Ibu mertua memelukku erat sambil menangis, sementara Bapak segera menghampiri laki-laki yang baru saja menalakakku dan menamparnya di depan semua orang.
"Tidak tahu diri kamu, Haris. Kacang lupa kulitnya, tidak tahu malu dan tidak tahu balas budi. Apa kamu lupa, kamu bisa seperti ini itu karena siapa? Karena Ambar. Kalau bukan karena dia, kamu itu bukan siapa-siapa. Mungkin kamu masih menjadi karyawan biasa yang gajinya tidak pernah dibayar secara tepat waktu oleh bos kamu dan harus putar otak jika waktunya bayar kontrakan dan bahan pokok habis semua.Sekarang, setelah sukses dan punya segalanya, kamu mau membuang Ambar? Kalau kamu mau pisah dari dia, lepaskan semua kemewahan yang kamu punya, sebab ini semu milik Ambar. Dia yang mengeluarkan modal, sedangkan kamu hanya mengelola saja!" rutuk bapak mertua panjang lebar, membuat wajah Mas Haris memerah padam. Mungkin dia malu dikata-katai seperti itu oleh bapaknya sendiri di depan para karyawan."Pak, kita bisa bicarakan masalah ini baik-baik di dalam ruangan aku. Nggak usah teriak-teriak di sini, malu dilihat banyak orang," saran ayahnya anak-anak sambil memegang lengan Bapak."Malu? Kamu masih punya rasa malu juga toh? Bapak pikir urat malu kamu sudah putus karena berani bermesraan dengan perempuan yang bukan mahram kamu di depan umum, bahkan rela menjatuhkan harga diri orang yang sudah mengangkat kamu dari kubangan kemiskinan di depan banyak orang. Bapak yang seharusnya malu punya anak seperti kamu, Haris!" Laki-laki berusia lebih dari setengah abad itu menunjuk wajah putranya. Murka, itulah yang dia rasakan saat ini sepertinya."Tapi aku mencintai Devi, Pak. Dia yang bisa memberikan aku kenyamanan saat ini. Aku bosan sama Ambar yang hobi mengatur dan begitu cerewet!" sanggah pria yang sudah membersamaiku selama delapan belas tahun membela selingkuhannya."Itu bukan cinta. Tapi napsu. Coba kalau kamu bisa melawan hawa nafsu dan memperkuat iman, pasti kamu tidak akan tergoda dengan perempuan lain. Dan kamu, Devi, apa kamu lupa ketika kamu sekarat dan hampir saja mati, menantu saya lah yang menolong kamu, menyumbangkan darahnya, membiayai pengobatan kamu sampai sembuh, sekarang giliran sudah sehat kamu malah menggerogoti kebahagiaan anak menantu saya secara perlahan. Kamu sama Haris itu memang sebelas dua belas. Sama-sama tidak tahu diri dan tidak tahu berterima kasih!""Kalau Ambar nggak rela donorin darah ke saya tinggal sedot saja lagi. Soal uang, berapa total yang dikeluarkan sama Ambar waktu itu, tinggal dihitung saja, nanti saya ganti!" Dengan nada menyombong Devi berkata seperti itu kepada Bapak."Bayar pakai apa? Duit Haris? Duit Haris itu duitnya Ambar juga!""Pak, ayo masuk ke ruangan aku. Jangan terus permalukan aku hanya demi Ambar. Dia itu bukan siapa-siapa Bapak. Aku sudah menjatuhkan talak kepadanya, dan itu artinya dia sekarang sudah menjadi orang lain!" Mas Haris menarik tangan Bapak masuk ke dalam ruang kerjanya, dan aku serta ibu mertua lekas mengikuti dari belakang.Mas Haris memang sudah keterlaluan. Demi wanita yang hanya mencintai hartanya dia rela mengorbankan apa yang sudah dibangun selama belasan tahun, melupakan semua yang telah dilewati bersama. Untung saja aku masih memiliki mertua yang baik dan berpihak kepadaku. Setidaknya masih ada tempat bernaung serta menumpahkan segala lara yang tengah merajam dada.Selama tabayun berlangsung, ibu terus merangkul pundakku, sementara tangan satunya tidak henti-hentinya mengusap air mata.Sedangkan Mas Haris, dia terus saja bersikeras kalau dia tidak bersalah