"Maksud lo apa, gue itu sekarang ada di toko buku bukan di pasar, enak aja ngomong gitu ke gue." gadis itu terus-terusan mengeluarkan nada tinggi.
"Ah—gue tau, maksud lo. Lo berlagak nyinyirin gue pakai cara halus kan? Sok-sokkan nyindir gaya bicara gue kan? Gak banget, tau gak? Lo tinggal bilang langsung ke gue aja apa susahnya, gue bakal dengerin dan gak bakal marah karena kejujuran lo secara langsung."
"Gue emang anaknya cerewet, banyak omong. Dan sekarang lo salah, lo salah karena udah masuk ke hati gue dengan cara yang salah, karena apa? Karena lo udah buat gue jatuh dari rak ini dan bikim darah tinggi gue naik." cerocosnya terus.
Verdi hanya diam, pasrah mendengar ucapan gadis itu tanpa mau meladeni. Jika bisa, ia akan pergi dari hadapannya.
"Sori, gue minta maaf. Gak ada yang parah kan, patah tulang mungkin? Gak kan? Gue pergi." Seketika Verdi ingin segera berlalu dan tak mau menemuinya lagi. Untuk kali ini saja, ia sudah mendapat banyak omelan, apalagi jika ia bertemu selanjutnya?
"Eits... Enak aja mau pergi-pergi tanpa tanggungjawab, lo harus tanggungjawab dulu sama perbuatan lo." gadis berambut pendek ini langsung memberhentikan langkah Verdi, dengan merentangkan kedua tangannya menghalangi.
"Perbuatan apa yang lo maksud? Gue nggak sengaja dan gue udah minta maaf sama lo kan!" ketus Verdi semakin risih di depan gadis yang tengah memandanginya.
"Cuma maaf? Nggak berlaku buat zaman sekarang." jawab gadis itu sambil menyeringai.
Ia masih tak terima atas kejadian yang menimpanya barusan. Meskipun luka yang ia rasakan tak begitu sakit, namun harga dirinya mau diletakkan dimana? Ia jatuh di tengah banyak orang yang berada di toko ini. Memalukan.
"Terus lo mau apa? Gue nggak ada waktu buat ladenin ocehan lo, gue mau cari adek gue." ujar Verdi semakin malas. Namun, ia dibuat ling-lung oleh gadis yang membuat moodnya memburuk hari ini.
Rupanya niat Verdi untuk belanja mencari buku di sini salah. Lebih baik ia belanja di toko lain daripada di sini yang hanya akan mendapati gadis gila.
"Lo bayarin buku gue dulu, baru gue maafin." jawabnya sedikit angkuh, ia masih sedikit meringis kesakitan karena luka yang sudah mendarat di lututnya.
Verdi menatap buku yang ada di tangan gadis itu. Setebal dan semahal itu. Nggak akan ia membayar buku itu untuknya.
"Emang lo siapa? Pacar? Nyokap? Teman? Enggak kan. Berani nyuruh orang." Verdi yang kini enggan menatap wajah gadis yang sedang di depannya sontak ingin pergi. Enak saja main bayar-bayar. Namun niatnya kembali terurung, lagi-lagi gadis itu menahannya.
"Lo... Lo nggak tau siapa guekenalin gue cewek cantik dari Bandung yang insyaallah jadi menantu idaman. Nama gue Dinda!" ia menceloteh ucapannya sambil mengulurkan tangan kanan untuk berjabat tangan dengan Verdi. Tapi hal itu sia-sia.
"Kalau lo berani pergi dari gue, lo lihat aja apa yang bakal terjadi sama diri lo." kejamnya melotot.
"Gak butuh kenalan sama lo!" ketus Verdi tanpa menerima uluran tangan itu. Membuat gadis itu menarik lagi tangannya dengan malunya.
"Ck! Ya udah lah. Males gue ngomong sama lo lama-lama, ketemu sama lo buat gue kesel! Oke... Lo akan gue maafin tapi,-" Verdi mengangkat sedikit alisnya, "lo harus traktir gue makan, baru gue maafin, mau nggak?" tawar Dinda seenaknya.
