Home / Romansa / VERDINDA / FIRASAT

Share

VERDINDA
VERDINDA
Author: nadhifahr5

FIRASAT

Author: nadhifahr5
last update Last Updated: 2021-04-28 17:13:15

'Lo itu ya, jadi anak jangan songong deh! Jutek, dingin, sinis, apalah itu pokoknya gue muak sama lo. Gue pengin lo mengubah mindset lo. Pokoknya kalau lo gak mengubah itu semua, jangan harap lo akan ketemu gue lagi. Gue pergi!'

Verdi terbangun dari tidur lelapnya, rupanya tujuh jam terlelap dan sesekali terjaring dalam dunia mimpi itu mengenakkan. Apalagi saat mimpi itu terdapat 'dirinya'—orang yang sangat disayang, pasti ingin sekali berlama-lama dan tidak ingin melihat dunia nyata dengan segera, iya, bukan?

'Siapa?' batinnya. 

Verdi langsung mengusap mata dengan amat menunjukkan sikap acuh, mengacak rambutnya kesal lalu melirik jam di atas nakas. Menguap beberapa kali adalah salah satu kewajiban dirinya di samping mengembalikan nyawa waktu pagi.

Jam tujuh. Baginya, ini masih terlalu pagi untuk mengawali sebuah aktivitas. Verdi kembali menidurkan tubuhnya dan melamun menatap langit-langit kamarnya.

Dokk!! Dokk!! Dokk!! Dokk!!

Lamunan Verdi buyar ketika suara nyaring datang dari luar pintu kamar. Teriakkan serta gedoran pintu yang memekakkan.

Alhasil, gedoran itu membuat telinga Verdi memanas yang akhirnya diikuti kaki yang tiba-tiba berjalan dengan lesunya. Ia mendekati pintu berwarna cokelat tua dengan langkah super gontai namun berlagak sangat kesal.

"KAK BANGUN, UDAH JAM TUJUH LEBIH! NGEBO AJA LO KERJAANNYA!!" teriaknya lebih keras dari yang pertama. 

"KALAU LO TERUS-TERUSAN KAYAK GINI, MANA ADA CEWEK YANG MAU DEKET SAMA LO, KAK. KAK BANGUN!! GUE DOBRAK NIH PINTU LAMA-LAMA!!!" Verdi langsung membuka pintu saat Vanya hendak mengambil posisi untuk mendobrak pintu tersebut.

Verdi pun turun ke ruang makan tanpa memperhatikan seseorang yang kini berada di hadapannya. Apa ia tak melihat bidadari di dekatnya sekarang?

Vanya berdesis pelan, melipat tangan sembari menatap tajam kepergian Verdi yang semakin jauh.

"Itu kalau bukan kakak gue, udah gue buat seblak dia! Gue kasih bumbu ekstra pedes yang lebih dari level setan sama mercon terus gue santap habis-habisan. Kesel lama-lama punya kakak begitu terus." dumelnya tak kira-kira karena saking gemas melihat tingkah itu. Ia membuntutinya dengan segera.

Cowok berahang kuat itu masih saja berjalan menuruni tangga dengan kedua tangan berada di saku celana. Mata dinginnya menatap jauh di mana meja makan itu berada.

"Ver, sini, kita telat sarapan lima belas menit dari biasa dan itu gara-gara kamu tau gak?" ujar seorang pria dengan nada berat.

Verdi diam seribu bahasa, ia masih berjalan menuju ruang makan dengan sangat santai dan langsung menyambar makanan di hadapannya setelah sampai. Bukan apa, ia hanya khawatir jika dua irisan daging itu keburu diambil oleh Vanya.

Vanya pun sontak merasa jengkel saat kecepatan berjalannya bertambah, dalam hatinya ingin mengumpat kasar. Namun apalah daya dirinya di depan kedua orang tua? Hingga respon yang ia tunjukkan hanyalah melipat kedua tangan di depan dada dan melirik sadis cowok yang tengah asyik dengan santapan itu.

"Lo kok jahat sih kak! Itu kan makanan udah gue pesen sama bibi, kenapa lo ambil? Kalau mau ya bilang dong, biar bibi buatin buat lo juga." omelnya dengan lirikan tajam. 

Verdi masih bungkam, asyik dengan makanan tanpa menatap wajah adiknya.

"Lo cewek, belajar masak sana!" Verdi mengusap mulut dengan tisu yang sudah tersedia di sana sebagai bentuk respon.

