[Kembali kasih, Dinda.] Kututup ponselku dan mematikan datanya. Aku harus istirahat kalau tidak aku bisa sakit. “Santi, temani Mbak ke belakang, yuk!” “Ayok, aku juga mau makan Mbak. Lapar banget.” “Ngambil yang banyak ya, San. Mbak juga lapar.” Sebenarnya masih ramai orang, tapi aku malu kalau keluar kamar sendirian. Di ruang tengah masih ada beberapa anak buah Mas Fais. Mereka menemani temannya yang sedang dijahit lukanya. Kasihan untung saja hanya tangannya yang kena bacok. Aku tidak bisa bayangkan kalau yang kena misal kepala atau dadanya. “Pak Tupai, maaf sekali karena aku, Bapak jadi terluka begini,” ucapku tulus. Tak disangka justru mereka malah tertawa bahkan sampai memukul bahu yang sedang dijahit lukanya. “Pak Tupai. Merasa terhormat kita dipanggil Bapak. Ha ha ....” sahut mereka. Ooo, rupanya mereka menertawakan panggilanku. “Santai saja, Bu Bos. Ini hanya luka kecil setelah dijahit dan minum obat pasti lekas sembuh,” jawabnya. “Iya, benar. Ini hanya luka kecil
~k~u🌸🌸🌸 Hari ini suasananya makin sibuk. Susanti pun ikut sibuk. Dia sudah bisa beradaptasi dengan remaja di sini. Bahkan Susanti yang memilih anak-anak gadis dan bujang untuk dijadikan pagar ayu dan pagar bagus. Acara hari ini ibu mengundang anak-anak yatim dan fakir miskin. Sejak pagi sudah ramai, orang-orang pun sibuk dengan tugasnya masing-masing. Aku duduk mengawasi mereka seraya menunggu balasan WA dari Reni. Aku sudah penasaran dengan dia dan bayinya. “Mbak, ini dapat kiriman bunga dari bidan semalam!” seru Susanti seraya membawakan buket bunga krisan untukku. “Orangnya mana, San?” “Berangkat kerja, Mbak. Sudah aku suruh masuk, tapi katanya buru-buru.” “Dia dengan Mas Dafa, San?” “Sendirian, Mbak. Naik motor.” “Ya, sudah terima kasih ya, San.” Buket bunga jini sepertinya dirangkai sendiri. Bunganya masih sangat segar. Kuambil catatan kecil yang tersemat. “Selamat pagi, Mbak Fatki. Maukah berteman denganku?” Berteman? Tapi, dia istri Mas Dafa. Kalau aku bertemu d
🌸🌸🌸 "Kamu kenapa, Nduk, kok dari tadi kayaknya diem saja? Katakan pada Ibu.” Aku tidak mampu menjawab. Hanya tangisku sebagai bahasa isyarat bahwa aku benar-benar dalam keadaan sedih. Bahagiaku dan sedihku terjadi dalam satu waktu. Hingga membuatku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. “Sssstt ... kok, malah nangis makin kenceng. Ayo, cerita ke Ibu! Anak Ibu yang cantik ini kenapa?” Aku menggeleng, tangisku makin kuat. “Mbaak, ih, kenapa? Kok, nangisnya begitu?” Susanti tergopoh-gopoh menghampiriku. “Ooo, aku tahu, Mbak Fatki pasti sedih karena besok mau nikah, kan? ” aku menggeleng lagi. “Sini peluk Ibu, biar hatimu tenang.” Kupeluk Ibu erat sekali. Kubuka ponselku dan kuberi tahu obrolanku dengan nomor Reni yang ternyata adalah sepupunya. Susanti mengambil ponselku lalu membacanya. “Innalillahi waInnailaihiroji’uun ... i—ni se—rius, Mbak?” Aku mengangguk dengan linangan air mata. Susanti langsung bengong seolah tak percaya dengan yang dibacanya. Dia kembali membaca