Apakah ada, cewek seperti Dinda di sekitar kalian?
Verdi berdecak, giginya ia kaitkan erat, "lo bener-bener ngeselin emang!" gereget Verdi semakin kentara dengan kepalan tangan yang hendak terkena muka Dinda. Tapi ia berhasil mengontrol.
'Dasar! Belum kenal udah minta traktir.' batin Verdi menatap sinis gadis yang tengah tersenyum tipis kali ini.
**
"Eh kak, ini siapa sih? Cewek kakak? Kok dari tadi buntutin kita." Rentetan pertanyaan dari mulut seorang Vanya Rastra Verista setelah melihat gadis itu mengikutinya dari belakang.
"Nggak, gue teman dia kok."
Vanya menatap Verdi sekilas, dan seketika mendapat anggukan pelan dari Verdi.
Cuaca kota Bandung saat ini sangat panas, apalagi dengan keramaian yang membuat mobil Verdi mengalami kemacetan untuk mencari kafe. Mereka nampak kegerahan dan bosan dengan suasana kali ini.
"Nama kamu siapa?" tanya Dinda memecah keheningan disela-sela kemacetan lalu lintas.
"Vanya Rastra Verista, nama kakak?"
"Nama yang cantik. Nama kakak Adinda Clara Amarta, panggil aja kak Dinda." balas Dinda memberikan sedikit senyuman hangat.
Tapi berbeda dengan Verdi, ia masih diam dan hanya membuka ponsel berwarna hitam setelah mendapat notif dari temannya, dengan segera ia mengecek grup WhatsApp.
Risky: Tempat biasa jam 11 bisa gak?
Paul: Mau ngapain, ngantuk.
Alex: Mager gue. Males keluar kamar.
Risky: Penting!
Rendra: Oke gue ke sana nanti.
Radit: 2in
Alex: Ciri-ciri orang males ngetik ada di diri kau, Dit.
Radit: Baru nyuci baju emak, takut bajunya robek kalau kelamaan ngetik. Hahaha.
Risky: Lah itu lo ngetik panjang banget.
Otong: Gue ada janji sama pacar gue. Ntar kalau dia marah, gue kena imbas.
Regal: JIJIK!
Otong: SUKA-SUKA GUE LAH, KATA-KATA GUE! BILANG AJA LO IRI SAMA GUE YANG PUNYA PACAR, IYA KAN?
Regal: Ngapain iri sama lo, gue juga punya.
Otong: Siapa? Anak tik-tokers itu?
Regal: Cerewet!
Rizky: Gue tunggu kalian jam 11
Tanpa ada niatan membalas, Verdi kembali fokus untuk menyetir mobil kesayangannya.
"Jangan main hape kalau lagi nyetir. Lo tau kan bahaya dari aksi lo itu?" ingat Dinda membuat Verdi membuang muka.
"Lo bisa celaka, entah itu nab—"
"Kalau lo terus-terusan ngomel, bisa-bisa gue celaka karena muak denger ocehan lo itu." kata Verdi mendiamkan semuanya.
Tak lama mereka sampai di kafe blacksweat yang tak jauh dari toko buku sebelumnya.
Meja dengan nomor.13 berada tepat di dekat jendela. Kafe ini sering Verdi kunjungi ketika ia lagi badmood dan berkumpul bersama teman-temannya. Sehingga, para pelayan disini sudah sangat mengenal mereka.
Kafe bernuasa klasik yang memberi kesan enak dipandang mata, aroma coklat yang khas merasuk dalam indra penciuman, hingha membuat hati seseorang akan menjadi betah berlama-lama disini.
"Katanya temen, kok diem-dieman?" Kata Vanya membuat Dinda menatap cowok itu kesal. "Oh iya kan Kak Verdi sangat rapi dalam menyimpan kata-katanya."
Mereka menyantap makanan dengan lahap, setelah beberapa menit menunggu. Selesainya, mereka menyibukkan diri dengan bermain benda kecil yang selalu mereka bawa kemana-mana. Ponsel selalu ada kapan saja dan dimana saja, bukan?
