"Iya, memang ini ulahku. Habisnya kamu tidak tahu malu sih, pakai milik orang tanpa izin. Heran aku kenapa kamu sukanya dengan barang-barang bekasanku si, enggak mampu beli, ya? Katanya duitnya banyak gajinya jutaan dipan jati harga 5 juta saja enggak bisa beli, kalah dong sama pengangguran seperti aku."
"Sudah, Nak, jangan diladeni mulut berbisa seperti itu ayo bantu, Paman!" titah bibi.
Aku menunjukkan kamarku. Paman melihat iba padaku. Kami mengeluarkan barang-barang milikku terlebih dahulu lalu memasukkan dipan, lemari baju 2 pintu, dan juga meja rias. meski sempit tidak mengapa yang penting masih ada celah untuk salat.
Reni masih saja histeris dan mengumpatku. Tidak aku tanggapi nanti kalau capek juga berhenti sendiri.
Bibi dan Citra membantuku menyusun baju dan memasang seprei. Akhirnya selesai juga sampai tengah malam begini.
Aku sangat berterima kasih pada keluarga paman karena sudah bersedia membantuku. Alhamdulillah milikku sudah kembali lagi.
"Dik, aku mau bicara padamu dari hati ke hati." Mas Arman menarik lenganku saat aku mau masuk kamar.
"Bicaralah."
"Dik, tolong sekali ini saja. Reni tidak terbiasa tidur di kasur lantai begitu nanti dia bisa sakit. Jadi, Mas minta tolong kamu ngalah, ya?"
"Apa! Ooo ... jadi gitu ceritanya. Enak saja aku tidak akan mengalah untuk sesuatu yang sudah aku dapatkan dengan susah payah. Kecuali suami seperti Mas Arman. Malahan aku bersyukur kalau pisahan."
"Tidak! Aku sudah katakan sampai kapan pun aku tidak akan ceraikan kamu."
"Ya, sudah kalau gitu enggak usah ngatur- ngatur. Beli aja sendiri itu semua aku beli dari hasil jerih payahku. Enak saja dipakai sama pelakor." Mas Arman pasrah di menunduk lama sekali aku tinggal masuk kamar. Terserah kalian perang dunia juga tidak apa-apa yang penting aku bisa tidur nyenyak malam ini.
~K~Ušøšøšø
"Fatki bangun!" Pintu kamarku digedor-gedor ibu. Sudah seperti rentenir penagih hutang saja.
Kulihat jam memang sudah siang, sudah 6.30 WIB karena aku sedang tidak salat jadi santai. Semalam aku minum obat setelah keluarga paman pulang. mungkin karena efek obat juga aku tidur sangat lelap biasanya selalu dengar azan subuh dan alarm. Lagi pula suami sendiri sudah ada yang mengurus jadi aku tambah santai.
"Tidur apa mati, kamu! Fatki!" Ibu makin kencang teriaknya. Jujur, kalau sudah diubrak-ubrak begitu jadi malas mau bangun.
"Fakti! Bangun!" Ibu tidak mau menyerah rupanya. Kubuka jendela udara pagi masuk sangat segar. Aku jadi ingin menanam beberapa bunga di depan jendela kamarku ini jadi ada yang bisa dipandang. Baiklah, pagi ini aku akan pergi ke penjual kembang mau beli bunga mawar, melati, dan anggrek.
"Eh, dasar ya, orang gila! Dipanggilin enggak dengar malah senyum-senyum sendiri sambil meluk tralis jendela. Sinting kamu itu!" Sebenarnya aku kaget karena ibu tiba-tiba ada di depanku pas. Andai tidak terhalang jendela pasti ibu sudah dengan mudah memainkan tangannya untuk memukulku.
"Bangun, sudah siang buat sarapan kami sudah lapar" pinta ibu. Ck, kebiasaan di pagi hari ternyata tidak membuatnya jera menyuruhku. Kutinggalkan ibu kembali duduk di ranjang. Ibu kembali ke dalam.
Dasar aneh, dari pada sibuk bangunin orang kan, lebih baik dipakai untuk masak.
Tepat jam 7 pagi aku ke luar kamar. Orang rumah sedang sarapan nasi bungkus kalau tercium dari aromanya sih, sepertinya mereka beli nasi uduk.
"Dik, sini ikut sarapan!" ajak Mas Arman. Ah, pasti dia ada maunya karena bersikap manis begitu.
