Entah aku harus bahagia atau sedih. Yang jelas diduakan itu sangat menyakitkan. Mungkin ayah sudah tidak tahan dengan sikap tidak baik yang dimiliki ibu. Selama aku menjadi menantu ibu belum pernah melihat ibu bersikap manis pada bapak.
Aku bingung harus bagaimana. Mas Arman harus kuberitahu atau tidak. Jujur kalau aku yang memberi tahu pada ibu sendiri yang ada nanti malah ibu akan marah padaku dan menganggap aku berbohong.
Bismillahirrahmanirrahim ... Lebih baik aku fokus pada kesehatanku saja. Setelah ini aku fokus menjahit dan mencari yang mau bekerja denganku. Jahitanku mulai dikenal banyak orang sehari aku bisa menyelesaikan dua baju harga yang kubandrol untuk satu baju adalah 100 ribu sampai 350 ribu rupiah tergantung dari model dan kerumitannya. Alhamdulillah aku bisa mengantongi 200 ribu per hari dari hasil jahitanku. Kalau aku punya pekerja bisa lebih dari itu.
Kata orang jahitanku rapi dan bisa bikin model apa pun sesuai permintaan konsumen. Aku tidak pernah promosi para penikmat jahitanku lah yang rajin mempromosikannya. Dari mulut ke mulut.
Aku bisa menjahit belajar waktu di pondok.
Aku mondok dari lulus SD sampai Madrasah Aliyah. Ditambah pengabdian dua tahun. Ilmu jahit menjahit murni kudapat dari sana. Ustadzah tempat aku mondok bilang pekerjaan yang diperbolehkan untuk wanita salah satunya adalah penjahit. Maka dengan serius aku menekuninya. Alhamdulillah saat aku berumah tangga sangat bermanfaat untukku.Kuscroll model-model kebaya yang ada di internet. Aku berniat membuat tiga buah kebaya pengantin lalu kupajang di etalase. Tabunganku cukup untuk menyewa tempat.
Wanita jika sudah diinjak-injak harga dirinya selagi di jalan yang benar harus berani melawan karena itu bagian dari kehormatannya yang harus dilindungi. Prinsip itu pula yang mengobarkan semangatku. Cukup sekali aku dianggap remeh, dihina, dicaci maki dan dikatakan mandul. Aku akan buktikan pada mereka bahwa aku tidak seperti yang mereka ucapkan.
Ah, rasanya sakit sekali jika mengingat kembali. Bukan hanya ibu mertuaku saja banyak sanak saudara dan juga teman-temanku yang berkata demikian. Kalau dulu masih ada yang menguatkan yaitu suamiku sendiri. Sekarang jangankan menguatkan justru dialah yang menusukku dengan belati tajam hingga menghunus ke jantung.
Hidup manusia ternyata seunik ini. Aku pikir dulu akan bahagia berjodoh hingga ke surga bersama suamiku tercinta. Nyatanya aku tersisih digantikan dengan wanita lain.
Aku tidak bersalah. Aku selalu mengalah pada mertua, membantu perekonomian keluarga, menjadi istri yang baik sesuai ajaran agama, tapi kenapa ujianku begitu berat. Apa hanya aku yang mampu melewati ini semua hingga Allah berikan ujian ini padaku.
Entahlah ....
Mulai sekarang aku akan selalu berpikir positif. Aku memang kalah dalam percintaan, tapi aku tidak boleh kalah dalam hal lainnya.
“Kamu kok, enggak tidur, Dik? Sudah tengah malam itu,” tegur Mas Arman sambil menunjuk jam dinding.
“Aku sudah tidur dan tidak ngantuk. Sana ambil air wudu salat sunah tahajud dulu,” titahku.“Entarlah, masih jam 2 lewat tunggu jam 3 aja,” jawab Mas Arman enteng.
“Terserahlah, Mas. Aku hanya mengingatkan tidak mau memaksa.”
“Kok, gitu jawabnya? Hei, lihat aku di sini bukan di HP itu. Tumben malam-malam begini kamu main HP. Oh, apa kamu sedang mencari kesenangan dengan laki-laki lain?” Degh! Tega sekali dia bicara begitu.
“Tidak puaskah kamu sakiti aku dengan pengkhianatan? Sekarang kamu memfitnahku yang tidak-tidak?” Kutatap tajam mata suamiku. Tidak kutemukan penyesalan di sana. Matanya merah menahan marah.
