"Assalamualaikum, teh. Teteh udah lahiran ya? Kok nggak bilang-bilang sama Mama?" Mama bertanya di telepon."Udah Ma, tiga hari yang lalu. Itu juga ngedadak, Ma. Tanpa persiapan.""Kok bisa gitu sih, teh? Pasti ada penyebabnya kalau lahiran lebih cepat dari perkiraan." Mama mulai curiga."Nggak ada apa-apa, Ma. Cuma pengen keluar cepet aja dedek bayinya. Alhamdulillah Kania udah di rumah, Ma. Doakan agar Kania cepet pulih ya, Ma!""Iya, Teh. Mama selalu doakan kamu. Nanti Mama ke sana ya. Ada acara apa nanti di rumahmu? Aqiqahnya kapan?""Belum tau, Ma. Nanti Kania tanya sama Mas Radit dulu, ya!""Iya, sok tanyain. Insya Allah nanti Mama bawa simping yang banyak buat Radit. Dia kan doyan simping dari sini.""Iya, Ma. Banyakin yang rasa kencur ya, Ma!""Iya, teteh. Mau dibawain apa lagi? Nanti Mama buatin galohgor ya, kamu makan itu. Anggap aja cemilan. Bagus buat ibu baru lahiran," kata Mama."Iya, Ma.""Udah ya, Teh. Mama mau nerusin masak dulu. Teteh ada yang bantuin kan di rumah?"
"Ya Allah, Bang Haris?""Iya, Kania. Kamu lagi apa?""Aku sudah beres kontrol dokter kandungan dan dokter anak. Kamu sedang apa?""Aku ngikutin kamu, Kania. Ku lihat kamu sendirian, jadi aku ikutin kamu. Siapa tau kamu butuh bantuanku.""Bang Haris bisa aja. Sini tasku! Aku mau nunggu obat di sana," kataku."Udah, kubawakan saja. Aku ikut denganmu. Kamu pasti capek. Sebentar kamu duduk di situ." Bang Haris meninggalkanku, dia berlari ke arah kantin.Bang Haris datang kembali membawa air mineral botol dan beberapa kue basah. Dia sangat perhatian."Ya Allah, Bang. Makasih banyak loh dibeliin ini. Beneran deh, aku memang susah buat ngapa-ngapain. Baru belajar jadi ibu, Bang." Aku terima makanan dan minuman botolnya.Ia tetap berada di dekatku. Sampai aku menerima obat, dia terus bersamaku."Kania, kamu belum memberi nomor teleponmu. Aku sudah memberinya, tapi kamu tak pernah menghubungiku.""Oh, iya. Aku lupa, Bang. Ya sudah aku berikan nomorku saja, biar kamu yang menghubungiku nanti."
SELIAku terkejut ketika diminta menikah dengan Radit. Seseorang dari masa laluku yang selalu kucinta dari awal kami bertemu. Dia laki-laki pengayom wanita. Dengannya aku merasakan cinta."Ya, aku setuju," jawabku pada Angga saat di rumah sakit. Aku tak tega melihatnya bersimbah darah. Di saat seperti itu pun dia memikirkan kebahagiaanku.Radit, akhirnya menikahiku. Perasaanku sedih bercampur senang. Ah, tak bisa kubayangkan seseorang yang kucintai akhirnya menikahiku. Takdir akhirnya memihakku sekarang, setelah orang tua mengubah takdirku untuk memintaku bersama Angga karena silaunya harta.Dalam resepsi itu pun aku sangat gembira, tapi tak kuperlihatkan kegembiraanku, apalagi setelah mendengar Angga sudah meninggal. Berarti sudah tak ada lagi halanganku untuk bersama Radit."Seli, kamu pasti masih sedih kehilangan Angga. Aku kan selalu menjagamu, seperti janjiku padanya." Kata-kata Radit membuatku tenang, ia akan menjagaku katanya. Namun, aku teringat Kania, yang menjadi istrinya s