"Eh, makasih Mas. Aku enggak biasa sarapan nasi uduk begitu. Lebih baik aku makan nasi biasa dengan telur ceplok," tolakku.
"Belagu, orang kampung saja enggak doyan uduk!" maki Reni dan aku tidak ambil pusing. Karena memang aku tidak biasa sarapan nasi uduk.
"Sudahlah Reni, jangan begitu. Kamu semalam sudah janji, kan, mau bersikap manis pada Fatki." Apa kupingku tidak salah dengar. Duh, drama apa yang sedang mereka mainkan.
Sedang asyik memasak nasi goreng ponselku berdering. Nasi goreng mata sapi aku bawa ke kamar.
Aku tidak mau sarapan bareng mereka lebih baik aku menghindar dari pada hati terus saja tersakiti.
Kulihat ponsel ternyata Mbak Sulis yang telepon. Aku seperti hanya punya teman Mbak Sulis saja karena dia yang rajin sekali menelepon dan juga kirim pesan. Padahal temanku di sini lumayan banyak. Bedanya mereka akan menelepon jika ada hal penting saja.
Aku sedang menikmati sarapanku jadi malas mau angkat teleponnya. Kalau penting juga nanti dia akan menelepon lagi atau malahan datang ke sini.
"Dik, Mas berangkat kerja dulu ya, doakan hari ini dapat rezeki banyak. Oh, iya, Mas mau minta ongkos dong, duit Mas habis." Luar biasa suamiku ini. Bersikap manis hanya untuk mendapatkan keuntungan.
"Aku tidak punya uang lagi, Mas."
"Kemarin kan, Mas sudah kasih uang, Dik. masa sudah habis."
"Loh, itu kan, uangku kenapa diminta lagi? Enggak ada. Minta saja sana sama Ibu," tolakku.
Ponselku kembali berdering, Ah, ini saat yang tepat dari pada aku berdebat dengan Mas Arman lebih baik aku angkat telepon dari Mbak Sulis saja.
"Assalamualaikum ... Mbak?" sapaku.
"W*'alaikumsalam ... eh, sibuk banget ya, Mbak Fatki. Aku dari tadi telepon dicuekin."
"Iya, sedikit. ada apa, Mbak Sulis?" Begitu mendengar nama Mbak Sulis, Mas Arman langsung mengambil ponselku.
"Jangan banyak main dengan pembantu. Nanti ketularan jadi pembantu! Dengar kamu, Fatki!" Mas Arman sangat murka. Aneh sekali padahal biasanya tidak begini aku mau main dengan siapa pun asal orang baik dia selalu mengizinkan.
"Apaan sih, Mas! Kamu itu enggak sopan! Sini HP-ku." Kurebut HP dari tangan Mas Arman takut dibanting lagi.
"Hallo, Mbak. Maaf ya, Ini suami marah. Ada apa Mbak?" Untung saja Mbak Sulis tidak marah.
"Aku W* saja ya, Mbak. Maaf sudah mengganggu. Assalamualaikum ...."
"Baiklah. W*'alaikumsalam."
"Kalau kamu masih main dengan pembantu itu HP-mu aku sita!" Ancam Mas Arman.
"Silakan saja, maka aku akan pulang." Aku tidak takut ancaman Mas Arman.
"Kamu itu ya, kenapa sekarang susah banget sih, dibilangin!" Mas Arman kesal dan membanting pintu keluar.
Ting!
Pesan dari Mbak Sulis, dia mengirimkan sebuah gambar padaku. Setelah kuunduh ternyata skrinsut status W* si Ika.
[Mbak, ternyata nomorku enggak jadi diblokir sama itu orang. Lihat itu status W*-nya dia mau pulang ke rumah ibu mertua Mbak Fatki.]
{Otewe ke rumah suami.} Begitulah yang ditulis Ika.
Astaghfirullah apa Ika mau pulang ke sini, ya?
[Mbak?]
[Mbak Fatki, kok diem aja?]
[Mbak ....]
