Paginya, sebelum adzan subuh berkumandang, aku sudah terbangun. Kulihat lampu sudah kembali menyala, lilin yang semalam pun sudah habis tidak bersisa.
Aku lekas menjulurkan kakiku, hendak turun dari ranjang. Namun aku justru dikejutkan dengan keadaan kakiku yang melepuh, berwarna merah kehitaman. Seperti ada banyak air yang tergenang di dalam kulitnya.Dan rasanya, jangan ditanyakan. Panas bercampur perih, juga seperti ada rasa gatal yang tidak tertahankan.Jika pun disuruh memilih, rasanya aku ingin berbaring saja, apa-apa tinggal minta. Tapi tentu saja, hal itu tidak akan bisa. Aku hanya bersama Raya saja. Tidak ada yang bisa kumintai tolong apa-apa. Meski rumah ibu mertua bersebelahan, namun tidak mungkin juga di pagi buta seperti ini aku akan membangunkannya. Apalagi mengingat ibu mertuaku yang sepertinya tidak begitu menyukaiku. Jangankan mau membantuku. Yang ada, nanti dia hanya akan kembali mengolok-olok penampilan dan pekerjaanku.Akhirnya, dengan pelan dan hati-hati, aku pun melangkahkan kaki. Mulai melakukan rutinitas pagi. Meski jika digunakan untuk berjalan, lepuhan di kakiku ini seperti bergerak-gerak, seolah air yang ada di dalamnya hendak pecah dan tumpah keluar.Kumasukkan semua pakaian kotor dan juga sprei, ke dalam mesin cuci. Sembari menunggu mesin cuci bekerja, aku menyibukkan diriku menyiapkan menu untuk sarapan pagi. Jika nanti Raya bangun dari tidurnya, aku berharap semua pekerjaanku telah terselesaikan, dan rumah pun sudah bersih dan rapi, sehingga aku bisa mengasuh Raya sepenuhnya.Benar saja. Selang setengah jam kemudian, cucian sudah setengah kering, nasi sudah hampir matang, dan sayur pun sudah selesai memasaknya. Lauk sisa kemarin, hanya aku panaskan saja.Bersamaan dengan adzan subuh yang berkumandang, aku lekas membersihkan diri, kemudian menunaikan kewajiban."Papa ...." Aku mendengar anakku merintih.Dia masih memejamkan matanya. Wajahnya menoleh pelan ke kanan dan ke kiri.Aku mendekatinya, melihatnya, sembari menempelkan punggung telapak tanganku di keningnya.Panasnya masih tetap sama, belum turun juga. Ya Allah, kenapa belum turun juga suhu badannya."Mama, Papa mana? Sudah pulang, kan?" tanya dia, begitu matanya terbuka.Kulihat kulit wajahnya tampak begitu putih, lebih putih dari biasanya. Bukan hanya putih, namun lebih terkesan kepada pucat. Sekitar matanya pun terlihat sangat cekung. Bibirnya kering, nyaris pecah-pecah, berwarna merah, lebih merah dari hari-hari sebelumnya. Baru dua hari demam, namun sudah terlihat jelas, perbedaan wajahnya. Kasihan sekali dia."Mama kenapa diam?" Suara lirih itu membuyarkan pikiranku."Sebentar lagi Papa pulang. Papa sedang takziah. Ada temannya yang meninggal dunia." Aku menjelaskan dengan nada yang lembut, dengan bahasa yang sederhana."Bukankah semalam Papa sudah berjanji akan pulang? Kenapa ini sudah pagi, Papa belum pulang juga? Kenapa Papa bohong? Bukankah Papa sendiri sering bilang, bahwa berbohong itu adalah perbuatan dosa?" Raya mengungkit janji papanya."Nanti insyaallah pulang, Sayang. Orang meninggal itu, jika belum dikubur, harus ditemani. Kasihan kalau ditinggal sendiri." Aku mencoba membuat alasan."Apakah semua yang hidup itu nantinya akan meninggal?" tanya Raya kemudian."Iya, Sayang. Bahwasanya semua yang hidup itu akan mati. Semua yang ada di dunia ini hanyalah titipan. Begitu juga dengan nyawa kita.""Tapi Raya tidak mau meninggal. Raya ingin sembuh. Raya ingin menjadi anak yang pintar, menjadi kebanggaan Mama dan Papa. Raya sayang sama Mama. Raya sayang sama Papa ...." Anak itu menangis lagi.Apakah aku salah memberikan jawaban?"Jangan menangis, Raya, ya? Mama yakin, Raya pasti akan sembuh. Insyaallah, kita semua akan diberikan umur panjang ...." Aku berusaha