Assalamualaikum selamat pagi semuanya .... Hari ini double up lagi, ya?Bagi yang belum follow akunku yuk, bantu follow biar aku semakin semangat lagi. Follow YouTube dan tik tokku juga, ya? Kencana Ungu.Well happy reading everyone 💕🌸🌸🌸Aku bergegas menyiapkan keperluan yang akan kubawa, juga keperluan suamiku. Tak henti aku melebarkan senyum bahagia, hendak bulan madu ke negara yang aku impikan. Paris, adalah City of Love. Aku tahu itu dari baca majalah. Ibu kota Perancis itu sangat terkenal dengan keromantisan. Juga pusat mode dunia, maka kota itu menjadi dambaan para wisatawan termasuk suamiku. Kalau aku sih, hanya ikut saja apa kata suami. Kata Mas Fais biar aku tahu mode yang sedang menjadi tren di sana. Itu dia lakukan karena aku seorang penjahit. Mas Fais ingin aku menjadi penjahit dan disigner profesional. Rencananya nanti aku akan sekolah itu."Senang tidak kamu, Dinda?""Tentu, Mas, terima kasih, ya?" Kupeluk suamiku. Dielus kepalaku dengan sangat lembut dan penuh
“Tetap saja Mas, aku khawatir.”“Sudah jangan khawatir begitu aku tidak mau nanti di sana kamu malah pikirannya ke mana-mana. Kita telepon Tupai saja.” Aku setuju. Pasti dia akan kasih informasi yang tepat akurat.Aku sejujurnya lebih khawatir kalau Susanti diapa-pain oleh anak buahnya Mas Fawas. Sekuat-kuatnya Susanti berontak dia itu seorang wanita pasti tenaganya akan kalah dari para lelaki.“Dinda, ini Tupai kirim video.”Kulihat Video itu ternyata Susanti sedang lari bersama Mas Fawas dan Roy di belakang mereka yang menarik perhatian kami adalah Susanti menggandeng tangan Mas Fawas. Sampai Mas Fais melirik padaku seolah dia pun tidak percaya dengan apa yang kami lihat.“Gokil, memang Susanti. Dia pasti dikejar orang-orang tadi yang datang,” ujar Mas Fais.“Aman, Mas?”“Insya Allah aman, Dinda. Kan, ada Tupai dan Elang. Mereka bisa diandalkan,” ucap Mas Fais meyakinkan. Aku mengangguk setuju. Semoga saja setelah ini Susanti bisa dibawa pulang oleh mereka pasti Susanti
“Serahkan semuanya sama Allah ya, Bu. Kita doakan anak-anak kita selamat sampai tujuan dan bisa berkumpul dengan kita lagi. Mereka ini kan, mau senang-senang, jadi Ibu jangan khawatir begitu,” sahut mamah mertuaku.“Iya, benar, Bu. Apa yang dibilang Mamah. Sudah ah, aku pamit ya, Bu.” Ibu mengangguk lemah. Sorot matanya beda. Duh, aku jadi cemas juga. Takut pesawat yang kutumpangi meledak, eh! Astagfirullah. Tidak-tidak aku harus berpikir yang bagus-bagus.Setelah kami pamit pada semua keluarga, kami berangkat ke bandara. Kami dua jam lebih cepat datang ke bandara karena boarding pass kami jam 10.00 wib.Hatiku sangat bahagia tiada terkira, tak hentinya aku mengucap syukur. Seketika rasa cemasku tadi sirna. Dalam perjalanan terus saja mengucapkan terima kasih pada suamiku karena sudah mengajakku untuk pergi honeymoon sejauh ini. Bermimpi pun aku tidak berani, tapi sekarang aku pergi ke sana.“Mas, terima kasih banyak,” ucapku. Mas Fais menatapku penuh cinta. Diciumnya tanganku berkal