Vanya pun iseng membuka kamera ponselnya, ia berselfie ria memfoto makanan dan kafe ini, tak lain hanyalah sebagai ajang kepameran belaka.
Satu ide terbesit di kepala Vanya. Ia mempunyai ide untuk menjepret kebersamaan dua orang di depannya. Dengan cepat, mengabadikan momen indah dari kakaknya ini. Ia memotret beberapa kali tanpa ketahuan mereka berdua. Lirik-lirik pandang berhasil dijepret.
'Lumayan buat simpanan kakak, ups! Maksudnya ngebaperin kakak,' batin Vanya terkekeh geli.
"Thanks ya lo udah traktir gue sampai perut gue kenyang. Sebenarnya sih gue udah maafin lo, tapi karena perut gue gak bisa diajak kompromi yaague cari alasan lain. Sori ya." terang Dinda menampakkan rentetan gigi putihnya, ia tersenyum malu.
"Tau gitu gue turunin lo di jalan." gumam Verdi.
"Iya kak santai aja, maafin kak Verdi ya, dia orangnya emang dingin, judes, jelek, hidup lagi. Dia selalu diam kalau hal itu nggak begitu penting, makanya sabar ya kak punya teman model beginian." Kekeh Vanya mendapat respon tawa dari Dinda.
"Apa sih, balik!" Verdi mengeluarkan suara yang membuat dua gadis itu berhenti tertawa, ia langsung berdiri meninggalkan mereka.
"Ish! Katanya mau ke mall, gimana sih? Kan Vanya belum beli tas, sepatu, apalagi sekarang kan ada,-"
"Bawel banget lo, Van."
Mobil merah itu kembali melaju dengan kencang, memisahkan hati seseorang yang sudah dihuni orang dan menjauhkannya. Sungguh disayangkan, jika mobil mereka menabrak hati orang lain nantinya. Iya, bukan?
"Gue turun di sini aja." Dinda menunjuk jalan yang akan ia turuni, tetapi berbeda dengan Verdi, entah kenapa dia masih melajukan mobilnya dengan sangat cepat.
"Turunin gue di sini."
"Udah kak, ikut aja sama kita. Vanya kan belum pernah diajak main sama kak Verdi, apalagi sama cewekpacarnya." Goda Vanya mendapat lirikan dari mereka berdua. Membuat Vanya mengacungkan jari telunjuk dan tengahnya. Peace.
"Vanya!"
Ups!
**
Di sinilah mereka sekarang, mall pusat perbelanjaan terkenal di Bandung. Vanya yang memimpin, ia berjalan di depan dan Verdi bersebelahan dengan Dinda di belakang Vanya.
"Adik lo keren juga ya, umur berapa?" obrolan pun dimulai saat mereka sudah berjalan mengelilingi mall itu.
"Empat belas, masih terlalu kekanak-kanakan, kan?" balasnya. Dinda hanya mengangguk pelan lalu mengalihkan pandangan menatap sederetan baju yang ada di sampingnya.
"Lo nggak minta gue buat beliin lo baju, kan?"
Dinda tertawa melihat Verdi. "Nggak lah, santai aja, gue aja nggak kenal sama lo. Oh iya, nama lo siapa? Sebenernya gue nggak terlalu betah sih sama orang yang pendiam, sinis kayak lo. Kan gue orangnya bawel jadi ng—"
"Verdian Rahmat Saputra, panggil gue Verdi." potongnya cepat mendapat respon dari Dinda dengan memonyongkan bibir mungil itu.
Pria paling sinis pertama kali yang ia temui.
Hening.
"Lo anak mana?" tanya Verdi saat suasana kembali hening.
"Bandung."
"Ck, maksud gue sekolah mana?" geram Verdi melirik Dinda sekilas.
"Oh bilang dong, gue Putra Bangsa, 12 MIPA 5 dan gue ambil sastra. Cukup rumit sih bagi gue. Lo masih pelajar kan, bukan om-om yang seolah punya muka baby face?" tawa Dinda berusaha menhidupkan.