šøšøšøAku was-was menunggu hari ini . Entah kenapa aku merasa hari ini akan ada peristiwa penting di rumah ini. Perang dunia mungkin. Yang jelas setelah membaca status WA Ika aku jadi tidak tenang.āMbak, pinjam tas ini, ya?ā Intan nyelonong masuk kamar tanpa izin dan mengambil tas baruku yang ada di cantolan paku dekat lemari.āEnggak boleh! Pakai saja tasmu!ā Kurebut tas yang sudah bertengger cantik di bahu Ika.āPelit banget sih, Mbak!ā teriaknya.āEmang, kan, kamu sendiri yang bilang aku pelit. Jadi, sekalian aja deh!ā jawabku santai.āIbuuuuu!ā Nah, kan, mulai lagi ngadunya. Kalau dulu akan segera aku berikan, tapi tidak untuk hari ini dan selanjutnya. Cukup sudah aku baik hati pada mereka yang tidak punya hati.āAda apa, si, Intan! Pagi-pagi sudah teriak-teriak tidak jelas!ā sahut ibu sewot.āAku mau pinjam tas itu, tapi enggak dikasih sama Mbak Fatki! Hanya tas itu yang matching dengan baju dan sepatu yang aku pakai, Bu,ā rengek Intan.āPerkara tas saja ribut! Kasih pinjamkan
āNah, benar kata Reni. Memang kamu mau tidur di kasur lantai lusuh begitu. Enggak sehat dan enggak higienis kapan mau punya anak kalau begitu,ā sahut ibu membela Reni.āBenar juga yang Ibu bilang. Aku juga tidak mau tidur di kasur lusuh terus. Dik, kamu mau kan, bantu Mamas bayar cicilannya?ā Mas Arman merayuku, dia berkali-kali menciumi pipiku.āNo way! Aku tidak akan mengeluarkan uang sepeser pun untuk kalian. Aku bukan mesin uangmu, Mas. Harusnya kamu yang kasih aku nafkah tiap hari bukan malah aku yang memberimu.āāTolonglah Dik, sekali ini saja.āāTidak! Kalau aku sudah bilang tidak ya, tidak. Siapa yang make itulah yang bayar.āāTapi, Dik?āāTidak ada tapi-tapian. Kamu itu Ren, sudah aku bilang salah cari suami. Coba kamu jadi pelakornya orang kaya aku jamin hidupmu tidak akan susah begini, mau tidur aja pusing mikirin kreditan. Pinter dikit kek, jangan cuma makan tampannya doang. Percuma kalau kere.āāOh, jadi kamu ngatain anakku kere?ā Ibu tidak terima atas pernyataanku.āLah,
šøšøšøāIntan cukup! Dia ibumu jadi kamu mulai sekarang harus hormat!ā bentak bapak.āSampai aku mati pun tidak sudi mengakui dia sebagai ibuku. Aku pun tidak sudi punya bapak seperti kamu! Bagiku kamu sudah mati!ā Intan menunjuk tepat di wajah bapak.āMau kamu protes seperti apa pun tidak akan merubah keadaan, Bapak sudah menikah dengan Ika dan Bapak akan mempertanggungjawabkan ini semua,ā jawab bapak.Aku jadi bingung, apa bapak tidak tahu kalau Ika ini kekasih gelapnya Mas Arman. Tapi, menurut pengakuan Mbak Sulis bapak tahu kalau Ika waktu itu sedang hamil bahkan bapak yang membawa Ika ke rumah sakit.āFatki, Bapak minta tolong malam ini Ika tidur sama kamu dulu ya?āāEm ... maaf Pak, tidak bisa, kamarku sempit ada banyak barang juga. Kain yang mau aku jahit aku bawa masuk ke kamar,ā jawabku bohong.āBaiklah kalau begitu malam ini Intan tidur sama Ibu Ika, ya?ā ucap bapak lagi.āTidak sudi!ā Intan masuk kamar dibantingnya pintu kamar dengan kuat. Disusul ibu.Sebenarnya ada kamar
šøšøšøMenikah dan berumah tangga adalah ibadah terpanjang dalam hidup kita. Di dalamnya ada syarat dan rukun ibadah yang harus terpenuhi agar ibadah kita sah dan diterima Allah SWT. Bukan seperti ini, entah rumah tangga seperti apa yang sedang kami jalani. Orang tua yang sejatinya menjadi panutan nyatanya sama saja keblinger dan mementingkan egonya masing-masing. Aku sedang berusaha bisa jika aku lelah dan menyerah aku akan tinggalkan semuanya.~K~Ušøšøšø"Kalau enggak mau kasih lebih baik kita pisah!ā Baru saja aku terlelap karena minum obat suara cempreng ibu mertuaku memekakkan telinga hingga membangunkanku.āBu, jangan begitulah. Keuangan kita menipis. Kemarin kan, kamu sudah aku kasih uang 500 ribu rupiah masa sudah habis?ā Itu suara bapak mertuaku. Ah, pasi mereka berdebat masalah uang lagi.āAku tidak mau tahu! Uang Cuma 500 ribu rupiah sudah habislah, sudah aku belanjakan kebutuhan dapur dan juga skincare. Kamu belikan wanita Lac*r itu spring bed dan lemari saja sanggup. Ak
