Aku menelan saliva dengan susah payah. Mimpi apa semalam karena pagi-pagi seperti ini malah mendapat kabar buruk dari Pak Andika. Aku pikir dia datang untuk mempercepat kerjasama, eh, malah mutuskan kontrak kerjasama secara sepihak. Apes banget. Pusing kalau sudah seperti ini. Mana angsuran banyak, Devi juga semakin sering meminta transferan."Bapak yakin alasannya hanya karena itu? Apa jangan-jangan Bapak memutuskan kerjasama kita atas permintaan Bu Rianti?" pungkasku, karena tiba-tiba teringat kalau Devi pernah melihat Ambar sedang bersama dengan istri Pak Andika."Itu salah satunya juga!" jawabnya dengan enteng. Dasar suami takut istri. Nggak profesional. Masa menyangkut pautkan masalah pribadi dengan masalah perusahaan?"Pak, semua yang dikatakan Bu Rianti itu tidak benar. Saya tidak pernah selingkuh dengan siapa pun. Saya ini tipe laki-laki setia dan penyayang. Masa iya saya berani mengkhianati cinta istri saya yang sudah menemani saya dari nol!" "Itu Bapak sadar kalau istri Bap
Daripada terus menerus merasa pusing dengan segala problema yang melanda, lebih baik kembali ke apartemen menemui kekasih hatiku. Siapa tahu dengan bertemu dengannya hati ini akan merasa sedikit lega tidak sesak serta terus menerus emosi seperti ini.Mobil kulajukan menembus ramainya jalanan kota, hingga saatnya lampu lalulintas menyala merah dan aku menghentikan laju kendaraan, tanpa sengaja melihat seorang perempuan persis seperti Devi sedang berada di dalam sebuah mobil bersama seorang laki-laki. Mereka terlihat begitu mesra dan tanpa sungkan saling menggamit bibir, tanpa perduli dengan orang-orang yang tengah memperhatikan.Seketika rasa panas menjalari hati, begitu cemburu melihat apa yang sedang terjadi. Buru-buru melepas sabuk pengaman, berniat turun lalu menghampiri dua sejoli nan menjijikkan itu, akan tetapi lampu lalulintas malah menyala hijau dan mobil yang membawa kekasih hatiku melesat meninggalkan perempatan jalan serta luka yang menganga di dada.
"Saya tidak pernah merasa melakukan apa yang sudah dituduhkan. Jadi sebaiknya Bapak pergi dari sini, karena saya capek baru pulang kerja dan mau istirahat!" Mengusir petugas yang akan menangkapku."Silakan Bapak jelaskan nanti di kantor polisi. Kami hanya menjalankan tugas, dan atasan kami menyuruh kami membawa Bapak sekarang juga!" ucapnya kemudian."Ada apa, Mas?" tanya Devi seraya menghampiri, padahal saat ini dia hanya mengenakan sebuah lingerie."Kamu masuk saja, Sayang. Ini urusan Mas," titahku karena polisi tersebut terus menatap tubuh kekasih hatiku tanpa berkedip walau hanya sedetik."Iya, Mas!" Dia segera mengayunkan kaki meninggalkan kami dan mengenyakkan bokong di sofa."Mari, Pak. Ikut kami!" Petugas hendak memborgol tanganku, akan tetapi aku menolaknya dengan tegas. Memalukan sekali kalau mereka membawaku ke parkiran dengan kondisi diborgol seperti penjahat.Aku pun digiring ke mobil patroli, dibawa ke kantor polisi