Notifikasi panggilan di ponselku berbunyi. Ops, mengganggu saja!"Assalamu'alaikum," sapa salam diujung telpon."Waalaikumsalam, Ibu." Aku menjawab salam ibu."Sudah sampai, Nak?""Sudah, Bu, satu jam yang lalu. Alhamdulillah.”"Alhamdulillah, kok, tidak mengabari Ibu?” rajuk ibu.“Em, ini baru saja niatnya mau telepon Ibu. Eh, Ibu sudah telepon duluan. Aku dan Mas Fais sedang melihat keindahan kota Paris dari kamar kami, Bu.” jawabku berasalan. Duh, maaf ya, Bu. Aku berbohong. Tadi mau kabari ibu, tapi terpesona dengan kecantikan kota Paris dari atas sini.“Iya, tidak apa-apa istirahat ya, jangan lupa salatnya.”"Iya, Ibu juga jaga kesehatan, ya?”“Iya, Nak, pasti itu. Assalamu’alaikum ....”“Wa’alaikumsalam, Bu.”Klik, sambungan telepon terputus. Kurebahkan badan ke atas kasur empuk di hotel. Lalu diikuti oleh suamiku. Kami saling pandang, Mas Fais meraih tanganku. Ia meremas jemariku hangat, kembali dia dekatkan wajahnya hendak menciumku."Aku pengen lihat menara Eifel, Mas," renge
“Ogah! Sudah bosan ke sana, Mas. Kita mau ke Norwegia yang tidak ada malamnya biar puas mainnya,” jawab Zahra.“Sudah ah, berangkat kasih kami keponakan lucu, Dik. Sudah ya, kita mau cus! Dah, bawel!” Mas Fais langsung menutup telepon.“Mas, enggak sopan, loh!” rajukku.Aku telepon kembali Mamah mertuaku.“Mah, maaf ya, itu Mas Fais iseng!” kataku tak enak.“Santai aja, Nak. Ya, sudah kalau mau jalan-jalan. Keburu siang. Di sana masih pagi, kan?” Aku megangguk.“Asslamu’alaikum, Mah, salam untuk ibuku dan yang lainnya, ya?”“Iya, Nak. Wa’alaikumsalam ....” Kututup telepon dan siap jalan-jalan ke menara Eiffel.“Mas, ayok, berangkat kok, malah belum siap, sih?”“Nanti saja, aku mau jalan di sini dulu berdua dengan kamu.”Aku dan Mas Fais mengurungkan pergi keluar karena di luar pun sedang turun salju, meski tidak deras.Waktu merangkak naik dengan cepatnya seolah diburu angin yang tiada berjeda.Ting!Ponselku kembali berdering. Lagi-lagi nomor asing. Aku senang membukanya karena berh
POV Susanti.🌸🌸🌸Astoge, kol, brokoli, tempe! Ini Bu Hajjah bisa-bisanya mau ta’arufin aku. Perhatian banget ya, beliau.Aku mencoba tersenyum, meski sebenarnya aku bingung. Kata emak hadapi semuanya dengan senyuman. Oke, awal mula aku harus senyum dulu.“Bagaimana, Nak, mau?” tanya beliau lagi.“Ta’aruf itu kan, yang mau nikah itu ya, Bu Hajjah?” tanyaku lagi. Sebenarnya aku tahu sih, cuma bingung mau nanggepinnya gimana.“Bukan! Ta’aruf itu campuran teh sama sama susu! Gitu aja pura-pura tidak tahu!” sahut Mas Fawas. Ya, elah, itu mulut nyahut segala. Padahal aku enggak tanya sama dia.“Kalau tidak ditanya jangan sok bijak jawab deh, Mas. Mana jawabanmu salah pula. Sudah sana kamu ngomong saja sama tembok!” jawabku kesal.“Iya, Susanti. Kamu, mau?” sela Bu Hajjah.“Calon suaminya siapa?” tanyaku sumringah.Bu Hajjah Halimah melirik ke arah Mas Fawas. Duh, kok, sepertinya jawabannya bakalan enggak enak, nih. Aku tidak sudi kalau dijodohkan dengan Mas Fawas, meski dia sultan, tapi
Oh, jadi namanya Ilham. Kalau ada Mbak Fatki pasti aku sudah jingkrak-jingkrak dan meluk dia, tapi berhubung ini bukan circleku, jadi aku sok jaim. Meski, sebenarnya hatiku senang sekali. Bagaimana tidak, cowok ini adalah laki-laki yang aku lihat di acara pernikahan Mbak Fatki di kampung. Sepupunya Mas Fais. Ganteng banget dan mirip opa-opa Korea.“Aku yang tidak pede Mbak, biasanya cowok ganteng begitu seleranya tinggi sudah begitu yang berada juga. Apalah aku ini hanya remahan rengginang saja tidak punya apa-apa,” jawabku seelegan mungkin. Aku tidak mau terbawa suasana. Meski, jujur aku pun bahagia dijodohkan dengan anak sultan, tapi aku sadar tidak mau berharap lebih.“Mending sama aku aja sudah pasti kan, itu Ilham perjaka tua!” celetuk Mas Fawas. Lagi-lagi dia sambil makan kerupuk kemplang tadi yang dilemparkannya padaku.“Apa!” Aku dan Mbak Wulan teriak bersamaan. Mbak Wulan tertawa terbahak-bahak begitu juga Bu Hajjah. Sedang aku ingin sekali jitak kepalanya.“Kamu skip dulu, M