Verdi tersenyum sebentar. "Gue masih SMA. Padma Widjaya, 12 MIPA 2."
"Gue nggak tau lokasi itu di mana. Tapi gue pernah denger sih." tawa Dinda yang menyadari akan keasingan nama SMA itu. "Salam kenal, ya."
"Padahal SMA gue terkenal dengan kecerdasannya." lirih Verdi bangga.
Selang waktu karena keasyikan dengan Dinda. Verdi lupa bahwa ia berada disini bersama adiknya, tapi kemana Vanya? Kenapa dia nggak ada disini?
"Lo lihat nggak, kayak ada yang kurang." ucap Verdi bingung sambil menatap sekitarnya.
"Ha? Apaan?"
"VANYA, VANYA DIMANA?!"
Verdi panik, ia mengeluarkan ponsel dan menelfon adiknya. Tapi tak ada respon dari sana, ia menelfon berkali-kali sambil berkeliling mencari keberadaan Vanya. Ia sangat takut.
"Lo dimana kak? Kok gak ada di belakang Vanya sih?! Vanya sendirian nih." telfon Vanya bingung sambil melihat kanan kirinya. Berharap ia melihat kakaknya sekarang."Lo dimana? Gue kesana sekarang.""Di dekat pintu keluar, gue tunggu." Vanya memberitahu Verdi dan segera mematikan sambungannya secara sepihak.Verdi pun menarik tangan Dinda untuk cepat-cepat menemui Vanya. Mungkin ia tidak sadar, jika ternyata Vanya hilang karena ulahnya, ia pasti akan mendapat amukan dari orang tuanya, tamparan, atau bahkan diusir dari rumahnya. Ia lalai.Tapi untuk remaja seusia Vanya, dengan kecanggihan alat elektronik pasti ia bisa pulang dengan sendirinya. Pasti itu."Mau kemana?""Cari adik gue lah." lalu mereka berlari secepat mungkin untuk mencari Vanya. "Gue bisa dimarahin bokap."Saat di dekat pintu keluar, Verdi melihat gadis kecil berbaju putih dengan rambut panjang berbando yang ia gerai. Verdi langsung menghampirinya dan memeluknya.
Selesai beberapa jam berada dalam rapat kecil itu, Verdi berniat untuk pergi ke rumah seorang gadis yang meninggalkan bukunya sembarangan.Bukan apa, ia hanya takut bahwa buku yang ia bawa sekarang ingin segera dibaca olehnya. Apalagi itu bukan miliknya dan harga yang cukup mahal. Ia melajukan mobil dengan sangat cepat."Assalamu'alaikum, permisi." salam Verdi setelah tiba di depan rumah bercat biru itu, lalu menekan bel yang ada di samping pintu. Beberapa kali ia mengetuk namun tak ada sahutan."Wa'alaikumsalam. Iya nyari siapa?" Jawab wanita paruh baya setelah berhasil membuka pintu cokelat dengan sebuah ukiran di atasnya. Tak lupa Verdi bersalaman dengan wanita itu. Sopan."Dinda ada, Tan?" ucapnya sambil tersenyum tipis.Belum sempat wanita itu menjawab, tiba-tiba gadis cantik di rumah ini datang dari balik pintu dengan tatapan teduh. Berbeda dari waktu pertama ia bertemu dengan Verdi. Kini ia menyapa Verdi, hingga akhirnya membuat senyum Verdi memu
Dinda yang sudah menaiki motornya dengan berbagai barang belanjaan di atas motornya melihat sebuah keramaian di seberang jalan. Nampak sedang asyik dengan para pengguna jalan. Membawa beberapa kotak kardus lalu turun di jalanan saat lampu merah sudah terlihat. Ada apa?"Itu rame-rame, ngapain? Apa ada nyari donasi?" tanya Dinda melirik jauh.Dinda melirik isi dompetnya sebentar. Masih ada beberapa lembar uang di dalamnya. "Gue kesana aja kalik ya." Niatnya langsung melajukan motornya menuju para pemuda di jalanan itu."Nih mas, sedikit bantuan un,-" ucapnya terpotong, ia kaget setelah melihat bahwa dia adalah "eh, lo... lo Verdi kan?" ingatnya membuat Verdi hanya menatap datar tanpa ekspresi, tak menunjukkan sebuah senyuman lagi."Ketemu lagi deh gue sama lo. Eh ini." senyum Dinda langsung memasukkan uang donasinya dan meminggirkan motor untuk berbicara dengan Verdi."Gue ajak lo ngobrol, mau?" tanya Dinda berdiri di samping Verdi panas-panasan.
