Pelipis Mawar dan Mayang berkedut. Mereka memang biasa berbincang dengan Siska untuk menggunjingkan Retno bersama-sama. Namun, kini Retno dan Aji juga mendengar apa yang dikatakan Siska. Jika dibiarkan, ini benar-benar akan menjadi senjata makan tuan. Akan tetapi, tidak mungkin juga kalau speaker itu dimatikan sekarang. Oleh sebab itu, sebelum Siska mengucapkan kata-kata yang semakin tidak pantas tentang Retno, Mawar langsung mengalihkan pembicaraan.“Mbak, ini ada masalah penting yang mau aku tanyakan. Masih soal kado.”“Oh, ya, ya, katakan Mawar. Ada apa?”“Selain arloji, Mbak ngado Mas Aji mobil mewah juga ‘kan?” Pertanyaan retoris Mawar sudah menjelaskan betapa yakin dia pada apa yang dianggap benar sejak tadi.Tawa Siska terdengar. “Mawar, iya sih uang aku memang cukup kalau buat beli mobil mewah.” Sontak saja senyum kemenangan yang sempat rendup kembali terpancar dari wajah Mayang dan Mawar. Namun, sepertinya itu pun tidak akan bertahan lama sebab Siska kemudian melanjutkan.“
(POV Retno) Aku tersenyum melihat mertuaku melengos dan pergi membawa kedongkolan. Lantas iparku pun ikut-ikutan, buru-buru dia meninggalkan kursi demi menyusul ibunya. Tapi aku tahu pasti, Mawar pergi karena takut pada kakaknya, juga padaku. Dia memang masih kecil, batinku tertawa dalam hati. “Sayang, kamu nggak apa-apa?” Mas Aji membuatku sedikit berjingkat kaget. Aku menggeleng dan tersenyum lebih lebar lagi. “Aku baik-baik saja, Mas. Kamu lihat sendiri aku makan buah seperti orang kesurupan, nggak mau berhenti. Memangnya kenapa?” Suamiku memegang kedua tanganku. “Sayang, kenapa kamu malah senyum-senyum. Kamu tidak marah pada Mama dan Mawar? Aku sungguh minta maaf atas sikap mereka padamu.” “Mas, nggak tahu ya, mungkin ini sedikit aneh, tapi rasanya aku biasa saja. Nggak marah sama sekali. Malah merasa lucu lihat Mama dan Mawar.” Aku tertawa lagi mengingat perubahan ekspresi mertua dan iparku saat mendengar Siska mengingkari apa yang mereka yakini. “Sayang, jujur saja padaku,
(POV Aji)Sampai detik ini aku masih belum tahu, kebaikan apa yang aku lakukan di masa lalu hingga Tuhan memberikan pasangan sebaik istriku, Retno. Jujur saja, setelah pernikahan pertamaku yang baru seumur jagung gagal dengan sangat mengenaskan, aku tidak pernah berpikir jika kehidupanku justru akan begitu indah sesusahnya. Ketika perceraianku dengan istri pertamaku terjadi karena ketidakmampuanku dalam memenuhi segala keinginannya, aku benar-benar merasa sebagai seorang pecundang sejati. Terlebih, aku selalu berpikir tidak akan pernah mampu bersaing dengan lelaki idaman lain istriku. Saat perpisahan pahit yang didukung secara sadar oleh mertua dan keluarga istriku terjadi, aku tidak pernah percaya pada pepatah bijak yang mengatakan bahwa pelangi akan muncul setelah badai. Sebab saat badai itu datang, rasanya telah menghancurkanku, maka aku sendiri tidak akan pernah bisa melihat pelangi.Dan Tuhan berkehendak lain. Dalam perasaan terpuruk dan selalu menganggap gelap dunia ini, Dia m