POV Susanti.“Aku ikut boleh?” pintaku.“Kamu bukan anak-anak. Kamu tante-tante. Dilarang ikut!” sahut Mas Fawas lagi. Emang dasar dia ini biang kerok!“Boleh, kalau mau ikut, ayok!” jawab Mbak Wulan.“Aku ke toilet dulu ya, Mbak. Mau pipis.” “Jangan lama-lama ya, Tante!” seru Jingga. Aku segera masuk kamar mandi dan menuntaskan hajatku.Ya, ampun ini kamar mandi bagus sekali! Dulu aku pas dirawat di rumah sakit kamar mandinya tidak seperti ini. Kami menggunakannya bersama-sama sudah gitu bau pesing. Kamar mandi ini seperti kamar mandi hotel tempat aku menginap waktu nikahan Mbak Fatki.Memang ya, beda kelas beda juga fasilitas. Enaknya jadi orang kaya sakit pun masih bisa hidup enak. Kalau kayak aku sakit masih mikirin bagaimana bisa makan untuk besok jadi cepat sembuh.Klek!Begitu kubuka pintu dan keluar ternyata semua sudah pergi tinggal Mas Fawas sendiri yang sedang main HP.“Mas, kok, mereka tiggalin aku, sih?” protesku.“Gimana tidak ditinggal. Kamu di kamar mandinya lama bang
POV Kayla. Setelah pemakaman bapak keluarga pun segera mengurus perempuan yang mengaku sebagai istri mudanya bapak. Ternyata perempuan itu tidak mengharapkan harta seperti yang dituduhkan Kak Siwi. Perempuan itu benar-benar tulus pada bapak.Mereka benar-benar ke sini untuk memberikan penghormatan terakhir. Melihat ketulusan itu bang Dafa dan Bang Romi mengakui anak remaja itu sebagai adiknya dan berjanji akan memberikan biaya pendidikan sampai jenjang tinggi.Emak jangan ditanya perempuan itu terus mengerang pasti emak tidak terima atas keputusan dua putranya bahkan tadi Emak sempat kejang.“Abang mau bicara dengamu, Kay. Ini serius! Ayo, ikut Abang. Aku yang masih duduk di atas sajadahku setelah salat ashar langsung mengikuti Bang Daffa untuk berkumpul di ruang tamu. Di sana sudah banyak berkumpul saudara-saudara Bang Dafa ada paman, Kak Siwi, Risa, dan banyak lagi, tapi tunggu dulu ada satu orang yang menarik perhatianku siapa dia aku seperti pernah melihatnya? Ya, kini aku ingat
POV Kayla. “Kamu siapa? Kenapa kamu datang ke sini, hah?! Kami tidak punya keluarga seperti kamu dan kami tidak mengundang siapa pun yang tidak kami kenal. Cepat pergi!” usir Kak Siwi. Aku yakin sekali kalau Kak Siwi mengenali wanita itu ‘kan kemarin dia sudah melihatnya di ponselku sedangkan emak hanya meliriik saja. Emak terus saja menangis. Ah ... ini masih babak baru pasti setelah ini akan terjadi keributan besar.“Cepat sana, pergi! Cepat! Kami tidak punya kerabat seperti kamu!” usir Kak Siwi lagi seraya mendorong-dorong tubuh wanita itu.“Lepaskan Ibuku jangan kau sentuh Ibuku!” bela anak bujangnya. Wah ternyata punya nyali juga dia. Aku kira dia hanya anak ingusan yang sembunyi di ketiak ibunya ternyata dia jagoan yang berani membela ibunya dari terkaman harimau.“Kamu siapa? Nggak usah ikut campur anak kecil! Cepetan sana pergi kalian! Pergi! Rumah ini tidak menerima orang yang tidak kami kenal!” Kak Siwi terus saja mengusir perempuan itu namun perempuan itu sama sekali tid
