POV. Abi
Hingga akhirnya ada kejadian yang terlihat begitu menyedihkan. Perempuan itu pingsan berkali-kali.Melihat keadaan yang sangat menyedihkan seperti itu, aku pun memutuskan untuk tetap berada di sini.Apalagi jika melihat anaknya yang masih kecil. Sungguh, aku merasa tidak tega. Anak yang seumuran dengan Raya, namun sudah menjadi yatim, ditinggal mati oleh ayahnya.Anaknya terus-terusan menangis, sementara mamanya terbaring tidak sadarkan diri.Mau tidak mau, akulah yang menenangkan anak itu. Menggendongnya sepanjang malam hingga pagi.Pagi-pagi sekali, Anjani sudah menelponku, menanyakan tentang kepulanganku. Kujawab saja, bahwa jenasah belum dikebumikan, dan aku belum bisa pulang.Namun tidak berselang lama kemudian, dia justru melakukan panggilan video.Aku yang sedang menggendong sambil menyuapi Dita anaknya Pak Arman, pun langsung mengangkat panggilan video itu.Ternyata Raya yang menelpon. Raya terlihat sangat marah. Dan telpon pun langsung dimatikan.Sudahlah, biar saja. Hanya anak kecil. Nanti bisa kubujuk dengan membelikan boneka baru.Setelah itu, telpon pun kembali berdering. Namun kubiarkan saja. Aku khawatir, jika Raya mengadu kepada mamanya, dan kemudian istriku itu akan mengomeliku, aku akan malu. Masih ada banyak orang di sini.Kuteruskan saja kegiatanku menyuapi anak kecil itu, tanpa kuhiraukan suara dering ponselku.Hingga akhirnya jenazah pun dibawa ke pemakaman, dan dikebumikan.Saat pemakaman itulah, Reina kembali pingsan. Sehingga dia harus dipapah, dan kemudian dimasukkan ke dalam mobil. Melihatnya, aku semakin merasa tidak tega. Kasihan sekali, dia.Usai jenazah dikebumikan, para pelayat pun kemudian pulang ke rumah masing-masing.Sementara, aku justru masih merasa ragu. Ingin langsung pulang, aku tidak tega dengan anak istrinya Pak Arman, sementara jika ingin tetap di rumah mereka, aku takut akan timbul fitnah. Entahlah. Biar saja nanti aku melihat situasi dan kondisi.Masih dalam gendonganku, aku kembali membawa Dita pulang ke rumahnya.Rumah sudah sepi, karena semua pelayat sudah pergi. Hanya menyisakan aku, Reina, Dita, dan juga adiknya Reina, yang baru saja datang dari luar kota."Dita, Om pulang dulu, ya?" Aku menurunkan anak kecil itu dari gendonganku."Jangan pulang, Om. Dita mau sama Om ...." Anak kecil itu mengerjabkan matanya, membuat aku menjadi lebih tidak tega.Akhirnya aku mengulur waktuku. Mengajaknya bermain di teras depan. Kuajak dia bermain boneka, hingga anak itu kembali ceria, dan tidak lagi menanyakan papanya.Anak itu kini terlihat begitu ceria. Dia terlihat begitu nyaman bersamaku. Tidak mau lepas dari pangkuanku."Maaf, Mas, jika anakku merepotkanmu ...."Perempuan yang matanya tampak sembab itu, menatap dengan rasa bersalah ke arahku."Oh, tidak kok. Tidak apa-apa. Tidak merepotkan sama sekali," jawabku."Terimakasih banyak, Mas. Aku tidak tahu lagi, jika tidak ada Mas Abi. Aku bahkan tidak tahu bagaimana caranya harus berterimakasih kepada Mas Abi. Semenjak Mas Arman sakit, Mas Abi lah, yang paling rajin menengoknya ...." Perempuan itu kembali menangis."Sudah, jangan dipikirkan. Aku ikhlas melakukannya ....""Aku tidak tahu, bagaimana caranya membalas budi baikmu, Mas ...." Lelehan air matanya terlihat semakin deras."Aku tidak meminta balasan apa-apa. Pak Arman adalah atasan yang baik. Setelah beliau meninggal pun, aku ingin tetap menjalin silaturahmi kepada kalian. Kamu jangan pernah berfikir bahwa kamu itu merepotkan. Aku sama sekali tidak merasa direpotkan. Sudah jangan menangis. Tataplah hidupmu ke depan. Bersemangatlah. Suatu hari nanti, kebahagiaan itu pasti akan datang." Aku menghiburnya.Dia pun kemudian