"Raya, Papa pulangnya masih nanti. Raya sarapan dulu. Nanti kalau Papa sudah pulang, boleh, jika Raya pingin disuapi sama Papa."
"Kenapa Papa belum pulang? Bukankah Papa harus pergi bekerja? Bagaimana Papa akan punya uang, jika Papa tidak bekerja? Bukankah semuanya itu, harus dibeli dengan uang?" Kalimat yang kemarin-kemarin sering diucapkan untuk memberi pengertian pada anakku, kini berbalik ke arahku."Sebentar lagi Papa juga pulang, asal Raya mau makan dan minum obat ...." bujukku."Kalau begitu, Raya mau makan sambil video call Papa. Biar Papa melihatnya. Biar Papa cepat pulang.""Ok, boleh, kok! Video call, sambil makan yang banyak, ya? Biar Papa senang melihatnya!"Aku lekas memberikan ponselku pada Raya. Gadis kecil itu terlihat mengusap-usap layarnya. Saat dia sedang fokus pada ponselnya, aku mengambil kesempatan memberikan satu suap menu sarapan ke mulutnya.Namun tidak lama kemudian, aku mendengar Raya berteriak."Papa, sedang menggendong siapa?!"Raya menjerit dengan begitu histeris.Aku terkejut, mendengar jeritan Raya. Lebih terkejut lagi, saat aku melihat gadis kecilku itu sudah melempar ponselku.Aku pun penasaran, dengan apa yang Raya ucapkan. Siapa yang digendong oleh suamiku? Apakah istri atasannya yang kini telah menjanda itu?"Raya, kok Raya kayak gitu?" Aku berbicara dengan lembut.Tidak biasanya Raya bersikap seperti ini. Dia biasanya akan selalu bersikap sopan, bertutur kata penuh kelembutan, seperti yang selalu aku dan suamiku ajarkan. Kalau pun dia sedang marah, biasanya dia hanya akan diam, atau duduk menghadap tembok di pojok ranjang.Namun pagi ini aku mendapati Raya yang berbeda. Dia tak ubahnya seperti anak yang sedang tantrum, dan belum jelas sebab pastinya."Raya, katakan pada Mama. Raya melihat apa, baru saja?"Gadisku itu tetap terdiam. Kemudian dia mendekat ke arahku, terisak-isak dalam tangisan.Kuangkat tubuh yang masih terasa panas itu. Kuletakkan sarapan yang baru berkurang satu suapan, kemudian kuambil ponsel yang tadi sempat terlempar."Tadi Raya melihat Papa sedang menggendong siapa, Sayang?" Kupasang jarik di pundak, dan bersiap hendak menggendongnya.Namun Raya menolaknya. Dia turun dari gendongan, dan terhuyung-huyung berjalan ke luar.Aku mengikuti langkahnya, sembari memegang pundaknya dari belakang. Raya duduk di kursi teras. Tatapannya kosong ke depan. Entah apa yang sedang gadis kecil itu pikirkan."Yang digendong oleh Papa, itu Tante-tante seumuran Mama, atau anak kecil seumuran Raya, atau bayi?"Aku bertanya dengan pelan. Berusaha menekan rasa penasaran yang tidak karuan. Jika saja bukan Raya yang sedang kuajak berbicara, tentu saja aku sudah bertanya dengan keras, sambil menghentak-hentakkan tubuhnya.Astaghfirullah hal azim. Semoga Allah mengampuni dosa-dosaku."Papa tadi menggendong anak kecil, seumuran Raya. Papa juga menyuapinya ...."Deg. Ucapan Raya, serta merta membuatku menjadi berfikir keras. Siapa anak kecil yang digendong dan disuapi oleh suamiku?Bukankah semalam Mas Abi pamit ingin pergi takziah?Segera aku mencoba menyalakan ponsel yang telah mati. Berhasil. Ponsel itu masih bisa dihidupkan.Segera kutelpon suamiku, ingin meminta penjelasan darinya.Namun entah berapa kali aku