"Lo dimana kak? Kok gak ada di belakang Vanya sih?! Vanya sendirian nih." telfon Vanya bingung sambil melihat kanan kirinya. Berharap ia melihat kakaknya sekarang.
"Lo dimana? Gue kesana sekarang."
"Di dekat pintu keluar, gue tunggu." Vanya memberitahu Verdi dan segera mematikan sambungannya secara sepihak.
Verdi pun menarik tangan Dinda untuk cepat-cepat menemui Vanya. Mungkin ia tidak sadar, jika ternyata Vanya hilang karena ulahnya, ia pasti akan mendapat amukan dari orang tuanya, tamparan, atau bahkan diusir dari rumahnya. Ia lalai.
Tapi untuk remaja seusia Vanya, dengan kecanggihan alat elektronik pasti ia bisa pulang dengan sendirinya. Pasti itu.
"Mau kemana?"
"Cari adik gue lah." lalu mereka berlari secepat mungkin untuk mencari Vanya. "Gue bisa dimarahin bokap."
Saat di dekat pintu keluar, Verdi melihat gadis kecil berbaju putih dengan rambut panjang berbando yang ia gerai. Verdi langsung menghampirinya dan memeluknya.
"Vanya! Lo jangan hilang dong, nanti gue dimarahin bokap lo, lo mau tanggung akibatnya?" panik Verdi setelah itu. Tatapan itu kembali tajam, tetapi terlihat sedikit mata yang berkaca-kaca. Verdi sangat khawatir di depannya.
Tumben perhatian.
"Ya maaf lah, kan kakak yang nggak ada di belakang Vanya, jadi yang salah lo kak, bukan Vanya." bela Vanya dengan wajah yang masih tertunduk.
"Kok gue sih?"
"Iya lah, kan itu tad"
Verdi mendesah, "pulang! Udah beli kan? Sudah dibayar kan?" tanya Verdi mendapat anggukan dari Vanya, ia masih sangat takut menatap wajah ganas milik pria itu. Ia pun lalu melihat tangan Verdi yang tak disangka masih memegang tangan Dinda erat. Ia berdehem keras.
"Ih kak Verdi modus, gandeng-gandeng anak orang aja, bilangin Mama tau rasa lo kak." goda Vanya sambil mengeluarkan ponselnya cepat.
"Ck pa-an sih bocah! Reflek ini gara-gara lo ngilang." ucap Verdi lalu melepas gandengan tangannya, tetapi Vanya tak lupa mengabadikan momen kedua kalinya untuk diperlihatkan ke Mamanya yang kini berada di rumah.
Bisa jadi berita heboh setelah sekian tahun.
**
"Ngiri Ver rumah gue."
Verdi melajukan mobilnya, menuruti ucapan Dinda tanpa ada niatan membalas. Suasana kembali hening seperti tadi sampai akhirnya sampai di kompleks Dinda.
"Makasih Ver, Vanya." kata Dinda setelah sampai di tempat yang ia tunjukkan.
"Oke kak." balas Vanya sambil mengacungkan jempolnya. Dinda tersenyum tulus melihat itu.
Dinda menatap arah Verdi, masih menampakkan senyumnya. "Makasih, Ver." ucap Dinda lagi, namun kembali tak dijawab.
"Ver, terima kasih." katanya yang kian kesal.
"Ver!"
Pria itu pun hanya menampakkan muka risihnya, dan mengacak rambut frustasi, "iya-iya, udah sana keluar." usirnya.
"Gue cuma pesen sama lo, kalau lo bersikap gini terus sama siapapun lo bakal kesusahan nyari jodoh." Dinda lalu menuruni mobil dengan perasaan yang sangat senang, namun sedikit kekecewaan menyelinap.
"Hati-hati." ucap Dinda sebelum mobil itu melaju.
Mobil Verdi sudah melaju namun kembali ke hadapan Dinda, membuat Dinda mengernyit, ada apa?
"Soal gue gandeng tangan lo, jangan baper. Gue cuma reflek semoga pertemuan gue sama lo cukup sampai sini." tuturnya lalu kembali melanjutkan mobil.