"Gak mau, lo aja yang masak sana!"

"Males."

"Ma, itu makanan Vanya diambil kak Verdi. Mama gak marahin?" adu Vanya sedikit merengek. Rere pun hanya mengulas senyum dan geleng-geleng.

"Awas aja lo, kak! Bakal gue kasih pelajaran karena ambil ayam goreng gue." ancam Vanya dengan lirikan mata yang sangat tajam, giginya ia tekan sangat erat, hingga terlihat otot-otot hijau di lehernya.

"Lo mau?" tawar Verdi mengulurkan tangan yang terdapat sisa daging secuil dan tulang-tulang.

"Gue masih punya duit buat beli makanan yang lebih enak dari ini." kejam Vanya lalu mengambil nasi dan lauk seadanya.

"Makanya lo nggak dapet jodoh sampai sekarang, orang lo gak pernah bisa ngehargai perasaan cewek." sindir Vanya tak menatap Verdi.

"Gak ada hubungannya!"

"Ada lah, cewek itu minta dikasih perhatian, dihargai, dimanja dan yang paling utama itu dikasih rasa sayang yang lebih dari yang dia kasih." terang Vanya menggurui. "Lo aja nggak bisa ngehargai gue, ya lo gak bakal bisa dapetin cewek sampai kapanpun."

"Apa hubungan percintaan lo lebih hebat dari gue, Van?"

"Iya lah pasti. Gue punya pacar dan lo enggak, kak!"

Mendengar keributan kedua anaknya itu, orang tuanya semakin merasa geli, melihat sikap mereka yang kian hari semakin menjadi. Mereka berdua terkekeh pelan hingga membuat Verdi dan Vanya menatap datar.

"Aduh Ma, dulu ngidam apa sih sampai punya anak seperti mereka?" tanya Pak Rahmat setelah selesai makan. Ia terkekeh.

"Apa ya Pa? Kayaknya... Es kelapa muda tapi rasanya asam gitu, apa tercampur sama keringat si penjual kali, ya?" canda Bu Rere tertawa geli hingga diikuti Rahmat dan akhirnya berakhir pada puterinya.

"Jadi kak Verdi minum keringat si penjual es kelapa muda?" katanya dipertengahan tawanya, "pantas aja kalau lahirnya kayak gini, sukurin lo, Kak." tawanya lagi.

Jika kalian mendapatkan ejekan seperti itu dari adik kalian, apa yang kalian lakukan?

Mungkin seorang Otong akan mencubit lengannya sampai berwarna biru keunguan, lalu membopongnya ke kamar mandi. Satu hal yang berbanding terbalik dengan Verdi yang hanya menjawab lewat perkataan tanpa tindakan.

"Pa-an sih! Lo juga kali, gak usah sok sukurin gue segala." dengusnya tak digubris, namun di meja makan itu kembali terjadi keheningan.

"Verdi mau pergi, nanti ajak Vanya." ijin ala seorang Verdi kepada orangtuanya, terdengar malas saat menyebut nama adiknya. 'Vanya'.

"Nggak mau, mending out sama temen gue yang jauh lebih happy darilada sama lo."

"Gue mau belanja, tapi ya udah sih kalau lo nggak mau. Gue malah lebih leluasa buat ngehabisin duit yang dikasih Papa."

Vanya langsung menatap Verdi serius. "Enak aja, gue juga mau lah kak. Nanti beliin gue baju, jaket, tas, sepatu—oh iya! Buku novel yang lagi trending juga, gimana mau kan?" ucapnya sambil memainkan jari-jarinya, mengedipkan mata seolah gemit kepada pacarnya. Menjijikkan.

"Mana ada duit sebanyak itu? Orang gue cuma mau keliling Mall doang." tuturnya membuat Vanya mendelik. Ternyata tak sesuai ekspektasinya sebelum ia heboh sendiri.

"Anj—"

"Pa, Vanya udah berani ngomong kasar. Ajarin tuh anaknya biar bisa ngehormati orang yang lebih tua dari dia." sinis Verdi yang tak suka akan tingkah bocah labil itu.

Verdi langsung berdiri, berjalan kembali ke kamar untuk membersihkan diri sendiri. Setelahnya, ia memakai kaos putih dilapis jaket hitam, serta celana jeans dan sepatu hitam kesayangannya.