"Aa Radit sayang, aku bahagia bisa bersamamu saat ini. Tak ada yang bisa menggambarkan perasaanku," ungkapku pagi itu."Alhamdulillah kalau Neng bahagia. Aa ikut seneng." "Aa, mau kemana udah rapi gini? Neng aja masih belum mandi," kudekati Radit yang sudah rapi. Kulingkarkan tanganku pada pinggangnya dari belakang. Aku sangat tak ingin dia pergi pagi ini."Aku haru kerja, Neng. Oya, nanti sepulang kerja, aku pulang ke Kania ya. Kamu sendiri, malam ini," katanya.Aku mencebik, bisa-bisanya ia ingat istrinya saat bersamaku. Dan ia akan meninggalkanku malam ini. Tidak! Aku akan mencegahnya kembali pada Kania sore ini. Dia harus pulang ke sini.***Kulancarkan aksiku agar dia datang."Aa, tolong ke sini. Aku takut, aku masih trauma kehilangan Angga. Aku tak mau sendiri. Saat ini pun, kejadian itu masih berkelebat di pikiranku.""Aku nggak bisa. Besok ya!""Nggak, A. Harus sekarang. Aa katanya mau menjagaku, menjalankan amanah almarhum. Lagipula aku tadi muntah-muntah Aa. Aku masuk angin
Bab 14"Kyra ... Kyra, kamu dimana? sama siapa, Nak?" Aku teringat anak bayiku -- Kyra.Mataku membuka, ketika itu sekelilingku adalah sebuah ruangan di rumah sakit. Tangan kananku dipegang seseorang, ya Mas Radit tertidur di samping ranjang sambil memegangi tanganku.Aku mencoba bangun. Tapi kepalaku masih pusing. Aku ingin bertemu bayiku, tapi pasti Kyra di rumah. Gimana kalau dia mau menyusu?Saat aku resah, tiba-tiba wanita yang kucintai datang bersama Lia. Dia adalah Mamaku. Aku membangunkan Mas Radit."Mas, bangun. Ada Mama datang." Aku menggoyang-goyangkan tubuh Mas Radit."Teh, teteh kenapa?" Mama bicara padaku. "Kamu penyebabnya! Laki-laki gak bertanggungjawab! Kenapa kamu ada di sini? Sana, keluar kamu dari ruangan ini!" Mama datang tiba-tiba mengusir Mas Radit."Ma, sabar, Ma.""Mama sudah nggak bisa sabar. Mama nggak suka dengan pria tak bertanggungjawab seperti suamimu, Teh."Aku menenangkan Mama, tapi Mama tetap marah saat melihat Mas Radit masih di kamarku."Keluar kamu
Mas Radit mentalakku melalui pesan singkat? Ini tidak mungkin dilakukan Mas Radit. Aku tau, dia tidak akan melakukan ini padaku.[Kamu kalau mau mentalakku dengan cara berhadapan denganku, Mas. Buka dengan pesan singkat seperti ini.] balasku.[Aku sudah muak bertemu denganmu, Kania. Hanya Seli yang bisa membahagiakanku sekarang.]Mas Radit tak mungkin mengirimkan pesan ini. Kemudian aku mencoba meneleponnya. Tapi, dia tetap tak menjawabnya. Sepertinya harus kubuktikan sendiri, benarkah ini Mas Radit atau Seli yang mengirimkan pesan untukku?Kemudian Mama datang ke kamar."Kamu kenapa Kania, kamu menangis?""Nggak, Ma. Boleh aku pergi sekarang, Ma? Aku mau ke rumah Seli. Kukira Mas Radit ada di sana. Mama tolong jaga Kyra ya Ma!""Baiklah, kamu nggak apa-apa sendirian? Hati-hati ya, udah sore sekarang.""Ya, Ma. Nggak apa-apa, aku bisa."Aku langsung berangkat menggunakan mobil Mama. Aku harus mendapatkan penjelasan Mas Radit sekarang juga. Sepanjang jalan air mataku tak henti keluar.