~k~u🌸🌸🌸 “Mbaaakk! Keluarga Mas Fais sudah datang!” teriak Susanti. Ya, ampun! Susanti kenapa mirip sekali anak kecil, tapi justru teriakanya itu yang membuatku makin deg-degan. “Mbak, Subhanallah calon suamimu ganteng banget!” serunya lagi, saat sudah di kamarku. Sampai kang make up dan kru-nya mengintip ke luar jendela. Kebetulan kamar yang dijadikan untuk make up kamar paling depan. “Subhanallah mereka enggak kelihatan gimana mau tahu ganteng atau tidak!” celetuk salah satu dari mereka. “Gimana mau kelihatan semua orang pada kepo pingin tahu, jadi ketutup, deh! Lagi pula ngapain sibuk lihat di situ. Kan, sudah disediakan TV LED sama kang syuting. Nih, kelihatan!” jawab Susanti. Aku sudah gelisah dari tadi, sudah gemetaran untung saja ada kipas angin kalau tidak pasti aku keringetan. “Eh, iya, ya, ampun sampai lupa!” jawab mereka kemudian duduk disebelahku bahkan ada yang ngampar di bawah. Dari kamar sudah terdengar suara rebana ditabuh. Didendangkan salawat Nabi. Itu arti
“Grogi ya, Mbak?” “Iya, San. Banget.” “Aku kira Mbak sakit. Kalau sakit kan, rugi.” “Rugi kenapa?” “Rugi enggak jadi malam pertama. Ha ha ....” “Eyalah bocah cilik dilarang ngomong begituan!” bentakku. “Ya, ampun itu ganteng banget siapa, ya?” celetuk Ida. Nah, dia sudah ada di sini. Katanya tidak mau datang lagi ke sini. Ngikutin emaknya. Dasar absurd. “Iya, ganteng banget siapa ya, itu ya, Mbak?” tanya Susanti. “Entah, San. Pastilah kerabat Mas Fais,” jawabku asal tebak. “Kalau gitu kenalin aku dong, Fatki. Siapa tahu jadi jodohku. Kan, enak dapat jodoh orang kaya,” sahut Ida. “Kamu siapa? Kok, ada di sini?” tanya Susanti pura-pura tidak kenal. “Iya, kamu siapa?” sahutku. “Dasar songong!” bentak Ida, dia beranjak ke luar kamar. “Dih, enggak jelas!” teriak Susanti “Sudah, San, jangan ngajak ribut. Kita fokus ikuti acara demi acaranya." Pak Haji selesai memberikan sambutan. Penyerahan pengantin laki-laki pada pihak keluarga pengantin perempuan. Setelah ini Mas Galih, yan
“Baik, Saudara Fais Abdillah Guntoro.” “Ya, saya!” “Aku nikahkan, engkau dengan adik kandungku satu-satunya yang bernama Fatki Cahyani Binti Ahmad Soleh dengan Maskawin satu set perhiasan emas 24 karat seberat 500 gram dibayar tunai!” “Saya terima, nikahnya Fatki Cahyani Binti Ahmad Soleh dengan maskawin tersebut dibayar tunai!” ucap Mas Fais lantang, lugas, dan jelas. “Saaah!” “Sah!” “Sah!” Deg! Seperti ada yang meghujam jantungku. Aku menangis dalam kebahagiaan. Sekarang aku sudah sah menjadi istri Mas Fais. Baktiku kini sudah berpindah ke pundak Mas Fais. Ya, Allah, tuntun langkahku. Jadikan aku manusia yang bersyukur dan bertakwa. Jadikan aku istri salihah penyejuk bagi pandangan suamiku. Alhamdulillah .... Di luar orang saling mengucapkan selamat pada Mas Fais. Mas Nanang dan Mas Galih memeluk Mas Fais secara bergantian. Adem sekali aku melihat pemandangan itu. “Barokallahu laka wa baaroka ‘aliaka wa jama’a bainakuma fii Khair. (Semoga Allah memberkahi engkau dalam sega
“Ya, Allah, iya! Aku lupa. Maaf ya, Mbak, Mas,” jawab Susanti seraya pergi keluar. Kini hanya aku dan Mas Fais di kamar ini. Kamar pengantin yang didekorasi sangat indah. Mas Fais langsung mengambil posisi imam untuk kami melaksanakan salat sunah dua rakaat. Selesai salat tiba-tiba saja aku jadi canggung dan kamar ini hawanya jadi panas padahal kipasnya hidup. “Duduk, sini, Dinda ... kenapa berdiri saja? Memang kakimu tidak pegel?” Aku mati kutu mendengar teguran Mas Fais. “Malu, ya? Sama aku juga malu, tapi ya, kita harus terbiasa karena sekarang kita sudah jadi suami istri,” ucap Mas Fais lagi. “Kemarilah Adindaku ....” pipiku seketika menghangat. Ya, ampun aku malu sekali. Apa kubilang kalau Mas Fais manggil aku dengan sebutan itu secara langsung pasti aku malu. “Astaghfirullah ... kecoak!” teriak Mas Fais. “Aa! Mana!” Aku pun tidak kalah hebohnya. Aku lari ke arah Mas Fais dan spontan memeluknya. Sama persis kalau sedang bersama Susanti. Aku phobia sekali dengan hewan satu i