masuk ke dalam. Sementara aku masih bermain boneka bersama anaknya.Saat aku dan anak kecil itu sedang sibuk bermain-main, tiba-tiba saja aku mendengar ada suara teriakan dari dalam.Spontan, aku pun segera berlari ke arah datangnya suara."Mbak Reina kakinya terkena air panas!" teriak adiknya.Aku melihat, Reina sudah berpegangan pada meja. Dia sepertinya tidak bisa lagi berdiri dengan tegak."Kamu kenapa bisa terkena air panas?" tanyaku penasaran."Aku rencananya mau membuatkan kopi untuk Mas Abi." Dia menundukkan wajahnya."Ya Allah, kenapa kamu repot-repot?" Aku mendadak merasa bersalah."Dina, tolong kamu belikan obat untuk Mbak. Ada apotik di perempatan sebelah sana.""Apotiknya di mana, Mbak? Aku tidak tahu daerah sini," jawab adiknya."Kamu ajaklah Dita. Dita sudah tahu tempatnya. Nanti kalau apotik yang sebelah barat tutup, kamu pergilah ke apotik sebelah utara. Anggap saja jalan-jalan sambil momong. Ini uangnya. Jajanlah sepuasnya!" Reina memberikan beberapa lembar uang merah kepada adiknya.Adiknya yang dipanggil Dina itu kemudian langsung bergegas ke luar dari rumah, mengajak keponakannya.Sementara aku hanya bisa terpaku, menatap Reina yang terlihat kesakitan."Mas, aku tidak bisa berjalan ...." keluh perempuan cantik itu."Terus, aku harus bagaimana?" tanyaku bingung."Tolong, bantu aku sampai ke kamar. Aku mau ganti pakaian yang lebih nyaman. Yang ini sudah basah, terkena air panas ...." Dia berbicara dengan begitu lirih, seperti orang yang tidak berdaya."Lihatlah yang terkena air panas ...." Dia menatapku dengan tatapan memelas.Kemudian dia menyibak pakaian panjangnya, dan tampaklah ....POV. AbiKemudian dia menyibak pakaian panjangnya, dan tampaklah apa yang tadi ditutupinya. Dia menunjuk pada kakinya yang sedikit kemerahan karena terkena air panas.Namun ternyata aku justru gagal fokus dalam melihatnya. Pandanganku justru terfokus pada kaki jenjangnya yang tampak begitu indah dan menggoda iman."Ayo, bantu aku masuk ke kamar ...." Dia mengulurkan tangannya.Dengan ragu dan gemetar, aku pun lekas membalasnya, dengan mengulurkan tanganku. Aku memegang tangannya, mengajaknya berjalan.Namun tubuhnya justru semakin lemas. Hingga tangannya kini sudah menuntun tanganku untuk memegang pinggangnya.Akhirnya aku pun menggendong tubuh itu. Aku menggendongnya di depan, dengan posisi tangan kananku menyangga tengkuknya, sementara tangan kiriku menyangga bagian belakang lututnya.Sambil membawanya ke kamar, kami saling berpandangan dengan jarak wajah yang begitu dekat. Dia bahkan mengalungkan kedua tangannya di leherku.Jantungku semakin terpompa dengan lebih cepat. Bagaimanapu
POV. Abi"Apakah hanya karena aku baik pada suamiku, lantas kamu menaruh hati kepadaku?" tanya dia."Bukan, bukan hanya karena itu. Tentu saja ada banyak sisi baikmu yang membuat aku jatuh cinta. Kamu baik, kamu cantik, karirmu juga bagus. Kamu adalah wanita yang teramat sempurna ...."Dia terpana, mendengar kalimat yang baru saja. Ya, aku memang berbicara apa adanya. Selama ini, aku memang mengaguminya."Sayang, ya? Kita bertemu di saat kita sudah punya pasangan ...." Dia terlihat menyesali keadaannya. Raut sedih pun, kini menghiasi wajah cantiknya."Tidak ada yang salah. Cinta tidak pernah salah. Perasaanku, perasaanmu, tidak ada yang salah. Rasa itu hadir dengan sendirinya. Bukan kita yang menginginkannya. Kita jalani saja dulu. Aku bahkan sudah mengagumimu sejak pertama kita bertemu. Aku mencintaimu ...."Entah benar dari hati atau karena bujukan setan, aku sudah tidak bisa membedakan. Yang ada, saat ini aku merasa sangat senang, karena ternyata dia juga menyimpan cinta yang sama.
