Dengan cekatan, aku segera menyiapkan air hangat untuk memandikan anakku. Setelah semuanya siap, segera kuambil Raya dari pangkuan ibu mertuaku, untuk kumandikan. Ibu mertua pun pulang ke rumah sebelah.
Setelah mandi, suhu badannya Raya sudah agak mendingan. Tidak sepanas tadi malam. Bahkan, kuraba-raba, suhu badannya terasa seperti normal.Aku pun lekas menyuapinya. Lumayan, sarapan pagi ini bisa termakan separuhnya. Obat pun kemudian kuberikan."Raya mau nonton tv?" Aku sudah menyalakan tv, memilih channel kesukaan anakku."Matikan saja tv-nya, Ma. Raya mau melukis. Sudah dua hari Raya tidak melukis."Masyaallah, putriku yang belum sehat benar, ternyata sudah ingin memulai rutinitasnya. Dia memang tipe anak yang penuh semangat. Selain hobi melukis, Raya juga sedang belajar membaca dan berhitung. Kecerdasan Raya, terlihat lebih menonjol, jika dibanding dengan anak-anak seusianya."Raya, tidak usah belajar dulu tidak apa-apa. Nanti kalau Raya sudah sembuh, Raya mulai belajar lagi." Aku merasa kasihan dengan keadaannya yang belum pulih benar."Tapi Raya sudah sehat kok, Ma. Tulang-tulangnya Raya sudah tidak sakit lagi." Anak itu berjalan mengambil perlengkapan melukisnya.Sebuah buku gambar besar, pensil, penghapus, dan juga cat air.Tangan kecil itu mulai memegang pensil, dan bergerak-gerak di atas kertasnya. Dalam beberapa menit, sudah mulai tampak sketsa gambar yang ingin dilukisnya.Hatiku teramat lega, melihat putriku sepertinya sudah pulih seperti biasanya. Semoga dia benar-benar sembuh, agar besok, aku bisa bekerja seperti biasanya. Dua hari ini aku terpaksa cuti, karena Raya sedang demam tinggi. Tidak mungkin kutinggalkan dia di rumah seorang diri.Saat Raya sedang sibuk dengan kegiatannya, aku pun menunggu di sampingnya. Hal yang sering kulakukan, jika memang aku sedang ada waktu senggang.Dari pagi hingga siang, Mas Abi tidak kunjung pulang. Kutelpon pun, tidak pernah diangkat. Mencoba kutelpon pihak kantor, mereka bilang, pagi tadi suamiku itu mengajukan cuti. Ingin bertanya banyak hal kepada orang kantor, aku merasa tidak enak, takut mereka akan berfikiran yang tidak-tidak.Entah Mas Abi masih ada di rumah almarhum Arman atau tidak, aku tidak tahu. Jika dia memang berbohong atau mendusta pun, hanya dia dan Allah saja yang mengetahuinya.Untuk menyusul suamiku ke rumah almarhum Arman pun, itu juga tidak mungkin bagiku. Aku masih punya rasa malu.Raya melakukan kegiatan melukis, hingga siang. Bahkan dia sempat bilang, bahwa besok dia sudah siap untuk berangkat ke sekolah seperti biasanya.Selepas shalat zhuhur, aku segera memberikan dia makan siang, memberikan dia obat, dan kemudian kuajak untuk tidur siang.Raya sudah terpejam, dengan nafasnya yang begitu lembut beraturan. Aku pun sebenarnya juga lelah dan mengantuk. Namun saat mataku baru bisa sedikit terpejam, tiba-tiba aku langsung terbangun.Sebuah mimpi yang sangat buruk, terasa begitu mengejutkan. Aku terbangun dengan nafas yang tersengal.Dalam mimpiku, aku seolah melihat suamiku yang sedang tidur dengan perempuan. Mimpi itu terlihat seperti begitu nyata.Setelah bermimpi seperti itu, aku langsung kembali berusaha menelponnya. Namun lagi-lagi dia tidak mengangkat telponku.Hingga aku menjadi