Malam kian merangkak larut. Seorang petugas datang membawa sepiring nasi beserta sayur kangkung serta tempe goreng di atasnya, juga segelas air putih yang ditempatkan di gelas plastik usang nan menjijikkan.Melihatnya saja sudah tidak berselera, apalagi lagi harus menyantapnya. Bukan levelku menyantap makanan tidak berkelas seperti itu."Pak, tolong belikan saya makanan yang enak, saya tidak mungkin menyantap makanan seperti ini!" titahku sembari menyerahkan selembar uang ratusan ribu kepada petugas."Silakan makan saja apa yang tersedia, Pak. Ini kantor polisi, bukan restoran. Saya juga bekerja sebagai penjaga sel tahanan, bukan kurir yang bisa disuruh-suruh!" jawab petugas dengan name tag Hariyanto itu dengan nada ketus. Jumawa. Baru jadi petugas kelas bawah saja sudah sombong. Bagaimana kalau sudah naik pangkat nanti.Petugas akhirnya melenggang pergi meninggalkanku, hingga akhirnya mau tidak mau menyantap makanan yang tersedia walaupun perut j
Prang!!Aku membanting vas bunga hingga menimbulkan suara gaduh benda pecah belah beradu dengan lantai, membuat dua sejoli nan menjijikkan itu berjingkat kaget dan segera menutup tubuh mereka dengan selimut."Ma--Mas Haris?" Devi menatap dengan wajah pucat ke arahku. Di lehernya banyak sekali ruam merah tanda kepemilikan pasangan mesumnya, membuat dada ini terasa sedang dibakar, panas sampai menjalar ke sekujur badan."Apa yang sedang kalian lakukan di kamarku. Ternyata begini aslinya kamu, Devi? Aku sedang menghadapi masalah, tetapi kamu malah enak-enak dengan laki-laki lain, di kamarku pula!" sungutku meradang, lalu segera menghampiri si lelaki, mendaratkan tinju di rahangnya hingga dia meringis kesakitan."Mas, aku bisa jelaskan. Semuanya tidak seperti yang kamu lihat. Aku juga nggak tahu kenapa bisa berada di kamar ini bersama laki-laki. Aku benar-benar nggak ingat apa-apa. Tolong percaya sama aku, Mas. Aku ini sangat mencintai kamu, jadi tidak mungkin mengkhianati cinta kamu!" sa
Waktu terus bergulir dengan cepat, hari pun telah berganti petang karena mentari yang bertugas menyinari telah kembali ke peraduan.Aku masih duduk di balkon apartemen, memandangi bintang nan berpendar temaram, juga bulan sabit yang melengkung di langit seolah tengah tersenyum mengejek ke arahku.Bayang wajah Devi terus menari-nari dalam ingatan, juga senyuman yang selalu terkembang terus saja menghantui pikiran.Aku merindu, ingin segera bertemu dan kembali hidup bersama.Ah, mengapa mendadak perasaan benci melebur begitu saja, seolah sirna hanya karena mengingat senyumannya?Aku tidak boleh terus memikirkan dia. Harus bisa kembali bangkit, menata hidup yang sudah hancur berantakan, bila perlu mengajak Ambar kembali sebelum talak tiga kulayangkan.Iya. Ambar. Dia pasti masih mau menerima diriku kembali. Aku harus kembali mendekati dia, berpura-pura baik juga berubah untuk meyakinkan perempuan itu agar bisa mengambil kembali hati
Menutup pintu, mengganti kata sandinya kemudian segera pergi menemui Devi di rumah yang aku belikan sebagai hadiah ulang tahunnya dulu. Semoga saja dia berada di sana dan bisa diajak bicara baik-baik. Aku tidak mau kehilangan uang dalam tabungan juga apartemen, sebab tinggal itu harta yang kumiliki.Rumah Devi terlihat sepi ketika mobil milikku menepi. Pintu pagarnya masih digembok, sementara daun-daun kering berserakan di halaman. Sepertinya rumah itu sudah lama tidak dihuni. Kemana perempuan itu dan keluarganya? Nggak mungkin kan dia pulang ke kampung halamannya, karena dia itu tidak pernah betah berlama-lama tinggal di daerah. Pasti sekarang dia sedang bersenang-senang dengan selingkuhannya.Breng-sek! Hancur semuanya kalau sudah seperti ini. Ternyata rasanya sakit banget dikhianati orang yang begitu dicintai, yang selalu diprioritaskan juga dinomor satukan. Perih hingga hampir menghentakkan denyut nadi.Duduk bersandar di body mobi