Tuduhan keji Mayang jelas membuat Aji naik pitam. Dia memiliki banyak ucapan kemarahan dalam hati. Akan tetapi, dia ingat pada tujuan awal datang ke kamar sang ibu. Maka, dengan susah payah lelaki itu menelan semuanya. Lantas, Aji berusaha keras untuk menyunggingkan senyum yang mungkin terlihat aneh karena dipaksakan.“Mama, aku yakin, Mama tidak berpikir apa yang barusan Mama ucapkan itu benar. Mama sendiri yang bilang kalau Retno lebih banyak menghabiskan waktunya di kamar.”“Iya, Aji. Tapi sesekali istrimu itu juga keluar entah ke mana.”“Apa itu di malam hari?”Mayang mencebik. “Aji, memangnya yang seperti itu hanya bisa dilakukan di malam hari saja? Begini lho, bukannya Mama mau menjelek-jelekkan istrimu, tapi ‘kan aneh sekali, tiba-tiba saja dia bisa membeli mobil semewah itu. Itu mobil lho, bukan mobil-mobilan.”Aji menelan ludahnya lagi. Pelipisnya sejak tadi berkedut karena perkataan ibunya yang selalu menjelek-jelekkan Retno, tetapi tidak mau disebut sedang menjelek-jelekkan
Lewat tengah malam, Aji diam-diam turun dari atas ranjang. Dia berjalan pelan menuju meja rias istrinya hanya demi mengambil sebuah kotak kecil.Benar, itu memang kado pemberian Siska. Aji begidik ngeri saat mengingat pesan dari mantannya itu yang dibacakan Retno saat makan malam tadi.Aji memandangi kado tersebut lekat-lekat sebelum mengendap keluar kamar, tidak ingin sampai membangunkan sang istri. Dengan langkah kaki cepat dan dipanjang-panjangkan, dia berjalan menuju depan. Tampaknya, Aji hendak keluar.Tak butuh waktu lama bagi Aji untuk sampai di teras rumah. Anehnya, dia tidak terlihat menuju garasi, tetapi terus berjalan hingga ke pos satpam. “Pak Mul.”Seseorang dengan kaos oblong dan sarung yang menyilang di pundaknya tampak berjingkat sebelum mengecilkan volume televisi. “Bapak. A-ada apa, Pak? Apa ini sudah subuh?” Dia langsung berdiri.Aji tersenyum. “Belum, ini mungkin masih jam satu atau setengah dua..”‘Lhah, kok Bapak sudah bangun?’ tanya si satpam tanpa suara. Dia t
Sudah barang tentu ucapan rekan kerja yang memotong perkataannya itu membuat rahang Aji mengeras. Dia memberikan tatapan tajam mengintimidasi, menghapus semua ekspresi ramah yang tadi sempat dia berikan. Melihat hal itu, Roni pun menelan ludah. Sepertinya dia sudah salah bicara. Meski ucapannya tadi hanya bercanda, tampaknya Aji sangat tidak berkenan. Dia pun memegang pundak pria di hadapannya itu.“Aji, aku-““Kamu tidak tahu apa-apa,” potong Aji seperti ingin membalas Roni. Roni yang terkejut dengan reaksi Aji pun menjadi kian tergagap. “A-aku-““Ini hadiah dari istriku. Kamu mengucapkan selamat ulang tahun padaku kemarin. Dan istriku membelikan mobil ini padaku.”Mulut Roni menganga. Dia sungguh tidak mengira jika Aji ternyata berasal dari keluarga yang perekonomiannya jauh di atas dirinya. Penampilan manajer pemasaran yang baru itu terlihat terlalu sederhana untuk seseorang yang berada. Terlebih, kemarin Aji juga mengendarai mobil keluaran lama yang dia pikir masih belum lunas c
Jeder!Sudah barang tentu dengan refleks Siska nyaris berteriak atas jawaban yang terdengar seperti petir di siang bolong. “Apa?!”Itu adalah arloji yang sangat berharga, mewah, dan tentunya mahal. Akan tetapi, Aji memberikannya begitu saja pada orang lain. Satpam? Seorang satpam. Mengenaskan!Bagaimana mungkin Siska tidak ingin pingsan mendengarnya!‘Aji, kamu benar-benar sudah menbanting kemewahan dari arloji itu dengan membiarkannya melekat di pergelangan tangan seorang rendahan!’“Kenapa Sis? Apa kamu keberatan aku memberikannya pada orang yang lebih membutuhkan?”‘Iya, dong! Segitu cintanya kamu sama Retno!’ Siska berusaha keras untuk tersenyum dan mendustai kata hatinya. “Tidak, Ji. Aku senang kalau memang itu berada di tangan yang tepat.”“Syukurlah kalau begitu. Aku tahu, kamu memang orang baik.”Hati Siska tersenyum getir. Namun, bukannya menyerah, Siska justru kian terobsesi untuk merebut Aji dari sang istri. ‘Retno harus merasakan sakit hati dan penghinaan yang lebih besar