mencoba menelponnya, panggilanku tidak diangkat juga. Hingga kesabaran yang sudah kugenggam dengan begitu erat, hampir saja bergejolak, jika saja aku tidak ingat ada Raya di sini.Sebuah teladan baik pun harus kuberikan. Kelembutan bersikap pun harus kucontohkan, meskipun berbagai syak wasangka telah menggerogoti jiwa, hingga hatiku merasa begitu kesakitan.Hati wanita mana yang bisa tetap tenang, jika ada yang bilang, bahwa suami kita, terlihat sedang menggendong dan menyuapi anak kecil? Apalagi berita itu jelas didengar dari anak sendiri, yang seratus persen bisa dipercaya kebenarannya?Bukankah pekerjaan menggendong dan menyuapi itu, hanya pantas dilakukan oleh ayah kepada anaknya, atau oleh kakek nenek kepada cucunya, atau oleh baby sitter kepada anak yang diasuhnya?Ditambah lagi, setelah Raya melakukan video call kepada papanya, dan Raya melihat semuanya, kenapa justru saat aku menelponnya, panggilanku diabaikan begitu saja? Apakah dia memang sengaja melakukannya?Kucoba menelpon lagi, namun panggilan itu sama sekali tidak terhubung. Kirimkan pesan pun, juga hanya ada centang satu. Itu artinya ponselnya memang sengaja dimatikan."Papa sudah tidak bisa ditelpon kan, Ma?"Masih dengan nada yang sangat lemas, dengan punggung yang berstandar di sandaran sofa, Rayaku itu berbicara."Papa sudah tidak sayang sama Raya. Papa sudah punya anak yang lainnya. Tadi bahkan Raya melihat Papa tengah menyuapi anak itu ... Raya benci Papa!"Raya berlari masuk ke dalam rumah. Aku segera menyusulnya. Namun sebelum aku berhasil mendapatkan tubuhnya, Raya sudah ambruk ke lantai.Spontan, aku langsung membopong tubuh itu. Matanya terpejam, tubuhnya lemas seolah tak bertulang."Raya, bangun, Nak ...." Aku menepuk pipinya berkali-kali, sambil berteriak memanggil namanya berulang kali."Raya, bangun, Nak ...." Aku menepuk pipinya berkali-kali, sambil berteriak memanggil namanya berulang kali.Ibu mertua datang tergopoh-gopoh dari arah pintu depan."Raya kenapa, Anjani?" Ibu mertua tampak mendekat ke arah kami. Mengambil cucu semata wayangnya dari dekapanku.Ya, meskipun Ibu tidak begitu menyukaiku, namun beliau tetap menyayangi cucunya. Mungkin karena Raya memang adalah cucu satu-satunya."Huek ... huek ...." Raya membuka matanya. Namun dia langsung muntah begitu saja.Nasi sarapan yang baru saja kusuapkan, kini telah dikeluarkan. Tepat mengenai baju ibu mertuaku."Obatnya sudah diberikan belum, Anjani?" Ibu mertua juga tidak kalah paniknya."Belum, Bu. Rencananya mau saya berikan setelah selesai sarapan, tapi baru dapat satu suapan, Raya sudah keburu pingsan.""Ya sudah, lekas siapkan air hangat. Mandikan yang bersih, setelah itu sarapan, baru kasih obat!" Ibu mertua masih memangku Raya.Aku segera berlalu dari hadapan beliau. Namun baru saja aku memutar badan, ibu mertua sudah kembali memanggilku."Anjani, kaki kamu kenapa?" Beliau menatap lepuhan di kakiku."Bukan apa-apa, Bu. Hanya terkena air panas saja." Aku kembali berjalan."Sudah dibawa ke dokter?" tanya ibu kemudian.Aku hanya menggeleng pelan. Bagaimana mungkin mau dibawa ke dokter? Bahkan sejak semalam, aku harus mengurus Raya yang sakit, sendirian."Makanya, jangan ceroboh. Kerja itu harus teliti, harus