POV. Anjani"Aku mimpi kamu tidur dengan seorang perempuan ...." Aku sudah tidak kuat membendung tangisan.Tangisku pecah. Aku sesenggukan di dadanya. Namun Mas Abi justru tertawa, memperlihatkan gigi-giginya. Lelaki yang belum sempat berpakaian itu kemudian merengkuh tubuhku. Membawaku ke dalam pelukannya."Kamu pasti stres, karena kutinggal pergi sehari semalam. Iya, kan? Jangan banyak pikiran. Nanti cantiknya hilang." Dia menatapku dengan penuh kelembutan."Aku tahu, kamu kangen sama aku. Kamu baru selesai menstruasi, kan?"Lelaki yang bergelar sebagai suamiku itu pun, membawaku ke ranjang. Mulai membawaku kepada ibadah halal. Dia bahkan setengah memaksa, ketika aku menolaknya.Hingga akhirnya aku pun melayaninya. Memadu kasih dengannya. Tapi kenapa rasanya berbeda? Seperti tidak seindah ketika sebelum-sebelumnya.Ibarat makanan, hanya terasa hambar. Seperti makan makanan sisa. Sedikit pun, tidak ada semangat yang berkobar. Seolah kami hanya sedang menggugurkan kewajiban.Tidak ada
POV. AnjaniAkhirnya, aku hanya bisa mengelus dada yang kian bertambah sesaknya, melihat suamiku yang sudah pergi dengan mobilnya.Tidak apa-apa. Nanti malam dia pulang. Aku harus belajar menjadi istri yang pengertian. Atau mungkin nanti malam aku bisa menyelidikinya, mengintai rumah atasannya itu dari kejauhan. Benarkah ada acara tahlil atau tidak. Benarkah suamiku pergi ke sana atau tidak. Ya, mungkin aku memang harus mengintainya.****Saat bangun dari tidurnya, Raya kembali menanyakan papanya. Kukarang saja sebuah cerita, bahwa sore ini, papanya lembur hingga nanti jam sepuluh malam.Anak itu pun mengerti. Apalagi boneka yang tadi dibelikan oleh papanya itu, cukup menghiburnya.Dia menunggu ayahnya, sambil menyelesaikan lukisan yang dia buat. Lukisan yang menggambarkan tiga orang yang sedang duduk di atas rerumputan yang berwarna hijau. Raya bilang, mereka adalah Raya, aku, dan Mas Abi."Raya tidur saja dulu, ya?"Aku membujuk Raya supaya dia mau tidur. Nanti kalau dia sudah tidur
POV. AbiSeketika aku langsung melempar tubuh Reina, ke sebelah samping. Segera kutarik selimut dengan secepatnya, untuk menutup tubuh kami berdua.Kulihat, Adiknya Reina, yang tengah menggendong keponakannya, sudah berdiri di ambang pintu."Dina! Kenapa kamu main nyelonong saja!?"Dengan tubuh yang masih berbalut selimut, Reina berteriak dengan sangat kesal kepada adiknya."Mama, tadi baru saja ngapain? Kenapa main kuda-kudaan nggak pakai baju?" Dita berceloteh, menanyai mamanya."Dina! Bawa Dita keluar dari sini!" Reina menunjuk ke arah mereka semua.Dina yang diteriaki oleh Reina, bukannya pergi. Namun dia justru masih tetap berdiri di ambang pintu, seperti orang yang terpaku."Dina, kamu dengar tidak? Bawa Dita pergi dari sini! Dasar adik tidak tahu sopan santun. Main nyelonong saja tanpa ketuk pintu! Adik tidak ada akhlak. Kurang ajar!" Reina yang tadinya masih dalam posisi berbaring, kini sudah menegakkan punggungnya, menjadi duduk.Dia kembali menarik selimutnya, untuk menutupi