Menjelang siang, sebuah surat datang menggemparkan kediaman mewah nan permai keluarga Santi. Surat itu diterima oleh sang pembantu dan dibaca langsung oleh Santi yang sedang duduk santai di sofa ruang tamu. Dan, seketika itu pula adik dari mertua Retno itu jatuh pingsan.Tentu saja hal tersebut membuat sang pembantu panik. Dia berteriak meminta tolong berulangkali karena megahnya rumah membuat suaranya menjadi tidak cukup terdengar.Beberapa saat kemudian, Beny, si anak bungsu, pergi ke ruang tamu dengan wajah geram. Kebetulan, waktu itu selain pembantu dan Santi, hanya ada Beny di rumah.“Ada apa sih Bi?! Ganggu orang tidur saja.” Beny masih belum sadar, jika ibu tergeletak tidak sadarkan diri di sofa.“Mas Beny, Nyonya Mas. Nyonya-”Beny yang sudah sangat kesal pun memotong ucapan pembantunya. “Mama lagi, ngapain juga tidur di sini? Kalau ada tamu ‘kan malu-maluin.” Dia berkacak pinggang. “Bi, bangunin Mama dong. Suruh pindah ke kamar aja. Gabut banget molor di sini.”“Tapi Mas Beny
Mengira Retno akan berbuat macam-macam padanya, jelas Mayang merasa terintimidasi. Wajahnya yang pucat semakin pucat karena takut menantu yang tersakiti akan membalaskan dendam. Keringat sampai keluar membasahi keningnya atas bayangan buruk yang terlintas di kepalanya. Menyadari ekspresi ketakutan yang ditunjukkan mertuanya, Retno bertanya untuk memastikan. "Mama kenapa? Mama takut padaku?" Mayang ingin sekali kabur dari kamarnya, tetapi itu mustahil dilakukan. Jangankan berlari atau beranjak dari ranjang, duduk saja dia tak bisa. "Mama, kata dokter, Mama harus makan dan minum obat teratur. Aku sudah membuat sup ayam kesukaan Mama. Aku akan menyuapi Mama." Retno menyendok sup untuk diberikan pada Mayang. Dia benar-benar membuat Mayang ketakutan karena mengira ada racun atau zat berbahaya dalam sup tersebut. Dalam hati Mayang memaki dirinya sendiri karena memiliki tangan yang tidak berguna. Ingin rasanya Mayang menepis mangkuk di tangan Retno hingga terjatuh dan supnya tumpah semu
"Halo, dengan siapa ini?""Sa-saya, Paijo Mbak. Itu, sopir barunya Nyonya."Retno mengerutkan kening. "Nyonya?""Anu, itu, maksud saya, Bu Mayang.""Ya, Pak, saya menantunya. Ada apa?" ucap Retno setelah terdiam beberapa saat."Oh, menantunya, bukan anaknya ya. Itu Mbak, Nyonya pingsan. Saya sudah telepon dokter, tapi belum datang. Saya telepon Mbak karena semalam Nyonya sempat minta untuk diteleponkan, tapi tidak jadi. Jika Mbak tidak repot, tolong datang ke rumah Nyonya, ya Mbak.""Aku sudah di depan Pak Paijo. Bapak tunggu di kamar Mama saja."Retno menutup telepon masih dengan jantung berdetak cepat. "Ada apa, Sayang?""Mama pingsan, Mas."Retno dan Aji turun dari mobil mereka yang telah terparkir di halaman rumah Mayang. Aji menggandeng istrinya untuk jalan bersama ke dalam rumah.Namun, saat berada di depan pintu utama, Aji sempat berhenti. Hal buruk yang pernah terjadi di rumah itu terlintas di kepalanya. Bayangan itu buyar setelah dia mendengar suara Retno yang mengajaknya se