“Lalu apa? Ini tengah malam loh, kamu biasanya jam segini sedang khusuk salat dan ngaji.”
“Kamu lupa, aku sedang masa nifas? Oh, aku tahu, jelas kamu lupa karena kamu tidak pernah libur sudah ada yang menggantikanku.”
“Jangan bicara ke mana-mana. Aku marah karena kamu main HP tengah malam. Untuk apa? Ternyata kamu sama saja dengan perempuan di luar sana. Mencari kesenangan saat suami tidak memperhatikan.”
“Cukup, Mas! Pergi dari sini! Kamu bukan suamiku yang dulu lagi. Aku benci padamu!” teriakku histeris.
Mas Arman makin kalap dia merebut ponselku dan membantingnya ke lantai. HP-ku pecah porak-poranda hancur berkeping-keping seperti penggambaran hatiku saat ini.
“Lebih baik hancur dari pada kamu berselingkuh di belakangku!” Mas Arman tak kalah histeris. Dia mengacungkan jarinya tepat di depan wajahku.
“Hh ... lucu, siapa yang selingkuh siapa pula yang disalahkan. Beginilah sifat manusia. Akan selalu menutup kesalahan diri sendiri dengan menuduh orang lain,” kataku santai. Kupungut kartu dan memori cardnya lalu kubiarkan ponsel itu begitu saja.
Klek!
Pintu kamarku terbuka. Ada Reni berdiri di sana.
“Mas ... kenapa si, marah-marah sampai kedengaran depan. Enggak dikasih jatah ya? Ayok, tidur sama aku. Kupuaskan kamu sampai pagi,” ucap Reni menjijikkan.
Mas Arman gegas berdiri dan mengekor pada Reni.
Astaghfirullah ... bisa-bisanya aku terjebak dalam pernikahan toxic seperti ini.
~K~U🌸🌸🌸
Tepat jam 06.00 WIB aku terbangun. Biasanya bangun jam 5 subuh, tapi karena tidak ada alarm jadi kesiangan. HP satu-satunya yang untuk alarm telah hancur semalam.
Gegas aku ke kamar mandi. Mandi pagi dan bersiap jalan-jalan ke depan.
Sebenarnya temanku di sini banyak para Ummahat tempat biasa aku mengaji seminggu dua kali, tapi mereka semua orang rumahan keluar hanya jika ada kepentingannya saja. Mbak Sulislah yang setiap hari bisa bebas ke mana-mana karena dia bekerja sebagai baby sitter dan kebetulan anak majikannya hiperaktif jadi sering diajak jalan-jalan ke luar rumah.
“Mandi apa semedi, woi!” teriak Intan.
Aku nyelonong saja keluar kamar mandi tanpa menyapa Intan seperti biasanya.
Aku disuguhi pemandangan memuakkan. Bisa-bisanya di meja makan Mas Arman dan Reni bermesraan sambil minum teh. Tidak tahu malu padahal ada ibu di depan mereka.
“Lihat apa? Cepetan masak bentar lagi suami dan madumu mau berangkat kerja. Kamu kan, di rumah aja nganggur jadi sudah menjadi tugas kamu menyiapkan sarapan untuk kami.” Jengah sekali aku mendengar perintah ibu mertuaku.
Kalau aku disuruh menyediakan makanan untuk suamiku saja meskipun aku sedang dalam keadaan marah tetap aku jabani. Lah, ini masak untuk istri mudanya juga ogah amat aku bukan pembantu di sini.
“Malah bengong! Sana bikin sarapan aku mau berangkat kerja,” bentak Reni.
Tak mau ambil pusing aku segera masuk kamar.
Ternyata ibu menyusulku.“Ini kupingmu dipakai atau tidak? Sana bikin sarapan bukan malah dandan!” titah ibu, beliau menjewer kupingku seperti anak kecil.
“Kalau aku tidak mau?”
“Eh, bantah lagi! Cepetan sana sudah siang ini nanti Reni dan Arman telat!”
“Aku tidak peduli, Bu. Mau telat kek, enggak kek, bukan urusanku. Reni punya tangan Ibu pun punya tangan dipakailah untuk masak. Enggak malah ngandelin orang lain,” jawabku santai.
“Kurang ajar ya, kamu itu! Bantah orang tua! Arman!” Ibu memanggil Mas Arman, ah, pasti beliau minta pembelaan dari anak laki-laki semata wayangnya itu.