Aku belum bisa kembali ke rumah. Bisa-bisa Mama khawatir melihat kondisiku sekarang. Kuarahkan mobil ke kedai kopi. Aku harus minum kopi agar pikiranku lebih tenang. Biarlah sesekali aku meminumnya, walau katanya wanita menyusui tak baik meminum kopi.Aku memesan secangkir capuccino panas. Mungkin dengan berdiam di sini, aku bisa menormalkan pikiranku, membuang memori bersama Mas Radit.Pesananku datang. Sudah tak sabar untuk menyeruputnya, tiba-tiba cangkir capuccino ditarik seseorang."Hei!" Aku marah dengan tingkah seseorang yang seolah menjahiliku."Maaf, Kania. Kamu jangan minum ini. Lebih baik minum ini." Bang Haris memberikan satu gelas jus alpukat."Bang Haris? Ya Allah dikira siapa. Duduk, Bang! Kok kita bisa kebetulan terus ya?" kataku sambil menyedot jus alpukat pemberian Bang Haris."Iya. Mungkin Tuhan menakdirkan kita bersatu, Kania."Bang Haris membuatku tersedak. Jus alpukat yang ku minum berhambur keluar lagi dari mulutku. Lalu aku memandang Bang Haris lekat-lekat. Saa
"Al, bagaimana laporan keuangan bulan ini? Sudah ada?""Iya, sudah, Bu. Nanti saya kirim filenya ke Ibu.""Baiklah, terima kasih. Pinjaman Bapak sudah kembali?""Belum, Bu. Malah Bapak pinjam lagi. Sudah dibilang apa yang pernah Ibu sampaikan, tapi Bapak bilang itu mendesak.""Pinjam berapa?""Kali ini Bapak pinjam tiga puluh juta rupiah, Bu."Aku menelan salivaku. "Oh baik, terima kasih infonya."Aku langsung menggebrak meja. Bisa-bisanya Mas Radit pinjam uang sebanyak itu. Buat siapa lagi kalau bukan buat Istri mudanya.Aku pun belum cek tabungan bersama kami. Tabungan itu Mas Radit yang pegang. Aku takut rekening itu juga terpakai oleh mereka.Kemudian Alam mengirim pesan kalau dia sudah memberikan laporan keuangan toko. Aku mengecek satu persatu. Sepertinya tidak ada yang perlu dicurigai, untuk urusan toko, Mas Radit masih amanah. Hanya saja jumlah pinjamannya yang semakin tinggi.Saat itu gawaiku berbunyi, membuatku terperanjat mendengar suaranya."Kania, aku sudah dapat info da
"Di rumahmu aja, Kanda. Ini nanti dikontrakkan saja," ucapku."Okey. Kita harus mulai pindahan. Eh, tapi barang-barangnya gimana, nih? Masa mau ditimpa?""Di jual saja gimana?""Kania, aku ada usul untukmu. Bagaimana jika dijadikan pusat toko-tokomu. Jadi kamu bisa jualan juga di sini," usul Bang Haris.Aku mengangguk."Boleh juga usulnya!"Aku langsung membuat rencana ke depan. Jika jadi, ini menjadi cabang ke tujuh kami.***Rumahku menjadi toko herbal pusat plus kantor. Ternyata seru juga punya kantor sebelahan dengan rumah. Aku tak harus lama-lama di jalan."Kanda, terima kasih, ya! Atas usulmu, sekarang usahaku semakin berkembang. Banyak yang beli juga di sekitar sini.""Sama-sama, Dinda. Kamu adalah segalanya bagiku. Apa sih yang enggak buat kamu?""Ah, Kanda bisa aja!"Dia langsung mengecup dahiku. "Sayang, aku kan selalu mencintaimu.""Percaya, deh, Sayang!""Makasih ya, Dinda!""Sama-sama, Kanda!"***Hari ini Bang Haris libur nggak ada jadwal di rumah sakit maupun di tempat
Bang Haris membawaku ke tempat lain. Katanya agar aku bisa bersilaturahmi dengan orang-orang yang pernah mengisi hidupku.Pertama kami ke rumah Mas Radit. Saat ini rumahnya sederhana sekali. Kata Bang Haris, dia bekerja di toko herbal sainganku.Aku dan Bang Haris turun dari mobil, lalu mengetuk pintu rumahnya."Assalamualaikum. Permisi.""Waalaikumsalam." Terdengar suara dari dalam.Mas Radit terkejut melihat aku dan Bang Haris datang. "Mas, gimana kabarnya?" Bang Haris menyalami Mas Radit."Baik. Ayo masuk yuk ke dalam," kata Mas Radit."Nggak usah, kita di sini saja, Mas!" jawabku.Kami duduk di kursi yang tersedia di luar. Mas Radit ke dalam untuk sekedar mengambilkan air putih untuk kamu."Oh, ya sudah. Maaf ya rumahku sekarang amat sangat sederhana," sahut Mas Radit. Sesekali ia menunduk, mungkin merasa tak pede saat ini."Nggak apa-apa, Mas. Bisa diusahakan lagi," kata Bang Haris.Mas Radit mengangguk pelan."Ada angin apa nih pada ke sini sekarang?" tanyanya."Mau silaturahmi