dan akulah yang salah dalam masalah ini. Katanya, dia melakukan itu karena aku tidak bisa mengurus keluarga dengan baik. Aku terlalu monoton dan tidak bisa menyenangkan dia."Oke, sekarang begini saja, Haris. Kamu sudah menalak Ambar, itu tandanya baru jatuh talak satu kepada istri kamu. Bapak ingin memberikan pilihan, apa kamu masih mau memperbaiki hubungan dan meninggalkan Devi, atau pisah tapi seluruh kekayaan kamu diberikan kepada Ambar karena itu memang haknya dia. Terserah kamu mau pilih yang mana!" Bapak memberi Mas Haris dua pilihan."Aku milih mundur, Pak. Maaf. Aku tidak bisa melanjutkan pernikahan ini,"timpalku dengan suara bergetar menahan lara di dada. Akhirnya cerita cinta yang sudah dibina selama delapan belas tahun ini akan bermuara pada perpisahan.Tetapi sepertinya itu memang yang terbaik untuk kami. Walau berat aku rasakan, namun aku yakin tidak akan menghadapi kesakitan ini sendiri. Masih ada anak-anak yang selalu menguatkan. Mereka berdua sayapku, sumber kekuatanku, dan karena mereka berdualah aku memilih mengakhiri hubungan ini."Bapak dengar sendiri kan? Justru Ambar yang tidak mau kembali sama aku. Dia saja cukup tahu diri kok. Untuk apa Bapak memaksa!" sela Mas Haris disertai seringai puas oleh gundiknya."Ambar, apa kamu yakin dengan keputusan kamu, Nak?" tanya Ibu dengan intonasi sangat lembut, aku lihat di kedua sorot matanya, tersimpan rasa kecewa teramat dalam yang berusaha disembunyikan."Iya, Bu. Ambar sudah yakin seratus persen!" Lugasku."Apa kamu sudah tidak mencintai Haris?""Soal cinta, seiring berjalannya waktu perlahan akan terkikis dan habis. Aku tidak mau kembali jatuh jika mempertahankan dia. Mas Haris sudah pernah berkhianat bahkan sampai berbuat zina, dan aku sangat yakin suatu saat dia juga akan mengulangi perbuatan yang sama.""Berzina?" Kedua orangtua Mas Haris terkesiap dengan kelopak membola mendengar pengakuan dariku."Iya, Bu. Mereka sudah sering melakukannya, dan bahkan Maura pernah mendapat teguran dari sekolah karena tanpa sengaja menonton video menjijikkan yang direkam oleh mereka berdua!" beberku lagi."Astaghfirullahaladzim... Ya Allah, Haris..." Ibu menangis tersedu, sementara Bapak masih diam terpaku juga syok mendengar ceritaku.Bukannya sengaja menelanjangi suami di depan orangtuanya, tetapi aku juga pasti akan dipaksa untuk tetap mempertahankan rumah tangga ini jika tidak membela diri."Semu itu fitnah, Bu, Pak. Itu karangan Ambar saja. Dia itu suka memutar balikkan fakta!" sanggah Mas Haris lagi, sambil menunjuk-nunjuk wajahku."Aku punya bukti, Mas." Menyodorkan ponsel, menunjukkan video yang sempat aku transfer dari memory card calon milik mantan suami ke ponsel milikku.Bapak menggelengkan kepala, bahkan sampai menitikkan air mata kala melihat apa yang sudah dilakukan putra satu-satunya itu."Kalau begitu Bapak tidak akan memaksa kalian untuk kembali bersama. Sepertinya keputusan Ambar untuk tidak mempertahankan rumah tangga kalian memang sudah tepat.""Yasudah kalau begitu, sekarang sebaiknya kalian bubar. Aku ada meeting sama klien penting. Jangan sampai gara-gara masalah ini aku sampai kehilangan proyek besar, sebab itu bisa merugikan perusahaan.""Perusahaan ini bangkrut juga Bapak tidak perduli. Bapak lebih baik melihat kamu kembali miskin tapi tahu diri, daripada kaya tapi lupa daratan!""Nggak usah sumpah serapah, Pak! Sekarang sebaiknya Bapak pulang.""Bapak tidak akan pergi sebelum kamu memberikan haknya Ambar dan anak-anak. Kamu harus mengembalikan semua milik Ambar dan silakan hidup bersama perempuan