hati-hati. Kalau sudah kayak gitu, kamu kan, yang merasakan sakit?"Aku lebih memilih untuk segera pergi. Dari pada terus di sini, hanya akan mendengar ucapan yang nantinya akan membuatku sakit hati.Dengan cekatan, aku segera menyiapkan air hangat untuk memandikan anakku. Setelah semuanya siap, segera kuambil Raya dari pangkuan ibu mertuaku, untuk kumandikan. Ibu mertua pun pulang ke rumah sebelah.Setelah mandi, suhu badannya Raya sudah agak mendingan. Tidak sepanas tadi malam. Bahkan, kuraba-raba, suhu badannya terasa seperti normal.Aku pun lekas menyuapinya. Lumayan, sarapan pagi ini bisa termakan separuhnya. Obat pun kemudian kuberikan."Raya mau nonton tv?" Aku sudah menyalakan tv, memilih channel kesukaan anakku."Matikan saja tv-nya, Ma. Raya mau melukis. Sudah dua hari Raya tidak melukis."Masyaallah, putriku yang belum sehat benar, ternyata sudah ingin memulai rutinitasnya. Dia memang tipe anak yang penuh semangat. Selain hobi melukis, Raya juga sedang belajar membaca dan berhitung. Kecerdasan Raya, terlihat lebih menonjol, jika dibanding dengan anak-anak seusianya."Raya, tidak usah belajar dulu tidak apa-apa. Nanti kalau Raya sudah sembuh, Raya mulai belajar lagi." Ak
POV. Abi[Mas, aku sudah tidak kuat ....]Sebuah pesan masuk, di aplikasi berlogo gagang telpon berwarna hijau. Pesan dari Reina, istrinya Pak Arman, rekan kerja sekantorku.Pak Arman adalah atasanku. Namun semenjak dia sakit-sakitan, dia sudah tidak bisa lagi bekerja. Dan aku adalah salah satu rekan kerjanya yang paling sering menjenguknya.Menjenguk ketika dia dirawat di rumah sakit, juga menjenguk ketika dia menjalani rawat jalan di rumah.Setiap menjenguk Pak Arman, otomatis aku akan bertemu dengan istrinya. Istrinya yang selalu berpenampilan cantik dan seksi layaknya selebriti.Karena seringnya aku menjenguk Pak Arman, aku pun menjadi akrab dengan istrinya. Dia menjadi sering mengungkapkan keluh kesahnya kepadaku. Dan aku pun tidak bisa untuk tidak membalasnya, jika perempuan cantik itu sudah mengirimkan pesan-pesannya.[Tidak kuat bagaimana, maksudnya?]Sambil menengok ke kanan dan ke kiri, aku membalas pesannya. Aku takut istriku akan mengetahuinya.Ya, meskipun aku dan Reina t
POV. AbiHingga akhirnya ada kejadian yang terlihat begitu menyedihkan. Perempuan itu pingsan berkali-kali.Melihat keadaan yang sangat menyedihkan seperti itu, aku pun memutuskan untuk tetap berada di sini.Apalagi jika melihat anaknya yang masih kecil. Sungguh, aku merasa tidak tega. Anak yang seumuran dengan Raya, namun sudah menjadi yatim, ditinggal mati oleh ayahnya.Anaknya terus-terusan menangis, sementara mamanya terbaring tidak sadarkan diri.Mau tidak mau, akulah yang menenangkan anak itu. Menggendongnya sepanjang malam hingga pagi.Pagi-pagi sekali, Anjani sudah menelponku, menanyakan tentang kepulanganku. Kujawab saja, bahwa jenasah belum dikebumikan, dan aku belum bisa pulang.Namun tidak berselang lama kemudian, dia justru melakukan panggilan video.Aku yang sedang menggendong sambil menyuapi Dita anaknya Pak Arman, pun langsung mengangkat panggilan video itu.Ternyata Raya yang menelpon. Raya terlihat sangat marah. Dan telpon pun langsung dimatikan.Sudahlah, biar saja.