Tanpa berkata apa-apa lagi lekas berlari masuk ke dalam mobil, kembali melajukannya meninggalkan kediaman Roy karena ingin segera sampai ke bank dan memblokir tabungan milikku.Dada ini terasa sesak bagai sedang tertimpa batu besar saat mencetak rekening koran dan ternyata Devi sudah melakukan transaksi dua kali di jam 23.34 dan 08.12, dengan total dua ratus juta. Sepertinya dia memang sudah merencanakan pencurian itu, sebab semalam aku keluar dari apartemen di jam setengah dua belas malam. Apes. Ini yang namanya sudah jatuh, ketimpa tangga, kejatuhan genteng pula. Sial bertubi-tubi.Setelah mengamankan rekening walaupun tidak semuanya selamat, sekarang tinggal memikirkan nasib sertifikat apartemen. Aku takut Devi menyalahgunakan sertifikat tersebut, dan yang lebih fatal jika dia secara diam-diam malah menjualnya. Bisa tambah jadi gembel aku nanti.Arghh!!!Semua masalah ini bagai gulungan ombak maha dahsyat yang tiba-tiba datang da
Mengambil gawai, Haris segera menghubungi ibu mertua Roy, memberitahu kabar kematian menantunya serta meminta wanita itu mengabari para tetangga di kompleks tempat tinggal Roy supaya ketika jenazah pria berusia tiga puluh enam tahun itu tiba semua sudah disiapkan. “Itu sudah bukan urusan saya. Roy mau maninggal, mau ke mana, saya sudah tidak ada lagi urusan dengan dia. Kemarin saja waktu sehat dia nggak ingat sama saya, sekarang udah nggak ada malah saya yang suruh repot. Enggak! Enggak! Saya sudah tidak mau lagi berurusan dengan yang namanya Roy!” Tiba-tiba sambungan telepon terputus secara sepihak, membuat Haris menyentak napas kasar lalu mau tidak mau menghubungi Azriel untuk mengabari ketua Rukun Tetangga di kompleks tempat tinggal Roy bahwa salah satu warganya telah tiada. Setelah jenazah dimasukkan ke dalam ambulans, Ambar masuk ke dalam kamar Jasmine, menerbitkan senyuman kepada gadis itu lalu duduk di sebelahnya. “S
“Yasudah kalau begitu saya permisi dulu, Pak!” pamit dokter seraya mengalungkan stetoskop di lehernya.Haris menghela napas dalam-dalam lalu membuangnya secara perlahan. Ia kemudian beranjak dari kursi panjang, menatap sahabatnya yang tengah terbaring di atas ranjang dengan kabel elektroda menempel di dada serta ventilator di hidungnya. Suara monitor detak jantung bagai alunan lagu kematian membuat Haris merasa takut kehilangan sahabatnya, terlebih lagi akhir-akhir ini ada rasa benci bertengger di hati karena Roy memiliki perasaan spesial terhadap mantan istrinya.“Kamu harus kuat, Roy. Demi Jasmine juga Ambar,” gumamnya dalam hati, kedua bulat bening pria itu tidak lepas dari wajah Roy, terus merapalkan doa meminta kepada Sang Maha Pencipta agar lekas mengangkat penyakit yang sedang dirasakan oleh sahabatnya juga memberikan dia kekuatan untuk tetap bertahan.Setelah itu Haris pergi ke kamar Ambar, ingin melihat keadaan mantan istrinya dan t