tidak tahu malu itu. Bapak pengen liat, kalau kamu miskin, apa dia masih mau sama kamu?""Tapi semua yang aku miliki sekarang ini didapat dari hasil jerih payah aku sendiri. Bukan karena Ambar!""Kamu lupa modal usaha kamu itu dari dia!""Aku akan mengembalikan modal itu!""Terserah kamu, Haris, kamu akan memberikan apa yang seharusnya menjadi milik Ambar, atau Bapak akan melaporkan kasus perzinaan kamu ke kantor polisi. Bukti sudah ada, saksi juga banyak. Kamu juga sudah melakukan tindak kekerasan kepada Azriel. Itu akan menambah berat hukuman kamu!" ancam Bapak membuat wajah anak lelakinya mendadak pucat pasi."Bapak mengancam?" tanya Mas Haris sambil menyeka keringat menggunakan saputangan, padahal jelas-jelas ruangan ini berpendingin udara dengan suhu enam belas derajat Celcius.Dia memang akan berkeringat secara berlebihan jika sedang ketakutan. Aku paham betul itu, karena sudah belasan tahun mendampingi dirinya."Bapak tidak mengancam. Hanya memperingatkan!" tekan seraya menatap tajam."Oke, begini saja. Aku akan memberikan rumah yang sekarang ditinggali oleh Ambar dan juga mobil yang sedang dia pakai," usul lelaki berusia empat puluh tahun itu."Tidak. Itu belum cukup. Bapak maunya kamu menyerahkan segalanya!""Ya Tuhan... Sebenarnya yang anak Bapak ini siapa, sih? Aku, apa Ambar?""Bapak hanya membela yang benar. Walaupun yang anak kandung Bapak itu kamu, tetapi karena kamu salah Bapak tidak akan memihak.""Oke. Begini saja, bagaimana kalau semua aset yang aku miliki dibagi dua. Biar adil. Dulu pertama usaha memang menggunakan uang Ambar untuk modal, dan aku yang mengelolanya sampai m
"Urusannya sudah selesai 'kan? Sekarang sebaiknya kita pulang, Mas. Aku malas berada di rumah ini terus!" sungut Devi seraya beranjak dari sofa dan menarik tangan Mas Haris tanpa memberi izin mantan suamiku untuk berpamitan kepada ibu dan bapak.Aku hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkahnya, pun dengan mertua. Mata dan hati Mas Haris sudah benar-benar buta karena cinta, sampai tidak bisa melihat keburukan yang selalu Devi tunjukkan."Astaghfirullahaladzim... Sebenarnya setan apa yang merasuki Haris sampai dia menjadi seperti itu, Bu. Bapak doakan semoga saja usahanya bangkrut dan dia merasakan seperti apa sakitnya dibuang oleh orang yang dia sayang, agar bisa merasakan apa yang dirasakan oleh Ambar saat ini!" ucap Bapak membuat pandangan kami semua tertuju kepadanya."Ya Allah, Pak. Jangan nyumpahin anak seperti itu. Nggak baik. Sebaiknya Bapak doakan semoga Allah segera membuka pintu hatinya dan mengubah sikapnya yang buruk itu. Doa orangtua itu langsung didengar dan dikabu
"Breng-sek kamu, Ambar. Teman sendiri lagi kesusahan malah nggak mau nolongin. Awas saja, aku adukan kamu nanti sama Mas Haris, biar dia mengambil kembali apa yang sudah diberikan!" teriak Devi sambil terus mengusap wajahnya yang sudah terlihat seperti monster."Maaf, Devi. Untuk kali ini aku tidak lagi mau membantu kamu. Kapok. Kamu itu kan ditulung malah mentung!" ujarku sambil mengayunkan kaki meninggalkan selingkuhan suami yang masih berada di dalam kubangan.Pun dengan Azriel yang langsung masuk ke dalam dengan terburu-buru."Ada apa, Bang? Kok kamu balik lagi? Ada yang ketinggalan?" tanyaku sambil menghampiri si sulung di kamarnya."Ada tugas aku yang ketinggalan, Ma. Makanya aku balik lagi ambil tugas ini, kebetulan juga jam pelajaran masih sepuluh menit lagi," jawabnya sambil melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya lalu mencium pipi ini dan segera pergi.Aku terus menatap punggung anak laki-lakiku yang semakin beranjak besar, bahkan sekarang menggantikan po