begitu lunglai. Hanya duduk dengan tatapan kosong, dari siang hingga sore.Sorenya, seperti biasanya, aku memasak untuk menyiapkan makan malam. Saat aku sedang sibuk di dapur, terdengar deru suara mobil suamiku yang berhenti di halaman.Lekas kusongsong dia ke depan. Terlihat wajahnya yang menyiratkan kelelahan. Tangannya memeluk sebuah boneka besar. Boneka yang mungkin baru saja dibelinya untuk Raya.Tanpa memperhatikan sedikit pun raut kesal, aku segera mencium tangannya, dan memberikan senyuman terbaik yang kupunya. Kusimpan dulu berbagai pertanyaan yang merongrong jiwa.Bahkan setelah aku menerima boneka itu, aku rasanya ingin menghamburkan tubuhku di pelukannya. Namun dia menolakku."Jangan minta peluk. Aku masih bau tanah kuburan," ucapnya.Akhirnya kami pun masuk ke dalam, dengan langkah beriringan."Saya buatkan teh ya, Mas?"Dia terlihat mengangguk, kemudian menyandarkan punggungnya di sandaran sofa."Raya, mana?" Mas Abi bertanya."Masih tidur, Mas. Mungkin karena pengaruh obat," jawabku sambil berlalu menuju dapur.Usai teh kubuat, tak kudapati suamiku di ruang tamu. Ternyata dia sedang mandi. Sementara, Raya masih tertidur pulas di kamarnya. Boneka yang tadi dibelikan oleh Mas Abi, sudah ikut terbaring di sampingnya. Pasti, suamiku yang sudah menaruhnya.Sengaja, aku menunggu suamiku dengan duduk di bibir ranjang. Pandangan mata, melihat ke arah pintu kamar mandi yang mulai terbuka perlahan.Suamiku keluar dengan rambut basahnya. Tubuhnya hanya berbalut handuk berwarna putih, yang menutupi bagian bawah pusar hingga atas lututnya."Sudah selesai, Mas?" Aku memberikan pakaian yang sudah kusiapkan.Namun pandanganku justru menangkap adanya sesuatu yang janggal.Aku melihat ada noda. Noda berwarna merah, di dada suamiku.Kutatap lagi dengan lebih seksama. Lebih mendekat lagi ke arahnya. Bahkan kini tanganku telah terulur, menyentuh dadanya."Ini bekas apa, Mas?"Aku bertanya dengan nada tinggi. Berbagai prasangka buruk, mulai menghantui. Aku mulai mengait-ngaitkan dengan mimpiku siang tadi."Oh, be--kas? be--kas a--pa, maksudmu?" Mas Abi gelagapan.Lelakiku itu meraba-raba dadanya. Karena tidak sabar, maka aku lekas menyeretnya ke depan kaca, agar dia juga melihatnya."Oh ... ini? Ini mungkin tadi digigit nyamuk kuburan, Sayang, soalnya tadi kami agak lama di kuburan. Dan di sana banyak nyamuknya!" jawabnya cepat."Digigit nyamuk kuburan? Memangnya kamu di kuburan tadi tidak pakai baju?"Suamiku kembali gelagapan, menghadapi pertanyaanku. Dia seperti tidak siap menghadapi seranganku."Em ... pakai baju, sih, tapi nyamuknya ganas-ganas. Mulutnya runcing. Bahkan celana jins pun, bisa tembus.""Sudahlah, Mas. Aku bukan anak kecil. Aku tahu itu bekas gigitan apa. Yang jadi pertanyaanku, kamu melakukannya dengan siapa?"Aku memutar tubuh suamiku dengan kasar. Kami yang tadinya berdiri berhadapan, kini dia menjadi membelakangiku. Kuteliti sekujur tubuhnya. Dari ujung kaki hingga sampai ke ujung kepalanya. Hingga akhirnya, di belakang telinganya, aku juga menemukan noda yang sama.Rasa sesak ini kian menyiksa dada. Mimpiku siang tadi, kembali terbayang dengan begitu nyata. Tapi dengan siapa suamiku melakukannya?Tidak mungkin dia melakukan dengan istrinya Pak Arman. Di