“Dik, masaklah. Benar kata ibu sudah siang ini nanti kami telat,” pinta Mas Arman.
“Tidak mau! Aku sibuk dan aku bukan pembantu kalian! Kamu Mas, punya istri sehat kenapa enggak kamu suruh malah nyuruh aku. Oh, apa istri sehatmu itu hanya kamu pakai untuk pemuas nafsumu saja?”
“Fatki! Lancang kamu, ya! Sama suami tidak ada hormat sama sekali!” bentak ibu.
“Terserah aku, memang benar kenyataan begitu.”
“Mas ... kita makan di luar saja, yuk! Sudah mau jam 7 nanti aku telat!” teriak Reni.
“Bu, aku berangkat dulu, ya? Ada urusan penting.” Tiba-tiba bapak mertua menyela keributan di antara kami.
Masya Allah bapak mertua penampilannya rapi sekali. Pakai kemeja lengan panjang warna putih dipadu celana dasar warna hitam dan juga sepatu pantofel warna senada dengan celananya.
Benar ucapan ibuku semalam. Bapak pasti akan menghadiri pernikahannya sendiri.“Ha-ha Bapak rapi amat sudah kayak mau lamar kerja aja!” Ibu tertawa sambil mengejek.
“Enggak pantes Pak, pakai baju beginian, tapi terserah Bapak saja. Mau ke mana memangnya?” tanya Mas Arman.
“Em ... itu, Man. Anu ... mau ada kepentingan di luar kota, dua atau tiga hari,” jawab bapak terbata beliau tidak berani menatap istri dan anaknya. Tatapannya fokus ke lantai.
“Ya, sudah sana pergi. Mau berapa lama juga aku tidak peduli. Mana jatahku!” sahut ibu. Beliau menengadahkan tangannya pada bapak. Meminta uang.
Tidak menunggu lama seperti biasanya bapak langsung mengeluarkan dompetnya dan mengambil lima lembar uang merah untuk diberikan pada ibu.
“Tumben, Pak. Lagi banyak duit, ya?”
“Iya, Alhamdulillah.” Bapak mengulurkan tangannya pada ibu agar ibu salim, tapi ibu malah menampiknya.
“Halah, sudah sana berangkat enggak usah salim segala nanti keburu siang!”
Bapak diam saja, hanya aku yang bersalaman pada bapak.
Beliau lalu memanaskan mobilnya dan gegas berangkat.
Itu bukan mobil bapak melainkan mobil majikannya. Bapak bekerja sebagai sopir pribadi. Itu sebabnya bapak bisa membawa mobil bagus ke rumah.
“Malah bengong! Sana masak. Ibu mau belanja mau makan di luar!” Ibu menoyor kepalaku.
Mas Arman pun pergi dengan Reni tanpa pamit padaku. Ah, terserah saja mau dibawa ke mana rumah tangga ini aku tidak mau terlalu ambil pusing. Aku akan membahagiakan diriku sendiri.Aku dandan rapi dan pergi ke warung. Aku mau masak untuk diriku sendiri.
“Mbak!”
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Akhirnya yang dinanti nongol juga.
“Mbak aku W* kok ceklis, si. Aku ada info penting loh,” ucap Mbak Sulis. Seperti biasa dia tiap pagi keliling membawa anak majikannya yang paling kecil.
“Info apa lagi, Mbak? Sepertinya aku sudah tidak berminat. He-he,” jawabku.
Entah kenapa aku merasa harus hati-hati pada Mbak Sulis. Dia orang baik si.
“Ih, gitu ya, sekarang.”
“Kalau mau ngomongin orang aku tidak mau Mbak, itu namanya ghibah. Dosa loh,” kataku mengingatkan.
“Hehe ya, sudah deh. Enggak jadi. Aku tadinya cuma mau bilang kalau si Ika hari ini nikah, dan nikahnya sama mertua Mbak Fatki,” bisik Mbak Sulis tepat di kupingku.
“Apa!? Ah, Mbak Sulis pasti bercanda.” Jujur aku syok sekali. Rasanya bumi ini berputar terlalu cepat. Membuat kepalaku pusing sekali.
“Nih, kalau enggak percaya. Aku kasih tahu ya, chatingan aku sama Ika.”