Belum sampai Mawar menuntaskan ucapannya, Retno telah memotong dengan berkata, "Jika aku datang sebagai seorang ibu, aku pasti sudah tertawa melihat orang yang pernah memasukkan obat penggugur kandungan di minumanku dipenjara. Jika aku datang sebagai seorang istri yang hendak dipisahkan dari suaminya dengan intrik menjijikkan, aku pasti menambah penderitaanmu dengan memberikan sumpah serapah bahkan tamparan." Mawar terdiam. Dia jelas masih sangat ingat pada apa yang dilakukan ke Retno. "Apa kamu melihatku melakukan itu?" Mawar masih diam meski dalam hati dia menjawab, 'tidak'. Alih-alih menunjukkan rasa senang atau puas melihat dirinya dipenjara, Mawar justru melihat kecemasan dan kesedihan di wajah kakak iparnya itu, sorot mata dan raut muka yang dia harapkan ditunjukkan Aji kemarin. Retno menghela napas panjang. "Aku tidak akan lupa bahwa suamiku adalah kakakmu. Itu artinya, kamu adikku juga. Walau aku berharap memiliki adik yang lebih baik, aku tidak bisa menolak kekurangan dari
Setelah semalam Retno berhasil meyakinkan Aji, pagi-pagi sekali keduanya tampak telah meninggalkan rumah. Mereka pergi berdua dengan mengendarai sebuah mobil. Aji sendiri yang menyetir mobil tersebut.Tak lama kemudian mereka sampai di tempat yang dituju. Jika Aji terlihat mengembuskan napas panjang, Retno tampak tersenyum."Ayo kita turun, Mas," ajak Retno sambil memegang tangan Aji yang masih berada di kemudi.Dengan wajah cemas Aji menjawab, "Sayang, aku minta maaf. Tapi tampaknya aku akan menunggumu di sini saja.""Kamu tidak ikut masuk saja, Mas?""Aku sudah bertemu dengannya kemarin. Sampai sekarang aku masih belum bisa melupakan wajahnya. Jadi, aku pikir sebaiknya aku menjaga agar tidak bertemu dengannya lagi untuk sementara waktu sampai ya ... aku merasa siap." Aji memaksa untuk tersenyum.Tepat sekali, Retno dan Aji memang pergi ke kantor polisi tempat di mana Mawar di penjara sementara hingga proses persidangannya dilangsungkan.Meski awalnya Aji mencemaskan Retno jika menem
Sepulangnya Aji dari kantor polisi, tidak dipungkiri ada keresahan di hatinya. Jika ditanya apakah dia marah dan kecewa pada Mawar atau tidak, jelas sudah jawabannya. Sejatinya Aji begitu murka hingga tangannya bergetar sampai sekarang. Dia tidak habis pikir dengan jalan pikiran adik perempuannya itu.Tapi, Aji mencoba untuk tidak terlalu pusing akan hal tersebut. Dia hanya ingin fokus pada keluarga kecilnya. Dan untuk itu, Aji akan merahasiakan kabar buruk tentang Mawar dari istrinya. Dia tidak ingin Retno menjadi khawatir karena ini. Bahkan sebelum masalah besar itu menimpa, Retno sudah mencemaskan ibu dan adiknya. Tidak tahu bagaimana perasaan Retno jika Mawar dipenjara karena menjadi pengguna dan pengedar narkoba.‘Aku harus bersikap seolah semua baik-baik saja. Dan keluarga kecilku memang baik-baik saja. Jadi Aji, kamu harus tenang.’ Aji berbicara pada dirinya sendiri tanpa suara. Aji sudah berdiri di depan pintu beberapa menit lalu sekadar untuk menyiapkan diri, supaya Retno ti
“Tolong Pak, Bu, lepaskan aku. Aku tidak salah. Semua barang haram itu punya pacarku.” Mawar merengek sambil memegangi jeruji besi. Tidak ada respons dari polisi yang berjaga hingga membuat Mawar frustrasi.“Pak, Bu, aku hanya korban. Aku tidak tahu apa-apa. Tolong lepaskan aku.” Dia memohon lagi.“Jangan berisik! Semua bukti sudah jelas. Kamu tidak bisa mengelak lagi. Kamu pasti akan dipenjara. Dan jika kamu tidak kooperatif dengan kami, saya pastikan kamu akan mendapat hukuman lebih lama. Orang-orang sepertimu adalah sampah yang merusak saja!” Polisi wanita yang sejak tadi mencoba tuli, pada akhirnya kehilangan kesabaran juga.“Bagaimana reaksi keluarganya?” tanya polisi lainnya pada polwan itu.“Ibunya tidak bisa datang karena terkena stroke. Menurut penuturan sopirnya, tubuhnya tidak bisa digerakkan, hanya bisa berbicara, itupun tidak jelas.”“Apa?” lirih Mawar mendengar kabar buruk tentang sang mama. Seketika kakinya terasa lemas hingga dia terduduk bersandar di jeruji besi. Bu
