“Nah, benar kata Reni. Memang kamu mau tidur di kasur lantai lusuh begitu. Enggak sehat dan enggak higienis kapan mau punya anak kalau begitu,” sahut ibu membela Reni.
“Benar juga yang Ibu bilang. Aku juga tidak mau tidur di kasur lusuh terus. Dik, kamu mau kan, bantu Mamas bayar cicilannya?” Mas Arman merayuku, dia berkali-kali menciumi pipiku.
“No way! Aku tidak akan mengeluarkan uang sepeser pun untuk kalian. Aku bukan mesin uangmu, Mas. Harusnya kamu yang kasih aku nafkah tiap hari bukan malah aku yang memberimu.”
“Tolonglah Dik, sekali ini saja.”
“Tidak! Kalau aku sudah bilang tidak ya, tidak. Siapa yang make itulah yang bayar.”
“Tapi, Dik?”
“Tidak ada tapi-tapian. Kamu itu Ren, sudah aku bilang salah cari suami. Coba kamu jadi pelakornya orang kaya aku jamin hidupmu tidak akan susah begini, mau tidur aja pusing mikirin kreditan. Pinter dikit kek, jangan cuma makan tampannya doang. Percuma kalau kere.”
“Oh, jadi kamu ngatain anakku kere?” Ibu tidak terima atas pernyataanku.
“Lah, memang kere, Bu. Kok Ibu tidak terima. Kolor saja tidak mampu beli kalau bukan istrinya yang beliin kok gaya punya istri dua.”
“Cukup! Jaga ucapanmu, Dik. Aku ini suamimu tidak pantas kamu berkata begitu. Kalau kamu tidak mau bantu ya, sudah tidak usah bicara ke mana-mana. Harga diriku kamu injak-injak!” Mas Arman pun tidak terima dikatakan demikian.
“Kamu Mas sudah dholim padaku. Demi Allah aku tidak ridho aku akan minta pertanggungjawaban darimu di akhirat nanti.” Mas Arman diam saja sedang Reni tampak sekali sangat kesal.
“Ribet amat si di rumah ini. Aku enggak bisa tenang sama sekali. Mas, aku bilangin ya, jangan pernah minta apa-apa lagi sama wanita mandul ini. Dia pelit binti medit. Mulai sekarang Mas pun tidak usah kasih uang nafkah untuknya mending ditabung buat bayar cicilan ini,” sahut Intan mengompori kakaknya.
“Gampang kalau tidak mau kasih tidak apa-apa toh aku bisa cari sendiri. Tapi, ingat aku bukan lagi istrimu, Mas dan kita ketemu nanti di pengadilan agama.”
“Apaan si, kamu ngomongnya gitu terus. Untuk apa ke sana? Ingat ya, aku ini tidak akan pernah melepaskanmu Fatki!” Mas Arman membentakku.
“Ya, sudah, kalau begitu mana uang nafkahku hari ini.” Kutengadahkan tanganku meminta uang.
“Enak aja, kamu enggak dapat ini semua milikku mau aku kumpulin untuk bayar cicilan.” Reni menampik tanganku.
“Mas?” Mas Arman langsung memberikan uang 50 ribuan kepadaku.
“Yang ini untuk kamu, Ren.” Reni cemberut hanya dapat 50 ribu saja.
“Aaaaaa! ” Tiba-tiba ibu teriak histeris tepat di kupingku. Ponselnya sampai terlempar jauh.
Padahal tadi beliau anteng main HP dan ikutan nimbrung membela menantu kesayangannya.
“Kebiasaan deh, Ibu ini. Kalau takut lihat gambar hantu enggak usah lihat film horor.” Intan memungut HP ibu.
“Aaaaa ... bagaimana bisa seperti ini! Kurang ajar kamu, Pak!” Ibu menangis histeris.
Intan mengecek ponsel ibu.