“Astaghfirullah ... ini beneran?” Aku membaca chatingan Ika dan Mbak Sulis. Di sana tertulis jika Ika memang sengaja dan mau menerima pinangan bapak mertuaku.“Tapi, orang yang berzina harus menikah dengan pasangan zinanya. Kenapa bisa begini?”“Aduh, Mbak Fatki kalau itu aku kurang paham. Ini lihat lagi. Si Ika keguguran waktu pulang kampung.” Mbak Sulis menunjukkan lagi foto Ika di rumah sakit. Di sana juga ada bapak mertua.“Aneh, yang ambil foto siapa?” tanyaku penasaran.“Kata Ika, suster yang ambil fotonya.” Lalu kubaca lagi chatingan mereka sampai pagi ini."Kok bisa, ada Bapak mertuaku di sana?" tanyaku ini benar-benar aneh dan janggal."Ika bilang, tidak sengaja ketemu Bapak mertua Mbak Fakti," jawab Mbak Sulis."Enggak sengaja ketemu kok, bisa seakrab ini? Lagi pula kenapa bisa jadi kebetulan begini?" ujarku penasaran"Mbak Fakti, aku mana tahu, yang aku tahu persis seperti yang Ika bilang."Mbak Sulis benar. Dia hanya tahu sebatas ini. Tidak mungkin Ika mau jujur semuanya p
Istri adalah partner hidup yang tidak akan ada kata selesai kontrak. Menemani dari berjuang hingga berhasil. Bukan seperti suamiku. Belum juga berhasil sudah berani menikung tajam jalan lain.Poligami bukan perkara mudah ada banyak hati yang harus dijaga. Bukan hanya hati istri-istrinya, tapi juga hati ke tiga belah keluarga. Aku yakin Mas Arman tidak mampu untuk urusan yang sangat berat ini.Ting!Lamunanku buyar ada pesan masuk dari nomor Mbak Sulis. Duh, ngapain lagi ya, Mbak Sulis ini rajin banget online.[Otewe hotel bintang lima sama suamiku tercinta.]Mbak Sulis mengirimkan skrinsut status WA Ika, dia sedang berada dalam mobil bersama bapak mau ke hotel katanya.Aku bingung memang di kampungku sudah ada hotel bintang lima? Aku baru merantau dua tahun karena ikut suami masa secepat itu berdiri hotel di sana atau mungkin Ika ke kota.Ting![Mbak, ibu mertua tirimu norak, ya? Masa mau wik wik dibuat status?] Hem, Mbak Sulis kepo banget sama urusan orang lain.[Biarin ajalah, Mbak.
Jalan dari rumah menuju rumah Paman Tohir ternyata membuat perutku sedikit ngilu dan keringetan. Punggungku basah.Rumah paman Tohir tampak ramai seperti habis ada acara. Mereka semua ada di teras.Begitu melihat kedatanganku Bibi Irma langsung menyambut dengan senyuman ramahnya.“Assalamualaikum, Bi?” Kuambil tangannya lalu kucium takzim cipika cipiki. Hanya bibi dan Citra anak bibi yang masih SMA yang bersalaman denganku. Paman dan anak-anak lelakinya tidak karena kami bukan muhrim.“Enak sekali aku dibawain martabak telor. Makasih ya, Mbak Fatki,” ucap Citra girang.“Sama-sama.”“Ayok, masuk!” Paman dan bibi mempersilakan aku masuk.“Ada apa malam-malam begini sendirian ke sini? Apa bertengkar dengan suamimu?” tanya paman to the point.“Em ... aku mau minta tolong Paman sama anak-anak untuk membantu angkat dipan dan juga lemari dipindahkan ke kamar belakang.”“Nah, ini sudah aku duga. Arman itu tidak akan bisa berbuat adil. Lahwong ngaji aja enggak pernah kok nekat poligami segala.