Aku mengekor langkah Bang Haris dengan tangan yang saling bergandengan. Ketika tiba di rumahnya, aku terkejut rumahnya lumayan rapi untuk ukuran jomblo seorang dokter."Kanda, aku suka di sini. Lebih adem dari rumahku.""Ya udah, kita tinggal di sini aja kalau gitu. Rumahmu dikontrakkan saja." "Boleh. Bisa jadi," kataku sembari melihat-lihat ke beberapa ruangan.Kemudian Bang Haris mengajakku ke kamarnya. Ternyata di sana rapi juga. Ranjang dengan seprey berwarna biru motif polkadot, dinding kamar berwarna abu-abu muda."Dinda, aku mencintaimu," katanya sembari menatapku penuh cinta."Sama, Kanda. Aku juga cinta padamu," balasku."Dinda, kamu ke sini, Sayang." Bang Haris menarikku ke ranjangnya."Gimana ranjangnya? Kamu suka di sini atau di rumahmu?""Di sini aja, Kanda. Aku suka.""Makasih ya, Sayang."Lalu Bang Haris mengecupku lembut, kami pun merengkuh manisnya cinta bersama."Dinda, terima kasih atas pelayananmu. Kanda sangat beruntung menjadikanmu sebagai istriku.""Sama-sama,
Hari ini kami kembali ke Bogor, kota tercinta yang menjadi kediamanku dan Bang Haris selama ini. Rasa bahagia menyelimuti hati ini. Begitu berbunga-bunga saat berada di samping Bang Haris--suamiku saat ini.Bang Haris mengendarai mobilku, mobilnya Bang Haris ada di Bandung. Jadi mungkin nanti adiknya yang mengantar ke rumah.Belum ada kepastian kami akan tinggal di mana. Rumah kami yang bersebelahan, bisa saja nanti dikontrakkan atau mungkin dijual. Eh tapi sayang kalau harus dijual."Dinda, ada hadiah dari kanda yang mau kanda kasih liat sama Dinda," kata suamiku. Duh, hadiah apa ya kira-kira? Cukup penasaran dengan apa yang dikatakannya."Ya udah kapan mau dikasih lihat sama aku?" tanyaku."Secepatnya. Kita pulang dulu ke rumah, nanti Dinda ikut Kanda ya!" katanya. "Baik, Kanda. Pasti nanti aku ikut dirimu, Kanda!" Aku menoleh pada suamiku yang sedang fokus menyetir.Bang Haris melirikku sebentar, lalu fokus lagi ke depan. Wajah gantengnya kupandangi dari samping. Masya Allah, aku
Tak lama Bang Haris datang. Tapi bersama Kyra. Aku jadi senang, kami mengasuh bersama di dalam kamar.Kami mengobrol hal-hal yang ringan, yang bisa membuat kami sesekali tertawa. Atau bahkan membuat kami menitikan air mata."Kanda, aku mau berterimakasih atas kebaikanmu selama ini. Aku benar-benar terbantu dengan semua hal yang kau berikan.""Dinda, aku ikhlas menolongmu. Tak ada maksud apa-apa. Aku memang mencintaimu saat itu. Tapi ku berpikir, jikapun kamu jodohku, kita pasti kan bersama.""So sweet banget, Kanda. Aku jadi malu jadinya.""Nggak usah malu, Dinda. Aku sekarang suamimu loh! Bisakah kamu mendekat padaku?" Bang Haris melirik pada Kyra yang tertidur."Ehm ... Kanda, sebentar lagi magrib, lalu Isya, dan nantinya subuh."Bang Haris terkekeh. "Dinda pinter ngeles deh. Mau magrib atau apapun itu, jika sudah terjadi, maka terjadilah. Hehe ... Becanda aku, Dinda! Yuk bersiap salat subuh dulu!""Hayuk, Bang!"Kami sudah mandi tadi sebelum ashar, saat menjelang magrib, kami hany