POV. AbiKemudian dia menyibak pakaian panjangnya, dan tampaklah apa yang tadi ditutupinya. Dia menunjuk pada kakinya yang sedikit kemerahan karena terkena air panas.Namun ternyata aku justru gagal fokus dalam melihatnya. Pandanganku justru terfokus pada kaki jenjangnya yang tampak begitu indah dan menggoda iman."Ayo, bantu aku masuk ke kamar ...." Dia mengulurkan tangannya.Dengan ragu dan gemetar, aku pun lekas membalasnya, dengan mengulurkan tanganku. Aku memegang tangannya, mengajaknya berjalan.Namun tubuhnya justru semakin lemas. Hingga tangannya kini sudah menuntun tanganku untuk memegang pinggangnya.Akhirnya aku pun menggendong tubuh itu. Aku menggendongnya di depan, dengan posisi tangan kananku menyangga tengkuknya, sementara tangan kiriku menyangga bagian belakang lututnya.Sambil membawanya ke kamar, kami saling berpandangan dengan jarak wajah yang begitu dekat. Dia bahkan mengalungkan kedua tangannya di leherku.Jantungku semakin terpompa dengan lebih cepat. Bagaimanapu
POV. Abi"Apakah hanya karena aku baik pada suamiku, lantas kamu menaruh hati kepadaku?" tanya dia."Bukan, bukan hanya karena itu. Tentu saja ada banyak sisi baikmu yang membuat aku jatuh cinta. Kamu baik, kamu cantik, karirmu juga bagus. Kamu adalah wanita yang teramat sempurna ...."Dia terpana, mendengar kalimat yang baru saja. Ya, aku memang berbicara apa adanya. Selama ini, aku memang mengaguminya."Sayang, ya? Kita bertemu di saat kita sudah punya pasangan ...." Dia terlihat menyesali keadaannya. Raut sedih pun, kini menghiasi wajah cantiknya."Tidak ada yang salah. Cinta tidak pernah salah. Perasaanku, perasaanmu, tidak ada yang salah. Rasa itu hadir dengan sendirinya. Bukan kita yang menginginkannya. Kita jalani saja dulu. Aku bahkan sudah mengagumimu sejak pertama kita bertemu. Aku mencintaimu ...."Entah benar dari hati atau karena bujukan setan, aku sudah tidak bisa membedakan. Yang ada, saat ini aku merasa sangat senang, karena ternyata dia juga menyimpan cinta yang sama.
POV. Anjani"Aku mimpi kamu tidur dengan seorang perempuan ...." Aku sudah tidak kuat membendung tangisan.Tangisku pecah. Aku sesenggukan di dadanya. Namun Mas Abi justru tertawa, memperlihatkan gigi-giginya. Lelaki yang belum sempat berpakaian itu kemudian merengkuh tubuhku. Membawaku ke dalam pelukannya."Kamu pasti stres, karena kutinggal pergi sehari semalam. Iya, kan? Jangan banyak pikiran. Nanti cantiknya hilang." Dia menatapku dengan penuh kelembutan."Aku tahu, kamu kangen sama aku. Kamu baru selesai menstruasi, kan?"Lelaki yang bergelar sebagai suamiku itu pun, membawaku ke ranjang. Mulai membawaku kepada ibadah halal. Dia bahkan setengah memaksa, ketika aku menolaknya.Hingga akhirnya aku pun melayaninya. Memadu kasih dengannya. Tapi kenapa rasanya berbeda? Seperti tidak seindah ketika sebelum-sebelumnya.Ibarat makanan, hanya terasa hambar. Seperti makan makanan sisa. Sedikit pun, tidak ada semangat yang berkobar. Seolah kami hanya sedang menggugurkan kewajiban.Tidak ada
POV. AnjaniAkhirnya, aku hanya bisa mengelus dada yang kian bertambah sesaknya, melihat suamiku yang sudah pergi dengan mobilnya.Tidak apa-apa. Nanti malam dia pulang. Aku harus belajar menjadi istri yang pengertian. Atau mungkin nanti malam aku bisa menyelidikinya, mengintai rumah atasannya itu dari kejauhan. Benarkah ada acara tahlil atau tidak. Benarkah suamiku pergi ke sana atau tidak. Ya, mungkin aku memang harus mengintainya.****Saat bangun dari tidurnya, Raya kembali menanyakan papanya. Kukarang saja sebuah cerita, bahwa sore ini, papanya lembur hingga nanti jam sepuluh malam.Anak itu pun mengerti. Apalagi boneka yang tadi dibelikan oleh papanya itu, cukup menghiburnya.Dia menunggu ayahnya, sambil menyelesaikan lukisan yang dia buat. Lukisan yang menggambarkan tiga orang yang sedang duduk di atas rerumputan yang berwarna hijau. Raya bilang, mereka adalah Raya, aku, dan Mas Abi."Raya tidur saja dulu, ya?"Aku membujuk Raya supaya dia mau tidur. Nanti kalau dia sudah tidur