“Apa! Kurang ajar! Dasar orang tua gila anaknya sudah besar-besar kok main perempuan lagi. Lihat ini Mas, Bapak kawin lagi!” Intan menyodorkan HP pada Mas Arman.
Kulihat ekspresi Mas Arman, wajahnya merah menahan marah. Sudah bisa kutebak itu pasti bapak yang kirim pesan pada ibu.
“Aaaa! Aku tidak bisa terima ini! Awas kamu, Pak!” Ibu terus saja berteriak dan menjambaki rambutnya sendiri.
Sementara Intan mencoba menghubungi nomor bapak. Mas Arman pun sibuk dengan ponselnya. Reni terlihat bingung dan juga marah.
Aku sebenarnya belum tahu persis apa yang dikatakan bapak dalam pesan singkatnya yang beliau kirimkan pada ibu.
“Siapa pun yang menjadi istri muda Bapak akan berurusan denganku. Tidak sudi aku punya Ibu sambung. Apalagi ibuku masih sehat dan juga masih hidup.” Intan terus saja mengomel.
“Aku tahu siapa sebenarnya istri ke dua Bapak,” sahutku. Seketika mereka melihatku nyalang.
“Katakan siapa? Apa kamu sekongkol dengan Bapak!” bentak Mas Arman.
“Ika, Art tetangga kita. Kekasih gelapmu yang sedang hamil anakmu!” jawabku lantang. Semua kaget, apalagi Reni.
"Apa! Kurang ajar kamu, Mas!" Reni memukuli Mas Arman.
“Heh, jangan ngacok ya, kamu! Mana mungkin anakku begitu!” teriak ibu tidak terima.
Mas Arman diam saja.
“Terserah mau percaya atau tidak toh itu faktanya. Aku pun baru tahu kalau Mas Arman sebejat itu.”
“Jangan asal fitnah, ya! Mentang-mentang teman-teman kamu para pembantu itu jadi kamu fitnah kakakku!” Intan pun tidak terima atas pernyataanku.
“Bagaimana bisa begini.” Ibu meraung-raung.
“Jawab Mas! Kenapa diam aja!” bentak Reni.
Mas Arman diam saja, dia bolak-balik mengacak rambutnya.
“Kita tunggu Bapak pulang biar semuanya jelas. Aku curiga ini hanya akal-akalan Mbak Fatki saja karena tidak terima Mas Arman menikah lagi,” ucap Intan.
“Terserah saja.” Kutinggalkan mereka masuk kamar.
Aku sangat lelah rasanya nyaman sekali merebahkan otot-otot yang tegang dan kaku.
Baru saja rebahan sorot lampu mobil menembus melalui kaca jendela kamarku. Aku tahu itu mobil bapak. Tepat tiga hari bapak pulang sesuai dengan ucapannya waktu berpamitan pergi.
Bergegas aku mengintip. Kusibak gorden kamar tampak bapak turun dari mobil diikuti perempuan muda. Iya, benar itu Ika.
Aku menunggu kemungkinan yang akan terjadi. Otakku rasanya tidak sampai memikirkan ini semua. Bagaimana bisa satu rumah ada dua madu. Kuayunkan kaki ke depan menyambut kedatangan bapak.
Hanya ada ibu dan Intan. Ah, Mas Arman pasti ngumpet mana berani dia keluar.
Makian keluar dari mulut ibu, Ika bersembunyi di belakang bapak. Ibu menarik rambut Ika dan menampar Ika berkali-kali. Hebatnya Ika diam saja tidak menangis ataupun mengaduh kesakitan.
Plak!
Bapak menampar wajah ibu. Mungkin bapak kasihan pada Ika dan juga sudah sangat kesal pada ibu.
“Jangan kamu sakiti dia, Bu. Bagaimana pun juga Ika sekarang sudah menjadi istriku dan juga madumu. Mau tidak mau kamu harus terima,” ucap bapak sambil memeluk Ika.
Plak!
Bugk!
Bugk!
