"Ini, arloji."Mawar menatap ibunya. Dia jelas berpikir bukan itu yang ada di dalam kotak kado. Semestinya ada replika kunci mobil beserta sebuah pesan yang menerangkan hadiah besar yang telah diberikan. Walau demikian, dia tetap teguh pada pemikirannya, bahwa Siska-lah yang membelikan mobil mewah untuk Aji."Oh, ya ampun, Mbak Siska! Dia kasih double gift untuk Mas Aji, Ma. Duh enak banget jadi Mas Aji, Mama.""Double gift?" Aji semakin tidak mengerti."Iya, Nak. Maksudnya, Siska 'kan sudah ngasih kamu hadiah super yang telah diantar ke rumah tadi pagi. Nah, ditambah lagi dengan arloji mewah itu. Begitu."Aji menarik napas panjang. "Mama, aku benar-benar tidak mengerti." "Oke-oke tidak masalah. Sebentar lagu kamu akan segera tahu. Tapi Aji, apa itu hanya ... arloji? Maksud Mama, arloji saja atau ada yang lain. Sebuah catatan mungkin.""Ini hanya, arloji." Aji mengangkat arloji itu supaya ibu dan adiknya yang sejak tadi berbicara sangat aneh bisa melihat lebih jelas.Seketika itu pul
Mawar terkekeh, menertawakan pengakuan dari kakak iparnya. Dia lantas menatap tajam Retno. “Mas Aji tidak ada di sini. Jadi, aku akan berkata jujur.” Dia memegang pundak kakak iparnya. “Sebenarnya aku dan Mama itu sudah menduga sejak awal kalau Mbak akan mimpi. Bisa membeli mobil? Ahahaha bahkan gaji Mas Aji selama satu tahun saja masih belum cukup untuk membelinya. Lalu Mbak? Mbak itu tidak bekerja lho, lalu dapat uang sebanyak itu dari mana? Jadi, mendengar ucapanmu tadi, bagiku sama halnya dengan mendengar orang yang mengatakan melihat semut mengangkat gajah.”“Mustahil?”“Pinter.”“Baiklah, aku tidak akan mengatakannya lagi.”“Nah, begitukan enak. Ya udah, aku mau lihat mobil kakakku. Hm, kapan-kapan aku bisa meminjamnya untuk ngampus. Wih, pasti keren banget.” Mawar pun berlalu setelah menepuk-nepuk pundak Retno. Saking senangnya, dia sampai bersenandung.Retno hanya tersenyum miring melihat punggung iparnya menjauh. “Dan berbicara padamu, juga ibumu, itu seperti berbicara pada
Hening. Aji bergeming karena dia memang tidak bisa memberikan alasan pada ibunya. Dia memercayai istrinya semata-mata hanya karena ... percaya, tidak perlu sebab, tidak butuh alasan. “Nah, kamu tidak bisa jawab ‘kan! Itulah yang namanya percaya buta. Kepercayaanmu membuat kamu tidak bisa berpikir jernih. Tidak mempertimbangkan kelogisan. Bahkan sekarang istrimu juga hanya diam ‘kan? Dia tidak berusaha membela diri atau membuktikan kalau ucapannya benar. Kenapa? Ya karena dia memang berbohong. Lihat itu, dia malah asyik makan apel saat kamu dan Mama berdebat.”Sepanjang perrselisihan ibu dan anak itu, Retno memang hanya diam. Antara tidak ingin lelah terlibat pembicaraan yang sampai kapan pun tidak akan pernah memihak padanya, atau karena saat ini hatinya terasa sangat hangat, mengetahui sang suami mempercayainya tanpa syarat.“Mama mau? Ini sangat enak.” Retno sengaja berlagak bodoh mengulurkan potongan apel pada mertuanya.“Kan! Apa berlebihan kalau Mama menyebutnya kurang ajar?” s