POV. Abi"Sayang, maafkan aku ...." Aku memeluknya, sambil mencium keningnya dengan begitu dalam.Rencananya, aku ingin memindahkan tubuhnya ke sofa yang ada di dekat tembok. Namun saat aku baru saja ingin mengangkat tubuh itu, adiknya Reina sudah terlihat menyembulkan kepalanya, dari balik pintu."Mas Abi!" Dia memanggilku."Ssstttt!" Aku menempelkan jari telunjukku di bibirku."Mas Abi!" Dia sepertinya tidak mengindahkan kode yang kuberikan. Terbukti, dia masih saja memanggilku.Aku mengibaskan tanganku keluar, berharap agar gadis itu segera keluar dari ruangan ini. Jangan sampai dia membangunkan Anjani.Namun gadis itu bukannya keluar. Dia justru semakin melangkahkan kakinya ke arahku, sambil berkacak pinggang."Mas, Dita rewel. Menanyakan Mas. Dita maunya gendongan terus. Kasihan Mbak Reina. Dia harus menggendong Dita, sambil membawa tiang infus ke mana-mana.""Iya, sebentar. Kamu ngomongnya jangan keras-keras. Jangan sampai istriku bangun!" Aku berbicara dengan setengah berbisik.
POV. AnjaniAku mengenal salah satu dari wanita itu. Dia adalah istrinya Pak Arman, atasan suamiku.Seketika, amarah pun mulai menguasai jiwa. Menghentak-hentak, menabrak-nabrak dinding sukma. Dia yang begitu kami tunggu kepulangannya, ternyata justru ada di sini, bersama anak dan istri atasannya.Apalagi jika mengingat noda merah di dadanya itu. Aku menjadi berfikir, apakah noda itu adalah hasil perbuatan perempuan itu?"Anjani, kamu kenapa ada di sini?" Kudengar, lelakiku yang telah memberiku satu anak itu, bertanya seperti itu."Harusnya aku yang bertanya, Mas, kenapa kamu ada di sini!" Aku menjawab pertanyaannya sembari terus berjalan menuju ke loket pendaftaran."Ini, a--aku membawa anaknya Pak Arman. Dia dem--" Dengan suara terbata, lelaki yang biasanya terlihat berwibawa itu, berusaha menjelaskan kepadaku. Namun aku segera memotong ucapannya. Tidak sudi diri ini mendengar alasannya."Cukup, Mas. Aku tidak sudi mendengarnya. Simpan saja ceritamu. Bagiku Raya lebih penting dari s
POV. AnjaniTidak salah lagi. Dalam sepersekian detik aku melirik, aku melihat kakinya kian maju ke arahku."Anjani, bagaimana keadaan Raya?"Aku memilih diam. Toh dia juga bisa melihat sendiri, bagaimana keadaan putrinya saat ini."Anjani, aku minta maaf, jika perbuatanku tidak berkenan di hatimu. Aku harap kamu bisa mengerti. Mereka sedang berduka. Istrinya Pak Arman sangat down, hingga tidak bisa mengurus putrinya. Dan kebetulan, saat aku hendak pulang dari tahlilan, anaknya Pak Arman tiba-tiba saja pingsan. Demam tinggi. Karena merasa tidak tega, aku pun menawarkan bantuan. Percayalah. Apa yang aku lakukan, itu semata-mata karena alasan kemanusiaan. Wujud dari bakti seorang bawahan kepada atasannya. Bukan karena ada hal yang lainnya. Pak Arman itu adalah mantan atasanku. Karena beliau, aku bisa bekerja di tempat yang sekarang. Bisa memiliki gaji yang lumayan besar, bisa mencukupi semua kebutuhan kita. Aku banyak berhutang budi pada beliau. Rasanya tidak etis saja, jika setelah bel