"Iya, memang ini ulahku. Habisnya kamu tidak tahu malu sih, pakai milik orang tanpa izin. Heran aku kenapa kamu sukanya dengan barang-barang bekasanku si, enggak mampu beli, ya? Katanya duitnya banyak gajinya jutaan dipan jati harga 5 juta saja enggak bisa beli, kalah dong sama pengangguran seperti aku." "Sudah, Nak, jangan diladeni mulut berbisa seperti itu ayo bantu, Paman!" titah bibi. Aku menunjukkan kamarku. Paman melihat iba padaku. Kami mengeluarkan barang-barang milikku terlebih dahulu lalu memasukkan dipan, lemari baju 2 pintu, dan juga meja rias. meski sempit tidak mengapa yang penting masih ada celah untuk salat. Reni masih saja histeris dan mengumpatku. Tidak aku tanggapi nanti kalau capek juga berhenti sendiri. Bibi dan Citra membantuku menyusun baju dan memasang seprei. Akhirnya selesai juga sampai tengah malam begini. Aku sangat berterima kasih pada keluarga paman karena sudah bersedia membantuku. Alhamdulillah milikku sudah kembali lagi. "Dik, aku mau bicara padam
🌸🌸🌸Aku was-was menunggu hari ini . Entah kenapa aku merasa hari ini akan ada peristiwa penting di rumah ini. Perang dunia mungkin. Yang jelas setelah membaca status WA Ika aku jadi tidak tenang.“Mbak, pinjam tas ini, ya?” Intan nyelonong masuk kamar tanpa izin dan mengambil tas baruku yang ada di cantolan paku dekat lemari.“Enggak boleh! Pakai saja tasmu!” Kurebut tas yang sudah bertengger cantik di bahu Ika.“Pelit banget sih, Mbak!” teriaknya.“Emang, kan, kamu sendiri yang bilang aku pelit. Jadi, sekalian aja deh!” jawabku santai.“Ibuuuuu!” Nah, kan, mulai lagi ngadunya. Kalau dulu akan segera aku berikan, tapi tidak untuk hari ini dan selanjutnya. Cukup sudah aku baik hati pada mereka yang tidak punya hati.“Ada apa, si, Intan! Pagi-pagi sudah teriak-teriak tidak jelas!” sahut ibu sewot.“Aku mau pinjam tas itu, tapi enggak dikasih sama Mbak Fatki! Hanya tas itu yang matching dengan baju dan sepatu yang aku pakai, Bu,” rengek Intan.“Perkara tas saja ribut! Kasih pinjamkan
“Nah, benar kata Reni. Memang kamu mau tidur di kasur lantai lusuh begitu. Enggak sehat dan enggak higienis kapan mau punya anak kalau begitu,” sahut ibu membela Reni.“Benar juga yang Ibu bilang. Aku juga tidak mau tidur di kasur lusuh terus. Dik, kamu mau kan, bantu Mamas bayar cicilannya?” Mas Arman merayuku, dia berkali-kali menciumi pipiku.“No way! Aku tidak akan mengeluarkan uang sepeser pun untuk kalian. Aku bukan mesin uangmu, Mas. Harusnya kamu yang kasih aku nafkah tiap hari bukan malah aku yang memberimu.”“Tolonglah Dik, sekali ini saja.”“Tidak! Kalau aku sudah bilang tidak ya, tidak. Siapa yang make itulah yang bayar.”“Tapi, Dik?”“Tidak ada tapi-tapian. Kamu itu Ren, sudah aku bilang salah cari suami. Coba kamu jadi pelakornya orang kaya aku jamin hidupmu tidak akan susah begini, mau tidur aja pusing mikirin kreditan. Pinter dikit kek, jangan cuma makan tampannya doang. Percuma kalau kere.”“Oh, jadi kamu ngatain anakku kere?” Ibu tidak terima atas pernyataanku.“Lah,