Ibu membalas tamparan bapak dan juga menendang selakangan bapak.
“Cuih! Tidak sudi aku mengakui dia maduku. Lebih baik kita pisah saja, Pak,” jawab ibu.
“Tidak! Aku tidak akan menceraikan kamu, Bu. Aku pun sangat sayang padamu,” tegas bapak sambil memegangi selakangannya.
“B4jingan! Serakah! Aku tidak sudi punya suami seperti kamu!” teriak ibu.
Bugk!
Ibu menendang bapak lagi.
“Sikap ibulah yang membuat aku nekat begini. Aku lelaki Bu, butuh kasih sayang dan juga kelembutan seorang istri dan Ika bisa memberikan itu semua padaku,” jawaban bapak yang menohok membuat ibu makin frustasi.
Ibu terus saja berteriak seperti orang kesurupan semua barang yang ada di dekatnya dibanting dan hancur berserakan.
“Dasar lont* doyannya sama aki-aki memang kamu enggak bisa cari yang masih single!” teriak Intan.
🌸🌸🌸“Intan cukup! Dia ibumu jadi kamu mulai sekarang harus hormat!” bentak bapak.“Sampai aku mati pun tidak sudi mengakui dia sebagai ibuku. Aku pun tidak sudi punya bapak seperti kamu! Bagiku kamu sudah mati!” Intan menunjuk tepat di wajah bapak.“Mau kamu protes seperti apa pun tidak akan merubah keadaan, Bapak sudah menikah dengan Ika dan Bapak akan mempertanggungjawabkan ini semua,” jawab bapak.Aku jadi bingung, apa bapak tidak tahu kalau Ika ini kekasih gelapnya Mas Arman. Tapi, menurut pengakuan Mbak Sulis bapak tahu kalau Ika waktu itu sedang hamil bahkan bapak yang membawa Ika ke rumah sakit.“Fatki, Bapak minta tolong malam ini Ika tidur sama kamu dulu ya?”“Em ... maaf Pak, tidak bisa, kamarku sempit ada banyak barang juga. Kain yang mau aku jahit aku bawa masuk ke kamar,” jawabku bohong.“Baiklah kalau begitu malam ini Intan tidur sama Ibu Ika, ya?” ucap bapak lagi.“Tidak sudi!” Intan masuk kamar dibantingnya pintu kamar dengan kuat. Disusul ibu.Sebenarnya ada kamar
🌸🌸🌸Menikah dan berumah tangga adalah ibadah terpanjang dalam hidup kita. Di dalamnya ada syarat dan rukun ibadah yang harus terpenuhi agar ibadah kita sah dan diterima Allah SWT. Bukan seperti ini, entah rumah tangga seperti apa yang sedang kami jalani. Orang tua yang sejatinya menjadi panutan nyatanya sama saja keblinger dan mementingkan egonya masing-masing. Aku sedang berusaha bisa jika aku lelah dan menyerah aku akan tinggalkan semuanya.~K~U🌸🌸🌸"Kalau enggak mau kasih lebih baik kita pisah!” Baru saja aku terlelap karena minum obat suara cempreng ibu mertuaku memekakkan telinga hingga membangunkanku.“Bu, jangan begitulah. Keuangan kita menipis. Kemarin kan, kamu sudah aku kasih uang 500 ribu rupiah masa sudah habis?” Itu suara bapak mertuaku. Ah, pasi mereka berdebat masalah uang lagi.“Aku tidak mau tahu! Uang Cuma 500 ribu rupiah sudah habislah, sudah aku belanjakan kebutuhan dapur dan juga skincare. Kamu belikan wanita Lac*r itu spring bed dan lemari saja sanggup. Ak