"Apaan sih, siapa juga yang baper sama cowok kayak lo!" gerutu Dinda sambil menatap kepergian mobil merah itu.
'Oke, gue tau. Kita memang baru pertama bertemu, tapi gue harap kita bisa bertemu lagi nantinya. Enak juga bisa main sama orang kaya seempang.' batin Dinda tertawa, kemudian masuk ke rumah itu.
**
Lima belas menit kemudian, Vanya heboh dengan apa yang terjadi hari ini, ia memberitahu ke Mamanya, mulai dari ia bertemu gadis milik kakaknya, sampai ia hilang di pusat perbelanjaan.
Namun, Verdi tak menanggapi, ia langsung masuk ke kamar dengan meletakkan jaket di pundaknya. Melepas sepatu, membaringkan tubuh di atas kasur empuk, dan memejamkan mata diharap lebih baik daripada mendengar ocehan dari cewek tadi.
'Baru tau gue, ada cewek kayak gitu' batin Verdi sedikit meringis tak mengartikan.
Rizky: Ver lo dimana? Tumben gak datang.
Otong: how are you babe?
Paul: lo nggak sakit kan?
Rendra: seorang Verdi bisa sakit? Mustahil.
Otong: Verdi kan manusia bukan malaikat, jadi punya lah sifat kemanusiaan, nggak kayak lo, sifat kesetanan!
Rendra: Bekicot lo!
Verdi: Otw,
Ia langsung bergegas mengambil jaketnya lagi, dan memakai seperti semula. Menuruni tangga dan meminta ijin pada Mamanya.
"Verdi mau pergi, pulang Dzuhur." Bu Rere hanya menganggukkan kepala dan lanjut mendengarkan cerita dari anak bungsunya dengan senyum yang masih terlihat. Sesekali mereka berdua tertawa, membuat Verdi akan semakin dipojokkan oleh gadis manja itu.
"Ucapan Vanya bohong semua, Ma. Jangan didengerin." tuturnya berteriak meninggalkan.
**
Dinda berada di balkon kamar, menatap indahnya langit dan taman yang terlihat asri dari lantai dua. Dengan secangkir cokelat dingin di depannya semakin membuat Dinda sangat menikmati hari-harinya.
Ia melamunkan sesuatu yang membuat dirinya senang tak karuan. Hatinya berbunga, baru pertama, tapi bisa membuat kesan yang luar biasa. Ia menorehkan senyuman.
"Dia itu cowok sok cool, sok sinis, sok-sokkan, gimana kalau gue kerjain aja?" ucap Dinda sendiri.
Senyumnya pudar, "tapi mana mungkin gue bisa ketemu sama dia lagi? Gue aja nggak tau sama sekali tentang cowok itu." Pikirnya seketika, "ah, ngapain juga mikirin dia."
"Mendingan juga baca buku, kasihan kalau dianggurin." Ucapnya nampak semangat, buku yang sudah ia beli merupakan buku dari penulis terkenal luar negeri. Sangat-sangat favorit untuknya meski tak bertanda tangan.
Ia segera masuk ke kamar dengan langkah penuh semangat, berniat mencari keberadaan buku itu. Mencari dari sudut satu ke lain sudut, tetapi nihil. Ia tak menemukannya.
"Eh—gue taruh mana ya? Lupa gue." ucap Dinda sambil menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Ia masih menatap kamarnya dengan ekspresi bingung, dan mencarinya lagi.
"Di mana sih?"
Seketika Dinda teringat bahwa buku yang ia bawa tadi berada di dalam tas kresek, bukan di tas yang ia bawa. Ia kembali mengingat dengan ekspresi yang tak karuan. Berpikir dan terus berpikir.
"Oiya mobil, mobil cowok itu. Gimana nih sayang banget itu buku, tadi aja belinya dua ratus ribu, masa hilang gitu aja." Dinda menggerutu dengan ekspesi melas, ia berjalan mondar-mandir sambil menggigit jari kanannya. Bingung.