POV Kayla.“Dasar pembunuh! Dialah pembunuh bapakku. Dialah pembunuh bapak kami! Dafa pokoknya jeblosin Kayla ke penjara aku. Pokoknya aku enggak mau tahu masukin dia ke penjara!” teriak Kak Siwi. Jari telunjuknya menudingku.Dia menuduhku membunuh bapak terserah saja ‘toh aku tidak secara langsung membunuhnya. Aku hanya memberikan informasi akurat dan rahasia besarnya selama ini, jadi kalau bapak meninggal ya, itu sudah takdirnya bukan karena aku yang bunuh. Jadi, untuk apa aku takut aku santai saja menghadapi mereka bahkan kini aku duduk di sebelah emak yang terbaring lemah. Tatapannya penuh kebencian padaku. Ah ... terserah saja. Dibenci emak tidak akan pernah membuatku rugi yang penting dendamku terbalaskan.Sementara Bang Daffa sama sekali tidak menanggapi perkataan Kak Siwi. Begitu pun dengan Bang Romi. Mereka semua justru khusuk mendoakan Bapak.Entahlah kalau setelah acara pemakaman ini mungkin aku akan disidang, tapi ya, seperti yang aku katakan tadi aku sama sekali tidak t
POV Kayla. “Wah ... so sweet sekali, tapi sayangnya itu basi dan sepertinya Mak sekarang nggak suka tuh sama kamu! Dari tatapannya Emak saja terlihat sangat marah. Andai Mak bisa ngomong pasti Emak sudah ngusir kamu dari sini, Kay!” kata Kak Siwi lagi. “Kalau emang Emak nggak suka padaku baru-baru ini ya, telat dong! Karena aku sudah nggak suka sama emak sejak dahulu,” jawabku. Kak Siwi bengong.“Dasar nggak waras! LAWANG!” umpat Kak Siwi.“Kok, orang gila ngatain gila, sih!” kataku lagi.“Diam kamu, Kay! Kamu ngatain aku gila lagi akan kubuat kamu mampus gak bisa ngomong selamanya mulutmu itu!”“Enggak takut! Lakuin aja kalau bisa,” jawabku dengan senyuman sinis.Kulirik emak. Lagi-lagi emak hanya menggeleng saja. Jangankan basmi Kak Siwi, emak yang selama ini baik padaku pun bisa aku bikin diam alias stroke.“Mak ... Mak kenapa seperti ketakutan gitu, sih? Padahal kan, aku sayang sama Emak dan juga Mak sayang sama aku. Tenang aja ya, aku bakal kasih sesuatu sama emak, tapi aku
POV Kayla. “Halo ... selamat pagi! Emak apa kabar? Eh ... ada Kak Siwi,” sapaku saat aku buka pintu lalu menghampiri emak.“Eh ... perempuan kurang ajar mau apa kamu ke sini, hah! Kamu mau merayu emakku lagi biar kamu dapat tanah warisan atau kebun gitu, ya! Enggak cukup kamu ngambil rumah itu dari kami?” kata Kak Siwi. Dia menarik jilbabku sampai hampir terlepas bahkan jarumnya pun menusuk kulitku.“Apa-apaan sih, Kak! Ngeselin banget lepas nggak!” protesku.“Aku enggak akan lepas sampai kamu minta maaf sama aku dan kamu balikin rumah itu ke Emak lagi!” jawabnya.“Oh ... iya? Yakin?” jawabku seraya kusikut perut Kak siwi kuat sekali.“Aww sakit! Setan kamu, ya, Kayla!” jerit Ka Siwi. Dia memegangi perutnya sambil berjongkok.“Duh, maaf ya, Kak. Sengaja! Ha ha!” ucapku.“Emph! Emph!” Emak bersuara. Aku yakin dia sangat kesal padaku dan hendak mengumpatku, tapi karena Mak sudah kena stroke jadinya emak tidak bisa menyampaikan unek-uneknya.“Kenapa, Mak? Mau ngomong apa? Kasihan b
POV Kayla. “Oo ...ternyata pelakor! Orang elit dan berpendidikan tinggi pun bisa ya, jadi pelakor!”“Dokter kok, pelakor! Cantik-cantik sukanya sama suami orang. Padahal dapat bujangan juga bisa!”“Namanya juga cinta tahi kucing pun rasa coklat!”“Amit-amit na’uzubillahminzalik dunia udah mau kiamat sampai-sampai pada rebutan suami.”“Sekarang banyak perempuan muka badak, muka tembok! Enggak bisa berkaca diri terbawa hawa nafsu!”“Iya, sudah gitu nyalahin istri sah lagi! Iih ... enggak malu banget!”“Pelakor mana pada punya urat malu. Urat malunya udah putus!”“Iya, betul! Menjijikan sekali lebih najis daripada kotoran hewan!”“Iya, ngeri ya ... padahal karir mereka bagus loh, dokter! Ternyata enggak menjamin!”“Jangan cuma nyalahin pelakornya, tapi lakinya juga. Mereka itu kan, sama-sama mau. Sama-sama gatal, sama-sama nggak punya kehormatan!”“Pendidikan tinggi enggak menjamin orangnya pun bermoral tinggi!”“Makanya itu harus belajar adab juga.”“Dokter Dafa bingung kali milih sal