“Ah, beraninya cuma omong doang! Dengar ya, Ika, jadi manusia itu enggak usah jumawa kamu status istri ke dua saja sombong pakai ngatain aku segala. Apa kamu tidak ingat kemarin-kemarin kamu itu siapa dan temenan sama siapa!” Mbak Sulis mengambil Syifa dari pangkuanku dan berlalu pulang.“Mbak Fatki, aku pulang dulu ya, engap ada penampakan setan di antara kita,” pamitnya. Aku mengiyakan.“Heh, mau ke mana kamu!” Ika mencegatku. Aku diam saja malas mau menjawab.“Jangan masuk dulu! Belikan aku pecel lontong di warung pojok lapangan sana, ya! Jangan pedes. Ini uangnya!” Ika melemparkan uang 10 ribu rupiah tepat di wajahku.Tak menjawab sepatah kata pun aku menangkis tangannya yang menghalangi jalanku lalu masuk rumah. Baru beberapa langkah Ika sudah memburuku dan menarik jilbabku. Kepalaku sampai mendongak ke belakang.“Punya kuping dan mulut itu di pakai. Aku ini ibu mertuamu jadi, kamu harus hormat padaku!” ucapnya lagi.Aku balik badan dan memelintir tangannya ke belakang kuat sekal
🌸🌸🌸“Aku akan adukan semuanya pada Mas Sam!” Ancam Ika. Sam adalah panggilan singkat dari nama bapak mertuaku Samsudin.“Adukan saja, aku tidak takut!” jawab ibu.“Mas sini minta duit aku sama Ibu mau ke pasar mau beli sepatu,” pinta Intan.“Mas enggak ada duit, Tan. Uang Mas sudah Mas bagi dua untuk Fatki dan Reni, ini juga Mas pusing gimana caranya bayar kreditan kasur,” jawab Mas Arman.“Ck, apes banget sih gue. Kenapa harus dilahirkan di tengah-tengah keluarga miskin dan basurd begini,” gerutu Intan.“Pokoknya Ibu tidak mau tahu! Cepetan mana uangnya!”Mas Arman merogoh kantong celananya dan memberi ibu uang 50 ribuan dua lembar.“Cuma segini? Mana cukup!”“Enggak ada lagi, Bu. Kalau enggak mau aku ambil lagi, nih.”“Ayo, Tan. Kita pergi. Nanti kalau kurang kita minta sama bapakmu saja.” Ibu menarik lengan Intan. Mereka berdua pergi.“Sudah sana, Mas kerja.”“Hari ini aku enggak kerja, aku mau berduaan dengan kamu. Lagi pula motornya enggak ada. Aku malas jalan kaki,” jawab Mas
🌸🌸🌸“Dik, aku rindu padamu,” ucap Mas Arman. Kalau dulu sebelum kehadiran orang ke tiga maka aku akan sangat bahagia jika Mas Arman berkata seperti itu tapi, kini jangankan senang hati pun ikut sakit.“Aku ngantuk Mas, aku mau tidur,” tolakku halus.“Kamu tidak bisa seperti ini terus, Dik. Kamu pun istriku. Wajib bagiku dan bagimu memenuhi kebutuhan lahir batin,” ucap Mas Arman lagi.“Lakukan sesuka hatimu, Mas. Aku memang tidak berhak menolak. Anggap saja sebagai baktiku yang terakhir. Barang kali esok atau lusa kita tidak bisa bersama lagi,” jawabku lirih. Air mataku mengalir begitu saja. Aku benar-benar benci keadaanku sekarang.Sepertinya Mas Arman tidak mengindahkan ucapanku dan tidak memedulikanku dia terlalu menikmati permainannya sendiri. Dia tetap memilih menuntaskan hasratnya. Lalu mendengkur menggapai mimpi.Sakit hati jiwa dan raga. Aku benar-benar seperti orang yang tidak punya harga diri. Kuraih selimut untuk menutup tubuhku dan pergi ke kamar mandi membersihkan diri.