Jika di rumah sakit Retno menjalani pemeriksaan kandungan dengan perasaan yang buruk, karena tidak bisa mengabaikan apa yang dia lihat di jalan, di rumahnya hal yang benar-benar buruk tengah menimpa Mayang. Wanita malang itu ditemukan pingsan di kamar mandi oleh sopirnya.Si sopir yang panik langsung menelepon dokter pribadi sang majikan setelah membopongnya ke kamar tidur. Naasnya, walau kini Mayang telah siuman, dia merasa seluruh tubuhnya kaku. Sekuat tenaga dia berusaha untuk menggerakkan kakinya, tapi tidak bisa. Mayang juga mengerahkan seluruh kekuatannya hanya demi mengangkat tangannya. Namun, jangankan untuk itu, sekadar menggerakkan jari-jemarinya saja dia tidak mampu.“Kenapa kamu diam saja? Cepat telepon dokter! Apa kamu menunggu aku mati dulu baru meminta bantuan?” Mayang yang panik meluapkan emosinya pada si sopir. Tetapi, bicaranya tidak begitu jelas karena mulutnya pun tidak bisa digerakkan dengan leluasa sebagaimana sebelum dia terjatuh di kamar mandi.“Bagaimana Nyony
Setelah sarapan bersama, Retno berpisah dari Aji karena perbedaan agenda. Retno ada jadwal untuk memeriksakan kandungannya di rumah sakit, sedangkan Aji tidak bisa menemani sang istri karena ada pertemuan penting dengan calon klien yang hendak menyewa restoran untuk rapat bulanan asosiasi para pengusaha setempat.Kini, dengan diantar seorang sopir dan ditemani asisten rumah tangga, Retno dalam perjalanan ke rumah sakit. Dia masih belum bisa melepaskan bayang-bayang mertua dalam pikirannya. Entahlah, tapi dia merasa mertuanya sedang tidak baik-baik saja.‘Apa aku telepon Mama saja?’ Retno bertanya pada dirinya sendiri. Dia memandangi layar ponselnya yang menampilkan nomor telepon Mayang lengkap dengan potretnya bersama Mawar dan Aji.Menyaksikan senyum sang mertua, hati Retno menjadi gusar. Pasalnya, ketika masih tinggal di rumah Mayang, dialah orang yang merawat wanita paruh baya itu. Retno tahu pasti bagaimana kondisi kesehatan sang mertua. Dia khawatir, keributan yang terjadi akan b
Mayang menarik napas panjang sebelum menjawab, “Santi, maaf ya, sepertinya aku belum bisa bantu kamu.”“Lho, memangnya kenapa kamu tidak mau bantu aku, Mbak?”“Bukannya aku tidak mau membantu, tapi aku tidak bisa, San. Kamu tahu sendiri hubunganku dengan Aji dan Retno tidak baik. Tapi Santi, aku akan usaha bantu kamu. Kamu bisa memakai tabunganku dulu.”Santi tertawa. “Mbak, memangnya berapa tabunganmu? Biarpun kamu memberikan semua tabunganku, itu tidak akan cukup meski hanya untuk bayar catering. Aku nggak nyangka kamu egois banget, Mbak. Ketika kamu memerlukan bantuan, aku selalu menyanggupi bahkan melakukan lebih dari yang kamu minta. Aku tidak pernah punya masalah dengan Retno, tapi aku membencinya setengah mati dan bersikap buruk padanya setiap saat hanya karena kamu benci pada menantumu. Jika bukan karena kamu, tentu sekarang hubunganku dengan Retno dan Aji baik-baik saja. Semua rusak karena kamu, Mbak!”“Aku minta maaf, San. Aku benar-benar tidak bermaksud begitu. Aku juga san