Selasa pukul 06.40 WIB.Verdi sudah berada di sekolah. Ia memarkirkan motor ninjanya, rapi di parkiran sekolah. Berjalan menuju koridor dan dipandang oleh banyaknya kaum hawa sudah menjadi hal biasa baginya.Taman sekolah. Tempat asri dengan pepohonan rindang yang tertata rapi. Verdi, Alex, Regal dan Otong sudah berada disini sejak lima menit yang lalu. Mereka adalah the most wanted kepunyaan SMA Padma Widjaya, terutama seorang Verdi yang terkenal akan kedinginannya tetapi berjiwa sosial yang sangat tinggi.Wajah Verdi yang begitu kentara akan wajah Asia-nya, Alex dengan paras blasteran khas orang Eropa, Regal dengan ketenaran karena perubahan sikap dari yang semula nakal menjadi seperti sekarang.Dan Otong, dia adalah seorang pria manis dengan gaya celetukan yang turun temurun dari keluarga Afrika-nya. Apa Otong juga blasteran? Tidak. Hanya saja wajah yang sedikit hitam manis membuat semua orang mengira hal yang sama seperti itu.Sebenarnya di SMA Padm
Malam ini Verdi berniat untuk menonton bola disalah satu stasiun TV. Ia memang sengaja tidak belajar malam ini karena ia sudah belajar jam sebelumnya. Dengan ditemani beberapa cemilan untuk menghilangkan rasa bosannya karena menunggu Papanya untuk ikut menonton.Tiba-tiba seseorang datang menghampirinya di ruang keluarga dengan langkah seperti orang berlari. Siapa lagi kalau bukan Vanya. Hal itu tidak membuat Verdi berubah posisi bahkan ia enggan untuk menoleh padanya. Pikirnya tentu benar."Kak, bantuin ngerjain PR dong, kasihan adikmu lah, bulan depan udah disibukkan dengan berbagai ujian-ujian." ucap Vanya memohon sambil membanting beberapa tumpukan buku.Verdi yang mendengar suara cempreng ini langsung menutup telinga seakan ia tidak mendengar suara apapun. Sama seperti yang Vanya lakukan tadi sore."Ck! Kak!" decak Vanya kesal sambil menggoyang-goyangkan tubuh Verdi. Manja."Kakak yang ganteng serumah, bantuin gue dong, ya, ya?" mohon Vanya l
Dinda yang menuruni tangga sembari merapikan bukunya melihat sosok pria dengan tubuh tegap, rambut berjambul manja, dan raut muka yang biasa aja. Dinda tersenyum saat melihat Verdi yang tengah duduk di sana, segera Dinda mendekati ruang tamu lalu duduk di kursi sebelahnya."Tante tinggal dulu ya!" pamit Bu Sella yang kini beralih berdiri, dengan maksud untuk meninggalkan mereka berdua. Verdi dan Dinda mengangguk bersamaan.Beberapa menit mereka hanyalah diam membisu. Entah kenapa, yang pasti mereka masih ragu karena baru saja bertemu."Lo udah lama nungguin gue ya?" tanya Dinda sambil membuka buku yang akan ia bahas dengannya. Matanya tak menatap Verdi, namun tetap berada dalam tulisan-tulisan itu."Gue baru." jawab Verdi yang kini juga asyik memainkan ponselnya.Suasana kini menjadi hening, semuanya bagaikan terhenti begitu saja. Mereka bertatapan sejenak dan akhirnya memalingkan pandangan asal ke segala arah. Canggung."Lo udah makan?" tanya Din