“Setelah ini kamu akan tahu Aji, kepada siapa semestinya kamu percaya.”“Mama ...” ucap Aji setelah mengembuskan napas panjang.Tak lama setelah itu, Mawar kembali ke ruang makan. “Sini, Mas. Ayo cepet!”Melihat putrinya datang bersama seorang lelaki dengan senyum lebar, kening Mayang pun langsung berkerut. Dia berdiri dan bertanya, “Lho, mana Siska, Mawar? Lalu, ini .. kamu orang yang tadi nganterin mobil anakku ‘kan? Karyawan showroom itu?”“Benar, Bu. Saya ke mari untuk-““Tunggu-tunggu, Mawar kenapa kamu ajak Mas ini ke ruang makan? Memangnya tidak bisa menunggu di ruang tamu saja? Terus Siska mana? Jangan bilang kamu malah nyuruh dia nunggu di ruang tamu.” Mayang yang tidak melihat sosok calon menantu idamannya langsung memotong ucapan si karyawan.“Mama, yang datang bukan Mbak Siska, tapi Mas ini. Tapi tak apa, Ma. Tidak ada Mbak Siska, Mas ini pun nggak masalah. Dia bisa bantu kita buat jelasin ke Mas Aji, siapa sebenarnya yang membeli mobil mewah itu. Jadi kita tidak perlu rep
Mayang yang hatinya seperti ditumbuk palu besi, menyerahkan slip pembayaran itu pada Mawar. “Coba kamu baca. Sepertinya mata tua Mama mulai kabur.” Mayang mengucek-ucek matanya. Dia masih mengingkari fakta gamblang di depannya.Mawar pun membaca slip itu. Dan, dia memberikan reaksi yang sama dengan ibunya. Matanya membesar selagi mulutnya ternganga. “Mama, ini tidak mungkin.”“Makanya, sangat aneh ‘kan? Ini nggak bener. Pasti-”Merasa lelah dengan sikap ibu dan adiknya, Aji pun memotong ucapan dengan berkata, “Kenapa Ma, di situ benar tertera nama istriku ya? Jadi jelas ‘kan, yang membeli mobil memang Retno, bukan Siska atau orang lain?”Mayang menggeleng berulangkali. “Ini pasti istrimu sudah kongkalikong sama mas-mas tadi.”“Mama, jangan keterlaluan ngomongnya. Semua bukti sudah jelas, kenapa masih mengelak? Lagipula, kenapa Mama seperti nggak suka kalau Retno yang membeli mobil itu? Malah bagus kan, berarti selama ini Retno tidak seperti yang Mama dan Mawar tuduhkan.” Aji menoleh h
Pelipis Mawar dan Mayang berkedut. Mereka memang biasa berbincang dengan Siska untuk menggunjingkan Retno bersama-sama. Namun, kini Retno dan Aji juga mendengar apa yang dikatakan Siska. Jika dibiarkan, ini benar-benar akan menjadi senjata makan tuan. Akan tetapi, tidak mungkin juga kalau speaker itu dimatikan sekarang. Oleh sebab itu, sebelum Siska mengucapkan kata-kata yang semakin tidak pantas tentang Retno, Mawar langsung mengalihkan pembicaraan.“Mbak, ini ada masalah penting yang mau aku tanyakan. Masih soal kado.”“Oh, ya, ya, katakan Mawar. Ada apa?”“Selain arloji, Mbak ngado Mas Aji mobil mewah juga ‘kan?” Pertanyaan retoris Mawar sudah menjelaskan betapa yakin dia pada apa yang dianggap benar sejak tadi.Tawa Siska terdengar. “Mawar, iya sih uang aku memang cukup kalau buat beli mobil mewah.” Sontak saja senyum kemenangan yang sempat rendup kembali terpancar dari wajah Mayang dan Mawar. Namun, sepertinya itu pun tidak akan bertahan lama sebab Siska kemudian melanjutkan.“
(POV Retno) Aku tersenyum melihat mertuaku melengos dan pergi membawa kedongkolan. Lantas iparku pun ikut-ikutan, buru-buru dia meninggalkan kursi demi menyusul ibunya. Tapi aku tahu pasti, Mawar pergi karena takut pada kakaknya, juga padaku. Dia memang masih kecil, batinku tertawa dalam hati. “Sayang, kamu nggak apa-apa?” Mas Aji membuatku sedikit berjingkat kaget. Aku menggeleng dan tersenyum lebih lebar lagi. “Aku baik-baik saja, Mas. Kamu lihat sendiri aku makan buah seperti orang kesurupan, nggak mau berhenti. Memangnya kenapa?” Suamiku memegang kedua tanganku. “Sayang, kenapa kamu malah senyum-senyum. Kamu tidak marah pada Mama dan Mawar? Aku sungguh minta maaf atas sikap mereka padamu.” “Mas, nggak tahu ya, mungkin ini sedikit aneh, tapi rasanya aku biasa saja. Nggak marah sama sekali. Malah merasa lucu lihat Mama dan Mawar.” Aku tertawa lagi mengingat perubahan ekspresi mertua dan iparku saat mendengar Siska mengingkari apa yang mereka yakini. “Sayang, jujur saja padaku,