POV Kayla. “Kurang ajar kamu, ya, Kayla!” Risa tidak terima mendengar ucapanku. Dia menyerangku, tapi aku buru-buru melepaskan sepatuku lalu kupukulkan ke bahunya! Bugh! Bugh!Tepat sasaran. Risa mengaduh kesakitan. Dia bermaksud menarik jilbabku, tapi aku sudah lebih dulu menjambak rambutnya.“Aww! Sakit-sakit! Lepaskan!” teriak Risa sampai suster yang kebetulan melintas berlarian untuk melerai kami.“Mbak, lepas, Mbak! Kasihan Dokter Risa. Udah lepas! Mbak, tidak tahu dia siapa?! Tolong lepas!” seru para suster.“Rasain kamu! Mampus kamu, Risa! Sekali lagi kamu bikin masalah sama aku bukan hanya rambutmu yang aku jambak, tapi kepalamu aku lepaskan dari tubuhmu! Memang kamu kira aku takut sama kamu? Rasain ini dokter gila,” makiku pada Risa.“Kamu itu yang gila buktinya kamu yang menyerangku!” Risa masih saja playing victim.“Ooh ... gitu! Ini gimana? Sakit tidak!” kutarik bulu mata palsu Risa biar dia tahu rasa.“Aww saaaaakkkiit mataku! Bulu mataku! Dasar kamu gila Kayla!” teri
POV Kayla. “Kayla, tolong panggil suster untuk membantuku!” pinta Bang Daffa.“Males, iiih! Abang panggilan aja sendiri itu kan, ada tombol di atas kepala Bapak. Tinggal pencet aja sih, kenapa pakai nyuruh-nyuruh aku segala!” tolakku sinis.“Astaghfirullahaladzim ... Kayla ini darurat ya, Allah!” pekik Bang Dafa. Dia terlihat bingung dengan sikapku lalu tanpa pikir panjang dia memencet bel yang ada di atas kepala bapak berkali-kali.“Nah ... gitu bisa kan, pencet bel sendiri! Kenapa pakai nyuruh-nyuruh aku segala?!” seruku.“Kayla, cepat bantu sini! Tolong ini!” pinta Bang Dafa lagi tanpa menoleh ke arahku. Dia memang terlihat sibuk sekali.“Apaan sih, Bang, males lah! Aku mau keluar. Aku malas bertemu Abang. Orang Bapak 'tuh cuma kejang biasa itu kena ayan. Udah deh, enggak usah terlalu lebai,” jawabku lagi. Gegas aku keluar. Di pintu aku berpapasan dengan perawat yang terburu-buru masuk ke ruangan ini.“Dasar monster! Aku pastikan kamu segera akan punah dari muka bumi ini. Monste
POV Kayla. “Pak, hei jangan mati dulu!” seruku seraya kutepuk-tepuk pipinya lebih tepatnya aku tampar.“Paaakk!” Kali ini kutekan lengan kanan bapak yang terpasang selang infus. Jika Bapak tidak sedang dalam keadaan kejang pasti dia akan berteriak kesakitan, tapi aku yakin sih, dia pun merasakan sakit. Ah ... sungguh ini merupakan kenikmatan hakiki yang aku nanti-nanti selama ini.“Pak, ada satu rahasia lagi yang harus Bapak tahu dan ini tentu sangat mengejutkan. Tahukah Bapak, bahwa istri tercinta bapak itu adalah penebar fitnah. Bapak tidak tahu kan, kalau ternyata istri Bapak sejak muda dulu sudah berselingkuh dengan asisten pribadi Bapak? Karena aksinya terpergok oleh orang tuaku, Emak lalu memfitnah mereka dan terjadilah tragedi besar pembunuhan yang Bapak dalangi. Bagaimana Pak, apakah informasi ini mengejutkan Bapak?”Kulirik jam di pergelangan tanganku dan sepertinya sudah lebih dari 10 menit bapak kejang. Hebat sekali dia tidak meregang nyawa. Apa dia seperti kucing yang p