rumah itu pasti ada banyak orang."Sayang, please, jangan curigaan. Aku tidak pernah mengkhianatimu. Lagi pula, cobalah kamu berfikir jernih. Mana mungkin aku sempat begituan. Aku tidak pergi ke mana-mana, selain di rumah duka dan di kuburan. Itu pun, di sana juga ada banyak orang. Kamu pakai nalar, dong. Atau kalau kamu tidak percaya, kamu tanya saja sama teman-teman kantorku." Mas Abi memberikan ponselnya kepadaku.Entahlah, aku bingung. Jika dipikir, memang selama ini, kelakuan Mas Abi sama sekali tidak terdapat keanehan. Hanya sejak atasannya meninggal itu saja, kelakuannya menjadi menyebalkan."Sayang, percayalah sama aku. Aku sangat mencintaimu. Tidak pernah sedikit pun terlintas dalam benakku untuk menduakan kamu. Kamu adalah satu-satunya. Kalian itu sangatlah berharga ... kamu percaya kan, sama aku?"Dia menatapku begitu dalam. Menatapku dengan penuh keyakinan, tidak sedikit pun memperlihatkan keraguan."Kamu itu perempuan yang cerdas. Berpikirlah yang jernih. Jangan karena hal yang seperti ini, kamu menjadi berfikiran buruk pada suami.""Tapi tadi aku mimpi buruk, Mas ....""Mimpi buruk apa, Sayang ....""Aku mimpi kamu tidur dengan seorang perempuan ...." Aku sudah tidak kuat membendung tangisan.POV. Abi[Mas, aku sudah tidak kuat ....]Sebuah pesan masuk, di aplikasi berlogo gagang telpon berwarna hijau. Pesan dari Reina, istrinya Pak Arman, rekan kerja sekantorku.Pak Arman adalah atasanku. Namun semenjak dia sakit-sakitan, dia sudah tidak bisa lagi bekerja. Dan aku adalah salah satu rekan kerjanya yang paling sering menjenguknya.Menjenguk ketika dia dirawat di rumah sakit, juga menjenguk ketika dia menjalani rawat jalan di rumah.Setiap menjenguk Pak Arman, otomatis aku akan bertemu dengan istrinya. Istrinya yang selalu berpenampilan cantik dan seksi layaknya selebriti.Karena seringnya aku menjenguk Pak Arman, aku pun menjadi akrab dengan istrinya. Dia menjadi sering mengungkapkan keluh kesahnya kepadaku. Dan aku pun tidak bisa untuk tidak membalasnya, jika perempuan cantik itu sudah mengirimkan pesan-pesannya.[Tidak kuat bagaimana, maksudnya?]Sambil menengok ke kanan dan ke kiri, aku membalas pesannya. Aku takut istriku akan mengetahuinya.Ya, meskipun aku dan Reina t
POV. AbiHingga akhirnya ada kejadian yang terlihat begitu menyedihkan. Perempuan itu pingsan berkali-kali.Melihat keadaan yang sangat menyedihkan seperti itu, aku pun memutuskan untuk tetap berada di sini.Apalagi jika melihat anaknya yang masih kecil. Sungguh, aku merasa tidak tega. Anak yang seumuran dengan Raya, namun sudah menjadi yatim, ditinggal mati oleh ayahnya.Anaknya terus-terusan menangis, sementara mamanya terbaring tidak sadarkan diri.Mau tidak mau, akulah yang menenangkan anak itu. Menggendongnya sepanjang malam hingga pagi.Pagi-pagi sekali, Anjani sudah menelponku, menanyakan tentang kepulanganku. Kujawab saja, bahwa jenasah belum dikebumikan, dan aku belum bisa pulang.Namun tidak berselang lama kemudian, dia justru melakukan panggilan video.Aku yang sedang menggendong sambil menyuapi Dita anaknya Pak Arman, pun langsung mengangkat panggilan video itu.Ternyata Raya yang menelpon. Raya terlihat sangat marah. Dan telpon pun langsung dimatikan.Sudahlah, biar saja.