(POV Aji)Sampai detik ini aku masih belum tahu, kebaikan apa yang aku lakukan di masa lalu hingga Tuhan memberikan pasangan sebaik istriku, Retno. Jujur saja, setelah pernikahan pertamaku yang baru seumur jagung gagal dengan sangat mengenaskan, aku tidak pernah berpikir jika kehidupanku justru akan begitu indah sesusahnya. Ketika perceraianku dengan istri pertamaku terjadi karena ketidakmampuanku dalam memenuhi segala keinginannya, aku benar-benar merasa sebagai seorang pecundang sejati. Terlebih, aku selalu berpikir tidak akan pernah mampu bersaing dengan lelaki idaman lain istriku. Saat perpisahan pahit yang didukung secara sadar oleh mertua dan keluarga istriku terjadi, aku tidak pernah percaya pada pepatah bijak yang mengatakan bahwa pelangi akan muncul setelah badai. Sebab saat badai itu datang, rasanya telah menghancurkanku, maka aku sendiri tidak akan pernah bisa melihat pelangi.Dan Tuhan berkehendak lain. Dalam perasaan terpuruk dan selalu menganggap gelap dunia ini, Dia m
Mengira Retno akan berbuat macam-macam padanya, jelas Mayang merasa terintimidasi. Wajahnya yang pucat semakin pucat karena takut menantu yang tersakiti akan membalaskan dendam. Keringat sampai keluar membasahi keningnya atas bayangan buruk yang terlintas di kepalanya. Menyadari ekspresi ketakutan yang ditunjukkan mertuanya, Retno bertanya untuk memastikan. "Mama kenapa? Mama takut padaku?" Mayang ingin sekali kabur dari kamarnya, tetapi itu mustahil dilakukan. Jangankan berlari atau beranjak dari ranjang, duduk saja dia tak bisa. "Mama, kata dokter, Mama harus makan dan minum obat teratur. Aku sudah membuat sup ayam kesukaan Mama. Aku akan menyuapi Mama." Retno menyendok sup untuk diberikan pada Mayang. Dia benar-benar membuat Mayang ketakutan karena mengira ada racun atau zat berbahaya dalam sup tersebut. Dalam hati Mayang memaki dirinya sendiri karena memiliki tangan yang tidak berguna. Ingin rasanya Mayang menepis mangkuk di tangan Retno hingga terjatuh dan supnya tumpah semu
"Halo, dengan siapa ini?""Sa-saya, Paijo Mbak. Itu, sopir barunya Nyonya."Retno mengerutkan kening. "Nyonya?""Anu, itu, maksud saya, Bu Mayang.""Ya, Pak, saya menantunya. Ada apa?" ucap Retno setelah terdiam beberapa saat."Oh, menantunya, bukan anaknya ya. Itu Mbak, Nyonya pingsan. Saya sudah telepon dokter, tapi belum datang. Saya telepon Mbak karena semalam Nyonya sempat minta untuk diteleponkan, tapi tidak jadi. Jika Mbak tidak repot, tolong datang ke rumah Nyonya, ya Mbak.""Aku sudah di depan Pak Paijo. Bapak tunggu di kamar Mama saja."Retno menutup telepon masih dengan jantung berdetak cepat. "Ada apa, Sayang?""Mama pingsan, Mas."Retno dan Aji turun dari mobil mereka yang telah terparkir di halaman rumah Mayang. Aji menggandeng istrinya untuk jalan bersama ke dalam rumah.Namun, saat berada di depan pintu utama, Aji sempat berhenti. Hal buruk yang pernah terjadi di rumah itu terlintas di kepalanya. Bayangan itu buyar setelah dia mendengar suara Retno yang mengajaknya se