Sekarang di SMA Putra Bangsa, Dinda dan temannya berada di sebuah taman, seperti biasa mereka mencari hawa sejuk dan semilirnya angin pagi. Mereka hanya akan ke sini jika ada waktu luang. Mengingat, taman ini jauh dari kelasnya, butuh beberapa puluh langkah untuk sampai di sini.Tempat ini memang cocok untuk sekadar mengisi waktu luang dengan melakukan beberapa aktivitas seperti membaca novel, buku pelajaran, mengerjakan tugas, berpacaran atau bahkan berfoto ria dengan spot khas SMA ini.Kini terlihat pria dengan perawakan tinggi dan dua lesung pipi yang ia tampakkan. Dinda mengernyit ketika melihat pria itu berjalan menuju tempat duduk mereka."Hai Din," sapanya ramah, "gue boleh gabung nggak?" tanyanya ketika sudah berada di depan Dinda dengan sedikit menundukkan kepalanya.Dia adalah Shandy Pradanta, masa lalu Dinda yang dulu sempat berpacaran kurang lebih dua tahun sejak kelas 10. Namun sekarang? Tidak. Namanya juga masa lalu kan?"Cuma sapa Di
Ponsel Verdi berbunyi nyaring, menandakan ia mendapatkan pesan dari seseorang. Ia segera membuka aplikasi chat itu lalu mendapati beberapa pesan dari seseorang. Yang pertama kali ia buka adalah...DindaOiiVerdian?DindaCek aja Ver, kirain ilangVerdianJangan kangen kalau kangen nanti kita pacaranDinda terkekeh setelah membaca jawaban dari Verdi, tanpa ingin membalasnya ia langsung menutup room chat dengannya.Berhari dan berminggu mereka mengenal, semakin akrab kedekatan mereka rupanya. Benang yang semula putus kini sudah terhubung kembali, daun yang berserakan kiri dapat ditampu oleh tempat yang sangat nyaman. Kebahagiaan perlahan kembali terbuka di kehidupan Verdi.Verdi segera meninggalkan kafe dan beranjak melajukan motornya untuk menjemput Vanya. Tak perlu memakan waktu sepuluh menit, ia sudah sampai di sana dengan Vanya yang menunggui di depan gerbang sekolah."Kenapa lama, Kak?" tanya Vanya ya
"Loh, Din, kamu belum pulang?" tanya Bu Rere yang barusaja keluar dari dalam ruangan itu. Menunggu Verdi yang sampai sekarang masih belum membuka matanya."Belum Ma, Dinda mau nungguin Verdi sampai dia sadar." balasnya, membuat Bu Rere semakin sesak. Ia tersenyum palsu ke gadis yang benar-benar menyayangi anaknya itu."Tidak usah, biar Mama sama Om yang tungguin Verdi. Kamu pulang saja, sudah malam. Keluarga kamu pasti nyariin kamu." elak Bu Rere menyadari bahwa hari sudah begitu gelap.Oh iya—bener, gue lupa belum kabarin mereka. Gumamnya lalu tersenyum kecil."Ya sudah Ma, Dinda pulang dulu ya, besok Dinda kesini lagi. Kalau Verdi sudah sadar, salam buat dia ya, Ma, bilangin kalau Dinda kangen berat sama Verdi." canda Dinda tersenyum lebar.Luka yang ada dalam diri Dinda kini perlahan menghilang. Berawal dari senyuman kecil, hingga celotehan dapat ke
Pak Rahmat, Vanya, dan Dinda pun berdiri, setelah melihat Bu Rere berjalan mendekat ke arah mereka, cara berjalannya terlihat seperti orang penuh ketidakpastian. Ada apa?"Gimana, Ma? Dokter bilang apa tentang keadaan Verdi?" tanya pak Rahmat penuh kecemasan. Ia pun sudah berada disini sejak Bu Rere pergi meninggalkan Dinda dan Vanya. Hanya selang beberapa menit saja setelah kepergiannya."Iya Ma, gimana, kak Verdi nggak parah kan?" tambah Vanya dengan raut yang melemah. Membuat mereka kembali larut dalam kesedihan."Tidak. Kak Verdi akan baik-baik aja." kata Bu Rere seolah memperlihatkan ketegarannya. Ia tak kuasa untuk membahas perihal kondisi anaknya kali ini. Dalam hati Bu Rere, ia terus meminta pada Tuhan agar puteranya segera sadar dan dapat melihat dunianya lagi."Pa, kita cari makan dulu yuk. Mama tadi belum makan, makanya sekarang agak pusing." lanjutnya menatap Pak Rahmat seaka