POV. AbiSeketika aku langsung melempar tubuh Reina, ke sebelah samping. Segera kutarik selimut dengan secepatnya, untuk menutup tubuh kami berdua.Kulihat, Adiknya Reina, yang tengah menggendong keponakannya, sudah berdiri di ambang pintu."Dina! Kenapa kamu main nyelonong saja!?"Dengan tubuh yang masih berbalut selimut, Reina berteriak dengan sangat kesal kepada adiknya."Mama, tadi baru saja ngapain? Kenapa main kuda-kudaan nggak pakai baju?" Dita berceloteh, menanyai mamanya."Dina! Bawa Dita keluar dari sini!" Reina menunjuk ke arah mereka semua.Dina yang diteriaki oleh Reina, bukannya pergi. Namun dia justru masih tetap berdiri di ambang pintu, seperti orang yang terpaku."Dina, kamu dengar tidak? Bawa Dita pergi dari sini! Dasar adik tidak tahu sopan santun. Main nyelonong saja tanpa ketuk pintu! Adik tidak ada akhlak. Kurang ajar!" Reina yang tadinya masih dalam posisi berbaring, kini sudah menegakkan punggungnya, menjadi duduk.Dia kembali menarik selimutnya, untuk menutupi
POV. AnjaniTidak salah lagi. Dalam sepersekian detik aku melirik, aku melihat kakinya kian maju ke arahku."Anjani, bagaimana keadaan Raya?"Aku memilih diam. Toh dia juga bisa melihat sendiri, bagaimana keadaan putrinya saat ini."Anjani, aku minta maaf, jika perbuatanku tidak berkenan di hatimu. Aku harap kamu bisa mengerti. Mereka sedang berduka. Istrinya Pak Arman sangat down, hingga tidak bisa mengurus putrinya. Dan kebetulan, saat aku hendak pulang dari tahlilan, anaknya Pak Arman tiba-tiba saja pingsan. Demam tinggi. Karena merasa tidak tega, aku pun menawarkan bantuan. Percayalah. Apa yang aku lakukan, itu semata-mata karena alasan kemanusiaan. Wujud dari bakti seorang bawahan kepada atasannya. Bukan karena ada hal yang lainnya. Pak Arman itu adalah mantan atasanku. Karena beliau, aku bisa bekerja di tempat yang sekarang. Bisa memiliki gaji yang lumayan besar, bisa mencukupi semua kebutuhan kita. Aku banyak berhutang budi pada beliau. Rasanya tidak etis saja, jika setelah bel
POV. AnjaniAku mengenal salah satu dari wanita itu. Dia adalah istrinya Pak Arman, atasan suamiku.Seketika, amarah pun mulai menguasai jiwa. Menghentak-hentak, menabrak-nabrak dinding sukma. Dia yang begitu kami tunggu kepulangannya, ternyata justru ada di sini, bersama anak dan istri atasannya.Apalagi jika mengingat noda merah di dadanya itu. Aku menjadi berfikir, apakah noda itu adalah hasil perbuatan perempuan itu?"Anjani, kamu kenapa ada di sini?" Kudengar, lelakiku yang telah memberiku satu anak itu, bertanya seperti itu."Harusnya aku yang bertanya, Mas, kenapa kamu ada di sini!" Aku menjawab pertanyaannya sembari terus berjalan menuju ke loket pendaftaran."Ini, a--aku membawa anaknya Pak Arman. Dia dem--" Dengan suara terbata, lelaki yang biasanya terlihat berwibawa itu, berusaha menjelaskan kepadaku. Namun aku segera memotong ucapannya. Tidak sudi diri ini mendengar alasannya."Cukup, Mas. Aku tidak sudi mendengarnya. Simpan saja ceritamu. Bagiku Raya lebih penting dari s
POV. Abi"Sayang, maafkan aku ...." Aku memeluknya, sambil mencium keningnya dengan begitu dalam.Rencananya, aku ingin memindahkan tubuhnya ke sofa yang ada di dekat tembok. Namun saat aku baru saja ingin mengangkat tubuh itu, adiknya Reina sudah terlihat menyembulkan kepalanya, dari balik pintu."Mas Abi!" Dia memanggilku."Ssstttt!" Aku menempelkan jari telunjukku di bibirku."Mas Abi!" Dia sepertinya tidak mengindahkan kode yang kuberikan. Terbukti, dia masih saja memanggilku.Aku mengibaskan tanganku keluar, berharap agar gadis itu segera keluar dari ruangan ini. Jangan sampai dia membangunkan Anjani.Namun gadis itu bukannya keluar. Dia justru semakin melangkahkan kakinya ke arahku, sambil berkacak pinggang."Mas, Dita rewel. Menanyakan Mas. Dita maunya gendongan terus. Kasihan Mbak Reina. Dia harus menggendong Dita, sambil membawa tiang infus ke mana-mana.""Iya, sebentar. Kamu ngomongnya jangan keras-keras. Jangan sampai istriku bangun!" Aku berbicara dengan setengah berbisik.