POV. AnjaniTidak salah lagi. Dalam sepersekian detik aku melirik, aku melihat kakinya kian maju ke arahku."Anjani, bagaimana keadaan Raya?"Aku memilih diam. Toh dia juga bisa melihat sendiri, bagaimana keadaan putrinya saat ini."Anjani, aku minta maaf, jika perbuatanku tidak berkenan di hatimu. Aku harap kamu bisa mengerti. Mereka sedang berduka. Istrinya Pak Arman sangat down, hingga tidak bisa mengurus putrinya. Dan kebetulan, saat aku hendak pulang dari tahlilan, anaknya Pak Arman tiba-tiba saja pingsan. Demam tinggi. Karena merasa tidak tega, aku pun menawarkan bantuan. Percayalah. Apa yang aku lakukan, itu semata-mata karena alasan kemanusiaan. Wujud dari bakti seorang bawahan kepada atasannya. Bukan karena ada hal yang lainnya. Pak Arman itu adalah mantan atasanku. Karena beliau, aku bisa bekerja di tempat yang sekarang. Bisa memiliki gaji yang lumayan besar, bisa mencukupi semua kebutuhan kita. Aku banyak berhutang budi pada beliau. Rasanya tidak etis saja, jika setelah bel
POV. AnjaniAku mengenal salah satu dari wanita itu. Dia adalah istrinya Pak Arman, atasan suamiku.Seketika, amarah pun mulai menguasai jiwa. Menghentak-hentak, menabrak-nabrak dinding sukma. Dia yang begitu kami tunggu kepulangannya, ternyata justru ada di sini, bersama anak dan istri atasannya.Apalagi jika mengingat noda merah di dadanya itu. Aku menjadi berfikir, apakah noda itu adalah hasil perbuatan perempuan itu?"Anjani, kamu kenapa ada di sini?" Kudengar, lelakiku yang telah memberiku satu anak itu, bertanya seperti itu."Harusnya aku yang bertanya, Mas, kenapa kamu ada di sini!" Aku menjawab pertanyaannya sembari terus berjalan menuju ke loket pendaftaran."Ini, a--aku membawa anaknya Pak Arman. Dia dem--" Dengan suara terbata, lelaki yang biasanya terlihat berwibawa itu, berusaha menjelaskan kepadaku. Namun aku segera memotong ucapannya. Tidak sudi diri ini mendengar alasannya."Cukup, Mas. Aku tidak sudi mendengarnya. Simpan saja ceritamu. Bagiku Raya lebih penting dari s
POV. Abi"Sayang, maafkan aku ...." Aku memeluknya, sambil mencium keningnya dengan begitu dalam.Rencananya, aku ingin memindahkan tubuhnya ke sofa yang ada di dekat tembok. Namun saat aku baru saja ingin mengangkat tubuh itu, adiknya Reina sudah terlihat menyembulkan kepalanya, dari balik pintu."Mas Abi!" Dia memanggilku."Ssstttt!" Aku menempelkan jari telunjukku di bibirku."Mas Abi!" Dia sepertinya tidak mengindahkan kode yang kuberikan. Terbukti, dia masih saja memanggilku.Aku mengibaskan tanganku keluar, berharap agar gadis itu segera keluar dari ruangan ini. Jangan sampai dia membangunkan Anjani.Namun gadis itu bukannya keluar. Dia justru semakin melangkahkan kakinya ke arahku, sambil berkacak pinggang."Mas, Dita rewel. Menanyakan Mas. Dita maunya gendongan terus. Kasihan Mbak Reina. Dia harus menggendong Dita, sambil membawa tiang infus ke mana-mana.""Iya, sebentar. Kamu ngomongnya jangan keras-keras. Jangan sampai istriku bangun!" Aku berbicara dengan setengah berbisik.