"Hus! Hus! Hus! Pergi dari sini, jangan kotori persaudaraan kami!" Mbak Rika mengibas-ngibaskan tangan mengusir Devi dari hadapan kami."Tapi, Jeng? Aku ini..." Perempuan ulet keket itu masih bersikeras untuk bergabung."Sudah kami bilang kalau kami tidak menerima pelakor di tengah-tengah kami! Ini itu circle-nya wanita baik-baik, bukan perebut laki orang seperti kamu!" potong Mbak Rianti semakin terlihat emosi."Kalian akan menyesal sudah nolak aku di sini. Aku akan mengadukan kalian sama Mas Haris biar dia memutuskan kerjasama dengan suami-suami kalian!" ancam Devi sambil menghentakkan kaki dan pergi meninggalkan kami.Beberapa orang yang ada di acara arisan langsung mendekatiku, memeluk serta memberikan kata-kata motivasi supaya aku kuat menghadapi pelakor seperti dia."Saya juga akan mengandukan perselingkuhan Pak Haris ke suami saya supaya dia dikasih pelajaran. Mbak Ambar nggak keberatan kan, kalau saya memberitahu suami tentang hal ini?" ujar Mbak Rianti. Dia adalah istri dari
"Dasar anak se*an. Awas saja kamu Azriel. Saya tidak akan melepaskan kamu!" ancam Mas Haris seraya berusaha bangun, mengusap sudut bibirnya yang mengeluarkan sedikit darah lalu berjalan gontai meninggalkan kamar.Napas Azriel masih naik turun tidak beraturan menahan emosi. Aku terus memeluk tubuhnya, menumpahkan air mata sambil tidak henti-hentinya mengingatkan dia untuk mengucap istighfar.Tidak lama kemudian Syaqila berlari masuk dan menghambur ke dalam pelukan, ikut menangis sambil mendekap erat pinggang ini."Qila takut, Mama," lirihnya dengan suara bergetar."Qila nggak usah takut. Ada Abang yang akan melindungi Qila dan Mama dari si Haris breng-sek itu!" sungut si sulung masih dengan nada meninggi, bahkan sekarang malah memanggil ayahnya tanpa embel-embel papa."San, tolong ambilkan minum buat abang!" titahku kepada Sani yang tengah berdiri di muka pintu dengan mata sudah berembun. Sepertinya dia juga ketakutan melihat kelakuan mant
"Sialan si Azriel. Disekolahin tinggi-tinggi tapi malah berani melawan orang tua. Ini pasti ajaran si Ambar yang gagal mendidik anak!" Aku mencengkram kemudi hingga buku-buku tanganku memutih. Kesal, marah, emosi karena perbuatan putra sulungku yang sudah berani menghajarku hingga babak belur.Memangnya salah kalau aku masih menggauli ibunya. Toh, baru jatuh talak dua. Masih bisa rujuk jika aku mau merujuknya. Dasar Ambar sok suci, pura-pura nolak, padahal dalam hati begitu menginginkan sentuhan lelaki.Mobil kulajukan dengan kecepatan tinggi membelah jalanan kota, tidak perduli dengan suara klakson kendaraan lain yang mungkin memperingatkan aku untuk hati-hati dalam mengemudi. Amarahku saat ini sedang meninggi dan sulit terkendali, mengingat apa yang sudah dilakukan anakku sendiri di rumah tadi.Arghh! Sialan. Awas saja kamu Ambar. Aku pastikan hidup kamu akan hancur perlahan, dan kamu akan mengemis untuk kembali kepadaku.Dasar peremp
Esok harinya, sesuai janji aku mengajak Devi ke sebuah showroom mobil tidak jauh dari apartemen. Wajah sang penghuni relung hati terlihat berbinar bahagia saat melihat-melihat koleksi mobil yang harganya membuat dada ini hampir tidak bisa bernapas itu.Namun demi cinta yang tengah membara dalam dada, apa pun akan kulakukan demi dia, meski harus menghabiskan uang tabuhan dan mengorbankan rumah tangga yang sudah belasan tahun dibina.Aku mencintai dia lebih dari apa pun di dunia ini, dan bahkan jika nyawa yang dia minta mungkin akan kuberikan juga.Bukannya terlalu berlebihan. Tetapi entahlah, semenjak bertemu dengan dia di acara anniversary perusahaan aku merasa jiwa mudaku kembali bergelora. Aku langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Padahal, dulu-dulu ketika Ambar memperkenalkan dia sebagai sahabatnya aku tidak pernah memiliki perasaan apa-apa.Hingga akhirnya Devi menghampiri, meminta bertukar nomer ponsel dan dia sering meminta pertolong