"Dua ratus ribu itu duit say. Apes gue. Mana itu cowok gue nggak tahu lagi, apa itu larma buat gue karena udah ngerjain dia?" ucap Dinda lemas lalu melemparkan tubuhnya asal ke kasur. "Rugi gue ketemu sama dia. Awas aja kalau dia nggak balikin buku gue, gue doain dia jomblo seumur hidup."
**
Verdi menuju basecamp tempat ia berkumpul dengan teman-temannya. Dengan langkah cepat ia segera memasuki mobil itu lagi dengan gaya cool-nya.
Saat akan melajukan mobil, ia melihat tas kresek berwarna putih ada dalam mobilnya. Ia mengambil dan membuka isinya, ternyata sebuah buku novel.
"Perasaan gue nggak beli." ernyit Verdi acuh.
"Apa itu buku cewek tadi?" gumamnya lalu meletakkan seperti semula. Ia segera melajukan mobil itu dengan kecepatan tinggi menuju tempat tongkrongan.
**
"Gila, dari mana gue dapet duit sebanyak itu. Mana gue juga nggak ada kerjaan lagi." ucap Radit lalu meletakkan kunci motornya keras di atas meja.
Mereka sudah berada di kafe, tempat yang menjadi andalan untuk berkumpulnya mereka. Biasa, anak orang kaya.
"Beh! Lo mau nggak, dapet duit cepat tapi nggak instan?" tanya Otong membuat Radit menganggukkan kepala. Ia masih dalam posisi meletakkan tangan sebagai tumpuan kepala.
Otong tersenyum lalu terkekeh. "Kerja lah pak, ya kali lo bisa dapat duit instan. Emang daun yang jatuh terus berubah jadi duit? Dasar bego!!" jawabnya lagi mendapat gelak tawa dari mereka yang ada disini.
"Ya kalau kerja emang jelas dapet duit Tong. Ngomong-ngomong, kayaknya lo baca meme di instagram ya? Kayaknya gue pernah baca itu." sindir Risky dengan lirikan mata teduhnya. Ia berhasil mendapat semyuman malu dari Otong.
"Tau aja lo, Ris."
"Eh... Eh itu si bosver!" gelagap Otong membuat semuanya menatap ke arah Verdi.
"Dari mana lo? Tumben rapi bener, ketemuan sama doi?" tanya Alex menatap Verdi penuh introgasi saat Verdi masih berjalan menuju mereka.
"Biasa!" singkatnya mendapat anggukan.
"Gimana sih Lex, orang Verdi nghak ada doi kok. Kayak lo, dia!" sahut Otong mendapat lemparan tajam dari semuanya, padahal dalam hati mereka terkekeh geli. Tingkah Otong memang selalu menjadi pencair suasana.
"Ye, kan gue cuma nebak doang, Tong!"
"Kenapa? Katanya penting?" tanya Verdi to the point menatap Risky yang berada di depannya.
"Langsung aja ya, besok kita mau ngadain penggalangan dana buat bantu korban Tsunami, lo ada masukan gak?" tanya Risky yang kini masih asyik dengan tatapan ke arah kertas kecil yang ia bawa.
Memang Verdi dan teman-temannya membentuk suatu grup, bukan grup band, berandalan, atau bahkan sebuah club seperti geng motor. Mereka hanyalah wadah untuk membantu sesama, mempunyai jiwa sosial yang tinggi, adalah ciri khas dari mereka semua.
"Setuju aja sih, di tempat biasa. Dekat SMA PW ada Radit, Otong sama Rendra. Kalau dekat kantor pos itu Gue, Risky sama Paul. Yang dekat Cafe blacksweat Alex sama Regal, lainnya di area sini." terangnya sambil menatap satu-persatu personil yang berada disini.
Mereka mengangguk, menyetujui perkataan Verdi.
"Gue sih setuju aja, asal ada upahnya." cengir Otong tanpa dosa, namun satu jitakan mendarat tanpa meleset di kepala botaknya.
"Lo udah kaya kan, Tong. Harusnya lo besok ngasih donasi yang banyak."
"Nominalnya nggak mungkin gue omongin ke kalian kan. Santai lah, gue pasti ngasih." jelas Otong tersenyum receh.