“Ogah! Uangku itu tidak ada hak siapa pun. Aku juga sudah memberikan separonya pada ibuku. Kamu itu Mas, harusnya kasih aku nafkah bukan malah minta uangku!” pekik Reni.“Aku sudah penuhi kewajibanku. Nafkah untukmu bayar kreditan. Ini sisanya bagi tiga aku, ibu, dan juga Fatki.” Wow aku tersanjung dengan ucapan Mas Arman. Dia kesambet jin mana ya, kok jadi benar gitu otaknya.“Oh, tidak bisa! Fatki sudah bisa cari duit sendiri. Ibu lihat sendiri jahitannya banyak dan sudah ada Susanti anak tetangga yang bantu dia jahit,” tolak ibu.“Benar yang Ibu bilang. Mendingan uangnya untuk aku aja Mas, aku juga berhak dapat bagian,” ujar Intan.“Hah, kalian ini apa-apan si! Kenapa jadi kalian yang ngatur aku! Pusing tahu enggak! Uang segitu diributkan. Pokoknya aku tidak mau tahu keputusanku tetap tidak bisa diganggu gugat!” teriak Mas Arman. Kalau Mas Arman sudah marah begitu maka baik Intan ataupun ibu langsung diam.“Ini uangnya. Fatki, ini bagianmu!” Aku menghampiri mereka yang duduk di sof
Aku tidak mau menyimpan di dapur yang ada nanti hilang tak berbekas. Biar saja aku dibilang pelit pasalnya mereka para penghuni rumah ini jika membeli makanan aku sama sekali tidak pernah dikasih.“Mas, apaan sih! Malu tahu!”“Kenapa musti malu, kamu kan, istriku?”“Malu dilihat orang. Meski suami istri, tapi tidak boleh menunjukkan kemesraan secara langsung pada orang lain.”“Enggak ada orang, kok!”“Itu Susanti kamu anggap hantu?” Tadi Susanti mau masuk tidak jadi karena ada Mas Arman yang tiba-tiba memelukku dari belakang. Jadilah, dia balik badan dan menunggu di luar.“Eh, kok! Perasaan tadi enggak ada siapa-siapa.” Mas Arman tampak salah tingkah.“Ada apa sih, Mas. Kayaknya lagi seneng.”“Hem ... aku memang lagi seneng, Dik. Kamu tahu kan, kalau Reni hamil.” Hatiku mencelos. Aku tadi lupa tentang kehamilan Reni. Sekarang justru suamiku sendiri yang mengingatkannya.“Oh, iya.”“Kok, jadi manyun gitu bibirnya? Meski Reni hamil aku tidak akan melupakanmu, Dik. Makanya sekarang aku m
“Iya, lah. Aku enggak bisa tidur kalau panas. Enak pakai baju begini,” jawabnya cuek.“Kamu ngapain di situ, Mas?”“A—aku tadi ketiduran nonton bola, tahunya si Ika sudah merayuku,” jawab Mas Arman terbata.“Aku sebentar sudah malas berurusan dengan hal beginian, tapi kalau sikapmu masih tidak dirubah besok lebih baik kamu pergi dari sini pulang ke kontrakanmu. Kata Bapak kamu sakit-sakitan ini kok, kamu sehat walafiat,” tegasku.Baik, ibu maupun Reni ke luar kamar. Pasti mereka heran kenapa ada ribut-ribut.“Ada apa, Mas? Loh, kok, kancing bajumu kebuka? Kok, Ika pakai baju begitu?” tanya Reni.Ika semakin jumawa dia justru membusungkan dadanya. Merasa jadi pemenang.“Eh, dasar perempuan enggak ada akhlak. Kegatelan!” Ibu tiba-tiba memukul kepala Ika pakai remot TV.Ika yang tidak terima dengan serangan ibu pun membalas dengan melempar bantal sofa.Hitungan detik mereka terlibat gulat. Mas Arman berusaha memisahkan, tapi sepertinya percuma. Teriakan dan tangisan saling bersahutan.Ak