Roy menggelengkan kepala sambil menghela napas, merasa tidak enak hati kepada wanita yang masih teramat dia cinta itu.“Maafin sikap anak aku ya, Ambar. Dia masih labil jadi gampang marah ketika apa yang diinginkannya tidak bisa didapatkan,” ucap Roy, merasa tidak enak hati kepada ibunda Azriel.“Nggak apa-apa, Mas. Aku ngerti kok. Aku juga minta maaf karena sudah menolak pinangan kamu. Tolong bilang ke Jasmine kalau aku sangat sayang sama dia dan akan tetap menjadi mamanya dia walaupun kita tidak bisa bersama.”“Nggak usah bahas masalah itu lagi. Mungkin kita memang tidak berjodoh. Kalau kita berjodoh, apa pun yang terjadi pasti Allah akan mempersatukan kita.” Bibir plum Roy melekuk senyum menutupi luka yang menganga di dada. “Yasudah aku permisi mau pulang dulu. Sudah sore soalnya,” pamit Ambar.“Kamu pulang sama siapa?”“Anak-anak.”“Loh, bukannya kalian ke sini naik motor? Mau bonc
“Baik nanti saya sampaikan sama Azriel kalau dia sudah sampai di pesantren. Soalnya sekarang dia sedang kuliah.” Gus Fauzan menjawab dengan suara serak, merasa sedikit cemburu karena orang yang dia kagumi akhirnya akan segera melabuhkan cintanya kepada Roy.Berkali-kali dia beristigfar dalam hati, memohon agar Tuhan segera mencabut rasa yang tertinggal agar tidak ada lagi dosa yang ia dapatkan karena terus menerus memikirkan wanita yang tidak halal baginya.Setelah mendengar kabar kalau ibunya dilamar oleh teman ayahnya, Azriel tidak langsung menghubungi sang bunda dan menyetujui lamaran tersebut. Dia terus berpikir apakah nanti ibunya akan bahagia jika kembali membina biduk rumah tangga, ataukah akan kembali menelan pil kecewa karena dikhianati oleh pasangannya. Jujur untuk saat ini sang pemilik rahang tegas lebih merasa nyaman melihat ibunya hidup sendiri dan hanya fokus kepada anak-anaknya tanpa kembali memiliki pendamping hidup.
"Karena hanya kamu yang mampu menyematkan cinta di dalam dada setelah sekian lama aku menduda.""Dih, sok puitis!"Roy terkekeh. Binar bahagia terpancar jelas di wajah penuh kharisma laki-laki itu, apalagi ketika melihat ekspresi Ambar yang tidak lagi sedingin saat pertama kali mereka datang ke tempat tersebut. Keceriaan kembali diperlihatkan oleh ibunda Azriel serta Syaqila, mimik wajah yang selalu membuat Roy merasakan rindu jika beberapa saat tidak bertemu.Tidak lama kemudian pelayan kedai datang membawa empat mangkuk bakso, mempersilakan mereka untuk menikmati dan baik Ambar maupun anak-anak segera menyantap makanan yang terbuat dari daging giling berbentuk bulat tersebut tanpa lagi berbicara.Selesai makan-makan, seperti janjinya Roy mengajak anak-anak untuk ke mal juga menonton, membuat Jasmine serta Syaqila bersorak kegirangan saking senangnya.Roy membayangkan kalau saat ini mereka sudah benar-benar
Hari Minggu, dengan alasan Jasmine ingin bertemu Roy mendatangi kediaman Ambar, menemui perempuan yang akhir-akhir ini membuat dia tidak bisa memejamkan mata, ingin melepas rindu yang terus saja membelenggu kalbu.Roy sangat ingin sekali segera mempersunting Ambar setelah tahu Gus Fauzan mundur dari pertempuran, menjadikan ibu dua anak itu sebagai kekasih halalnya juga ibu sambung Jasmine yang memang selama ini terus saja mendamba dia menjadi ibunya.Namun, lagi dan lagi nyalinya menciut ketika bersitatap dengan Ambar, terlebih lagi jika diperhatikan perempuan dengan wajah keibuan itu seperti mulai menghindar."Ambar, kita ajak jalan anak-anak lagi, yuk! Makan bakso atau apa kek? Kaya tempo hari. Iya nggak anak-anak?" ajak Roy seraya menoleh ke arah Jasmine juga Syaqila yang terlihat sedang sibuk mengerjakan pekerjaan rumah mereka."Iya, Ma. Aku juga bosen di rumah terus," rengek putri sulungnya, memasang wajah manja seolah mendukung kedekatan Roy dengan Ambar."Tapi Mama masak, Dek.