POV. AbiKemudian dia menyibak pakaian panjangnya, dan tampaklah apa yang tadi ditutupinya. Dia menunjuk pada kakinya yang sedikit kemerahan karena terkena air panas.Namun ternyata aku justru gagal fokus dalam melihatnya. Pandanganku justru terfokus pada kaki jenjangnya yang tampak begitu indah dan menggoda iman."Ayo, bantu aku masuk ke kamar ...." Dia mengulurkan tangannya.Dengan ragu dan gemetar, aku pun lekas membalasnya, dengan mengulurkan tanganku. Aku memegang tangannya, mengajaknya berjalan.Namun tubuhnya justru semakin lemas. Hingga tangannya kini sudah menuntun tanganku untuk memegang pinggangnya.Akhirnya aku pun menggendong tubuh itu. Aku menggendongnya di depan, dengan posisi tangan kananku menyangga tengkuknya, sementara tangan kiriku menyangga bagian belakang lututnya.Sambil membawanya ke kamar, kami saling berpandangan dengan jarak wajah yang begitu dekat. Dia bahkan mengalungkan kedua tangannya di leherku.Jantungku semakin terpompa dengan lebih cepat. Bagaimanapu
POV. Abi"Apakah hanya karena aku baik pada suamiku, lantas kamu menaruh hati kepadaku?" tanya dia."Bukan, bukan hanya karena itu. Tentu saja ada banyak sisi baikmu yang membuat aku jatuh cinta. Kamu baik, kamu cantik, karirmu juga bagus. Kamu adalah wanita yang teramat sempurna ...."Dia terpana, mendengar kalimat yang baru saja. Ya, aku memang berbicara apa adanya. Selama ini, aku memang mengaguminya."Sayang, ya? Kita bertemu di saat kita sudah punya pasangan ...." Dia terlihat menyesali keadaannya. Raut sedih pun, kini menghiasi wajah cantiknya."Tidak ada yang salah. Cinta tidak pernah salah. Perasaanku, perasaanmu, tidak ada yang salah. Rasa itu hadir dengan sendirinya. Bukan kita yang menginginkannya. Kita jalani saja dulu. Aku bahkan sudah mengagumimu sejak pertama kita bertemu. Aku mencintaimu ...."Entah benar dari hati atau karena bujukan setan, aku sudah tidak bisa membedakan. Yang ada, saat ini aku merasa sangat senang, karena ternyata dia juga menyimpan cinta yang sama.