POV Kayla. Setelah pemakaman bapak keluarga pun segera mengurus perempuan yang mengaku sebagai istri mudanya bapak. Ternyata perempuan itu tidak mengharapkan harta seperti yang dituduhkan Kak Siwi. Perempuan itu benar-benar tulus pada bapak.Mereka benar-benar ke sini untuk memberikan penghormatan terakhir. Melihat ketulusan itu bang Dafa dan Bang Romi mengakui anak remaja itu sebagai adiknya dan berjanji akan memberikan biaya pendidikan sampai jenjang tinggi.Emak jangan ditanya perempuan itu terus mengerang pasti emak tidak terima atas keputusan dua putranya bahkan tadi Emak sempat kejang.“Abang mau bicara dengamu, Kay. Ini serius! Ayo, ikut Abang. Aku yang masih duduk di atas sajadahku setelah salat ashar langsung mengikuti Bang Daffa untuk berkumpul di ruang tamu. Di sana sudah banyak berkumpul saudara-saudara Bang Dafa ada paman, Kak Siwi, Risa, dan banyak lagi, tapi tunggu dulu ada satu orang yang menarik perhatianku siapa dia aku seperti pernah melihatnya? Ya, kini aku ingat
POV Kayla. “Kamu siapa? Kenapa kamu datang ke sini, hah?! Kami tidak punya keluarga seperti kamu dan kami tidak mengundang siapa pun yang tidak kami kenal. Cepat pergi!” usir Kak Siwi. Aku yakin sekali kalau Kak Siwi mengenali wanita itu ‘kan kemarin dia sudah melihatnya di ponselku sedangkan emak hanya meliriik saja. Emak terus saja menangis. Ah ... ini masih babak baru pasti setelah ini akan terjadi keributan besar.“Cepat sana, pergi! Cepat! Kami tidak punya kerabat seperti kamu!” usir Kak Siwi lagi seraya mendorong-dorong tubuh wanita itu.“Lepaskan Ibuku jangan kau sentuh Ibuku!” bela anak bujangnya. Wah ternyata punya nyali juga dia. Aku kira dia hanya anak ingusan yang sembunyi di ketiak ibunya ternyata dia jagoan yang berani membela ibunya dari terkaman harimau.“Kamu siapa? Nggak usah ikut campur anak kecil! Cepetan sana pergi kalian! Pergi! Rumah ini tidak menerima orang yang tidak kami kenal!” Kak Siwi terus saja mengusir perempuan itu namun perempuan itu sama sekali tid
POV Kayla.“Dasar pembunuh! Dialah pembunuh bapakku. Dialah pembunuh bapak kami! Dafa pokoknya jeblosin Kayla ke penjara aku. Pokoknya aku enggak mau tahu masukin dia ke penjara!” teriak Kak Siwi. Jari telunjuknya menudingku.Dia menuduhku membunuh bapak terserah saja ‘toh aku tidak secara langsung membunuhnya. Aku hanya memberikan informasi akurat dan rahasia besarnya selama ini, jadi kalau bapak meninggal ya, itu sudah takdirnya bukan karena aku yang bunuh. Jadi, untuk apa aku takut aku santai saja menghadapi mereka bahkan kini aku duduk di sebelah emak yang terbaring lemah. Tatapannya penuh kebencian padaku. Ah ... terserah saja. Dibenci emak tidak akan pernah membuatku rugi yang penting dendamku terbalaskan.Sementara Bang Daffa sama sekali tidak menanggapi perkataan Kak Siwi. Begitu pun dengan Bang Romi. Mereka semua justru khusuk mendoakan Bapak.Entahlah kalau setelah acara pemakaman ini mungkin aku akan disidang, tapi ya, seperti yang aku katakan tadi aku sama sekali tidak t