Suasana kantor terlihat sudah ramai lalu lalang karyawan karyawati seperti biasa. Aku segera memarkirkan mobil di tempat parkir khusus yang disediakan untukku, kemudian lekas turun sambil bersiul-siul mengungkapkan kebahagiaan dalam hati, karena sepertinya hari ini adalah hari keberuntunganku. Aku akan bertambah kaya raya dan sukses setelah berpisah dengan si Ambar.Kemarin banyak yang bilang kalau aku akan menyesal karena sudah berani menyakiti hati wanita yang sudah menemani hidupku mulai dari nol dan lebih memilih untuk mempertahankan Devi, dan katanya hidupku akan menderita karena pengkhianatan yang kulakukan. Buktinya sekarang, aku akan bertambah sukses dan kaya raya sebab proyek besar yang rencananya akan dikerjakan dua atau tiga bulan lagi malah sekarang sudah berada di depan mata.Duduk di kursi singgasana, memanggil office boy menyuruhnya untuk membuat secangkir kopi capuccino serta membelikan sarapan di kantin. Perut sudah terasa keroncongan karena belum diisi apa pun sebelu
Mengambil gawai, Haris segera menghubungi ibu mertua Roy, memberitahu kabar kematian menantunya serta meminta wanita itu mengabari para tetangga di kompleks tempat tinggal Roy supaya ketika jenazah pria berusia tiga puluh enam tahun itu tiba semua sudah disiapkan. “Itu sudah bukan urusan saya. Roy mau maninggal, mau ke mana, saya sudah tidak ada lagi urusan dengan dia. Kemarin saja waktu sehat dia nggak ingat sama saya, sekarang udah nggak ada malah saya yang suruh repot. Enggak! Enggak! Saya sudah tidak mau lagi berurusan dengan yang namanya Roy!” Tiba-tiba sambungan telepon terputus secara sepihak, membuat Haris menyentak napas kasar lalu mau tidak mau menghubungi Azriel untuk mengabari ketua Rukun Tetangga di kompleks tempat tinggal Roy bahwa salah satu warganya telah tiada. Setelah jenazah dimasukkan ke dalam ambulans, Ambar masuk ke dalam kamar Jasmine, menerbitkan senyuman kepada gadis itu lalu duduk di sebelahnya. “S
“Yasudah kalau begitu saya permisi dulu, Pak!” pamit dokter seraya mengalungkan stetoskop di lehernya.Haris menghela napas dalam-dalam lalu membuangnya secara perlahan. Ia kemudian beranjak dari kursi panjang, menatap sahabatnya yang tengah terbaring di atas ranjang dengan kabel elektroda menempel di dada serta ventilator di hidungnya. Suara monitor detak jantung bagai alunan lagu kematian membuat Haris merasa takut kehilangan sahabatnya, terlebih lagi akhir-akhir ini ada rasa benci bertengger di hati karena Roy memiliki perasaan spesial terhadap mantan istrinya.“Kamu harus kuat, Roy. Demi Jasmine juga Ambar,” gumamnya dalam hati, kedua bulat bening pria itu tidak lepas dari wajah Roy, terus merapalkan doa meminta kepada Sang Maha Pencipta agar lekas mengangkat penyakit yang sedang dirasakan oleh sahabatnya juga memberikan dia kekuatan untuk tetap bertahan.Setelah itu Haris pergi ke kamar Ambar, ingin melihat keadaan mantan istrinya dan t