Assalamualaikum selamat pagi semuanya semoga kalian semua dalam keadaan sehat dan bahagia. Terima kasih sudah support dan follow aku. Bagi yang belum follow yuk, bantu follow. 🌸🌸🌸 POV Kayla. Pagi ini aku sengaja mengirimkan buket bunga segar yang kurangkai sendiri untuk Fatki, aku ingin berteman dengan dia. Aku baru tahu kalau perempuan yang bernama Fatki seistimewa itu. Bayangkan saja dia hanya perempuan desa dan dari keluarga biasa saja, tapi bisa-bisanya dia dilindungi oleh bodyguard sebegitu banyak. Saat aku kemarin malam ke sana tertegun melihat fakta itu semua. Awalnya aku tidak percaya sama sekali, tapi setelah melihat dengan mata kepalaku sendiri aku baru paham. Dia pantas mendapatkan itu semua. Kurasa bukan hanya karena parasnya saja yang menarik, tapi lebih dari itu. Pantas saja kemarin Robi sampai rela masuk penjara bekerja sama dengan Dokter Risa gara-gara nyulik Fatki. Meski aku diam tentu saja aku tahu kasus yang menimpa keluarga besar Bang Dafa. Menurutku, R
POV Kayla. Setelah pemakaman bapak keluarga pun segera mengurus perempuan yang mengaku sebagai istri mudanya bapak. Ternyata perempuan itu tidak mengharapkan harta seperti yang dituduhkan Kak Siwi. Perempuan itu benar-benar tulus pada bapak.Mereka benar-benar ke sini untuk memberikan penghormatan terakhir. Melihat ketulusan itu bang Dafa dan Bang Romi mengakui anak remaja itu sebagai adiknya dan berjanji akan memberikan biaya pendidikan sampai jenjang tinggi.Emak jangan ditanya perempuan itu terus mengerang pasti emak tidak terima atas keputusan dua putranya bahkan tadi Emak sempat kejang.“Abang mau bicara dengamu, Kay. Ini serius! Ayo, ikut Abang. Aku yang masih duduk di atas sajadahku setelah salat ashar langsung mengikuti Bang Daffa untuk berkumpul di ruang tamu. Di sana sudah banyak berkumpul saudara-saudara Bang Dafa ada paman, Kak Siwi, Risa, dan banyak lagi, tapi tunggu dulu ada satu orang yang menarik perhatianku siapa dia aku seperti pernah melihatnya? Ya, kini aku ingat
POV Kayla. “Kamu siapa? Kenapa kamu datang ke sini, hah?! Kami tidak punya keluarga seperti kamu dan kami tidak mengundang siapa pun yang tidak kami kenal. Cepat pergi!” usir Kak Siwi. Aku yakin sekali kalau Kak Siwi mengenali wanita itu ‘kan kemarin dia sudah melihatnya di ponselku sedangkan emak hanya meliriik saja. Emak terus saja menangis. Ah ... ini masih babak baru pasti setelah ini akan terjadi keributan besar.“Cepat sana, pergi! Cepat! Kami tidak punya kerabat seperti kamu!” usir Kak Siwi lagi seraya mendorong-dorong tubuh wanita itu.“Lepaskan Ibuku jangan kau sentuh Ibuku!” bela anak bujangnya. Wah ternyata punya nyali juga dia. Aku kira dia hanya anak ingusan yang sembunyi di ketiak ibunya ternyata dia jagoan yang berani membela ibunya dari terkaman harimau.“Kamu siapa? Nggak usah ikut campur anak kecil! Cepetan sana pergi kalian! Pergi! Rumah ini tidak menerima orang yang tidak kami kenal!” Kak Siwi terus saja mengusir perempuan itu namun perempuan itu sama sekali tid