"Kania ... Ayo sini, calon pengantin harus meng-Aminkan doa-doa ibu Ustadzah." Salah seorang tanteku berkomentar. Aku mengangguk tanda setuju padanya."Iya, benar. Kania diam di sini, jangan kemana-mana," sahut sepupuku."Insya Allah besok lancar ya, Kania. Kami berdoa untuk kalian nanti," timpal sepupuku yang lain.Alhamdulillah mereka semua mendukungku. Tak ada yang nyinyir dengan statusku. Mungkin semua karena kebaikan mamaku juga, ia benar-benar baik pada Tante dan para sepupuku."Terima kasih semua, aku sangat terharu dengan semua. Semoga Tante, kakak dan adik juga dilancarkan urusannya," timpalku pada mereka.Bersyukur dikelilingi orang-orang baik, sehingga aku bisa selalu berpikiran positif. Walau kadang terbersit rasa insecure kalau diri ini seorang janda yang akan menikahi lelaki ganteng plus mapan. Ah, kalau berpikir ke situ, rasanya tak sebanding.***"Kania, kamu cantik sekali. Walau kamu pernah juga seperti ini, aku menyukai riasanmu saat ini," kata Mama. Mama terus saja
"Kamu bisa mengunjungi Kyra kapanpun, Mas. Aku tak akan menghalanginya. Tapi aku tak mungkin kembali padamu. Maaf ya, Mas Radit. Aku doakan semoga kamu mendapatkan seseorang yang lebih baik dari aku.""Mas Radit beranjak dari duduknya. Lalu berjalan ke arah Bibik, ia menggendong Kyra. Aku melihat kerinduan dari pancaran matanya.'Maaf, Mas. Aku benar-benar tak bisa bersamamu.' gumamku."Kyra baik-baik sama Mama. Nanti kalau udah besar jagain Mama ya!" Mas Radit berbicara dengan Kyra."Mas, aku harus segera berangkat sekarang." Ku lihat jam tanganku, sudah hampir setengah jam Mas Radit di sini."Baik, maaf ya Kania. Aku jadi mengganggu waktumu.""Iya, Mas. Nggak apa-apa.""Maaf juga aku tak bisa berangkat ke sana. Aku doakan dari sini, ya. Semoga kamu bahagia dengan Haris.""Aamiin, insya Allah. Terima kasih doanya."Kami sama-sama menuju depan rumah. Mas Radit pamit pulang. Ia menggunakan ojeg, karena mobilnya sudah dijual. Bik Susi mengunci pintu, lalu berjalan ke arahku. Kunci dibe
Bang Haris mengatakan kalau Seli dan laki-laki yang memasang bom jadi buronan polisi. Bisa-bisanya mereka merencanakan hal yang buruk padaku."Kamu hati-hati kalau dijalan. Apa perlu aku yang antar jemput kamu?" tanya Bang Haris khawatir. Aku bisa merasakan kekhawatirannya."Nggak usah, Bang. Lagian pasienmu nanti pada nunggu, Bang," sahutku. Kasihan dia kalau terlalu memikirkanku."Baiklah, hati-hati kalau mau ke kantor. Oya, besok kan kamu harus ke Purwakarta. Kalau aku Insya Allah ke Bandung lusa," terang Bang Haris. "Aku juga tak tinggal diam, aku mencari info juga tentang Seli dan orang suruhannya." "Iya, Bang. Semoga bisa segera di tangkap. Sekarang aku sadar, tidak semua orang menanggapi atas keinginan kita untuk berhubungan baik dengannya," sahutku."Iya, Kania. Untuk saat ini tak perlu lagi kamu berhubungan lagi dengan seorang Seli," ucap Bang Haris."Iya, Bang. Terima kasih, ya!" jawabku.Bang Haris berangkat menuju rumah sakit. Sedangkan aku sebentar lagi akan ke toko, kar
Mereka langsung menatapku. Salah satu dari mereka mendekat."Maaf, Bu. Jangan laporkan kami. Kami tak akan mengulanginya lagi," katanya.Aku berdehem. "Yang lainnya bagaimana?"Mereka saling berpandangan, lalu mendekat ke arahku agar jangan membocorkan ini."Baiklah, saya terima semua janji kalian. Tapi ingat, tak baik membicarakan seseorang seperti itu.""Baik, Bu," kata mereka serempak."Ya sudah silahkan bekerja kembali!" Aku kembali duduk menunggu obat. Pasien lain yang ada di sekitar memperhatikan ke arahku. Peduli amat sama mereka, toh aku peduli dengan rumah sakit ini, agar tenaga kerja di sini tak sembarangan bergosip. "Aku tak menyangka kamu bisa setegas itu?" Suara Bang Haris mengagetkanku."Eh, Bang. Maaf ya aku bikin gaduh di sini."Kemudian dia duduk di sampingku."Enggak kok kamu hebat, Kania. Maaf ya kalau kamu jadi bahan gunjingan jadinya," katanya dengan suara yang pelan."E-eng-enggak, kok. Aku cuma nggak mau aja kamu menjadi bahan olok-olok mereka. Mereka pantas