Roy menggelengkan kepala sambil menghela napas, merasa tidak enak hati kepada wanita yang masih teramat dia cinta itu.“Maafin sikap anak aku ya, Ambar. Dia masih labil jadi gampang marah ketika apa yang diinginkannya tidak bisa didapatkan,” ucap Roy, merasa tidak enak hati kepada ibunda Azriel.“Nggak apa-apa, Mas. Aku ngerti kok. Aku juga minta maaf karena sudah menolak pinangan kamu. Tolong bilang ke Jasmine kalau aku sangat sayang sama dia dan akan tetap menjadi mamanya dia walaupun kita tidak bisa bersama.”“Nggak usah bahas masalah itu lagi. Mungkin kita memang tidak berjodoh. Kalau kita berjodoh, apa pun yang terjadi pasti Allah akan mempersatukan kita.” Bibir plum Roy melekuk senyum menutupi luka yang menganga di dada. “Yasudah aku permisi mau pulang dulu. Sudah sore soalnya,” pamit Ambar.“Kamu pulang sama siapa?”“Anak-anak.”“Loh, bukannya kalian ke sini naik motor? Mau bonc
“Baik nanti saya sampaikan sama Azriel kalau dia sudah sampai di pesantren. Soalnya sekarang dia sedang kuliah.” Gus Fauzan menjawab dengan suara serak, merasa sedikit cemburu karena orang yang dia kagumi akhirnya akan segera melabuhkan cintanya kepada Roy.Berkali-kali dia beristigfar dalam hati, memohon agar Tuhan segera mencabut rasa yang tertinggal agar tidak ada lagi dosa yang ia dapatkan karena terus menerus memikirkan wanita yang tidak halal baginya.Setelah mendengar kabar kalau ibunya dilamar oleh teman ayahnya, Azriel tidak langsung menghubungi sang bunda dan menyetujui lamaran tersebut. Dia terus berpikir apakah nanti ibunya akan bahagia jika kembali membina biduk rumah tangga, ataukah akan kembali menelan pil kecewa karena dikhianati oleh pasangannya. Jujur untuk saat ini sang pemilik rahang tegas lebih merasa nyaman melihat ibunya hidup sendiri dan hanya fokus kepada anak-anaknya tanpa kembali memiliki pendamping hidup.
"Karena hanya kamu yang mampu menyematkan cinta di dalam dada setelah sekian lama aku menduda.""Dih, sok puitis!"Roy terkekeh. Binar bahagia terpancar jelas di wajah penuh kharisma laki-laki itu, apalagi ketika melihat ekspresi Ambar yang tidak lagi sedingin saat pertama kali mereka datang ke tempat tersebut. Keceriaan kembali diperlihatkan oleh ibunda Azriel serta Syaqila, mimik wajah yang selalu membuat Roy merasakan rindu jika beberapa saat tidak bertemu.Tidak lama kemudian pelayan kedai datang membawa empat mangkuk bakso, mempersilakan mereka untuk menikmati dan baik Ambar maupun anak-anak segera menyantap makanan yang terbuat dari daging giling berbentuk bulat tersebut tanpa lagi berbicara.Selesai makan-makan, seperti janjinya Roy mengajak anak-anak untuk ke mal juga menonton, membuat Jasmine serta Syaqila bersorak kegirangan saking senangnya.Roy membayangkan kalau saat ini mereka sudah benar-benar
Hari Minggu, dengan alasan Jasmine ingin bertemu Roy mendatangi kediaman Ambar, menemui perempuan yang akhir-akhir ini membuat dia tidak bisa memejamkan mata, ingin melepas rindu yang terus saja membelenggu kalbu.Roy sangat ingin sekali segera mempersunting Ambar setelah tahu Gus Fauzan mundur dari pertempuran, menjadikan ibu dua anak itu sebagai kekasih halalnya juga ibu sambung Jasmine yang memang selama ini terus saja mendamba dia menjadi ibunya.Namun, lagi dan lagi nyalinya menciut ketika bersitatap dengan Ambar, terlebih lagi jika diperhatikan perempuan dengan wajah keibuan itu seperti mulai menghindar."Ambar, kita ajak jalan anak-anak lagi, yuk! Makan bakso atau apa kek? Kaya tempo hari. Iya nggak anak-anak?" ajak Roy seraya menoleh ke arah Jasmine juga Syaqila yang terlihat sedang sibuk mengerjakan pekerjaan rumah mereka."Iya, Ma. Aku juga bosen di rumah terus," rengek putri sulungnya, memasang wajah manja seolah mendukung kedekatan Roy dengan Ambar."Tapi Mama masak, Dek.