"Kita mulai jam berapa?" tanya Regal santai.
"Jam sembilan kita mulai."
Selesai beberapa jam berada dalam rapat kecil itu, Verdi berniat untuk pergi ke rumah seorang gadis yang meninggalkan bukunya sembarangan.Bukan apa, ia hanya takut bahwa buku yang ia bawa sekarang ingin segera dibaca olehnya. Apalagi itu bukan miliknya dan harga yang cukup mahal. Ia melajukan mobil dengan sangat cepat."Assalamu'alaikum, permisi." salam Verdi setelah tiba di depan rumah bercat biru itu, lalu menekan bel yang ada di samping pintu. Beberapa kali ia mengetuk namun tak ada sahutan."Wa'alaikumsalam. Iya nyari siapa?" Jawab wanita paruh baya setelah berhasil membuka pintu cokelat dengan sebuah ukiran di atasnya. Tak lupa Verdi bersalaman dengan wanita itu. Sopan."Dinda ada, Tan?" ucapnya sambil tersenyum tipis.Belum sempat wanita itu menjawab, tiba-tiba gadis cantik di rumah ini datang dari balik pintu dengan tatapan teduh. Berbeda dari waktu pertama ia bertemu dengan Verdi. Kini ia menyapa Verdi, hingga akhirnya membuat senyum Verdi memu
Dinda yang sudah menaiki motornya dengan berbagai barang belanjaan di atas motornya melihat sebuah keramaian di seberang jalan. Nampak sedang asyik dengan para pengguna jalan. Membawa beberapa kotak kardus lalu turun di jalanan saat lampu merah sudah terlihat. Ada apa?"Itu rame-rame, ngapain? Apa ada nyari donasi?" tanya Dinda melirik jauh.Dinda melirik isi dompetnya sebentar. Masih ada beberapa lembar uang di dalamnya. "Gue kesana aja kalik ya." Niatnya langsung melajukan motornya menuju para pemuda di jalanan itu."Nih mas, sedikit bantuan un,-" ucapnya terpotong, ia kaget setelah melihat bahwa dia adalah "eh, lo... lo Verdi kan?" ingatnya membuat Verdi hanya menatap datar tanpa ekspresi, tak menunjukkan sebuah senyuman lagi."Ketemu lagi deh gue sama lo. Eh ini." senyum Dinda langsung memasukkan uang donasinya dan meminggirkan motor untuk berbicara dengan Verdi."Gue ajak lo ngobrol, mau?" tanya Dinda berdiri di samping Verdi panas-panasan.
Selasa pukul 06.40 WIB.Verdi sudah berada di sekolah. Ia memarkirkan motor ninjanya, rapi di parkiran sekolah. Berjalan menuju koridor dan dipandang oleh banyaknya kaum hawa sudah menjadi hal biasa baginya.Taman sekolah. Tempat asri dengan pepohonan rindang yang tertata rapi. Verdi, Alex, Regal dan Otong sudah berada disini sejak lima menit yang lalu. Mereka adalah the most wanted kepunyaan SMA Padma Widjaya, terutama seorang Verdi yang terkenal akan kedinginannya tetapi berjiwa sosial yang sangat tinggi.Wajah Verdi yang begitu kentara akan wajah Asia-nya, Alex dengan paras blasteran khas orang Eropa, Regal dengan ketenaran karena perubahan sikap dari yang semula nakal menjadi seperti sekarang.Dan Otong, dia adalah seorang pria manis dengan gaya celetukan yang turun temurun dari keluarga Afrika-nya. Apa Otong juga blasteran? Tidak. Hanya saja wajah yang sedikit hitam manis membuat semua orang mengira hal yang sama seperti itu.Sebenarnya di SMA Padm