🌸🌸🌸“Intan cukup! Dia ibumu jadi kamu mulai sekarang harus hormat!” bentak bapak.“Sampai aku mati pun tidak sudi mengakui dia sebagai ibuku. Aku pun tidak sudi punya bapak seperti kamu! Bagiku kamu sudah mati!” Intan menunjuk tepat di wajah bapak.“Mau kamu protes seperti apa pun tidak akan merubah keadaan, Bapak sudah menikah dengan Ika dan Bapak akan mempertanggungjawabkan ini semua,” jawab bapak.Aku jadi bingung, apa bapak tidak tahu kalau Ika ini kekasih gelapnya Mas Arman. Tapi, menurut pengakuan Mbak Sulis bapak tahu kalau Ika waktu itu sedang hamil bahkan bapak yang membawa Ika ke rumah sakit.“Fatki, Bapak minta tolong malam ini Ika tidur sama kamu dulu ya?”“Em ... maaf Pak, tidak bisa, kamarku sempit ada banyak barang juga. Kain yang mau aku jahit aku bawa masuk ke kamar,” jawabku bohong.“Baiklah kalau begitu malam ini Intan tidur sama Ibu Ika, ya?” ucap bapak lagi.“Tidak sudi!” Intan masuk kamar dibantingnya pintu kamar dengan kuat. Disusul ibu.Sebenarnya ada kamar
🌸🌸🌸Menikah dan berumah tangga adalah ibadah terpanjang dalam hidup kita. Di dalamnya ada syarat dan rukun ibadah yang harus terpenuhi agar ibadah kita sah dan diterima Allah SWT. Bukan seperti ini, entah rumah tangga seperti apa yang sedang kami jalani. Orang tua yang sejatinya menjadi panutan nyatanya sama saja keblinger dan mementingkan egonya masing-masing. Aku sedang berusaha bisa jika aku lelah dan menyerah aku akan tinggalkan semuanya.~K~U🌸🌸🌸"Kalau enggak mau kasih lebih baik kita pisah!” Baru saja aku terlelap karena minum obat suara cempreng ibu mertuaku memekakkan telinga hingga membangunkanku.“Bu, jangan begitulah. Keuangan kita menipis. Kemarin kan, kamu sudah aku kasih uang 500 ribu rupiah masa sudah habis?” Itu suara bapak mertuaku. Ah, pasi mereka berdebat masalah uang lagi.“Aku tidak mau tahu! Uang Cuma 500 ribu rupiah sudah habislah, sudah aku belanjakan kebutuhan dapur dan juga skincare. Kamu belikan wanita Lac*r itu spring bed dan lemari saja sanggup. Ak
POV Kayla. Setelah pemakaman bapak keluarga pun segera mengurus perempuan yang mengaku sebagai istri mudanya bapak. Ternyata perempuan itu tidak mengharapkan harta seperti yang dituduhkan Kak Siwi. Perempuan itu benar-benar tulus pada bapak.Mereka benar-benar ke sini untuk memberikan penghormatan terakhir. Melihat ketulusan itu bang Dafa dan Bang Romi mengakui anak remaja itu sebagai adiknya dan berjanji akan memberikan biaya pendidikan sampai jenjang tinggi.Emak jangan ditanya perempuan itu terus mengerang pasti emak tidak terima atas keputusan dua putranya bahkan tadi Emak sempat kejang.“Abang mau bicara dengamu, Kay. Ini serius! Ayo, ikut Abang. Aku yang masih duduk di atas sajadahku setelah salat ashar langsung mengikuti Bang Daffa untuk berkumpul di ruang tamu. Di sana sudah banyak berkumpul saudara-saudara Bang Dafa ada paman, Kak Siwi, Risa, dan banyak lagi, tapi tunggu dulu ada satu orang yang menarik perhatianku siapa dia aku seperti pernah melihatnya? Ya, kini aku ingat
POV Kayla. “Kamu siapa? Kenapa kamu datang ke sini, hah?! Kami tidak punya keluarga seperti kamu dan kami tidak mengundang siapa pun yang tidak kami kenal. Cepat pergi!” usir Kak Siwi. Aku yakin sekali kalau Kak Siwi mengenali wanita itu ‘kan kemarin dia sudah melihatnya di ponselku sedangkan emak hanya meliriik saja. Emak terus saja menangis. Ah ... ini masih babak baru pasti setelah ini akan terjadi keributan besar.“Cepat sana, pergi! Cepat! Kami tidak punya kerabat seperti kamu!” usir Kak Siwi lagi seraya mendorong-dorong tubuh wanita itu.“Lepaskan Ibuku jangan kau sentuh Ibuku!” bela anak bujangnya. Wah ternyata punya nyali juga dia. Aku kira dia hanya anak ingusan yang sembunyi di ketiak ibunya ternyata dia jagoan yang berani membela ibunya dari terkaman harimau.“Kamu siapa? Nggak usah ikut campur anak kecil! Cepetan sana pergi kalian! Pergi! Rumah ini tidak menerima orang yang tidak kami kenal!” Kak Siwi terus saja mengusir perempuan itu namun perempuan itu sama sekali tid