Pagi-pagi sekali, seperti biasa Ambar sudah berjibaku dengan pekerjaannya di dapur menyiapkan sarapan untuk dia juga anaknya. Mata dengan iris coklat itu mengembun ketika menatap kursi tempat biasa Azriel duduk dan sekarang dalam keadaan kosong. Rasa rindu seketika menelusup ke dalam kalbu, membuat dia ingin segera kembali bertemu dengan si sulung walau belum dua puluh empat jam mereka berpisah.Bel rumah terdengar berbunyi nyaring. Syaqila yang sedang membantu ibunya segera mengayunkan kaki menuju ke halaman, dan senyum gadis berusia sebelas tahun tersebut terkembang lebar kala melihat Jasmine datang bertamu ke rumahnya."Mama Ambarnya ada?" tanya Jasmine sambil melongok ke belakang teman sekolahnya, mencari keberadaan wanita yang sudah membuat dia merasa nyaman bahkan terus berharap kalau Ambar bisa menjadi ibu sambungnya."Lagi masak di dapur, ayo masuk, kamu sama siapa?""Sendiri.""Kok nggak sama Om Roy?""Ayah lagi ke luar
POV Author.Gus Fauzan menatap pintu rumah Ambar yang sudah tertutup, mengusap wajah gusar seiring rasa sesak yang mengimpit dada.Sebenarnya dia ingin sekali menikahi ibu beranak dua itu, akan tetapi ada perasaan tidak tega melihat Jasmine memohon sambil menangis di hadapannya. Dan sekarang, ketika dia memutuskan untuk membatalkan khitbah, justru ia malah menyakiti hati orang yang ia kagumi, sebab Ambar merasa dipermainkan olehnya."Apa keputusan Abi sudah mantap?" tanya Salman saat melihat sang mertua terus saja melamun dengan wajah memerah seperti menahan tangis."Insyaallah ini yang terbaik untuk kami semua, Man. Abi tidak mau menyakiti hati Jasmine. Dia begitu mendambakan figur seorang ibu seperti dek Ambar." Gus Fauzan menjawab dengan suara serak."Tapi apa Abi tidak memikirkan perasaan Abi sendiri, juga perasaan Mbak Ambar?"Terdengar helaan napas berat. Gus Fauzan kembali mengusap wajah, mencoba menepis bayang wajah Ambar meskipun senyuman wanita itu terus saja menari dalam ba
Aku menghela napas dalam-dalam, berusaha melonggarkan dada yang terasa seperti sedang terimpit batu besar, lalu membuangnya secara perlahan menatap penuh bimbang mantan suami yang tengah menangis sendirian.Urusan dengan Gus Fauzan belum selesai, sekarang malah ditambah Mas Haris yang masih berharap bisa rujuk dan mengurus anak bersama-sama lagi seperti dulu. Apa yang harus aku lakukan, Tuhan. Aku tidak mau menyakiti hati seorang pun, karena aku juga pernah merasakan seperti apa rasanya terluka.Jika menolak pinangan Gus Fauzan dan kembali kepada Mas Haris sudah pasti akan ada satu hati yang tersakiti. Pun dengan sebaliknya.Ya Allah ... Sungguh dilema semakin melanda hati ini. Semoga apa pun keputusan yang aku ambil nanti menjadi jalan yang terbaik untuk semuanya.Memutar badan perlahan, mengambil tas yang sejak tadi tergeletak di atas kursi kemudian menghubungi Azriel melalui sambungan telepon."Ada apa, Mam? Aku ada di dapur