menghiburnya. Mengusap kepalanya, dan kemudian mencium pipinya."Raya mau Papa ...."Inilah yang paling aku khawatirkan. Raya sangat dekat dengan papanya. Dan jika dia sudah menanyakan papanya, maka akan sulit untuk dibujuknya, kecuali jika memang papanya sedang bekerja.Mungkin karena papanya kebanyakan bekerja di luar rumah, dan tidak memiliki banyak waktu untuk kami, membuat Raya merasa bahwa waktu bersama papanya, sangatlah berarti."Nanti Papa juga pulang, Sayang ... sabar, ya?"Ya, seharusnya jika memang hanya sekedar takziah, tengah malam tadi juga sudah pulang. Karena jarak tempuh antara rumah kami dengan rumahnya almarhum Pak Arman, hanya sekitar seperempat jam. Sementara, semalam Mas Abi berangkat jam sepuluh malam.Atau jika memang dia tidak bisa pulang, bukankah seharusnya dia memberikan kabar, agar hati istrinya ini menjadi tenang?Mendadak aku merasa tidak enak. Takut terjadi apa-apa padanya. Jangan-jangan tadi malam dia sudah berusaha untuk pulang, tapi ada hal buruk di perjalanan. Ya Allah ....Lekas kuambil ponselku, ingin menanyakan kabarnya.Dengan tangan yang sedikit gemetar, aku mulai mencari nomor kontaknya.Ada tulisan berdering, saat aku menelponnya. Namun sepertinya panggilan telponku tidak kunjung diangkatnya. Bahkan hingga panggilan ini mati dengan sendirinya.Mendadak pikiranku menjadi berkelana ke mana-mana. Mengingat semalam, cuaca memang sangat tidak bersahabat. Hujan turun dengan sederas-derasnya. Apalagi ditambah berita adanya beberapa pohon yang tumbang di pinggir jalan.Tidak putus asa, aku pun kembali mencoba menelponnya. Kemudian panggilan pun tersambung."Assalamualaikum, Mas ....""Waalaikum salam ....""Mas kenapa telponku dari tadi tidak diangkat? Mas baik-baik saja, kan?" tanyaku kemudian."Maaf, tadi sedang sibuk, jadi tidak sempat mengangkat telpon.""Mas kapan bisa pulang? Raya menanyakan Mas ...." Aku mulai berbicara ke inti persoalan."Jenazah Pak Arman belum dikebumikan. Rasanya tidak pantas, jika Mas pulang duluan. Keluarganya masih sangat berduka. Bahkan istrinya pingsan berkali-kali. Kamu tangani saja Raya. Toh hanya demam biasa, kan? Kamu tolong mengertilah. Cobalah berfikir, seandainya kamu yang ditinggal mati oleh suamimu, bagaimana perasaanmu. Jangan egois jadi orang." Telpon pun langsung dimatikan dari seberang, tanpa aku diberi kesempatan untuk menjelaskan.Apa tadi dia bilang? Aku egois?Seketika, hatiku terasa ada yang perih, mendengar kalimat demi kalimat yang diucapkan oleh suamiku itu.Ya, mungkin aku memang salah. Seharusnya aku mengerti, seharusnya aku memaklumi. Mereka sedang berduka. Sedangkan anakku, hanya demam biasa saja."Bagaimana, Ma? Papa bilang apa?" tanya Raya lagi."Papa akan pulang sebentar lagi, Sayang. Jangan khawatir." Aku mengusap kepalanya.Gadis kecil bermata bulat itu nampak begitu kecewa. Tiba-tiba air matanya meleleh, membasahi pipinya yang terlihat sedikit tirus itu."Raya sarapan, ya? Habis itu minum obat. Raya pingin sembuh, kan?"Raya diam saja. Tidak menjawab perkataanku. Aku pun lekas mengambilkan sarapan untuknya."Makan, ya?" kuulurkan satu sendok menu sarapan padanya.Namun Rayaku itu tak kunjung membuka mulutnya. Dia mengunci rapat, bibir atas dan bawahnya."Raya mau disuapi sama Papa ...." ucapnya kemudian.Gadis kecil itu terlihat begitu nelangsa dan memprihatinkan. Berkali-kali aku mencoba menyuapi, namun dia selalu menolak, ingin menunggu papanya, dia bilang. Jika sudah seperti ini, aku harus bagaimana?"Raya, Papa pulangnya masih nanti. Raya sarapan dulu. Nanti kalau Papa sudah pulang, boleh, jika Raya pingin disuapi sama Papa.""Kenapa Papa belum pulang? Bukankah Papa harus pergi bekerja? Bagaimana Papa akan punya uang, jika Papa tidak bekerja? Bukankah semuanya