Belum sampai Mawar menuntaskan ucapannya, Retno telah memotong dengan berkata, "Jika aku datang sebagai seorang ibu, aku pasti sudah tertawa melihat orang yang pernah memasukkan obat penggugur kandungan di minumanku dipenjara. Jika aku datang sebagai seorang istri yang hendak dipisahkan dari suaminya dengan intrik menjijikkan, aku pasti menambah penderitaanmu dengan memberikan sumpah serapah bahkan tamparan." Mawar terdiam. Dia jelas masih sangat ingat pada apa yang dilakukan ke Retno. "Apa kamu melihatku melakukan itu?" Mawar masih diam meski dalam hati dia menjawab, 'tidak'. Alih-alih menunjukkan rasa senang atau puas melihat dirinya dipenjara, Mawar justru melihat kecemasan dan kesedihan di wajah kakak iparnya itu, sorot mata dan raut muka yang dia harapkan ditunjukkan Aji kemarin. Retno menghela napas panjang. "Aku tidak akan lupa bahwa suamiku adalah kakakmu. Itu artinya, kamu adikku juga. Walau aku berharap memiliki adik yang lebih baik, aku tidak bisa menolak kekurangan dari
Setelah semalam Retno berhasil meyakinkan Aji, pagi-pagi sekali keduanya tampak telah meninggalkan rumah. Mereka pergi berdua dengan mengendarai sebuah mobil. Aji sendiri yang menyetir mobil tersebut.Tak lama kemudian mereka sampai di tempat yang dituju. Jika Aji terlihat mengembuskan napas panjang, Retno tampak tersenyum."Ayo kita turun, Mas," ajak Retno sambil memegang tangan Aji yang masih berada di kemudi.Dengan wajah cemas Aji menjawab, "Sayang, aku minta maaf. Tapi tampaknya aku akan menunggumu di sini saja.""Kamu tidak ikut masuk saja, Mas?""Aku sudah bertemu dengannya kemarin. Sampai sekarang aku masih belum bisa melupakan wajahnya. Jadi, aku pikir sebaiknya aku menjaga agar tidak bertemu dengannya lagi untuk sementara waktu sampai ya ... aku merasa siap." Aji memaksa untuk tersenyum.Tepat sekali, Retno dan Aji memang pergi ke kantor polisi tempat di mana Mawar di penjara sementara hingga proses persidangannya dilangsungkan.Meski awalnya Aji mencemaskan Retno jika menem
Sepulangnya Aji dari kantor polisi, tidak dipungkiri ada keresahan di hatinya. Jika ditanya apakah dia marah dan kecewa pada Mawar atau tidak, jelas sudah jawabannya. Sejatinya Aji begitu murka hingga tangannya bergetar sampai sekarang. Dia tidak habis pikir dengan jalan pikiran adik perempuannya itu.Tapi, Aji mencoba untuk tidak terlalu pusing akan hal tersebut. Dia hanya ingin fokus pada keluarga kecilnya. Dan untuk itu, Aji akan merahasiakan kabar buruk tentang Mawar dari istrinya. Dia tidak ingin Retno menjadi khawatir karena ini. Bahkan sebelum masalah besar itu menimpa, Retno sudah mencemaskan ibu dan adiknya. Tidak tahu bagaimana perasaan Retno jika Mawar dipenjara karena menjadi pengguna dan pengedar narkoba.‘Aku harus bersikap seolah semua baik-baik saja. Dan keluarga kecilku memang baik-baik saja. Jadi Aji, kamu harus tenang.’ Aji berbicara pada dirinya sendiri tanpa suara. Aji sudah berdiri di depan pintu beberapa menit lalu sekadar untuk menyiapkan diri, supaya Retno ti
“Tolong Pak, Bu, lepaskan aku. Aku tidak salah. Semua barang haram itu punya pacarku.” Mawar merengek sambil memegangi jeruji besi. Tidak ada respons dari polisi yang berjaga hingga membuat Mawar frustrasi.“Pak, Bu, aku hanya korban. Aku tidak tahu apa-apa. Tolong lepaskan aku.” Dia memohon lagi.“Jangan berisik! Semua bukti sudah jelas. Kamu tidak bisa mengelak lagi. Kamu pasti akan dipenjara. Dan jika kamu tidak kooperatif dengan kami, saya pastikan kamu akan mendapat hukuman lebih lama. Orang-orang sepertimu adalah sampah yang merusak saja!” Polisi wanita yang sejak tadi mencoba tuli, pada akhirnya kehilangan kesabaran juga.“Bagaimana reaksi keluarganya?” tanya polisi lainnya pada polwan itu.“Ibunya tidak bisa datang karena terkena stroke. Menurut penuturan sopirnya, tubuhnya tidak bisa digerakkan, hanya bisa berbicara, itupun tidak jelas.”“Apa?” lirih Mawar mendengar kabar buruk tentang sang mama. Seketika kakinya terasa lemas hingga dia terduduk bersandar di jeruji besi. Bu