Ia bergegas turun menemui adiknya yang super bawel. Vanya melebarkan senyum ketika melihat Verdi yang super ganteng dari biasanya, apalagi seulas senyum yang terbit dari bibir merah itu ketika menatap benda kecil yang ada di genggamannya.

'Kakak gue kalau gini keren juga, sayang kalau dibuang' batin Vanya terkekeh geli.

"Ggak punya pacar, sok-sokkan senyum lihat hape. Apa lo baru lihat video kekeyi bukan boneka?" tuding Vanya ke arah ponsel Verdi, berusaha melirik siapa yang Verdi hubungi atau ditonton.

"Bacot lo, anak kecil."

"Udah sana ganti baju, gue tunggu lima menit, kalau lo gak selesai gue tinggal." kata Verdi lalu duduk di sofa dan memainkan ponselnya.

"Beneran mau pergi, Kak? Oke, tunggu sebentar."

**

Mereka segera masuk ke mobil sport berwarna merah, yang mana merupakan kado ulang tahun Verdi ke tujuh belas saat itu dari orang tuanya.

Hening. Vanya tak memulai pembicaraan begitupun dengan Verdi. Membuat suasana nampak sepi, hanya terlihat Vanya sedang asyik memainkan ponselnya. Sedangkan Verdi, ia lebih memilih fokus untuk menyetir.

"Kak, lo udah punya pacar belum sih? Kok dari dulu gak pernah liat lo gandeng cewek ke rumah?" selidik Vanya mengundang kesinisan Verdi.

"Gak ada!" ketusnya yang masih fokus menyetir.

"Nyari dong kak, anak SMA kalah sama anak SMP, gak jaman lah." katanya remeh, "gak malu apa sama adik sendiri yang udah hampir satu tahun pacaran ini?" lanjutnya sedikit menyindir dengan candaan kecil.

"Belum waktu!" ketus Verdi tanpa menatap, "lo tahu kan, bahayanya orang pacaran, apalagi buat umur lo yang masih di bawah gue?" tutur Verdi sedikit mengintip Vanya lewat kaca.

"Putusin pacar lo atau lo bakal kecewa beberapa bulan lagi." titah Verdi membuat Vanya meringis, apa-apaan ini. Berani mengancam adiknya sendiri.

"Dasar iri."

"Gue nggak iri sama sekali sama lo."

"Terus kenapa sampai sekarang masih ngejomblo?" Vanya semakin mencari pertanyaan yang membuat Verdi mengaku akan keputusannya yang masih terus menjomblo.

"Gue bukan type cowok murahan yang seenak jidat mau macarin anak orang."

"Secara tersirat lo nyindir gue gitu, Kak? Lo mau bilang kalau gue itu murahan karena udah pacaran?" geram Vanya lalu menaruh ponsel yang sedari tadi ia gunakan.

"Gue nggak maksud bilang itu ke lo, Van. Itu jawaban dari pertanyaan lo ke gue."

**

Mobil sport itu sudah terparkir rapi di depan toko buku. Kedua kakak beradik ini segera masuk dan mencari buku yang akan mereka beli.

Terpampang sederetan buku yang tertata rapi, Verdi kini memilih buku bernuasa khas anak IPA yaitu Pengetahuan Alam. Akhirnya ia memilih dua buku pelajaran untuknya menghadapi ujiam, lalu pergi mencari sederetan buku komik kesukaannya.

Apa hidup orang pintar harus selalu seperti ini? Lebih menghabiskan uang untuk membeli berbagai buku pengetahuan daripada kuota untuk bermain game online?

Disisi lain, ada seorang gadis yang tidak terlalu tinggi juga mengambil buku sambil berjinjit. Ia kesusahan dalam mengambilnya. Bagaimana dengan Verdi?

"Mbak, itu buku yang di atas ambilin dong." gerutu gadis itu dengan sedikit nada tak suka.

"Susah banget sih ini buku, gue manjat sedikit aja kali ya? Mana mbaknya nggak dengar lagi. Nasib orang pendek." tanya gadis itu sendiri sambil menatap ke segala arah.

Verdi yang sudah mendapati buku, segera berbalik badan dengan sangat cepat dan tak sengaja ia menubruk gadis itu cukup keras. Membuat gadis yang kini akan memanjat kehilangan keseimbangan dan akhirnya jatuh ke lantai.

Brukk!

"AWNJIIR!" pekiknya keras, "siapa sih yang jalan gak pakai kaki? Mata juga dimana, masak gak dipakai buat lihat cewek cantik kayak gue seperti ini." omel gadis itu sebelum melirik orang yang menubruknya.