itu, harus dibeli dengan uang?" Kalimat yang kemarin-kemarin sering diucapkan untuk memberi pengertian pada anakku, kini berbalik ke arahku."Sebentar lagi Papa juga pulang, asal Raya mau makan dan minum obat ...." bujukku."Kalau begitu, Raya mau makan sambil video call Papa. Biar Papa melihatnya. Biar Papa cepat pulang.""Ok, boleh, kok! Video call, sambil makan yang banyak, ya? Biar Papa senang melihatnya!"Aku lekas memberikan ponselku pada Raya. Gadis kecil itu terlihat mengusap-usap layarnya. Saat dia sedang fokus pada ponselnya, aku mengambil kesempatan memberikan satu suap menu sarapan ke mulutnya.Namun tidak lama kemudian, aku mendengar Raya berteriak."Papa, sedang menggendong siapa?!"Raya menjerit dengan begitu
Dengan cekatan, aku segera menyiapkan air hangat untuk memandikan anakku. Setelah semuanya siap, segera kuambil Raya dari pangkuan ibu mertuaku, untuk kumandikan. Ibu mertua pun pulang ke rumah sebelah.Setelah mandi, suhu badannya Raya sudah agak mendingan. Tidak sepanas tadi malam. Bahkan, kuraba-raba, suhu badannya terasa seperti normal.Aku pun lekas menyuapinya. Lumayan, sarapan pagi ini bisa termakan separuhnya. Obat pun kemudian kuberikan."Raya mau nonton tv?" Aku sudah menyalakan tv, memilih channel kesukaan anakku."Matikan saja tv-nya, Ma. Raya mau melukis. Sudah dua hari Raya tidak melukis."Masyaallah, putriku yang belum sehat benar, ternyata sudah ingin memulai rutinitasnya. Dia memang tipe anak yang penuh semangat. Selain hobi melukis, Raya juga sedang belajar membaca dan berhitung. Kecerdasan Raya, terlihat lebih menonjol, jika dibanding dengan anak-anak seusianya."Raya, tidak usah belajar dulu tidak apa-apa. Nanti kalau Raya sudah sembuh, Raya mulai belajar lagi." Ak
POV. Abi[Mas, aku sudah tidak kuat ....]Sebuah pesan masuk, di aplikasi berlogo gagang telpon berwarna hijau. Pesan dari Reina, istrinya Pak Arman, rekan kerja sekantorku.Pak Arman adalah atasanku. Namun semenjak dia sakit-sakitan, dia sudah tidak bisa lagi bekerja. Dan aku adalah salah satu rekan kerjanya yang paling sering menjenguknya.Menjenguk ketika dia dirawat di rumah sakit, juga menjenguk ketika dia menjalani rawat jalan di rumah.Setiap menjenguk Pak Arman, otomatis aku akan bertemu dengan istrinya. Istrinya yang selalu berpenampilan cantik dan seksi layaknya selebriti.Karena seringnya aku menjenguk Pak Arman, aku pun menjadi akrab dengan istrinya. Dia menjadi sering mengungkapkan keluh kesahnya kepadaku. Dan aku pun tidak bisa untuk tidak membalasnya, jika perempuan cantik itu sudah mengirimkan pesan-pesannya.[Tidak kuat bagaimana, maksudnya?]Sambil menengok ke kanan dan ke kiri, aku membalas pesannya. Aku takut istriku akan mengetahuinya.Ya, meskipun aku dan Reina t
POV. AbiHingga akhirnya ada kejadian yang terlihat begitu menyedihkan. Perempuan itu pingsan berkali-kali.Melihat keadaan yang sangat menyedihkan seperti itu, aku pun memutuskan untuk tetap berada di sini.Apalagi jika melihat anaknya yang masih kecil. Sungguh, aku merasa tidak tega. Anak yang seumuran dengan Raya, namun sudah menjadi yatim, ditinggal mati oleh ayahnya.Anaknya terus-terusan menangis, sementara mamanya terbaring tidak sadarkan diri.Mau tidak mau, akulah yang menenangkan anak itu. Menggendongnya sepanjang malam hingga pagi.Pagi-pagi sekali, Anjani sudah menelponku, menanyakan tentang kepulanganku. Kujawab saja, bahwa jenasah belum dikebumikan, dan aku belum bisa pulang.Namun tidak berselang lama kemudian, dia justru melakukan panggilan video.Aku yang sedang menggendong sambil menyuapi Dita anaknya Pak Arman, pun langsung mengangkat panggilan video itu.Ternyata Raya yang menelpon. Raya terlihat sangat marah. Dan telpon pun langsung dimatikan.Sudahlah, biar saja.