Verdi terus bersenandung ringan, menyanyikan lagu asal-asalan dibarengi setelan musik supaya tidak terjadi keheningan. Lagu itu spesial, lagu yang pernah ia nyanyikan ke Dindanya. Dulu.Mengingat nama Dinda, Verdi terus-terusan tersenyum. Apalagi terbayang senyuman Dinda yang mengulas ketulusan.Gue janji akan selalu ada di samping lo. Batin Verdi setelahnya.Namun, sebuah nama kembali mendarat di pikiran Verdi, hingga membuatnya berhenti melanjutkan lagu yang masih dalam tahap reff tersebut. Lagi-lagi nama itu. Mengapa selalu muncul disaat yang tidak pas? Mengapa? Verdi mengeram, meluapkan kekesalan.Apa ia harus memberitahu Anggun tentang masalah ini? Verdi terus-terusan bergelut dengan pikirannya sendiri. Mencari jalan terbaik untuk dirinya, Dinda, dan sahabatnya."Anggun harus tau tentang Danis." putusnya setelah berpikir dua kali, lalu ia mencari ponsel
"Ver, kamu nggak marah kan sama aku?" tanya Dinda terus-menerus, mengulang setiap pertanyaan tanpa ada jawaban yang berbeda dari mulut Verdi.Tidak. Itu dan itu secara berulang."Enggak, Din, ngapain aku marah sama kamu kalau nggak ada hal yang jelas terlihat?" Verdi membalasnya dengan kerutan dahi serta tatapan yang berubah hangat.Jelas-jelas Verdi tidak menunjukkan ekspresi marah sedikitpun, hanya saja wajah yang sekarang nampak sedikit pucat pasi. Dinda memang tak menyadari karena wajah Verdi yang tertutup warna seperti putih salju."Ya karena aku tadi ninggalin kamu sendirian di sana."Pria itu membuang nafas kasar. "Udah berapa kali aku bilang, hm? Aku nggak marah sama sekali sama kamu, jadi stop tanya seperti itu. Paham?" ujar Verdi semakin kesal, menatap wajah gadisnya yang terus merasa khawatir."Tapi kan aku khawatir sama
Semua penjuru berbalut kain dekorasi mewah nan indah, meskipun acara berlangsung di luar ruangan. Beberapa furniture menghiasi pesta pernikahan kali ini.Dinda dan Verdi pun mengambil duduk di bagian barisan belakang, dimana tepat berada di dekat keluarga pengantin yang berpakaian serba seragam. Mereka menikmati segala bentuk persembahan dan hiburan yang ada di pesta ini. Simple namun terkesan elegan.Mata Dinda tak henti-henti menatap Verdi dengan tatapan kagum, kagum akan ciptaan Tuhan yang hampir mendekati kata sempurna baginya.Ia juga menyadari bahwa kali ini ia bisa bersama pacarnya di acara pernikahan temannya. Untuk yang pertama. Bibirnya tertarik, mengulas senyum."Iya, aku emang ganteng." ucapan itu berhasil membuat Dinda mengalihkan pandangan, pipinya memanas. Ia tertangkap basah oleh pacarnya.Gadis itu akhirnya melempar pandangan