POV. AbiSeketika aku langsung melempar tubuh Reina, ke sebelah samping. Segera kutarik selimut dengan secepatnya, untuk menutup tubuh kami berdua.Kulihat, Adiknya Reina, yang tengah menggendong keponakannya, sudah berdiri di ambang pintu."Dina! Kenapa kamu main nyelonong saja!?"Dengan tubuh yang masih berbalut selimut, Reina berteriak dengan sangat kesal kepada adiknya."Mama, tadi baru saja ngapain? Kenapa main kuda-kudaan nggak pakai baju?" Dita berceloteh, menanyai mamanya."Dina! Bawa Dita keluar dari sini!" Reina menunjuk ke arah mereka semua.Dina yang diteriaki oleh Reina, bukannya pergi. Namun dia justru masih tetap berdiri di ambang pintu, seperti orang yang terpaku."Dina, kamu dengar tidak? Bawa Dita pergi dari sini! Dasar adik tidak tahu sopan santun. Main nyelonong saja tanpa ketuk pintu! Adik tidak ada akhlak. Kurang ajar!" Reina yang tadinya masih dalam posisi berbaring, kini sudah menegakkan punggungnya, menjadi duduk.Dia kembali menarik selimutnya, untuk menutupi
POV. AnjaniAkhirnya, aku hanya bisa mengelus dada yang kian bertambah sesaknya, melihat suamiku yang sudah pergi dengan mobilnya.Tidak apa-apa. Nanti malam dia pulang. Aku harus belajar menjadi istri yang pengertian. Atau mungkin nanti malam aku bisa menyelidikinya, mengintai rumah atasannya itu dari kejauhan. Benarkah ada acara tahlil atau tidak. Benarkah suamiku pergi ke sana atau tidak. Ya, mungkin aku memang harus mengintainya.****Saat bangun dari tidurnya, Raya kembali menanyakan papanya. Kukarang saja sebuah cerita, bahwa sore ini, papanya lembur hingga nanti jam sepuluh malam.Anak itu pun mengerti. Apalagi boneka yang tadi dibelikan oleh papanya itu, cukup menghiburnya.Dia menunggu ayahnya, sambil menyelesaikan lukisan yang dia buat. Lukisan yang menggambarkan tiga orang yang sedang duduk di atas rerumputan yang berwarna hijau. Raya bilang, mereka adalah Raya, aku, dan Mas Abi."Raya tidur saja dulu, ya?"Aku membujuk Raya supaya dia mau tidur. Nanti kalau dia sudah tidur
POV. Anjani"Aku mimpi kamu tidur dengan seorang perempuan ...." Aku sudah tidak kuat membendung tangisan.Tangisku pecah. Aku sesenggukan di dadanya. Namun Mas Abi justru tertawa, memperlihatkan gigi-giginya. Lelaki yang belum sempat berpakaian itu kemudian merengkuh tubuhku. Membawaku ke dalam pelukannya."Kamu pasti stres, karena kutinggal pergi sehari semalam. Iya, kan? Jangan banyak pikiran. Nanti cantiknya hilang." Dia menatapku dengan penuh kelembutan."Aku tahu, kamu kangen sama aku. Kamu baru selesai menstruasi, kan?"Lelaki yang bergelar sebagai suamiku itu pun, membawaku ke ranjang. Mulai membawaku kepada ibadah halal. Dia bahkan setengah memaksa, ketika aku menolaknya.Hingga akhirnya aku pun melayaninya. Memadu kasih dengannya. Tapi kenapa rasanya berbeda? Seperti tidak seindah ketika sebelum-sebelumnya.Ibarat makanan, hanya terasa hambar. Seperti makan makanan sisa. Sedikit pun, tidak ada semangat yang berkobar. Seolah kami hanya sedang menggugurkan kewajiban.Tidak ada