POV. Anjani"Aku mimpi kamu tidur dengan seorang perempuan ...." Aku sudah tidak kuat membendung tangisan.Tangisku pecah. Aku sesenggukan di dadanya. Namun Mas Abi justru tertawa, memperlihatkan gigi-giginya. Lelaki yang belum sempat berpakaian itu kemudian merengkuh tubuhku. Membawaku ke dalam pelukannya."Kamu pasti stres, karena kutinggal pergi sehari semalam. Iya, kan? Jangan banyak pikiran. Nanti cantiknya hilang." Dia menatapku dengan penuh kelembutan."Aku tahu, kamu kangen sama aku. Kamu baru selesai menstruasi, kan?"Lelaki yang bergelar sebagai suamiku itu pun, membawaku ke ranjang. Mulai membawaku kepada ibadah halal. Dia bahkan setengah memaksa, ketika aku menolaknya.Hingga akhirnya aku pun melayaninya. Memadu kasih dengannya. Tapi kenapa rasanya berbeda? Seperti tidak seindah ketika sebelum-sebelumnya.Ibarat makanan, hanya terasa hambar. Seperti makan makanan sisa. Sedikit pun, tidak ada semangat yang berkobar. Seolah kami hanya sedang menggugurkan kewajiban.Tidak ada
POV. AnjaniAkhirnya, aku hanya bisa mengelus dada yang kian bertambah sesaknya, melihat suamiku yang sudah pergi dengan mobilnya.Tidak apa-apa. Nanti malam dia pulang. Aku harus belajar menjadi istri yang pengertian. Atau mungkin nanti malam aku bisa menyelidikinya, mengintai rumah atasannya itu dari kejauhan. Benarkah ada acara tahlil atau tidak. Benarkah suamiku pergi ke sana atau tidak. Ya, mungkin aku memang harus mengintainya.****Saat bangun dari tidurnya, Raya kembali menanyakan papanya. Kukarang saja sebuah cerita, bahwa sore ini, papanya lembur hingga nanti jam sepuluh malam.Anak itu pun mengerti. Apalagi boneka yang tadi dibelikan oleh papanya itu, cukup menghiburnya.Dia menunggu ayahnya, sambil menyelesaikan lukisan yang dia buat. Lukisan yang menggambarkan tiga orang yang sedang duduk di atas rerumputan yang berwarna hijau. Raya bilang, mereka adalah Raya, aku, dan Mas Abi."Raya tidur saja dulu, ya?"Aku membujuk Raya supaya dia mau tidur. Nanti kalau dia sudah tidur
POV. AbiSeketika aku langsung melempar tubuh Reina, ke sebelah samping. Segera kutarik selimut dengan secepatnya, untuk menutup tubuh kami berdua.Kulihat, Adiknya Reina, yang tengah menggendong keponakannya, sudah berdiri di ambang pintu."Dina! Kenapa kamu main nyelonong saja!?"Dengan tubuh yang masih berbalut selimut, Reina berteriak dengan sangat kesal kepada adiknya."Mama, tadi baru saja ngapain? Kenapa main kuda-kudaan nggak pakai baju?" Dita berceloteh, menanyai mamanya."Dina! Bawa Dita keluar dari sini!" Reina menunjuk ke arah mereka semua.Dina yang diteriaki oleh Reina, bukannya pergi. Namun dia justru masih tetap berdiri di ambang pintu, seperti orang yang terpaku."Dina, kamu dengar tidak? Bawa Dita pergi dari sini! Dasar adik tidak tahu sopan santun. Main nyelonong saja tanpa ketuk pintu! Adik tidak ada akhlak. Kurang ajar!" Reina yang tadinya masih dalam posisi berbaring, kini sudah menegakkan punggungnya, menjadi duduk.Dia kembali menarik selimutnya, untuk menutupi
POV. Abi"Sayang, maafkan aku ...." Aku memeluknya, sambil mencium keningnya dengan begitu dalam.Rencananya, aku ingin memindahkan tubuhnya ke sofa yang ada di dekat tembok. Namun saat aku baru saja ingin mengangkat tubuh itu, adiknya Reina sudah terlihat menyembulkan kepalanya, dari balik pintu."Mas Abi!" Dia memanggilku."Ssstttt!" Aku menempelkan jari telunjukku di bibirku."Mas Abi!" Dia sepertinya tidak mengindahkan kode yang kuberikan. Terbukti, dia masih saja memanggilku.Aku mengibaskan tanganku keluar, berharap agar gadis itu segera keluar dari ruangan ini. Jangan sampai dia membangunkan Anjani.Namun gadis itu bukannya keluar. Dia justru semakin melangkahkan kakinya ke arahku, sambil berkacak pinggang."Mas, Dita rewel. Menanyakan Mas. Dita maunya gendongan terus. Kasihan Mbak Reina. Dia harus menggendong Dita, sambil membawa tiang infus ke mana-mana.""Iya, sebentar. Kamu ngomongnya jangan keras-keras. Jangan sampai istriku bangun!" Aku berbicara dengan setengah berbisik.