āAh, beraninya cuma omong doang! Dengar ya, Ika, jadi manusia itu enggak usah jumawa kamu status istri ke dua saja sombong pakai ngatain aku segala. Apa kamu tidak ingat kemarin-kemarin kamu itu siapa dan temenan sama siapa!ā Mbak Sulis mengambil Syifa dari pangkuanku dan berlalu pulang.āMbak Fatki, aku pulang dulu ya, engap ada penampakan setan di antara kita,ā pamitnya. Aku mengiyakan.āHeh, mau ke mana kamu!ā Ika mencegatku. Aku diam saja malas mau menjawab.āJangan masuk dulu! Belikan aku pecel lontong di warung pojok lapangan sana, ya! Jangan pedes. Ini uangnya!ā Ika melemparkan uang 10 ribu rupiah tepat di wajahku.Tak menjawab sepatah kata pun aku menangkis tangannya yang menghalangi jalanku lalu masuk rumah. Baru beberapa langkah Ika sudah memburuku dan menarik jilbabku. Kepalaku sampai mendongak ke belakang.āPunya kuping dan mulut itu di pakai. Aku ini ibu mertuamu jadi, kamu harus hormat padaku!ā ucapnya lagi.Aku balik badan dan memelintir tangannya ke belakang kuat sekal
šøšøšøāAku akan adukan semuanya pada Mas Sam!ā Ancam Ika. Sam adalah panggilan singkat dari nama bapak mertuaku Samsudin.āAdukan saja, aku tidak takut!ā jawab ibu.āMas sini minta duit aku sama Ibu mau ke pasar mau beli sepatu,ā pinta Intan.āMas enggak ada duit, Tan. Uang Mas sudah Mas bagi dua untuk Fatki dan Reni, ini juga Mas pusing gimana caranya bayar kreditan kasur,ā jawab Mas Arman.āCk, apes banget sih gue. Kenapa harus dilahirkan di tengah-tengah keluarga miskin dan basurd begini,ā gerutu Intan.āPokoknya Ibu tidak mau tahu! Cepetan mana uangnya!āMas Arman merogoh kantong celananya dan memberi ibu uang 50 ribuan dua lembar.āCuma segini? Mana cukup!āāEnggak ada lagi, Bu. Kalau enggak mau aku ambil lagi, nih.āāAyo, Tan. Kita pergi. Nanti kalau kurang kita minta sama bapakmu saja.ā Ibu menarik lengan Intan. Mereka berdua pergi.āSudah sana, Mas kerja.āāHari ini aku enggak kerja, aku mau berduaan dengan kamu. Lagi pula motornya enggak ada. Aku malas jalan kaki,ā jawab Mas
šøšøšøāDik, aku rindu padamu,ā ucap Mas Arman. Kalau dulu sebelum kehadiran orang ke tiga maka aku akan sangat bahagia jika Mas Arman berkata seperti itu tapi, kini jangankan senang hati pun ikut sakit.āAku ngantuk Mas, aku mau tidur,ā tolakku halus.āKamu tidak bisa seperti ini terus, Dik. Kamu pun istriku. Wajib bagiku dan bagimu memenuhi kebutuhan lahir batin,ā ucap Mas Arman lagi.āLakukan sesuka hatimu, Mas. Aku memang tidak berhak menolak. Anggap saja sebagai baktiku yang terakhir. Barang kali esok atau lusa kita tidak bisa bersama lagi,ā jawabku lirih. Air mataku mengalir begitu saja. Aku benar-benar benci keadaanku sekarang.Sepertinya Mas Arman tidak mengindahkan ucapanku dan tidak memedulikanku dia terlalu menikmati permainannya sendiri. Dia tetap memilih menuntaskan hasratnya. Lalu mendengkur menggapai mimpi.Sakit hati jiwa dan raga. Aku benar-benar seperti orang yang tidak punya harga diri. Kuraih selimut untuk menutup tubuhku dan pergi ke kamar mandi membersihkan diri.