POV. Abi"Apakah hanya karena aku baik pada suamiku, lantas kamu menaruh hati kepadaku?" tanya dia."Bukan, bukan hanya karena itu. Tentu saja ada banyak sisi baikmu yang membuat aku jatuh cinta. Kamu baik, kamu cantik, karirmu juga bagus. Kamu adalah wanita yang teramat sempurna ...."Dia terpana, mendengar kalimat yang baru saja. Ya, aku memang berbicara apa adanya. Selama ini, aku memang mengaguminya."Sayang, ya? Kita bertemu di saat kita sudah punya pasangan ...." Dia terlihat menyesali keadaannya. Raut sedih pun, kini menghiasi wajah cantiknya."Tidak ada yang salah. Cinta tidak pernah salah. Perasaanku, perasaanmu, tidak ada yang salah. Rasa itu hadir dengan sendirinya. Bukan kita yang menginginkannya. Kita jalani saja dulu. Aku bahkan sudah mengagumimu sejak pertama kita bertemu. Aku mencintaimu ...."Entah benar dari hati atau karena bujukan setan, aku sudah tidak bisa membedakan. Yang ada, saat ini aku merasa sangat senang, karena ternyata dia juga menyimpan cinta yang sama.
POV. AbiKemudian dia menyibak pakaian panjangnya, dan tampaklah apa yang tadi ditutupinya. Dia menunjuk pada kakinya yang sedikit kemerahan karena terkena air panas.Namun ternyata aku justru gagal fokus dalam melihatnya. Pandanganku justru terfokus pada kaki jenjangnya yang tampak begitu indah dan menggoda iman."Ayo, bantu aku masuk ke kamar ...." Dia mengulurkan tangannya.Dengan ragu dan gemetar, aku pun lekas membalasnya, dengan mengulurkan tanganku. Aku memegang tangannya, mengajaknya berjalan.Namun tubuhnya justru semakin lemas. Hingga tangannya kini sudah menuntun tanganku untuk memegang pinggangnya.Akhirnya aku pun menggendong tubuh itu. Aku menggendongnya di depan, dengan posisi tangan kananku menyangga tengkuknya, sementara tangan kiriku menyangga bagian belakang lututnya.Sambil membawanya ke kamar, kami saling berpandangan dengan jarak wajah yang begitu dekat. Dia bahkan mengalungkan kedua tangannya di leherku.Jantungku semakin terpompa dengan lebih cepat. Bagaimanapu
POV. AbiHingga akhirnya ada kejadian yang terlihat begitu menyedihkan. Perempuan itu pingsan berkali-kali.Melihat keadaan yang sangat menyedihkan seperti itu, aku pun memutuskan untuk tetap berada di sini.Apalagi jika melihat anaknya yang masih kecil. Sungguh, aku merasa tidak tega. Anak yang seumuran dengan Raya, namun sudah menjadi yatim, ditinggal mati oleh ayahnya.Anaknya terus-terusan menangis, sementara mamanya terbaring tidak sadarkan diri.Mau tidak mau, akulah yang menenangkan anak itu. Menggendongnya sepanjang malam hingga pagi.Pagi-pagi sekali, Anjani sudah menelponku, menanyakan tentang kepulanganku. Kujawab saja, bahwa jenasah belum dikebumikan, dan aku belum bisa pulang.Namun tidak berselang lama kemudian, dia justru melakukan panggilan video.Aku yang sedang menggendong sambil menyuapi Dita anaknya Pak Arman, pun langsung mengangkat panggilan video itu.Ternyata Raya yang menelpon. Raya terlihat sangat marah. Dan telpon pun langsung dimatikan.Sudahlah, biar saja.