POV. AbiSeketika aku langsung melempar tubuh Reina, ke sebelah samping. Segera kutarik selimut dengan secepatnya, untuk menutup tubuh kami berdua.Kulihat, Adiknya Reina, yang tengah menggendong keponakannya, sudah berdiri di ambang pintu."Dina! Kenapa kamu main nyelonong saja!?"Dengan tubuh yang masih berbalut selimut, Reina berteriak dengan sangat kesal kepada adiknya."Mama, tadi baru saja ngapain? Kenapa main kuda-kudaan nggak pakai baju?" Dita berceloteh, menanyai mamanya."Dina! Bawa Dita keluar dari sini!" Reina menunjuk ke arah mereka semua.Dina yang diteriaki oleh Reina, bukannya pergi. Namun dia justru masih tetap berdiri di ambang pintu, seperti orang yang terpaku."Dina, kamu dengar tidak? Bawa Dita pergi dari sini! Dasar adik tidak tahu sopan santun. Main nyelonong saja tanpa ketuk pintu! Adik tidak ada akhlak. Kurang ajar!" Reina yang tadinya masih dalam posisi berbaring, kini sudah menegakkan punggungnya, menjadi duduk.Dia kembali menarik selimutnya, untuk menutupi
POV. AnjaniAkhirnya, aku hanya bisa mengelus dada yang kian bertambah sesaknya, melihat suamiku yang sudah pergi dengan mobilnya.Tidak apa-apa. Nanti malam dia pulang. Aku harus belajar menjadi istri yang pengertian. Atau mungkin nanti malam aku bisa menyelidikinya, mengintai rumah atasannya itu dari kejauhan. Benarkah ada acara tahlil atau tidak. Benarkah suamiku pergi ke sana atau tidak. Ya, mungkin aku memang harus mengintainya.****Saat bangun dari tidurnya, Raya kembali menanyakan papanya. Kukarang saja sebuah cerita, bahwa sore ini, papanya lembur hingga nanti jam sepuluh malam.Anak itu pun mengerti. Apalagi boneka yang tadi dibelikan oleh papanya itu, cukup menghiburnya.Dia menunggu ayahnya, sambil menyelesaikan lukisan yang dia buat. Lukisan yang menggambarkan tiga orang yang sedang duduk di atas rerumputan yang berwarna hijau. Raya bilang, mereka adalah Raya, aku, dan Mas Abi."Raya tidur saja dulu, ya?"Aku membujuk Raya supaya dia mau tidur. Nanti kalau dia sudah tidur
POV. Anjani"Aku mimpi kamu tidur dengan seorang perempuan ...." Aku sudah tidak kuat membendung tangisan.Tangisku pecah. Aku sesenggukan di dadanya. Namun Mas Abi justru tertawa, memperlihatkan gigi-giginya. Lelaki yang belum sempat berpakaian itu kemudian merengkuh tubuhku. Membawaku ke dalam pelukannya."Kamu pasti stres, karena kutinggal pergi sehari semalam. Iya, kan? Jangan banyak pikiran. Nanti cantiknya hilang." Dia menatapku dengan penuh kelembutan."Aku tahu, kamu kangen sama aku. Kamu baru selesai menstruasi, kan?"Lelaki yang bergelar sebagai suamiku itu pun, membawaku ke ranjang. Mulai membawaku kepada ibadah halal. Dia bahkan setengah memaksa, ketika aku menolaknya.Hingga akhirnya aku pun melayaninya. Memadu kasih dengannya. Tapi kenapa rasanya berbeda? Seperti tidak seindah ketika sebelum-sebelumnya.Ibarat makanan, hanya terasa hambar. Seperti makan makanan sisa. Sedikit pun, tidak ada semangat yang berkobar. Seolah kami hanya sedang menggugurkan kewajiban.Tidak ada
