk dan mengurus anak bersama-sama lagi seperti dulu. Apa yang harus aku lakukan, Tuhan. Aku tidak mau menyakiti hati seorang pun, karena aku juga pernah merasakan seperti apa rasanya terluka.Jika menolak pinangan Gus Fauzan dan kembali kepada Mas Haris sudah pasti akan ada satu hati yang tersakiti. Pun dengan sebaliknya.Ya Allah ... Sungguh dilema semakin melanda hati ini. Semoga apa pun keputusan yang aku ambil nanti menjadi jalan yang terbaik untuk semuanya.Memutar badan perlahan, mengambil tas yang sejak tadi tergeletak di atas kursi kemudian menghubungi Azriel melalui sambungan telepon."Ada apa, Mam? Aku ada di dapur