POV Kayla. “Wah ... so sweet sekali, tapi sayangnya itu basi dan sepertinya Mak sekarang nggak suka tuh sama kamu! Dari tatapannya Emak saja terlihat sangat marah. Andai Mak bisa ngomong pasti Emak sudah ngusir kamu dari sini, Kay!” kata Kak Siwi lagi. “Kalau emang Emak nggak suka padaku baru-baru ini ya, telat dong! Karena aku sudah nggak suka sama emak sejak dahulu,” jawabku. Kak Siwi bengong.“Dasar nggak waras! LAWANG!” umpat Kak Siwi.“Kok, orang gila ngatain gila, sih!” kataku lagi.“Diam kamu, Kay! Kamu ngatain aku gila lagi akan kubuat kamu mampus gak bisa ngomong selamanya mulutmu itu!”“Enggak takut! Lakuin aja kalau bisa,” jawabku dengan senyuman sinis.Kulirik emak. Lagi-lagi emak hanya menggeleng saja. Jangankan basmi Kak Siwi, emak yang selama ini baik padaku pun bisa aku bikin diam alias stroke.“Mak ... Mak kenapa seperti ketakutan gitu, sih? Padahal kan, aku sayang sama Emak dan juga Mak sayang sama aku. Tenang aja ya, aku bakal kasih sesuatu sama emak, tapi aku
POV Kayla. “Halo ... selamat pagi! Emak apa kabar? Eh ... ada Kak Siwi,” sapaku saat aku buka pintu lalu menghampiri emak.“Eh ... perempuan kurang ajar mau apa kamu ke sini, hah! Kamu mau merayu emakku lagi biar kamu dapat tanah warisan atau kebun gitu, ya! Enggak cukup kamu ngambil rumah itu dari kami?” kata Kak Siwi. Dia menarik jilbabku sampai hampir terlepas bahkan jarumnya pun menusuk kulitku.“Apa-apaan sih, Kak! Ngeselin banget lepas nggak!” protesku.“Aku enggak akan lepas sampai kamu minta maaf sama aku dan kamu balikin rumah itu ke Emak lagi!” jawabnya.“Oh ... iya? Yakin?” jawabku seraya kusikut perut Kak siwi kuat sekali.“Aww sakit! Setan kamu, ya, Kayla!” jerit Ka Siwi. Dia memegangi perutnya sambil berjongkok.“Duh, maaf ya, Kak. Sengaja! Ha ha!” ucapku.“Emph! Emph!” Emak bersuara. Aku yakin dia sangat kesal padaku dan hendak mengumpatku, tapi karena Mak sudah kena stroke jadinya emak tidak bisa menyampaikan unek-uneknya.“Kenapa, Mak? Mau ngomong apa? Kasihan b
POV Kayla. “Oo ...ternyata pelakor! Orang elit dan berpendidikan tinggi pun bisa ya, jadi pelakor!”“Dokter kok, pelakor! Cantik-cantik sukanya sama suami orang. Padahal dapat bujangan juga bisa!”“Namanya juga cinta tahi kucing pun rasa coklat!”“Amit-amit na’uzubillahminzalik dunia udah mau kiamat sampai-sampai pada rebutan suami.”“Sekarang banyak perempuan muka badak, muka tembok! Enggak bisa berkaca diri terbawa hawa nafsu!”“Iya, sudah gitu nyalahin istri sah lagi! Iih ... enggak malu banget!”“Pelakor mana pada punya urat malu. Urat malunya udah putus!”“Iya, betul! Menjijikan sekali lebih najis daripada kotoran hewan!”“Iya, ngeri ya ... padahal karir mereka bagus loh, dokter! Ternyata enggak menjamin!”“Jangan cuma nyalahin pelakornya, tapi lakinya juga. Mereka itu kan, sama-sama mau. Sama-sama gatal, sama-sama nggak punya kehormatan!”“Pendidikan tinggi enggak menjamin orangnya pun bermoral tinggi!”“Makanya itu harus belajar adab juga.”“Dokter Dafa bingung kali milih sal