Malam ini Verdi berniat untuk menonton bola disalah satu stasiun TV. Ia memang sengaja tidak belajar malam ini karena ia sudah belajar jam sebelumnya. Dengan ditemani beberapa cemilan untuk menghilangkan rasa bosannya karena menunggu Papanya untuk ikut menonton.Tiba-tiba seseorang datang menghampirinya di ruang keluarga dengan langkah seperti orang berlari. Siapa lagi kalau bukan Vanya. Hal itu tidak membuat Verdi berubah posisi bahkan ia enggan untuk menoleh padanya. Pikirnya tentu benar."Kak, bantuin ngerjain PR dong, kasihan adikmu lah, bulan depan udah disibukkan dengan berbagai ujian-ujian." ucap Vanya memohon sambil membanting beberapa tumpukan buku.Verdi yang mendengar suara cempreng ini langsung menutup telinga seakan ia tidak mendengar suara apapun. Sama seperti yang Vanya lakukan tadi sore."Ck! Kak!" decak Vanya kesal sambil menggoyang-goyangkan tubuh Verdi. Manja."Kakak yang ganteng serumah, bantuin gue dong, ya, ya?" mohon Vanya l
Dinda yang menuruni tangga sembari merapikan bukunya melihat sosok pria dengan tubuh tegap, rambut berjambul manja, dan raut muka yang biasa aja. Dinda tersenyum saat melihat Verdi yang tengah duduk di sana, segera Dinda mendekati ruang tamu lalu duduk di kursi sebelahnya."Tante tinggal dulu ya!" pamit Bu Sella yang kini beralih berdiri, dengan maksud untuk meninggalkan mereka berdua. Verdi dan Dinda mengangguk bersamaan.Beberapa menit mereka hanyalah diam membisu. Entah kenapa, yang pasti mereka masih ragu karena baru saja bertemu."Lo udah lama nungguin gue ya?" tanya Dinda sambil membuka buku yang akan ia bahas dengannya. Matanya tak menatap Verdi, namun tetap berada dalam tulisan-tulisan itu."Gue baru." jawab Verdi yang kini juga asyik memainkan ponselnya.Suasana kini menjadi hening, semuanya bagaikan terhenti begitu saja. Mereka bertatapan sejenak dan akhirnya memalingkan pandangan asal ke segala arah. Canggung."Lo udah makan?" tanya Din
Sekarang di SMA Putra Bangsa, Dinda dan temannya berada di sebuah taman, seperti biasa mereka mencari hawa sejuk dan semilirnya angin pagi. Mereka hanya akan ke sini jika ada waktu luang. Mengingat, taman ini jauh dari kelasnya, butuh beberapa puluh langkah untuk sampai di sini.Tempat ini memang cocok untuk sekadar mengisi waktu luang dengan melakukan beberapa aktivitas seperti membaca novel, buku pelajaran, mengerjakan tugas, berpacaran atau bahkan berfoto ria dengan spot khas SMA ini.Kini terlihat pria dengan perawakan tinggi dan dua lesung pipi yang ia tampakkan. Dinda mengernyit ketika melihat pria itu berjalan menuju tempat duduk mereka."Hai Din," sapanya ramah, "gue boleh gabung nggak?" tanyanya ketika sudah berada di depan Dinda dengan sedikit menundukkan kepalanya.Dia adalah Shandy Pradanta, masa lalu Dinda yang dulu sempat berpacaran kurang lebih dua tahun sejak kelas 10. Namun sekarang? Tidak. Namanya juga masa lalu kan?"Cuma sapa Di
Ponsel Verdi berbunyi nyaring, menandakan ia mendapatkan pesan dari seseorang. Ia segera membuka aplikasi chat itu lalu mendapati beberapa pesan dari seseorang. Yang pertama kali ia buka adalah...DindaOiiVerdian?DindaCek aja Ver, kirain ilangVerdianJangan kangen kalau kangen nanti kita pacaranDinda terkekeh setelah membaca jawaban dari Verdi, tanpa ingin membalasnya ia langsung menutup room chat dengannya.Berhari dan berminggu mereka mengenal, semakin akrab kedekatan mereka rupanya. Benang yang semula putus kini sudah terhubung kembali, daun yang berserakan kiri dapat ditampu oleh tempat yang sangat nyaman. Kebahagiaan perlahan kembali terbuka di kehidupan Verdi.Verdi segera meninggalkan kafe dan beranjak melajukan motornya untuk menjemput Vanya. Tak perlu memakan waktu sepuluh menit, ia sudah sampai di sana dengan Vanya yang menunggui di depan gerbang sekolah."Kenapa lama, Kak?" tanya Vanya ya