āOgah! Uangku itu tidak ada hak siapa pun. Aku juga sudah memberikan separonya pada ibuku. Kamu itu Mas, harusnya kasih aku nafkah bukan malah minta uangku!ā pekik Reni.āAku sudah penuhi kewajibanku. Nafkah untukmu bayar kreditan. Ini sisanya bagi tiga aku, ibu, dan juga Fatki.ā Wow aku tersanjung dengan ucapan Mas Arman. Dia kesambet jin mana ya, kok jadi benar gitu otaknya.āOh, tidak bisa! Fatki sudah bisa cari duit sendiri. Ibu lihat sendiri jahitannya banyak dan sudah ada Susanti anak tetangga yang bantu dia jahit,ā tolak ibu.āBenar yang Ibu bilang. Mendingan uangnya untuk aku aja Mas, aku juga berhak dapat bagian,ā ujar Intan.āHah, kalian ini apa-apan si! Kenapa jadi kalian yang ngatur aku! Pusing tahu enggak! Uang segitu diributkan. Pokoknya aku tidak mau tahu keputusanku tetap tidak bisa diganggu gugat!ā teriak Mas Arman. Kalau Mas Arman sudah marah begitu maka baik Intan ataupun ibu langsung diam.āIni uangnya. Fatki, ini bagianmu!ā Aku menghampiri mereka yang duduk di sof
POV Kayla. Setelah pemakaman bapak keluarga pun segera mengurus perempuan yang mengaku sebagai istri mudanya bapak. Ternyata perempuan itu tidak mengharapkan harta seperti yang dituduhkan Kak Siwi. Perempuan itu benar-benar tulus pada bapak.Mereka benar-benar ke sini untuk memberikan penghormatan terakhir. Melihat ketulusan itu bang Dafa dan Bang Romi mengakui anak remaja itu sebagai adiknya dan berjanji akan memberikan biaya pendidikan sampai jenjang tinggi.Emak jangan ditanya perempuan itu terus mengerang pasti emak tidak terima atas keputusan dua putranya bahkan tadi Emak sempat kejang.āAbang mau bicara dengamu, Kay. Ini serius! Ayo, ikut Abang. Aku yang masih duduk di atas sajadahku setelah salat ashar langsung mengikuti Bang Daffa untuk berkumpul di ruang tamu. Di sana sudah banyak berkumpul saudara-saudara Bang Dafa ada paman, Kak Siwi, Risa, dan banyak lagi, tapi tunggu dulu ada satu orang yang menarik perhatianku siapa dia aku seperti pernah melihatnya? Ya, kini aku ingat
POV Kayla. āKamu siapa? Kenapa kamu datang ke sini, hah?! Kami tidak punya keluarga seperti kamu dan kami tidak mengundang siapa pun yang tidak kami kenal. Cepat pergi!ā usir Kak Siwi. Aku yakin sekali kalau Kak Siwi mengenali wanita itu ākan kemarin dia sudah melihatnya di ponselku sedangkan emak hanya meliriik saja. Emak terus saja menangis. Ah ... ini masih babak baru pasti setelah ini akan terjadi keributan besar.āCepat sana, pergi! Cepat! Kami tidak punya kerabat seperti kamu!ā usir Kak Siwi lagi seraya mendorong-dorong tubuh wanita itu.āLepaskan Ibuku jangan kau sentuh Ibuku!ā bela anak bujangnya. Wah ternyata punya nyali juga dia. Aku kira dia hanya anak ingusan yang sembunyi di ketiak ibunya ternyata dia jagoan yang berani membela ibunya dari terkaman harimau.āKamu siapa? Nggak usah ikut campur anak kecil! Cepetan sana pergi kalian! Pergi! Rumah ini tidak menerima orang yang tidak kami kenal!ā Kak Siwi terus saja mengusir perempuan itu namun perempuan itu sama sekali tid