POV Kayla.“Dasar pembunuh! Dialah pembunuh bapakku. Dialah pembunuh bapak kami! Dafa pokoknya jeblosin Kayla ke penjara aku. Pokoknya aku enggak mau tahu masukin dia ke penjara!” teriak Kak Siwi. Jari telunjuknya menudingku.Dia menuduhku membunuh bapak terserah saja ‘toh aku tidak secara langsung membunuhnya. Aku hanya memberikan informasi akurat dan rahasia besarnya selama ini, jadi kalau bapak meninggal ya, itu sudah takdirnya bukan karena aku yang bunuh. Jadi, untuk apa aku takut aku santai saja menghadapi mereka bahkan kini aku duduk di sebelah emak yang terbaring lemah. Tatapannya penuh kebencian padaku. Ah ... terserah saja. Dibenci emak tidak akan pernah membuatku rugi yang penting dendamku terbalaskan.Sementara Bang Daffa sama sekali tidak menanggapi perkataan Kak Siwi. Begitu pun dengan Bang Romi. Mereka semua justru khusuk mendoakan Bapak.Entahlah kalau setelah acara pemakaman ini mungkin aku akan disidang, tapi ya, seperti yang aku katakan tadi aku sama sekali tidak t
POV Kayla. “Wah ... so sweet sekali, tapi sayangnya itu basi dan sepertinya Mak sekarang nggak suka tuh sama kamu! Dari tatapannya Emak saja terlihat sangat marah. Andai Mak bisa ngomong pasti Emak sudah ngusir kamu dari sini, Kay!” kata Kak Siwi lagi. “Kalau emang Emak nggak suka padaku baru-baru ini ya, telat dong! Karena aku sudah nggak suka sama emak sejak dahulu,” jawabku. Kak Siwi bengong.“Dasar nggak waras! LAWANG!” umpat Kak Siwi.“Kok, orang gila ngatain gila, sih!” kataku lagi.“Diam kamu, Kay! Kamu ngatain aku gila lagi akan kubuat kamu mampus gak bisa ngomong selamanya mulutmu itu!”“Enggak takut! Lakuin aja kalau bisa,” jawabku dengan senyuman sinis.Kulirik emak. Lagi-lagi emak hanya menggeleng saja. Jangankan basmi Kak Siwi, emak yang selama ini baik padaku pun bisa aku bikin diam alias stroke.“Mak ... Mak kenapa seperti ketakutan gitu, sih? Padahal kan, aku sayang sama Emak dan juga Mak sayang sama aku. Tenang aja ya, aku bakal kasih sesuatu sama emak, tapi aku
POV Kayla. “Halo ... selamat pagi! Emak apa kabar? Eh ... ada Kak Siwi,” sapaku saat aku buka pintu lalu menghampiri emak.“Eh ... perempuan kurang ajar mau apa kamu ke sini, hah! Kamu mau merayu emakku lagi biar kamu dapat tanah warisan atau kebun gitu, ya! Enggak cukup kamu ngambil rumah itu dari kami?” kata Kak Siwi. Dia menarik jilbabku sampai hampir terlepas bahkan jarumnya pun menusuk kulitku.“Apa-apaan sih, Kak! Ngeselin banget lepas nggak!” protesku.“Aku enggak akan lepas sampai kamu minta maaf sama aku dan kamu balikin rumah itu ke Emak lagi!” jawabnya.“Oh ... iya? Yakin?” jawabku seraya kusikut perut Kak siwi kuat sekali.“Aww sakit! Setan kamu, ya, Kayla!” jerit Ka Siwi. Dia memegangi perutnya sambil berjongkok.“Duh, maaf ya, Kak. Sengaja! Ha ha!” ucapku.“Emph! Emph!” Emak bersuara. Aku yakin dia sangat kesal padaku dan hendak mengumpatku, tapi karena Mak sudah kena stroke jadinya emak tidak bisa menyampaikan unek-uneknya.“Kenapa, Mak? Mau ngomong apa? Kasihan b
POV Kayla. “Oo ...ternyata pelakor! Orang elit dan berpendidikan tinggi pun bisa ya, jadi pelakor!”“Dokter kok, pelakor! Cantik-cantik sukanya sama suami orang. Padahal dapat bujangan juga bisa!”“Namanya juga cinta tahi kucing pun rasa coklat!”“Amit-amit na’uzubillahminzalik dunia udah mau kiamat sampai-sampai pada rebutan suami.”“Sekarang banyak perempuan muka badak, muka tembok! Enggak bisa berkaca diri terbawa hawa nafsu!”“Iya, sudah gitu nyalahin istri sah lagi! Iih ... enggak malu banget!”“Pelakor mana pada punya urat malu. Urat malunya udah putus!”“Iya, betul! Menjijikan sekali lebih najis daripada kotoran hewan!”“Iya, ngeri ya ... padahal karir mereka bagus loh, dokter! Ternyata enggak menjamin!”“Jangan cuma nyalahin pelakornya, tapi lakinya juga. Mereka itu kan, sama-sama mau. Sama-sama gatal, sama-sama nggak punya kehormatan!”“Pendidikan tinggi enggak menjamin orangnya pun bermoral tinggi!”“Makanya itu harus belajar adab juga.”“Dokter Dafa bingung kali milih sal