POV. AbiKemudian dia menyibak pakaian panjangnya, dan tampaklah apa yang tadi ditutupinya. Dia menunjuk pada kakinya yang sedikit kemerahan karena terkena air panas.Namun ternyata aku justru gagal fokus dalam melihatnya. Pandanganku justru terfokus pada kaki jenjangnya yang tampak begitu indah dan menggoda iman."Ayo, bantu aku masuk ke kamar ...." Dia mengulurkan tangannya.Dengan ragu dan gemetar, aku pun lekas membalasnya, dengan mengulurkan tanganku. Aku memegang tangannya, mengajaknya berjalan.Namun tubuhnya justru semakin lemas. Hingga tangannya kini sudah menuntun tanganku untuk memegang pinggangnya.Akhirnya aku pun menggendong tubuh itu. Aku menggendongnya di depan, dengan posisi tangan kananku menyangga tengkuknya, sementara tangan kiriku menyangga bagian belakang lututnya.Sambil membawanya ke kamar, kami saling berpandangan dengan jarak wajah yang begitu dekat. Dia bahkan mengalungkan kedua tangannya di leherku.Jantungku semakin terpompa dengan lebih cepat. Bagaimanapu
POV. Abi"Apakah hanya karena aku baik pada suamiku, lantas kamu menaruh hati kepadaku?" tanya dia."Bukan, bukan hanya karena itu. Tentu saja ada banyak sisi baikmu yang membuat aku jatuh cinta. Kamu baik, kamu cantik, karirmu juga bagus. Kamu adalah wanita yang teramat sempurna ...."Dia terpana, mendengar kalimat yang baru saja. Ya, aku memang berbicara apa adanya. Selama ini, aku memang mengaguminya."Sayang, ya? Kita bertemu di saat kita sudah punya pasangan ...." Dia terlihat menyesali keadaannya. Raut sedih pun, kini menghiasi wajah cantiknya."Tidak ada yang salah. Cinta tidak pernah salah. Perasaanku, perasaanmu, tidak ada yang salah. Rasa itu hadir dengan sendirinya. Bukan kita yang menginginkannya. Kita jalani saja dulu. Aku bahkan sudah mengagumimu sejak pertama kita bertemu. Aku mencintaimu ...."Entah benar dari hati atau karena bujukan setan, aku sudah tidak bisa membedakan. Yang ada, saat ini aku merasa sangat senang, karena ternyata dia juga menyimpan cinta yang sama.