Bagaimana jika itu om-om, atau orang yang lebih tua darinya? Sopankah? 

Gadis itu menatap ke atas, mendapati cowok keren menjulang tinggi di depannya. Gadis itu hanya menelan ludah dan menatapnya cukup lama. Jantungnya berdetak kencang, entah karena kaget akan jatuh, ucapan, atau cowok itu. Ia tak tahu, seakan semua tercampur menjadi satu.

Tangan Verdi pun terulur ringan. Bukan apa, ia hanya ingin bertanggung jawab karena sudah membuat anak orang jatuh begitu saja. Namun, ini bukan sepenuhnya salah Verdi. Salah siapa rak buku ingin dibuat tumpuan untuk berdiri?

"Lo mau nolongin gue setelah lo buat gue jatuh? Sori gue nggak butuh bantuan lo! Gue bisa sendiri!" ucapnya acuh sambil memegangi bagian lutut yang sedikit tergores. Verdi menyimpan kembali tangannya yang masih steril dari gadis itu.

"Lo tau gak, seumur-umur, gue gak pernah ditubruk kayak gini, apalagi sama cowok jelek kayak lo. Lagian, lo kalau jalan liat-liat dong! Tau ada orang kok seenaknya nabrak, ini toko juga bukan punya lo kan? Punya mata dipakek!" Omel gadis itu dengan sedikit meringis kesakitan.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
alanasyifa11
kayaknya bakal menarik nih,btw author bakal update tiap berapa hari yah..? author ada sosmed engga?
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • VERDINDA   SWEET TIME

    "Udah ke pasarnya?" ucap Verdi sinis mendapat tatapan bingung dari gadis di hadapannya."Maksud lo apa, gue itu sekarang ada di toko buku bukan di pasar, enak aja ngomong gitu ke gue." gadis itu terus-terusan mengeluarkan nada tinggi."Ah—gue tau, maksud lo. Lo berlagak nyinyirin gue pakai cara halus kan? Sok-sokkan nyindir gaya bicara gue kan? Gak banget, tau gak? Lo tinggal bilang langsung ke gue aja apa susahnya, gue bakal dengerin dan gak bakal marah karena kejujuran lo secara langsung.""Gue emang anaknya cerewet, banyak omong. Dan sekarang lo salah, lo salah karena udah masuk ke hati gue dengan cara yang salah, karena apa? Karena lo udah buat gue jatuh dari rak ini dan bikim darah tinggi gue naik." cerocosnya terus.Verdi hanya diam, pasrah mendengar ucapan gadis itu tanpa mau meladeni. Jika bisa, ia akan pergi dari hadapannya."Sori, gue minta maaf. Gak ada yang parah kan, patah tulang mungkin? Gak kan? Gue pergi." Seketika Verdi ingin segera

    Last Updated : 2021-04-28
  • VERDINDA   FIRST IMPRESSION

    "Lo dimana kak? Kok gak ada di belakang Vanya sih?! Vanya sendirian nih." telfon Vanya bingung sambil melihat kanan kirinya. Berharap ia melihat kakaknya sekarang."Lo dimana? Gue kesana sekarang.""Di dekat pintu keluar, gue tunggu." Vanya memberitahu Verdi dan segera mematikan sambungannya secara sepihak.Verdi pun menarik tangan Dinda untuk cepat-cepat menemui Vanya. Mungkin ia tidak sadar, jika ternyata Vanya hilang karena ulahnya, ia pasti akan mendapat amukan dari orang tuanya, tamparan, atau bahkan diusir dari rumahnya. Ia lalai.Tapi untuk remaja seusia Vanya, dengan kecanggihan alat elektronik pasti ia bisa pulang dengan sendirinya. Pasti itu."Mau kemana?""Cari adik gue lah." lalu mereka berlari secepat mungkin untuk mencari Vanya. "Gue bisa dimarahin bokap."Saat di dekat pintu keluar, Verdi melihat gadis kecil berbaju putih dengan rambut panjang berbando yang ia gerai. Verdi langsung menghampirinya dan memeluknya.