POV. AnjaniTidak salah lagi. Dalam sepersekian detik aku melirik, aku melihat kakinya kian maju ke arahku."Anjani, bagaimana keadaan Raya?"Aku memilih diam. Toh dia juga bisa melihat sendiri, bagaimana keadaan putrinya saat ini."Anjani, aku minta maaf, jika perbuatanku tidak berkenan di hatimu. Aku harap kamu bisa mengerti. Mereka sedang berduka. Istrinya Pak Arman sangat down, hingga tidak bisa mengurus putrinya. Dan kebetulan, saat aku hendak pulang dari tahlilan, anaknya Pak Arman tiba-tiba saja pingsan. Demam tinggi. Karena merasa tidak tega, aku pun menawarkan bantuan. Percayalah. Apa yang aku lakukan, itu semata-mata karena alasan kemanusiaan. Wujud dari bakti seorang bawahan kepada atasannya. Bukan karena ada hal yang lainnya. Pak Arman itu adalah mantan atasanku. Karena beliau, aku bisa bekerja di tempat yang sekarang. Bisa memiliki gaji yang lumayan besar, bisa mencukupi semua kebutuhan kita. Aku banyak berhutang budi pada beliau. Rasanya tidak etis saja, jika setelah bel
POV. AnjaniAku mengenal salah satu dari wanita itu. Dia adalah istrinya Pak Arman, atasan suamiku.Seketika, amarah pun mulai menguasai jiwa. Menghentak-hentak, menabrak-nabrak dinding sukma. Dia yang begitu kami tunggu kepulangannya, ternyata justru ada di sini, bersama anak dan istri atasannya.Apalagi jika mengingat noda merah di dadanya itu. Aku menjadi berfikir, apakah noda itu adalah hasil perbuatan perempuan itu?"Anjani, kamu kenapa ada di sini?" Kudengar, lelakiku yang telah memberiku satu anak itu, bertanya seperti itu."Harusnya aku yang bertanya, Mas, kenapa kamu ada di sini!" Aku menjawab pertanyaannya sembari terus berjalan menuju ke loket pendaftaran."Ini, a--aku membawa anaknya Pak Arman. Dia dem--" Dengan suara terbata, lelaki yang biasanya terlihat berwibawa itu, berusaha menjelaskan kepadaku. Namun aku segera memotong ucapannya. Tidak sudi diri ini mendengar alasannya."Cukup, Mas. Aku tidak sudi mendengarnya. Simpan saja ceritamu. Bagiku Raya lebih penting dari s
POV. Abi"Sayang, maafkan aku ...." Aku memeluknya, sambil mencium keningnya dengan begitu dalam.Rencananya, aku ingin memindahkan tubuhnya ke sofa yang ada di dekat tembok. Namun saat aku baru saja ingin mengangkat tubuh itu, adiknya Reina sudah terlihat menyembulkan kepalanya, dari balik pintu."Mas Abi!" Dia memanggilku."Ssstttt!" Aku menempelkan jari telunjukku di bibirku."Mas Abi!" Dia sepertinya tidak mengindahkan kode yang kuberikan. Terbukti, dia masih saja memanggilku.Aku mengibaskan tanganku keluar, berharap agar gadis itu segera keluar dari ruangan ini. Jangan sampai dia membangunkan Anjani.Namun gadis itu bukannya keluar. Dia justru semakin melangkahkan kakinya ke arahku, sambil berkacak pinggang."Mas, Dita rewel. Menanyakan Mas. Dita maunya gendongan terus. Kasihan Mbak Reina. Dia harus menggendong Dita, sambil membawa tiang infus ke mana-mana.""Iya, sebentar. Kamu ngomongnya jangan keras-keras. Jangan sampai istriku bangun!" Aku berbicara dengan setengah berbisik.