Pagi-pagi sekali, seperti biasa Ambar sudah berjibaku dengan pekerjaannya di dapur menyiapkan sarapan untuk dia juga anaknya. Mata dengan iris coklat itu mengembun ketika menatap kursi tempat biasa Azriel duduk dan sekarang dalam keadaan kosong. Rasa rindu seketika menelusup ke dalam kalbu, membuat dia ingin segera kembali bertemu dengan si sulung walau belum dua puluh empat jam mereka berpisah.Bel rumah terdengar berbunyi nyaring. Syaqila yang sedang membantu ibunya segera mengayunkan kaki menuju ke halaman, dan senyum gadis berusia sebelas tahun tersebut terkembang lebar kala melihat Jasmine datang bertamu ke rumahnya."Mama Ambarnya ada?" tanya Jasmine sambil melongok ke belakang teman sekolahnya, mencari keberadaan wanita yang sudah membuat dia merasa nyaman bahkan terus berharap kalau Ambar bisa menjadi ibu sambungnya."Lagi masak di dapur, ayo masuk, kamu sama siapa?""Sendiri.""Kok nggak sama Om Roy?""Ayah lagi ke luar
POV Author.Gus Fauzan menatap pintu rumah Ambar yang sudah tertutup, mengusap wajah gusar seiring rasa sesak yang mengimpit dada.Sebenarnya dia ingin sekali menikahi ibu beranak dua itu, akan tetapi ada perasaan tidak tega melihat Jasmine memohon sambil menangis di hadapannya. Dan sekarang, ketika dia memutuskan untuk membatalkan khitbah, justru ia malah menyakiti hati orang yang ia kagumi, sebab Ambar merasa dipermainkan olehnya."Apa keputusan Abi sudah mantap?" tanya Salman saat melihat sang mertua terus saja melamun dengan wajah memerah seperti menahan tangis."Insyaallah ini yang terbaik untuk kami semua, Man. Abi tidak mau menyakiti hati Jasmine. Dia begitu mendambakan figur seorang ibu seperti dek Ambar." Gus Fauzan menjawab dengan suara serak."Tapi apa Abi tidak memikirkan perasaan Abi sendiri, juga perasaan Mbak Ambar?"Terdengar helaan napas berat. Gus Fauzan kembali mengusap wajah, mencoba menepis bayang wajah Ambar meskipun senyuman wanita itu terus saja menari dalam ba
Aku menghela napas dalam-dalam, berusaha melonggarkan dada yang terasa seperti sedang terimpit batu besar, lalu membuangnya secara perlahan menatap penuh bimbang mantan suami yang tengah menangis sendirian.Urusan dengan Gus Fauzan belum selesai, sekarang malah ditambah Mas Haris yang masih berharap bisa rujuk dan mengurus anak bersama-sama lagi seperti dulu. Apa yang harus aku lakukan, Tuhan. Aku tidak mau menyakiti hati seorang pun, karena aku juga pernah merasakan seperti apa rasanya terluka.Jika menolak pinangan Gus Fauzan dan kembali kepada Mas Haris sudah pasti akan ada satu hati yang tersakiti. Pun dengan sebaliknya.Ya Allah ... Sungguh dilema semakin melanda hati ini. Semoga apa pun keputusan yang aku ambil nanti menjadi jalan yang terbaik untuk semuanya.Memutar badan perlahan, mengambil tas yang sejak tadi tergeletak di atas kursi kemudian menghubungi Azriel melalui sambungan telepon."Ada apa, Mam? Aku ada di dapur