    Last Updated : 2021-04-28
  • VERDINDA   FIRST SMILE

    Selesai beberapa jam berada dalam rapat kecil itu, Verdi berniat untuk pergi ke rumah seorang gadis yang meninggalkan bukunya sembarangan.Bukan apa, ia hanya takut bahwa buku yang ia bawa sekarang ingin segera dibaca olehnya. Apalagi itu bukan miliknya dan harga yang cukup mahal. Ia melajukan mobil dengan sangat cepat."Assalamu'alaikum, permisi." salam Verdi setelah tiba di depan rumah bercat biru itu, lalu menekan bel yang ada di samping pintu. Beberapa kali ia mengetuk namun tak ada sahutan."Wa'alaikumsalam. Iya nyari siapa?" Jawab wanita paruh baya setelah berhasil membuka pintu cokelat dengan sebuah ukiran di atasnya. Tak lupa Verdi bersalaman dengan wanita itu. Sopan."Dinda ada, Tan?" ucapnya sambil tersenyum tipis.Belum sempat wanita itu menjawab, tiba-tiba gadis cantik di rumah ini datang dari balik pintu dengan tatapan teduh. Berbeda dari waktu pertama ia bertemu dengan Verdi. Kini ia menyapa Verdi, hingga akhirnya membuat senyum Verdi memu

    Last Updated : 2021-04-28
  • VERDINDA   TAMAN KOTA

    Dinda yang sudah menaiki motornya dengan berbagai barang belanjaan di atas motornya melihat sebuah keramaian di seberang jalan. Nampak sedang asyik dengan para pengguna jalan. Membawa beberapa kotak kardus lalu turun di jalanan saat lampu merah sudah terlihat. Ada apa?"Itu rame-rame, ngapain? Apa ada nyari donasi?" tanya Dinda melirik jauh.Dinda melirik isi dompetnya sebentar. Masih ada beberapa lembar uang di dalamnya. "Gue kesana aja kalik ya." Niatnya langsung melajukan motornya menuju para pemuda di jalanan itu."Nih mas, sedikit bantuan un,-" ucapnya terpotong, ia kaget setelah melihat bahwa dia adalah "eh, lo... lo Verdi kan?" ingatnya membuat Verdi hanya menatap datar tanpa ekspresi, tak menunjukkan sebuah senyuman lagi."Ketemu lagi deh gue sama lo. Eh ini." senyum Dinda langsung memasukkan uang donasinya dan meminggirkan motor untuk berbicara dengan Verdi."Gue ajak lo ngobrol, mau?" tanya Dinda berdiri di samping Verdi panas-panasan.

    Last Updated : 2021-04-30
  • VERDINDA   CHAT PERTAMA

    Selasa pukul 06.40 WIB.Verdi sudah berada di sekolah. Ia memarkirkan motor ninjanya, rapi di parkiran sekolah. Berjalan menuju koridor dan dipandang oleh banyaknya kaum hawa sudah menjadi hal biasa baginya.Taman sekolah. Tempat asri dengan pepohonan rindang yang tertata rapi. Verdi, Alex, Regal dan Otong sudah berada disini sejak lima menit yang lalu. Mereka adalah the most wanted kepunyaan SMA Padma Widjaya, terutama seorang Verdi yang terkenal akan kedinginannya tetapi berjiwa sosial yang sangat tinggi.Wajah Verdi yang begitu kentara akan wajah Asia-nya, Alex dengan paras blasteran khas orang Eropa, Regal dengan ketenaran karena perubahan sikap dari yang semula nakal menjadi seperti sekarang.Dan Otong, dia adalah seorang pria manis dengan gaya celetukan yang turun temurun dari keluarga Afrika-nya. Apa Otong juga blasteran? Tidak. Hanya saja wajah yang sedikit hitam manis membuat semua orang mengira hal yang sama seperti itu.Sebenarnya di SMA Padm

    Last Updated : 2021-05-02
  • VERDINDA   MENUNGGU JAWABAN

    Malam ini Verdi berniat untuk menonton bola disalah satu stasiun TV. Ia memang sengaja tidak belajar malam ini karena ia sudah belajar jam sebelumnya. Dengan ditemani beberapa cemilan untuk menghilangkan rasa bosannya karena menunggu Papanya untuk ikut menonton.Tiba-tiba seseorang datang menghampirinya di ruang keluarga dengan langkah seperti orang berlari. Siapa lagi kalau bukan Vanya. Hal itu tidak membuat Verdi berubah posisi bahkan ia enggan untuk menoleh padanya. Pikirnya tentu benar."Kak, bantuin ngerjain PR dong, kasihan adikmu lah, bulan depan udah disibukkan dengan berbagai ujian-ujian." ucap Vanya memohon sambil membanting beberapa tumpukan buku.Verdi yang mendengar suara cempreng ini langsung menutup telinga seakan ia tidak mendengar suara apapun. Sama seperti yang Vanya lakukan tadi sore."Ck! Kak!" decak Vanya kesal sambil menggoyang-goyangkan tubuh Verdi. Manja."Kakak yang ganteng serumah, bantuin gue dong, ya, ya?" mohon Vanya l