POV Kayla.āDasar pembunuh! Dialah pembunuh bapakku. Dialah pembunuh bapak kami! Dafa pokoknya jeblosin Kayla ke penjara aku. Pokoknya aku enggak mau tahu masukin dia ke penjara!ā teriak Kak Siwi. Jari telunjuknya menudingku.Dia menuduhku membunuh bapak terserah saja ātoh aku tidak secara langsung membunuhnya. Aku hanya memberikan informasi akurat dan rahasia besarnya selama ini, jadi kalau bapak meninggal ya, itu sudah takdirnya bukan karena aku yang bunuh. Jadi, untuk apa aku takut aku santai saja menghadapi mereka bahkan kini aku duduk di sebelah emak yang terbaring lemah. Tatapannya penuh kebencian padaku. Ah ... terserah saja. Dibenci emak tidak akan pernah membuatku rugi yang penting dendamku terbalaskan.Sementara Bang Daffa sama sekali tidak menanggapi perkataan Kak Siwi. Begitu pun dengan Bang Romi. Mereka semua justru khusuk mendoakan Bapak.Entahlah kalau setelah acara pemakaman ini mungkin aku akan disidang, tapi ya, seperti yang aku katakan tadi aku sama sekali tidak t
POV Kayla. āWah ... so sweet sekali, tapi sayangnya itu basi dan sepertinya Mak sekarang nggak suka tuh sama kamu! Dari tatapannya Emak saja terlihat sangat marah. Andai Mak bisa ngomong pasti Emak sudah ngusir kamu dari sini, Kay!ā kata Kak Siwi lagi. āKalau emang Emak nggak suka padaku baru-baru ini ya, telat dong! Karena aku sudah nggak suka sama emak sejak dahulu,ā jawabku. Kak Siwi bengong.āDasar nggak waras! LAWANG!ā umpat Kak Siwi.āKok, orang gila ngatain gila, sih!ā kataku lagi.āDiam kamu, Kay! Kamu ngatain aku gila lagi akan kubuat kamu mampus gak bisa ngomong selamanya mulutmu itu!āāEnggak takut! Lakuin aja kalau bisa,ā jawabku dengan senyuman sinis.Kulirik emak. Lagi-lagi emak hanya menggeleng saja. Jangankan basmi Kak Siwi, emak yang selama ini baik padaku pun bisa aku bikin diam alias stroke.āMak ... Mak kenapa seperti ketakutan gitu, sih? Padahal kan, aku sayang sama Emak dan juga Mak sayang sama aku. Tenang aja ya, aku bakal kasih sesuatu sama emak, tapi aku
POV Kayla. āHalo ... selamat pagi! Emak apa kabar? Eh ... ada Kak Siwi,ā sapaku saat aku buka pintu lalu menghampiri emak.āEh ... perempuan kurang ajar mau apa kamu ke sini, hah! Kamu mau merayu emakku lagi biar kamu dapat tanah warisan atau kebun gitu, ya! Enggak cukup kamu ngambil rumah itu dari kami?ā kata Kak Siwi. Dia menarik jilbabku sampai hampir terlepas bahkan jarumnya pun menusuk kulitku.āApa-apaan sih, Kak! Ngeselin banget lepas nggak!ā protesku.āAku enggak akan lepas sampai kamu minta maaf sama aku dan kamu balikin rumah itu ke Emak lagi!ā jawabnya.āOh ... iya? Yakin?ā jawabku seraya kusikut perut Kak siwi kuat sekali.āAww sakit! Setan kamu, ya, Kayla!ā jerit Ka Siwi. Dia memegangi perutnya sambil berjongkok.āDuh, maaf ya, Kak. Sengaja! Ha ha!ā ucapku.āEmph! Emph!ā Emak bersuara. Aku yakin dia sangat kesal padaku dan hendak mengumpatku, tapi karena Mak sudah kena stroke jadinya emak tidak bisa menyampaikan unek-uneknya.āKenapa, Mak? Mau ngomong apa? Kasihan b
POV Kayla. āOo ...ternyata pelakor! Orang elit dan berpendidikan tinggi pun bisa ya, jadi pelakor!āāDokter kok, pelakor! Cantik-cantik sukanya sama suami orang. Padahal dapat bujangan juga bisa!āāNamanya juga cinta tahi kucing pun rasa coklat!āāAmit-amit naāuzubillahminzalik dunia udah mau kiamat sampai-sampai pada rebutan suami.āāSekarang banyak perempuan muka badak, muka tembok! Enggak bisa berkaca diri terbawa hawa nafsu!āāIya, sudah gitu nyalahin istri sah lagi! Iih ... enggak malu banget!āāPelakor mana pada punya urat malu. Urat malunya udah putus!āāIya, betul! Menjijikan sekali lebih najis daripada kotoran hewan!āāIya, ngeri ya ... padahal karir mereka bagus loh, dokter! Ternyata enggak menjamin!āāJangan cuma nyalahin pelakornya, tapi lakinya juga. Mereka itu kan, sama-sama mau. Sama-sama gatal, sama-sama nggak punya kehormatan!āāPendidikan tinggi enggak menjamin orangnya pun bermoral tinggi!āāMakanya itu harus belajar adab juga.āāDokter Dafa bingung kali milih sal