POV. Anjani"Aku mimpi kamu tidur dengan seorang perempuan ...." Aku sudah tidak kuat membendung tangisan.Tangisku pecah. Aku sesenggukan di dadanya. Namun Mas Abi justru tertawa, memperlihatkan gigi-giginya. Lelaki yang belum sempat berpakaian itu kemudian merengkuh tubuhku. Membawaku ke dalam pelukannya."Kamu pasti stres, karena kutinggal pergi sehari semalam. Iya, kan? Jangan banyak pikiran. Nanti cantiknya hilang." Dia menatapku dengan penuh kelembutan."Aku tahu, kamu kangen sama aku. Kamu baru selesai menstruasi, kan?"Lelaki yang bergelar sebagai suamiku itu pun, membawaku ke ranjang. Mulai membawaku kepada ibadah halal. Dia bahkan setengah memaksa, ketika aku menolaknya.Hingga akhirnya aku pun melayaninya. Memadu kasih dengannya. Tapi kenapa rasanya berbeda? Seperti tidak seindah ketika sebelum-sebelumnya.Ibarat makanan, hanya terasa hambar. Seperti makan makanan sisa. Sedikit pun, tidak ada semangat yang berkobar. Seolah kami hanya sedang menggugurkan kewajiban.Tidak ada
POV. AnjaniAkhirnya, aku hanya bisa mengelus dada yang kian bertambah sesaknya, melihat suamiku yang sudah pergi dengan mobilnya.Tidak apa-apa. Nanti malam dia pulang. Aku harus belajar menjadi istri yang pengertian. Atau mungkin nanti malam aku bisa menyelidikinya, mengintai rumah atasannya itu dari kejauhan. Benarkah ada acara tahlil atau tidak. Benarkah suamiku pergi ke sana atau tidak. Ya, mungkin aku memang harus mengintainya.****Saat bangun dari tidurnya, Raya kembali menanyakan papanya. Kukarang saja sebuah cerita, bahwa sore ini, papanya lembur hingga nanti jam sepuluh malam.Anak itu pun mengerti. Apalagi boneka yang tadi dibelikan oleh papanya itu, cukup menghiburnya.Dia menunggu ayahnya, sambil menyelesaikan lukisan yang dia buat. Lukisan yang menggambarkan tiga orang yang sedang duduk di atas rerumputan yang berwarna hijau. Raya bilang, mereka adalah Raya, aku, dan Mas Abi."Raya tidur saja dulu, ya?"Aku membujuk Raya supaya dia mau tidur. Nanti kalau dia sudah tidur
POV. AnjaniTidak salah lagi. Dalam sepersekian detik aku melirik, aku melihat kakinya kian maju ke arahku."Anjani, bagaimana keadaan Raya?"Aku memilih diam. Toh dia juga bisa melihat sendiri, bagaimana keadaan putrinya saat ini."Anjani, aku minta maaf, jika perbuatanku tidak berkenan di hatimu. Aku harap kamu bisa mengerti. Mereka sedang berduka. Istrinya Pak Arman sangat down, hingga tidak bisa mengurus putrinya. Dan kebetulan, saat aku hendak pulang dari tahlilan, anaknya Pak Arman tiba-tiba saja pingsan. Demam tinggi. Karena merasa tidak tega, aku pun menawarkan bantuan. Percayalah. Apa yang aku lakukan, itu semata-mata karena alasan kemanusiaan. Wujud dari bakti seorang bawahan kepada atasannya. Bukan karena ada hal yang lainnya. Pak Arman itu adalah mantan atasanku. Karena beliau, aku bisa bekerja di tempat yang sekarang. Bisa memiliki gaji yang lumayan besar, bisa mencukupi semua kebutuhan kita. Aku banyak berhutang budi pada beliau. Rasanya tidak etis saja, jika setelah bel
POV. AnjaniAku mengenal salah satu dari wanita itu. Dia adalah istrinya Pak Arman, atasan suamiku.Seketika, amarah pun mulai menguasai jiwa. Menghentak-hentak, menabrak-nabrak dinding sukma. Dia yang begitu kami tunggu kepulangannya, ternyata justru ada di sini, bersama anak dan istri atasannya.Apalagi jika mengingat noda merah di dadanya itu. Aku menjadi berfikir, apakah noda itu adalah hasil perbuatan perempuan itu?"Anjani, kamu kenapa ada di sini?" Kudengar, lelakiku yang telah memberiku satu anak itu, bertanya seperti itu."Harusnya aku yang bertanya, Mas, kenapa kamu ada di sini!" Aku menjawab pertanyaannya sembari terus berjalan menuju ke loket pendaftaran."Ini, a--aku membawa anaknya Pak Arman. Dia dem--" Dengan suara terbata, lelaki yang biasanya terlihat berwibawa itu, berusaha menjelaskan kepadaku. Namun aku segera memotong ucapannya. Tidak sudi diri ini mendengar alasannya."Cukup, Mas. Aku tidak sudi mendengarnya. Simpan saja ceritamu. Bagiku Raya lebih penting dari s
POV. Abi"Sayang, maafkan aku ...." Aku memeluknya, sambil mencium keningnya dengan begitu dalam.Rencananya, aku ingin memindahkan tubuhnya ke sofa yang ada di dekat tembok. Namun saat aku baru saja ingin mengangkat tubuh itu, adiknya Reina sudah terlihat menyembulkan kepalanya, dari balik pintu."Mas Abi!" Dia memanggilku."Ssstttt!" Aku menempelkan jari telunjukku di bibirku."Mas Abi!" Dia sepertinya tidak mengindahkan kode yang kuberikan. Terbukti, dia masih saja memanggilku.Aku mengibaskan tanganku keluar, berharap agar gadis itu segera keluar dari ruangan ini. Jangan sampai dia membangunkan Anjani.Namun gadis itu bukannya keluar. Dia justru semakin melangkahkan kakinya ke arahku, sambil berkacak pinggang."Mas, Dita rewel. Menanyakan Mas. Dita maunya gendongan terus. Kasihan Mbak Reina. Dia harus menggendong Dita, sambil membawa tiang infus ke mana-mana.""Iya, sebentar. Kamu ngomongnya jangan keras-keras. Jangan sampai istriku bangun!" Aku berbicara dengan setengah berbisik.