    Last Updated : 2021-05-05
  • VERDINDA   KANG SEBLAK

    Dinda yang menuruni tangga sembari merapikan bukunya melihat sosok pria dengan tubuh tegap, rambut berjambul manja, dan raut muka yang biasa aja. Dinda tersenyum saat melihat Verdi yang tengah duduk di sana, segera Dinda mendekati ruang tamu lalu duduk di kursi sebelahnya."Tante tinggal dulu ya!" pamit Bu Sella yang kini beralih berdiri, dengan maksud untuk meninggalkan mereka berdua. Verdi dan Dinda mengangguk bersamaan.Beberapa menit mereka hanyalah diam membisu. Entah kenapa, yang pasti mereka masih ragu karena baru saja bertemu."Lo udah lama nungguin gue ya?" tanya Dinda sambil membuka buku yang akan ia bahas dengannya. Matanya tak menatap Verdi, namun tetap berada dalam tulisan-tulisan itu."Gue baru." jawab Verdi yang kini juga asyik memainkan ponselnya.Suasana kini menjadi hening, semuanya bagaikan terhenti begitu saja. Mereka bertatapan sejenak dan akhirnya memalingkan pandangan asal ke segala arah. Canggung."Lo udah makan?" tanya Din

    Last Updated : 2021-05-28
  • VERDINDA   APA BALIKAN?

    Sekarang di SMA Putra Bangsa, Dinda dan temannya berada di sebuah taman, seperti biasa mereka mencari hawa sejuk dan semilirnya angin pagi. Mereka hanya akan ke sini jika ada waktu luang. Mengingat, taman ini jauh dari kelasnya, butuh beberapa puluh langkah untuk sampai di sini.Tempat ini memang cocok untuk sekadar mengisi waktu luang dengan melakukan beberapa aktivitas seperti membaca novel, buku pelajaran, mengerjakan tugas, berpacaran atau bahkan berfoto ria dengan spot khas SMA ini.Kini terlihat pria dengan perawakan tinggi dan dua lesung pipi yang ia tampakkan. Dinda mengernyit ketika melihat pria itu berjalan menuju tempat duduk mereka."Hai Din," sapanya ramah, "gue boleh gabung nggak?" tanyanya ketika sudah berada di depan Dinda dengan sedikit menundukkan kepalanya.Dia adalah Shandy Pradanta, masa lalu Dinda yang dulu sempat berpacaran kurang lebih dua tahun sejak kelas 10. Namun sekarang? Tidak. Namanya juga masa lalu kan?"Cuma sapa Di

    Last Updated : 2021-06-10

Latest chapter

  • VERDINDA   INSIDEN MALAM

    "Loh, Din, kamu belum pulang?" tanya Bu Rere yang barusaja keluar dari dalam ruangan itu. Menunggu Verdi yang sampai sekarang masih belum membuka matanya."Belum Ma, Dinda mau nungguin Verdi sampai dia sadar." balasnya, membuat Bu Rere semakin sesak. Ia tersenyum palsu ke gadis yang benar-benar menyayangi anaknya itu."Tidak usah, biar Mama sama Om yang tungguin Verdi. Kamu pulang saja, sudah malam. Keluarga kamu pasti nyariin kamu." elak Bu Rere menyadari bahwa hari sudah begitu gelap.Oh iya—bener, gue lupa belum kabarin mereka. Gumamnya lalu tersenyum kecil."Ya sudah Ma, Dinda pulang dulu ya, besok Dinda kesini lagi. Kalau Verdi sudah sadar, salam buat dia ya, Ma, bilangin kalau Dinda kangen berat sama Verdi." canda Dinda tersenyum lebar.Luka yang ada dalam diri Dinda kini perlahan menghilang. Berawal dari senyuman kecil, hingga celotehan dapat ke