POV. AbiSeketika aku langsung melempar tubuh Reina, ke sebelah samping. Segera kutarik selimut dengan secepatnya, untuk menutup tubuh kami berdua.Kulihat, Adiknya Reina, yang tengah menggendong keponakannya, sudah berdiri di ambang pintu."Dina! Kenapa kamu main nyelonong saja!?"Dengan tubuh yang masih berbalut selimut, Reina berteriak dengan sangat kesal kepada adiknya."Mama, tadi baru saja ngapain? Kenapa main kuda-kudaan nggak pakai baju?" Dita berceloteh, menanyai mamanya."Dina! Bawa Dita keluar dari sini!" Reina menunjuk ke arah mereka semua.Dina yang diteriaki oleh Reina, bukannya pergi. Namun dia justru masih tetap berdiri di ambang pintu, seperti orang yang terpaku."Dina, kamu dengar tidak? Bawa Dita pergi dari sini! Dasar adik tidak tahu sopan santun. Main nyelonong saja tanpa ketuk pintu! Adik tidak ada akhlak. Kurang ajar!" Reina yang tadinya masih dalam posisi berbaring, kini sudah menegakkan punggungnya, menjadi duduk.Dia kembali menarik selimutnya, untuk menutupi
POV. AnjaniAkhirnya, aku hanya bisa mengelus dada yang kian bertambah sesaknya, melihat suamiku yang sudah pergi dengan mobilnya.Tidak apa-apa. Nanti malam dia pulang. Aku harus belajar menjadi istri yang pengertian. Atau mungkin nanti malam aku bisa menyelidikinya, mengintai rumah atasannya itu dari kejauhan. Benarkah ada acara tahlil atau tidak. Benarkah suamiku pergi ke sana atau tidak. Ya, mungkin aku memang harus mengintainya.****Saat bangun dari tidurnya, Raya kembali menanyakan papanya. Kukarang saja sebuah cerita, bahwa sore ini, papanya lembur hingga nanti jam sepuluh malam.Anak itu pun mengerti. Apalagi boneka yang tadi dibelikan oleh papanya itu, cukup menghiburnya.Dia menunggu ayahnya, sambil menyelesaikan lukisan yang dia buat. Lukisan yang menggambarkan tiga orang yang sedang duduk di atas rerumputan yang berwarna hijau. Raya bilang, mereka adalah Raya, aku, dan Mas Abi."Raya tidur saja dulu, ya?"Aku membujuk Raya supaya dia mau tidur. Nanti kalau dia sudah tidur
POV. Anjani"Aku mimpi kamu tidur dengan seorang perempuan ...." Aku sudah tidak kuat membendung tangisan.Tangisku pecah. Aku sesenggukan di dadanya. Namun Mas Abi justru tertawa, memperlihatkan gigi-giginya. Lelaki yang belum sempat berpakaian itu kemudian merengkuh tubuhku. Membawaku ke dalam pelukannya."Kamu pasti stres, karena kutinggal pergi sehari semalam. Iya, kan? Jangan banyak pikiran. Nanti cantiknya hilang." Dia menatapku dengan penuh kelembutan."Aku tahu, kamu kangen sama aku. Kamu baru selesai menstruasi, kan?"Lelaki yang bergelar sebagai suamiku itu pun, membawaku ke ranjang. Mulai membawaku kepada ibadah halal. Dia bahkan setengah memaksa, ketika aku menolaknya.Hingga akhirnya aku pun melayaninya. Memadu kasih dengannya. Tapi kenapa rasanya berbeda? Seperti tidak seindah ketika sebelum-sebelumnya.Ibarat makanan, hanya terasa hambar. Seperti makan makanan sisa. Sedikit pun, tidak ada semangat yang berkobar. Seolah kami hanya sedang menggugurkan kewajiban.Tidak ada