Jika di rumah sakit Retno menjalani pemeriksaan kandungan dengan perasaan yang buruk, karena tidak bisa mengabaikan apa yang dia lihat di jalan, di rumahnya hal yang benar-benar buruk tengah menimpa Mayang. Wanita malang itu ditemukan pingsan di kamar mandi oleh sopirnya.Si sopir yang panik langsung menelepon dokter pribadi sang majikan setelah membopongnya ke kamar tidur. Naasnya, walau kini Mayang telah siuman, dia merasa seluruh tubuhnya kaku. Sekuat tenaga dia berusaha untuk menggerakkan kakinya, tapi tidak bisa. Mayang juga mengerahkan seluruh kekuatannya hanya demi mengangkat tangannya. Namun, jangankan untuk itu, sekadar menggerakkan jari-jemarinya saja dia tidak mampu.“Kenapa kamu diam saja? Cepat telepon dokter! Apa kamu menunggu aku mati dulu baru meminta bantuan?” Mayang yang panik meluapkan emosinya pada si sopir. Tetapi, bicaranya tidak begitu jelas karena mulutnya pun tidak bisa digerakkan dengan leluasa sebagaimana sebelum dia terjatuh di kamar mandi.“Bagaimana Nyony
Setelah sarapan bersama, Retno berpisah dari Aji karena perbedaan agenda. Retno ada jadwal untuk memeriksakan kandungannya di rumah sakit, sedangkan Aji tidak bisa menemani sang istri karena ada pertemuan penting dengan calon klien yang hendak menyewa restoran untuk rapat bulanan asosiasi para pengusaha setempat.Kini, dengan diantar seorang sopir dan ditemani asisten rumah tangga, Retno dalam perjalanan ke rumah sakit. Dia masih belum bisa melepaskan bayang-bayang mertua dalam pikirannya. Entahlah, tapi dia merasa mertuanya sedang tidak baik-baik saja.‘Apa aku telepon Mama saja?’ Retno bertanya pada dirinya sendiri. Dia memandangi layar ponselnya yang menampilkan nomor telepon Mayang lengkap dengan potretnya bersama Mawar dan Aji.Menyaksikan senyum sang mertua, hati Retno menjadi gusar. Pasalnya, ketika masih tinggal di rumah Mayang, dialah orang yang merawat wanita paruh baya itu. Retno tahu pasti bagaimana kondisi kesehatan sang mertua. Dia khawatir, keributan yang terjadi akan b
Mayang menarik napas panjang sebelum menjawab, “Santi, maaf ya, sepertinya aku belum bisa bantu kamu.”“Lho, memangnya kenapa kamu tidak mau bantu aku, Mbak?”“Bukannya aku tidak mau membantu, tapi aku tidak bisa, San. Kamu tahu sendiri hubunganku dengan Aji dan Retno tidak baik. Tapi Santi, aku akan usaha bantu kamu. Kamu bisa memakai tabunganku dulu.”Santi tertawa. “Mbak, memangnya berapa tabunganmu? Biarpun kamu memberikan semua tabunganku, itu tidak akan cukup meski hanya untuk bayar catering. Aku nggak nyangka kamu egois banget, Mbak. Ketika kamu memerlukan bantuan, aku selalu menyanggupi bahkan melakukan lebih dari yang kamu minta. Aku tidak pernah punya masalah dengan Retno, tapi aku membencinya setengah mati dan bersikap buruk padanya setiap saat hanya karena kamu benci pada menantumu. Jika bukan karena kamu, tentu sekarang hubunganku dengan Retno dan Aji baik-baik saja. Semua rusak karena kamu, Mbak!”“Aku minta maaf, San. Aku benar-benar tidak bermaksud begitu. Aku juga san