POV. AbiSeketika aku langsung melempar tubuh Reina, ke sebelah samping. Segera kutarik selimut dengan secepatnya, untuk menutup tubuh kami berdua.Kulihat, Adiknya Reina, yang tengah menggendong keponakannya, sudah berdiri di ambang pintu."Dina! Kenapa kamu main nyelonong saja!?"Dengan tubuh yang masih berbalut selimut, Reina berteriak dengan sangat kesal kepada adiknya."Mama, tadi baru saja ngapain? Kenapa main kuda-kudaan nggak pakai baju?" Dita berceloteh, menanyai mamanya."Dina! Bawa Dita keluar dari sini!" Reina menunjuk ke arah mereka semua.Dina yang diteriaki oleh Reina, bukannya pergi. Namun dia justru masih tetap berdiri di ambang pintu, seperti orang yang terpaku."Dina, kamu dengar tidak? Bawa Dita pergi dari sini! Dasar adik tidak tahu sopan santun. Main nyelonong saja tanpa ketuk pintu! Adik tidak ada akhlak. Kurang ajar!" Reina yang tadinya masih dalam posisi berbaring, kini sudah menegakkan punggungnya, menjadi duduk.Dia kembali menarik selimutnya, untuk menutupi
POV. AnjaniAkhirnya, aku hanya bisa mengelus dada yang kian bertambah sesaknya, melihat suamiku yang sudah pergi dengan mobilnya.Tidak apa-apa. Nanti malam dia pulang. Aku harus belajar menjadi istri yang pengertian. Atau mungkin nanti malam aku bisa menyelidikinya, mengintai rumah atasannya itu dari kejauhan. Benarkah ada acara tahlil atau tidak. Benarkah suamiku pergi ke sana atau tidak. Ya, mungkin aku memang harus mengintainya.****Saat bangun dari tidurnya, Raya kembali menanyakan papanya. Kukarang saja sebuah cerita, bahwa sore ini, papanya lembur hingga nanti jam sepuluh malam.Anak itu pun mengerti. Apalagi boneka yang tadi dibelikan oleh papanya itu, cukup menghiburnya.Dia menunggu ayahnya, sambil menyelesaikan lukisan yang dia buat. Lukisan yang menggambarkan tiga orang yang sedang duduk di atas rerumputan yang berwarna hijau. Raya bilang, mereka adalah Raya, aku, dan Mas Abi."Raya tidur saja dulu, ya?"Aku membujuk Raya supaya dia mau tidur. Nanti kalau dia sudah tidur
POV. Anjani"Aku mimpi kamu tidur dengan seorang perempuan ...." Aku sudah tidak kuat membendung tangisan.Tangisku pecah. Aku sesenggukan di dadanya. Namun Mas Abi justru tertawa, memperlihatkan gigi-giginya. Lelaki yang belum sempat berpakaian itu kemudian merengkuh tubuhku. Membawaku ke dalam pelukannya."Kamu pasti stres, karena kutinggal pergi sehari semalam. Iya, kan? Jangan banyak pikiran. Nanti cantiknya hilang." Dia menatapku dengan penuh kelembutan."Aku tahu, kamu kangen sama aku. Kamu baru selesai menstruasi, kan?"Lelaki yang bergelar sebagai suamiku itu pun, membawaku ke ranjang. Mulai membawaku kepada ibadah halal. Dia bahkan setengah memaksa, ketika aku menolaknya.Hingga akhirnya aku pun melayaninya. Memadu kasih dengannya. Tapi kenapa rasanya berbeda? Seperti tidak seindah ketika sebelum-sebelumnya.Ibarat makanan, hanya terasa hambar. Seperti makan makanan sisa. Sedikit pun, tidak ada semangat yang berkobar. Seolah kami hanya sedang menggugurkan kewajiban.Tidak ada