POV. Abi"Apakah hanya karena aku baik pada suamiku, lantas kamu menaruh hati kepadaku?" tanya dia."Bukan, bukan hanya karena itu. Tentu saja ada banyak sisi baikmu yang membuat aku jatuh cinta. Kamu baik, kamu cantik, karirmu juga bagus. Kamu adalah wanita yang teramat sempurna ...."Dia terpana, mendengar kalimat yang baru saja. Ya, aku memang berbicara apa adanya. Selama ini, aku memang mengaguminya."Sayang, ya? Kita bertemu di saat kita sudah punya pasangan ...." Dia terlihat menyesali keadaannya. Raut sedih pun, kini menghiasi wajah cantiknya."Tidak ada yang salah. Cinta tidak pernah salah. Perasaanku, perasaanmu, tidak ada yang salah. Rasa itu hadir dengan sendirinya. Bukan kita yang menginginkannya. Kita jalani saja dulu. Aku bahkan sudah mengagumimu sejak pertama kita bertemu. Aku mencintaimu ...."Entah benar dari hati atau karena bujukan setan, aku sudah tidak bisa membedakan. Yang ada, saat ini aku merasa sangat senang, karena ternyata dia juga menyimpan cinta yang sama.
POV. AbiKemudian dia menyibak pakaian panjangnya, dan tampaklah apa yang tadi ditutupinya. Dia menunjuk pada kakinya yang sedikit kemerahan karena terkena air panas.Namun ternyata aku justru gagal fokus dalam melihatnya. Pandanganku justru terfokus pada kaki jenjangnya yang tampak begitu indah dan menggoda iman."Ayo, bantu aku masuk ke kamar ...." Dia mengulurkan tangannya.Dengan ragu dan gemetar, aku pun lekas membalasnya, dengan mengulurkan tanganku. Aku memegang tangannya, mengajaknya berjalan.Namun tubuhnya justru semakin lemas. Hingga tangannya kini sudah menuntun tanganku untuk memegang pinggangnya.Akhirnya aku pun menggendong tubuh itu. Aku menggendongnya di depan, dengan posisi tangan kananku menyangga tengkuknya, sementara tangan kiriku menyangga bagian belakang lututnya.Sambil membawanya ke kamar, kami saling berpandangan dengan jarak wajah yang begitu dekat. Dia bahkan mengalungkan kedua tangannya di leherku.Jantungku semakin terpompa dengan lebih cepat. Bagaimanapu
POV. AbiHingga akhirnya ada kejadian yang terlihat begitu menyedihkan. Perempuan itu pingsan berkali-kali.Melihat keadaan yang sangat menyedihkan seperti itu, aku pun memutuskan untuk tetap berada di sini.Apalagi jika melihat anaknya yang masih kecil. Sungguh, aku merasa tidak tega. Anak yang seumuran dengan Raya, namun sudah menjadi yatim, ditinggal mati oleh ayahnya.Anaknya terus-terusan menangis, sementara mamanya terbaring tidak sadarkan diri.Mau tidak mau, akulah yang menenangkan anak itu. Menggendongnya sepanjang malam hingga pagi.Pagi-pagi sekali, Anjani sudah menelponku, menanyakan tentang kepulanganku. Kujawab saja, bahwa jenasah belum dikebumikan, dan aku belum bisa pulang.Namun tidak berselang lama kemudian, dia justru melakukan panggilan video.Aku yang sedang menggendong sambil menyuapi Dita anaknya Pak Arman, pun langsung mengangkat panggilan video itu.Ternyata Raya yang menelpon. Raya terlihat sangat marah. Dan telpon pun langsung dimatikan.Sudahlah, biar saja.