POV Kayla. “Kurang ajar kamu, ya, Kayla!” Risa tidak terima mendengar ucapanku. Dia menyerangku, tapi aku buru-buru melepaskan sepatuku lalu kupukulkan ke bahunya! Bugh! Bugh!Tepat sasaran. Risa mengaduh kesakitan. Dia bermaksud menarik jilbabku, tapi aku sudah lebih dulu menjambak rambutnya.“Aww! Sakit-sakit! Lepaskan!” teriak Risa sampai suster yang kebetulan melintas berlarian untuk melerai kami.“Mbak, lepas, Mbak! Kasihan Dokter Risa. Udah lepas! Mbak, tidak tahu dia siapa?! Tolong lepas!” seru para suster.“Rasain kamu! Mampus kamu, Risa! Sekali lagi kamu bikin masalah sama aku bukan hanya rambutmu yang aku jambak, tapi kepalamu aku lepaskan dari tubuhmu! Memang kamu kira aku takut sama kamu? Rasain ini dokter gila,” makiku pada Risa.“Kamu itu yang gila buktinya kamu yang menyerangku!” Risa masih saja playing victim.“Ooh ... gitu! Ini gimana? Sakit tidak!” kutarik bulu mata palsu Risa biar dia tahu rasa.“Aww saaaaakkkiit mataku! Bulu mataku! Dasar kamu gila Kayla!” teri
POV Kayla. “Kayla, tolong panggil suster untuk membantuku!” pinta Bang Daffa.“Males, iiih! Abang panggilan aja sendiri itu kan, ada tombol di atas kepala Bapak. Tinggal pencet aja sih, kenapa pakai nyuruh-nyuruh aku segala!” tolakku sinis.“Astaghfirullahaladzim ... Kayla ini darurat ya, Allah!” pekik Bang Dafa. Dia terlihat bingung dengan sikapku lalu tanpa pikir panjang dia memencet bel yang ada di atas kepala bapak berkali-kali.“Nah ... gitu bisa kan, pencet bel sendiri! Kenapa pakai nyuruh-nyuruh aku segala?!” seruku.“Kayla, cepat bantu sini! Tolong ini!” pinta Bang Dafa lagi tanpa menoleh ke arahku. Dia memang terlihat sibuk sekali.“Apaan sih, Bang, males lah! Aku mau keluar. Aku malas bertemu Abang. Orang Bapak 'tuh cuma kejang biasa itu kena ayan. Udah deh, enggak usah terlalu lebai,” jawabku lagi. Gegas aku keluar. Di pintu aku berpapasan dengan perawat yang terburu-buru masuk ke ruangan ini.“Dasar monster! Aku pastikan kamu segera akan punah dari muka bumi ini. Monste
POV Kayla. “Pak, hei jangan mati dulu!” seruku seraya kutepuk-tepuk pipinya lebih tepatnya aku tampar.“Paaakk!” Kali ini kutekan lengan kanan bapak yang terpasang selang infus. Jika Bapak tidak sedang dalam keadaan kejang pasti dia akan berteriak kesakitan, tapi aku yakin sih, dia pun merasakan sakit. Ah ... sungguh ini merupakan kenikmatan hakiki yang aku nanti-nanti selama ini.“Pak, ada satu rahasia lagi yang harus Bapak tahu dan ini tentu sangat mengejutkan. Tahukah Bapak, bahwa istri tercinta bapak itu adalah penebar fitnah. Bapak tidak tahu kan, kalau ternyata istri Bapak sejak muda dulu sudah berselingkuh dengan asisten pribadi Bapak? Karena aksinya terpergok oleh orang tuaku, Emak lalu memfitnah mereka dan terjadilah tragedi besar pembunuhan yang Bapak dalangi. Bagaimana Pak, apakah informasi ini mengejutkan Bapak?”Kulirik jam di pergelangan tanganku dan sepertinya sudah lebih dari 10 menit bapak kejang. Hebat sekali dia tidak meregang nyawa. Apa dia seperti kucing yang p