POV Kayla.“Dasar pembunuh! Dialah pembunuh bapakku. Dialah pembunuh bapak kami! Dafa pokoknya jeblosin Kayla ke penjara aku. Pokoknya aku enggak mau tahu masukin dia ke penjara!” teriak Kak Siwi. Jari telunjuknya menudingku.Dia menuduhku membunuh bapak terserah saja ‘toh aku tidak secara langsung membunuhnya. Aku hanya memberikan informasi akurat dan rahasia besarnya selama ini, jadi kalau bapak meninggal ya, itu sudah takdirnya bukan karena aku yang bunuh. Jadi, untuk apa aku takut aku santai saja menghadapi mereka bahkan kini aku duduk di sebelah emak yang terbaring lemah. Tatapannya penuh kebencian padaku. Ah ... terserah saja. Dibenci emak tidak akan pernah membuatku rugi yang penting dendamku terbalaskan.Sementara Bang Daffa sama sekali tidak menanggapi perkataan Kak Siwi. Begitu pun dengan Bang Romi. Mereka semua justru khusuk mendoakan Bapak.Entahlah kalau setelah acara pemakaman ini mungkin aku akan disidang, tapi ya, seperti yang aku katakan tadi aku sama sekali tidak t
POV Kayla. “Wah ... so sweet sekali, tapi sayangnya itu basi dan sepertinya Mak sekarang nggak suka tuh sama kamu! Dari tatapannya Emak saja terlihat sangat marah. Andai Mak bisa ngomong pasti Emak sudah ngusir kamu dari sini, Kay!” kata Kak Siwi lagi. “Kalau emang Emak nggak suka padaku baru-baru ini ya, telat dong! Karena aku sudah nggak suka sama emak sejak dahulu,” jawabku. Kak Siwi bengong.“Dasar nggak waras! LAWANG!” umpat Kak Siwi.“Kok, orang gila ngatain gila, sih!” kataku lagi.“Diam kamu, Kay! Kamu ngatain aku gila lagi akan kubuat kamu mampus gak bisa ngomong selamanya mulutmu itu!”“Enggak takut! Lakuin aja kalau bisa,” jawabku dengan senyuman sinis.Kulirik emak. Lagi-lagi emak hanya menggeleng saja. Jangankan basmi Kak Siwi, emak yang selama ini baik padaku pun bisa aku bikin diam alias stroke.“Mak ... Mak kenapa seperti ketakutan gitu, sih? Padahal kan, aku sayang sama Emak dan juga Mak sayang sama aku. Tenang aja ya, aku bakal kasih sesuatu sama emak, tapi aku
POV Kayla. “Halo ... selamat pagi! Emak apa kabar? Eh ... ada Kak Siwi,” sapaku saat aku buka pintu lalu menghampiri emak.“Eh ... perempuan kurang ajar mau apa kamu ke sini, hah! Kamu mau merayu emakku lagi biar kamu dapat tanah warisan atau kebun gitu, ya! Enggak cukup kamu ngambil rumah itu dari kami?” kata Kak Siwi. Dia menarik jilbabku sampai hampir terlepas bahkan jarumnya pun menusuk kulitku.“Apa-apaan sih, Kak! Ngeselin banget lepas nggak!” protesku.“Aku enggak akan lepas sampai kamu minta maaf sama aku dan kamu balikin rumah itu ke Emak lagi!” jawabnya.“Oh ... iya? Yakin?” jawabku seraya kusikut perut Kak siwi kuat sekali.“Aww sakit! Setan kamu, ya, Kayla!” jerit Ka Siwi. Dia memegangi perutnya sambil berjongkok.“Duh, maaf ya, Kak. Sengaja! Ha ha!” ucapku.“Emph! Emph!” Emak bersuara. Aku yakin dia sangat kesal padaku dan hendak mengumpatku, tapi karena Mak sudah kena stroke jadinya emak tidak bisa menyampaikan unek-uneknya.“Kenapa, Mak? Mau ngomong apa? Kasihan b