  • VERDINDA   JANJI TERAKHIR

    Pak Rahmat, Vanya, dan Dinda pun berdiri, setelah melihat Bu Rere berjalan mendekat ke arah mereka, cara berjalannya terlihat seperti orang penuh ketidakpastian. Ada apa?"Gimana, Ma? Dokter bilang apa tentang keadaan Verdi?" tanya pak Rahmat penuh kecemasan. Ia pun sudah berada disini sejak Bu Rere pergi meninggalkan Dinda dan Vanya. Hanya selang beberapa menit saja setelah kepergiannya."Iya Ma, gimana, kak Verdi nggak parah kan?" tambah Vanya dengan raut yang melemah. Membuat mereka kembali larut dalam kesedihan."Tidak. Kak Verdi akan baik-baik aja." kata Bu Rere seolah memperlihatkan ketegarannya. Ia tak kuasa untuk membahas perihal kondisi anaknya kali ini. Dalam hati Bu Rere, ia terus meminta pada Tuhan agar puteranya segera sadar dan dapat melihat dunianya lagi."Pa, kita cari makan dulu yuk. Mama tadi belum makan, makanya sekarang agak pusing." lanjutnya menatap Pak Rahmat seaka

  • VERDINDA   JANGAN PERGI VER

    Verdi terus bersenandung ringan, menyanyikan lagu asal-asalan dibarengi setelan musik supaya tidak terjadi keheningan. Lagu itu spesial, lagu yang pernah ia nyanyikan ke Dindanya. Dulu.Mengingat nama Dinda, Verdi terus-terusan tersenyum. Apalagi terbayang senyuman Dinda yang mengulas ketulusan.Gue janji akan selalu ada di samping lo. Batin Verdi setelahnya.Namun, sebuah nama kembali mendarat di pikiran Verdi, hingga membuatnya berhenti melanjutkan lagu yang masih dalam tahap reff tersebut. Lagi-lagi nama itu. Mengapa selalu muncul disaat yang tidak pas? Mengapa? Verdi mengeram, meluapkan kekesalan.Apa ia harus memberitahu Anggun tentang masalah ini? Verdi terus-terusan bergelut dengan pikirannya sendiri. Mencari jalan terbaik untuk dirinya, Dinda, dan sahabatnya."Anggun harus tau tentang Danis." putusnya setelah berpikir dua kali, lalu ia mencari ponsel

  • VERDINDA   PESAN TERAKHIR

    "Ver, kamu nggak marah kan sama aku?" tanya Dinda terus-menerus, mengulang setiap pertanyaan tanpa ada jawaban yang berbeda dari mulut Verdi.Tidak. Itu dan itu secara berulang."Enggak, Din, ngapain aku marah sama kamu kalau nggak ada hal yang jelas terlihat?" Verdi membalasnya dengan kerutan dahi serta tatapan yang berubah hangat.Jelas-jelas Verdi tidak menunjukkan ekspresi marah sedikitpun, hanya saja wajah yang sekarang nampak sedikit pucat pasi. Dinda memang tak menyadari karena wajah Verdi yang tertutup warna seperti putih salju."Ya karena aku tadi ninggalin kamu sendirian di sana."Pria itu membuang nafas kasar. "Udah berapa kali aku bilang, hm? Aku nggak marah sama sekali sama kamu, jadi stop tanya seperti itu. Paham?" ujar Verdi semakin kesal, menatap wajah gadisnya yang terus merasa khawatir."Tapi kan aku khawatir sama

  • VERDINDA   PESTA PERTEMUAN

    Semua penjuru berbalut kain dekorasi mewah nan indah, meskipun acara berlangsung di luar ruangan. Beberapa furniture menghiasi pesta pernikahan kali ini.Dinda dan Verdi pun mengambil duduk di bagian barisan belakang, dimana tepat berada di dekat keluarga pengantin yang berpakaian serba seragam. Mereka menikmati segala bentuk persembahan dan hiburan yang ada di pesta ini. Simple namun terkesan elegan.Mata Dinda tak henti-henti menatap Verdi dengan tatapan kagum, kagum akan ciptaan Tuhan yang hampir mendekati kata sempurna baginya.Ia juga menyadari bahwa kali ini ia bisa bersama pacarnya di acara pernikahan temannya. Untuk yang pertama. Bibirnya tertarik, mengulas senyum."Iya, aku emang ganteng." ucapan itu berhasil membuat Dinda mengalihkan pandangan, pipinya memanas. Ia tertangkap basah oleh pacarnya.Gadis itu akhirnya melempar pandangan