POV Kayla. “Kurang ajar kamu, ya, Kayla!” Risa tidak terima mendengar ucapanku. Dia menyerangku, tapi aku buru-buru melepaskan sepatuku lalu kupukulkan ke bahunya! Bugh! Bugh!Tepat sasaran. Risa mengaduh kesakitan. Dia bermaksud menarik jilbabku, tapi aku sudah lebih dulu menjambak rambutnya.“Aww! Sakit-sakit! Lepaskan!” teriak Risa sampai suster yang kebetulan melintas berlarian untuk melerai kami.“Mbak, lepas, Mbak! Kasihan Dokter Risa. Udah lepas! Mbak, tidak tahu dia siapa?! Tolong lepas!” seru para suster.“Rasain kamu! Mampus kamu, Risa! Sekali lagi kamu bikin masalah sama aku bukan hanya rambutmu yang aku jambak, tapi kepalamu aku lepaskan dari tubuhmu! Memang kamu kira aku takut sama kamu? Rasain ini dokter gila,” makiku pada Risa.“Kamu itu yang gila buktinya kamu yang menyerangku!” Risa masih saja playing victim.“Ooh ... gitu! Ini gimana? Sakit tidak!” kutarik bulu mata palsu Risa biar dia tahu rasa.“Aww saaaaakkkiit mataku! Bulu mataku! Dasar kamu gila Kayla!” teri
POV Kayla. “Kayla, tolong panggil suster untuk membantuku!” pinta Bang Daffa.“Males, iiih! Abang panggilan aja sendiri itu kan, ada tombol di atas kepala Bapak. Tinggal pencet aja sih, kenapa pakai nyuruh-nyuruh aku segala!” tolakku sinis.“Astaghfirullahaladzim ... Kayla ini darurat ya, Allah!” pekik Bang Dafa. Dia terlihat bingung dengan sikapku lalu tanpa pikir panjang dia memencet bel yang ada di atas kepala bapak berkali-kali.“Nah ... gitu bisa kan, pencet bel sendiri! Kenapa pakai nyuruh-nyuruh aku segala?!” seruku.“Kayla, cepat bantu sini! Tolong ini!” pinta Bang Dafa lagi tanpa menoleh ke arahku. Dia memang terlihat sibuk sekali.“Apaan sih, Bang, males lah! Aku mau keluar. Aku malas bertemu Abang. Orang Bapak 'tuh cuma kejang biasa itu kena ayan. Udah deh, enggak usah terlalu lebai,” jawabku lagi. Gegas aku keluar. Di pintu aku berpapasan dengan perawat yang terburu-buru masuk ke ruangan ini.“Dasar monster! Aku pastikan kamu segera akan punah dari muka bumi ini. Monste
POV Kayla. “Pak, hei jangan mati dulu!” seruku seraya kutepuk-tepuk pipinya lebih tepatnya aku tampar.“Paaakk!” Kali ini kutekan lengan kanan bapak yang terpasang selang infus. Jika Bapak tidak sedang dalam keadaan kejang pasti dia akan berteriak kesakitan, tapi aku yakin sih, dia pun merasakan sakit. Ah ... sungguh ini merupakan kenikmatan hakiki yang aku nanti-nanti selama ini.“Pak, ada satu rahasia lagi yang harus Bapak tahu dan ini tentu sangat mengejutkan. Tahukah Bapak, bahwa istri tercinta bapak itu adalah penebar fitnah. Bapak tidak tahu kan, kalau ternyata istri Bapak sejak muda dulu sudah berselingkuh dengan asisten pribadi Bapak? Karena aksinya terpergok oleh orang tuaku, Emak lalu memfitnah mereka dan terjadilah tragedi besar pembunuhan yang Bapak dalangi. Bagaimana Pak, apakah informasi ini mengejutkan Bapak?”Kulirik jam di pergelangan tanganku dan sepertinya sudah lebih dari 10 menit bapak kejang. Hebat sekali dia tidak meregang nyawa. Apa dia seperti kucing yang p