POV Kayla. “Oo ...ternyata pelakor! Orang elit dan berpendidikan tinggi pun bisa ya, jadi pelakor!”“Dokter kok, pelakor! Cantik-cantik sukanya sama suami orang. Padahal dapat bujangan juga bisa!”“Namanya juga cinta tahi kucing pun rasa coklat!”“Amit-amit na’uzubillahminzalik dunia udah mau kiamat sampai-sampai pada rebutan suami.”“Sekarang banyak perempuan muka badak, muka tembok! Enggak bisa berkaca diri terbawa hawa nafsu!”“Iya, sudah gitu nyalahin istri sah lagi! Iih ... enggak malu banget!”“Pelakor mana pada punya urat malu. Urat malunya udah putus!”“Iya, betul! Menjijikan sekali lebih najis daripada kotoran hewan!”“Iya, ngeri ya ... padahal karir mereka bagus loh, dokter! Ternyata enggak menjamin!”“Jangan cuma nyalahin pelakornya, tapi lakinya juga. Mereka itu kan, sama-sama mau. Sama-sama gatal, sama-sama nggak punya kehormatan!”“Pendidikan tinggi enggak menjamin orangnya pun bermoral tinggi!”“Makanya itu harus belajar adab juga.”“Dokter Dafa bingung kali milih sal
POV Kayla. “Kurang ajar kamu, ya, Kayla!” Risa tidak terima mendengar ucapanku. Dia menyerangku, tapi aku buru-buru melepaskan sepatuku lalu kupukulkan ke bahunya! Bugh! Bugh!Tepat sasaran. Risa mengaduh kesakitan. Dia bermaksud menarik jilbabku, tapi aku sudah lebih dulu menjambak rambutnya.“Aww! Sakit-sakit! Lepaskan!” teriak Risa sampai suster yang kebetulan melintas berlarian untuk melerai kami.“Mbak, lepas, Mbak! Kasihan Dokter Risa. Udah lepas! Mbak, tidak tahu dia siapa?! Tolong lepas!” seru para suster.“Rasain kamu! Mampus kamu, Risa! Sekali lagi kamu bikin masalah sama aku bukan hanya rambutmu yang aku jambak, tapi kepalamu aku lepaskan dari tubuhmu! Memang kamu kira aku takut sama kamu? Rasain ini dokter gila,” makiku pada Risa.“Kamu itu yang gila buktinya kamu yang menyerangku!” Risa masih saja playing victim.“Ooh ... gitu! Ini gimana? Sakit tidak!” kutarik bulu mata palsu Risa biar dia tahu rasa.“Aww saaaaakkkiit mataku! Bulu mataku! Dasar kamu gila Kayla!” teri
POV Kayla. “Kayla, tolong panggil suster untuk membantuku!” pinta Bang Daffa.“Males, iiih! Abang panggilan aja sendiri itu kan, ada tombol di atas kepala Bapak. Tinggal pencet aja sih, kenapa pakai nyuruh-nyuruh aku segala!” tolakku sinis.“Astaghfirullahaladzim ... Kayla ini darurat ya, Allah!” pekik Bang Dafa. Dia terlihat bingung dengan sikapku lalu tanpa pikir panjang dia memencet bel yang ada di atas kepala bapak berkali-kali.“Nah ... gitu bisa kan, pencet bel sendiri! Kenapa pakai nyuruh-nyuruh aku segala?!” seruku.“Kayla, cepat bantu sini! Tolong ini!” pinta Bang Dafa lagi tanpa menoleh ke arahku. Dia memang terlihat sibuk sekali.“Apaan sih, Bang, males lah! Aku mau keluar. Aku malas bertemu Abang. Orang Bapak 'tuh cuma kejang biasa itu kena ayan. Udah deh, enggak usah terlalu lebai,” jawabku lagi. Gegas aku keluar. Di pintu aku berpapasan dengan perawat yang terburu-buru masuk ke ruangan ini.“Dasar monster! Aku pastikan kamu segera akan punah dari muka bumi ini. Monste
POV Kayla. “Pak, hei jangan mati dulu!” seruku seraya kutepuk-tepuk pipinya lebih tepatnya aku tampar.“Paaakk!” Kali ini kutekan lengan kanan bapak yang terpasang selang infus. Jika Bapak tidak sedang dalam keadaan kejang pasti dia akan berteriak kesakitan, tapi aku yakin sih, dia pun merasakan sakit. Ah ... sungguh ini merupakan kenikmatan hakiki yang aku nanti-nanti selama ini.“Pak, ada satu rahasia lagi yang harus Bapak tahu dan ini tentu sangat mengejutkan. Tahukah Bapak, bahwa istri tercinta bapak itu adalah penebar fitnah. Bapak tidak tahu kan, kalau ternyata istri Bapak sejak muda dulu sudah berselingkuh dengan asisten pribadi Bapak? Karena aksinya terpergok oleh orang tuaku, Emak lalu memfitnah mereka dan terjadilah tragedi besar pembunuhan yang Bapak dalangi. Bagaimana Pak, apakah informasi ini mengejutkan Bapak?”Kulirik jam di pergelangan tanganku dan sepertinya sudah lebih dari 10 menit bapak kejang. Hebat sekali dia tidak meregang nyawa. Apa dia seperti kucing yang p