"Pagi om." sapa Verdi saat sudah dipersilahkan duduk oleh Bu Sella, ia menyapa Pak Arif yang berjalan mendekatinya. Pria paruh baya itu tersenyum menyapanya balik."Pagi."Sinar mentari berwarna orange sudah masuk melalui celah gorden yang menutupi sedikit jendela rumah Pak Arif, beberapa bagian rumah itu sedikit terkena cerahnya cahaya Ilahi yang sangat indah. Nampaknya cuaca sangat bersahabat pagi ini."Dinda baru sarapan itu." kata Pak Arif sambil memerlihatkan gigi yang sudah hilang satu bagian depannya. Senyum itu masih terlihat seperti kawanan anak muda."Kamu udah sarapan belum? Kalau belum gabung aja sama Dinda disana, Ver." lanjutnya seraya menunjuk arah dapur. Sedikit terlihat baju yang dikenakan puterinya disana. Verdi menggeleng cepat. Tak lama serentetan gigi itu terlihat."Iya, gabung aja sama Dinda. Kalau dia makan sendiri, pasti makannya lelet k
Dinginnya malam kembali menyelimuti, suasana hujan atau tidak tetap saja membuat malam gadis itu terasa dingin dan sepi.Dinda hanya mengisi waktu dengan menonton TV, memandang jendela kamar yang sedikit terbuka—membuat sepoi angin menyentuh permukaan wajahnya—ia beranjak menutupnya dengan sedikit mata menyipit, berusaha menutup wajah dengan satu tangan supaya angin tidak menerpanya.Telinga itu kini mendengar sebuah notifikasi pesan masuk di ponselnya, sesuatu yang menggugah hati Dinda untuk memandang ponsel tersebut. Hanya memandang awalnya, lalu berniat membukanya setelah beranjak menutup jendela.Meyza: Guys, gue lupa, gue mau ngasih tau kalian. Kakak gue Ammar, besok mau nikah, kalian dateng ya... Spesial undangan dari gue.Meyza mengirimkan pesan lumayan singkat ke grup pribadinya, grup yang berisikan Dinda, Zura, Yustin, Riska, dan Chae.
Awan hitam sudah tidak betah berlama-lama, kini menampakkan kembali sederet awan cerah namun masih terdapat celah warna kelabu. Matahari sedikit nampak dari balik kelamnya awan, hujan sudah reda. Verdi berkesempatan untuk bergegas pergi dari sini.Bagaimana mereka bisa pulang dengan kondisi basah kuyup seperti ini?"Tunggu disini." kata Verdi kemudian melangkah pergi meninggalkan Dinda sendiri."Kamu mau kemana?""Bentar." balasnya membuat Dinda menurut pasrah, ia menunggu Verdi di tengah pepohonan yang cukup tinggi. Sendiri. Tubuh kecil itu sedikit menggigil kedinginan. Ia memutuskan untuk memeluk tubuhnya sendiri dan sesekali menggosokkan kedua telapak tangannya.Ia memandang kendaraan yang berlalu lalang di depannya, tubuhnya kadang terkena cipratan air hujan yang tergenang di sebuah lekukan karena mobil atau kendaraan lain. Gembel!"Ver
"Yah, mendung, Ver.""Kita pulang aja." ucap Verdi menyudahi pertemuan di kafe tersebut, setelah melihat awan hitam menggumpal di atas sana.Dinda pun mengangguk. "Ayo, keburu hujan." balasnya menyetujui, membuat mereka berjalan keluar dari kafe itu, beriringan."Hujannya nggak ingat moment ya." celoteh Dinda disela jalannya."Kenapa?""Kan kita baru berduaan, kenapa sekarang malah hujan terus? Apa nggak ngerestui kita berdua?" katanya lalu memekik. "Ver, hujannya deres!!!" lanjutnya berlari bersama Verdi menuju parkiran mobil.Seketika hujan mengguyur lebih deras dari esok tadi. Untung saja mereka sudah sampai di dalam mobil, meskipun harus berlarian kecil dan terkena terpaan angin yang membawa derasnya hujan. Sedikit membasahi baju mereka sih!"Untung udah sampai." lega Dinda."Kamu kalau