POV Kayla. āKurang ajar kamu, ya, Kayla!ā Risa tidak terima mendengar ucapanku. Dia menyerangku, tapi aku buru-buru melepaskan sepatuku lalu kupukulkan ke bahunya! Bugh! Bugh!Tepat sasaran. Risa mengaduh kesakitan. Dia bermaksud menarik jilbabku, tapi aku sudah lebih dulu menjambak rambutnya.āAww! Sakit-sakit! Lepaskan!ā teriak Risa sampai suster yang kebetulan melintas berlarian untuk melerai kami.āMbak, lepas, Mbak! Kasihan Dokter Risa. Udah lepas! Mbak, tidak tahu dia siapa?! Tolong lepas!ā seru para suster.āRasain kamu! Mampus kamu, Risa! Sekali lagi kamu bikin masalah sama aku bukan hanya rambutmu yang aku jambak, tapi kepalamu aku lepaskan dari tubuhmu! Memang kamu kira aku takut sama kamu? Rasain ini dokter gila,ā makiku pada Risa.āKamu itu yang gila buktinya kamu yang menyerangku!ā Risa masih saja playing victim.āOoh ... gitu! Ini gimana? Sakit tidak!ā kutarik bulu mata palsu Risa biar dia tahu rasa.āAww saaaaakkkiit mataku! Bulu mataku! Dasar kamu gila Kayla!ā teri
POV Kayla. āKayla, tolong panggil suster untuk membantuku!ā pinta Bang Daffa.āMales, iiih! Abang panggilan aja sendiri itu kan, ada tombol di atas kepala Bapak. Tinggal pencet aja sih, kenapa pakai nyuruh-nyuruh aku segala!ā tolakku sinis.āAstaghfirullahaladzim ... Kayla ini darurat ya, Allah!ā pekik Bang Dafa. Dia terlihat bingung dengan sikapku lalu tanpa pikir panjang dia memencet bel yang ada di atas kepala bapak berkali-kali.āNah ... gitu bisa kan, pencet bel sendiri! Kenapa pakai nyuruh-nyuruh aku segala?!ā seruku.āKayla, cepat bantu sini! Tolong ini!ā pinta Bang Dafa lagi tanpa menoleh ke arahku. Dia memang terlihat sibuk sekali.āApaan sih, Bang, males lah! Aku mau keluar. Aku malas bertemu Abang. Orang Bapak 'tuh cuma kejang biasa itu kena ayan. Udah deh, enggak usah terlalu lebai,ā jawabku lagi. Gegas aku keluar. Di pintu aku berpapasan dengan perawat yang terburu-buru masuk ke ruangan ini.āDasar monster! Aku pastikan kamu segera akan punah dari muka bumi ini. Monste
POV Kayla. āPak, hei jangan mati dulu!ā seruku seraya kutepuk-tepuk pipinya lebih tepatnya aku tampar.āPaaakk!ā Kali ini kutekan lengan kanan bapak yang terpasang selang infus. Jika Bapak tidak sedang dalam keadaan kejang pasti dia akan berteriak kesakitan, tapi aku yakin sih, dia pun merasakan sakit. Ah ... sungguh ini merupakan kenikmatan hakiki yang aku nanti-nanti selama ini.āPak, ada satu rahasia lagi yang harus Bapak tahu dan ini tentu sangat mengejutkan. Tahukah Bapak, bahwa istri tercinta bapak itu adalah penebar fitnah. Bapak tidak tahu kan, kalau ternyata istri Bapak sejak muda dulu sudah berselingkuh dengan asisten pribadi Bapak? Karena aksinya terpergok oleh orang tuaku, Emak lalu memfitnah mereka dan terjadilah tragedi besar pembunuhan yang Bapak dalangi. Bagaimana Pak, apakah informasi ini mengejutkan Bapak?āKulirik jam di pergelangan tanganku dan sepertinya sudah lebih dari 10 menit bapak kejang. Hebat sekali dia tidak meregang nyawa. Apa dia seperti kucing yang p