POV. Abi"Apakah hanya karena aku baik pada suamiku, lantas kamu menaruh hati kepadaku?" tanya dia."Bukan, bukan hanya karena itu. Tentu saja ada banyak sisi baikmu yang membuat aku jatuh cinta. Kamu baik, kamu cantik, karirmu juga bagus. Kamu adalah wanita yang teramat sempurna ...."Dia terpana, mendengar kalimat yang baru saja. Ya, aku memang berbicara apa adanya. Selama ini, aku memang mengaguminya."Sayang, ya? Kita bertemu di saat kita sudah punya pasangan ...." Dia terlihat menyesali keadaannya. Raut sedih pun, kini menghiasi wajah cantiknya."Tidak ada yang salah. Cinta tidak pernah salah. Perasaanku, perasaanmu, tidak ada yang salah. Rasa itu hadir dengan sendirinya. Bukan kita yang menginginkannya. Kita jalani saja dulu. Aku bahkan sudah mengagumimu sejak pertama kita bertemu. Aku mencintaimu ...."Entah benar dari hati atau karena bujukan setan, aku sudah tidak bisa membedakan. Yang ada, saat ini aku merasa sangat senang, karena ternyata dia juga menyimpan cinta yang sama.
POV. AbiKemudian dia menyibak pakaian panjangnya, dan tampaklah apa yang tadi ditutupinya. Dia menunjuk pada kakinya yang sedikit kemerahan karena terkena air panas.Namun ternyata aku justru gagal fokus dalam melihatnya. Pandanganku justru terfokus pada kaki jenjangnya yang tampak begitu indah dan menggoda iman."Ayo, bantu aku masuk ke kamar ...." Dia mengulurkan tangannya.Dengan ragu dan gemetar, aku pun lekas membalasnya, dengan mengulurkan tanganku. Aku memegang tangannya, mengajaknya berjalan.Namun tubuhnya justru semakin lemas. Hingga tangannya kini sudah menuntun tanganku untuk memegang pinggangnya.Akhirnya aku pun menggendong tubuh itu. Aku menggendongnya di depan, dengan posisi tangan kananku menyangga tengkuknya, sementara tangan kiriku menyangga bagian belakang lututnya.Sambil membawanya ke kamar, kami saling berpandangan dengan jarak wajah yang begitu dekat. Dia bahkan mengalungkan kedua tangannya di leherku.Jantungku semakin terpompa dengan lebih cepat. Bagaimanapu
POV. AbiHingga akhirnya ada kejadian yang terlihat begitu menyedihkan. Perempuan itu pingsan berkali-kali.Melihat keadaan yang sangat menyedihkan seperti itu, aku pun memutuskan untuk tetap berada di sini.Apalagi jika melihat anaknya yang masih kecil. Sungguh, aku merasa tidak tega. Anak yang seumuran dengan Raya, namun sudah menjadi yatim, ditinggal mati oleh ayahnya.Anaknya terus-terusan menangis, sementara mamanya terbaring tidak sadarkan diri.Mau tidak mau, akulah yang menenangkan anak itu. Menggendongnya sepanjang malam hingga pagi.Pagi-pagi sekali, Anjani sudah menelponku, menanyakan tentang kepulanganku. Kujawab saja, bahwa jenasah belum dikebumikan, dan aku belum bisa pulang.Namun tidak berselang lama kemudian, dia justru melakukan panggilan video.Aku yang sedang menggendong sambil menyuapi Dita anaknya Pak Arman, pun langsung mengangkat panggilan video itu.Ternyata Raya yang menelpon. Raya terlihat sangat marah. Dan telpon pun langsung dimatikan.Sudahlah, biar saja.