  • VERDINDA   MALU TAPI MAU

    "Pagi om." sapa Verdi saat sudah dipersilahkan duduk oleh Bu Sella, ia menyapa Pak Arif yang berjalan mendekatinya. Pria paruh baya itu tersenyum menyapanya balik."Pagi."Sinar mentari berwarna orange sudah masuk melalui celah gorden yang menutupi sedikit jendela rumah Pak Arif, beberapa bagian rumah itu sedikit terkena cerahnya cahaya Ilahi yang sangat indah. Nampaknya cuaca sangat bersahabat pagi ini."Dinda baru sarapan itu." kata Pak Arif sambil memerlihatkan gigi yang sudah hilang satu bagian depannya. Senyum itu masih terlihat seperti kawanan anak muda."Kamu udah sarapan belum? Kalau belum gabung aja sama Dinda disana, Ver." lanjutnya seraya menunjuk arah dapur. Sedikit terlihat baju yang dikenakan puterinya disana. Verdi menggeleng cepat. Tak lama serentetan gigi itu terlihat."Iya, gabung aja sama Dinda. Kalau dia makan sendiri, pasti makannya lelet k

  • VERDINDA   SMA VS COGAN

    Dinginnya malam kembali menyelimuti, suasana hujan atau tidak tetap saja membuat malam gadis itu terasa dingin dan sepi.Dinda hanya mengisi waktu dengan menonton TV, memandang jendela kamar yang sedikit terbuka—membuat sepoi angin menyentuh permukaan wajahnya—ia beranjak menutupnya dengan sedikit mata menyipit, berusaha menutup wajah dengan satu tangan supaya angin tidak menerpanya.Telinga itu kini mendengar sebuah notifikasi pesan masuk di ponselnya, sesuatu yang menggugah hati Dinda untuk memandang ponsel tersebut. Hanya memandang awalnya, lalu berniat membukanya setelah beranjak menutup jendela.Meyza: Guys, gue lupa, gue mau ngasih tau kalian. Kakak gue Ammar, besok mau nikah, kalian dateng ya... Spesial undangan dari gue.Meyza mengirimkan pesan lumayan singkat ke grup pribadinya, grup yang berisikan Dinda, Zura, Yustin, Riska, dan Chae.

  • VERDINDA   SAINGAN TAMPAN

    Awan hitam sudah tidak betah berlama-lama, kini menampakkan kembali sederet awan cerah namun masih terdapat celah warna kelabu. Matahari sedikit nampak dari balik kelamnya awan, hujan sudah reda. Verdi berkesempatan untuk bergegas pergi dari sini.Bagaimana mereka bisa pulang dengan kondisi basah kuyup seperti ini?"Tunggu disini." kata Verdi kemudian melangkah pergi meninggalkan Dinda sendiri."Kamu mau kemana?""Bentar." balasnya membuat Dinda menurut pasrah, ia menunggu Verdi di tengah pepohonan yang cukup tinggi. Sendiri. Tubuh kecil itu sedikit menggigil kedinginan. Ia memutuskan untuk memeluk tubuhnya sendiri dan sesekali menggosokkan kedua telapak tangannya.Ia memandang kendaraan yang berlalu lalang di depannya, tubuhnya kadang terkena cipratan air hujan yang tergenang di sebuah lekukan karena mobil atau kendaraan lain. Gembel!"Ver

  • VERDINDA   HUJAN DAN CLARA

    "Yah, mendung, Ver.""Kita pulang aja." ucap Verdi menyudahi pertemuan di kafe tersebut, setelah melihat awan hitam menggumpal di atas sana.Dinda pun mengangguk. "Ayo, keburu hujan." balasnya menyetujui, membuat mereka berjalan keluar dari kafe itu, beriringan."Hujannya nggak ingat moment ya." celoteh Dinda disela jalannya."Kenapa?""Kan kita baru berduaan, kenapa sekarang malah hujan terus? Apa nggak ngerestui kita berdua?" katanya lalu memekik. "Ver, hujannya deres!!!" lanjutnya berlari bersama Verdi menuju parkiran mobil.Seketika hujan mengguyur lebih deras dari esok tadi. Untung saja mereka sudah sampai di dalam mobil, meskipun harus berlarian kecil dan terkena terpaan angin yang membawa derasnya hujan. Sedikit membasahi baju mereka sih!"Untung udah sampai." lega Dinda."Kamu kalau

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status