POV. Abi"Apakah hanya karena aku baik pada suamiku, lantas kamu menaruh hati kepadaku?" tanya dia."Bukan, bukan hanya karena itu. Tentu saja ada banyak sisi baikmu yang membuat aku jatuh cinta. Kamu baik, kamu cantik, karirmu juga bagus. Kamu adalah wanita yang teramat sempurna ...."Dia terpana, mendengar kalimat yang baru saja. Ya, aku memang berbicara apa adanya. Selama ini, aku memang mengaguminya."Sayang, ya? Kita bertemu di saat kita sudah punya pasangan ...." Dia terlihat menyesali keadaannya. Raut sedih pun, kini menghiasi wajah cantiknya."Tidak ada yang salah. Cinta tidak pernah salah. Perasaanku, perasaanmu, tidak ada yang salah. Rasa itu hadir dengan sendirinya. Bukan kita yang menginginkannya. Kita jalani saja dulu. Aku bahkan sudah mengagumimu sejak pertama kita bertemu. Aku mencintaimu ...."Entah benar dari hati atau karena bujukan setan, aku sudah tidak bisa membedakan. Yang ada, saat ini aku merasa sangat senang, karena ternyata dia juga menyimpan cinta yang sama.
POV. AbiKemudian dia menyibak pakaian panjangnya, dan tampaklah apa yang tadi ditutupinya. Dia menunjuk pada kakinya yang sedikit kemerahan karena terkena air panas.Namun ternyata aku justru gagal fokus dalam melihatnya. Pandanganku justru terfokus pada kaki jenjangnya yang tampak begitu indah dan menggoda iman."Ayo, bantu aku masuk ke kamar ...." Dia mengulurkan tangannya.Dengan ragu dan gemetar, aku pun lekas membalasnya, dengan mengulurkan tanganku. Aku memegang tangannya, mengajaknya berjalan.Namun tubuhnya justru semakin lemas. Hingga tangannya kini sudah menuntun tanganku untuk memegang pinggangnya.Akhirnya aku pun menggendong tubuh itu. Aku menggendongnya di depan, dengan posisi tangan kananku menyangga tengkuknya, sementara tangan kiriku menyangga bagian belakang lututnya.Sambil membawanya ke kamar, kami saling berpandangan dengan jarak wajah yang begitu dekat. Dia bahkan mengalungkan kedua tangannya di leherku.Jantungku semakin terpompa dengan lebih cepat. Bagaimanapu
POV. AbiHingga akhirnya ada kejadian yang terlihat begitu menyedihkan. Perempuan itu pingsan berkali-kali.Melihat keadaan yang sangat menyedihkan seperti itu, aku pun memutuskan untuk tetap berada di sini.Apalagi jika melihat anaknya yang masih kecil. Sungguh, aku merasa tidak tega. Anak yang seumuran dengan Raya, namun sudah menjadi yatim, ditinggal mati oleh ayahnya.Anaknya terus-terusan menangis, sementara mamanya terbaring tidak sadarkan diri.Mau tidak mau, akulah yang menenangkan anak itu. Menggendongnya sepanjang malam hingga pagi.Pagi-pagi sekali, Anjani sudah menelponku, menanyakan tentang kepulanganku. Kujawab saja, bahwa jenasah belum dikebumikan, dan aku belum bisa pulang.Namun tidak berselang lama kemudian, dia justru melakukan panggilan video.Aku yang sedang menggendong sambil menyuapi Dita anaknya Pak Arman, pun langsung mengangkat panggilan video itu.Ternyata Raya yang menelpon. Raya terlihat sangat marah. Dan telpon pun langsung dimatikan.Sudahlah, biar saja.