Dinda tak henti-hentinya membaca kalimat itu, hingga ia mengscreenshot pesan dari Verdi. Menurutnya itu sangat penting, menjadi sebuah kenangan saat mereka berpisah kelak. Untuk sekadar tak saling menyapa dalam waktu yang sangat lama.Dan tak lupa ia juga membalasnya dengan kalimat yang tak kalah panjang darinya.Ia sebenarnya bingung, harus menjawab apa. Butuh waktu lama untuk merangkai kata-kata meskipun tak ada unsur mengesankan. Semoga ia tak salah jalan!DindaMaaf tuan, anda berbicara tidak sopan dengan saya. Jangan pernah anda bilang rindu kepada saya karena itu melanggar peraturan diri saya, peraturan yang mana pesan anda sekarang dapat menghantui pikiran saya.Dinda kembali membaca pesan yang akan ia kirimkan, entah hal bodoh apa yang sedang mereka diskusikan. Setan apa yang merasuki pikiran Dinda kali ini, hingga ia merangkai kata bodoh seperti itu.Dan terima kasih tuan, anda sudah membuat saya terbang hari ini dengan kata-kat
"Loh, Din, kamu belum pulang?" tanya Bu Rere yang barusaja keluar dari dalam ruangan itu. Menunggu Verdi yang sampai sekarang masih belum membuka matanya."Belum Ma, Dinda mau nungguin Verdi sampai dia sadar." balasnya, membuat Bu Rere semakin sesak. Ia tersenyum palsu ke gadis yang benar-benar menyayangi anaknya itu."Tidak usah, biar Mama sama Om yang tungguin Verdi. Kamu pulang saja, sudah malam. Keluarga kamu pasti nyariin kamu." elak Bu Rere menyadari bahwa hari sudah begitu gelap.Oh iya—bener, gue lupa belum kabarin mereka. Gumamnya lalu tersenyum kecil."Ya sudah Ma, Dinda pulang dulu ya, besok Dinda kesini lagi. Kalau Verdi sudah sadar, salam buat dia ya, Ma, bilangin kalau Dinda kangen berat sama Verdi." canda Dinda tersenyum lebar.Luka yang ada dalam diri Dinda kini perlahan menghilang. Berawal dari senyuman kecil, hingga celotehan dapat ke
Pak Rahmat, Vanya, dan Dinda pun berdiri, setelah melihat Bu Rere berjalan mendekat ke arah mereka, cara berjalannya terlihat seperti orang penuh ketidakpastian. Ada apa?"Gimana, Ma? Dokter bilang apa tentang keadaan Verdi?" tanya pak Rahmat penuh kecemasan. Ia pun sudah berada disini sejak Bu Rere pergi meninggalkan Dinda dan Vanya. Hanya selang beberapa menit saja setelah kepergiannya."Iya Ma, gimana, kak Verdi nggak parah kan?" tambah Vanya dengan raut yang melemah. Membuat mereka kembali larut dalam kesedihan."Tidak. Kak Verdi akan baik-baik aja." kata Bu Rere seolah memperlihatkan ketegarannya. Ia tak kuasa untuk membahas perihal kondisi anaknya kali ini. Dalam hati Bu Rere, ia terus meminta pada Tuhan agar puteranya segera sadar dan dapat melihat dunianya lagi."Pa, kita cari makan dulu yuk. Mama tadi belum makan, makanya sekarang agak pusing." lanjutnya menatap Pak Rahmat seaka
Verdi terus bersenandung ringan, menyanyikan lagu asal-asalan dibarengi setelan musik supaya tidak terjadi keheningan. Lagu itu spesial, lagu yang pernah ia nyanyikan ke Dindanya. Dulu.Mengingat nama Dinda, Verdi terus-terusan tersenyum. Apalagi terbayang senyuman Dinda yang mengulas ketulusan.Gue janji akan selalu ada di samping lo. Batin Verdi setelahnya.Namun, sebuah nama kembali mendarat di pikiran Verdi, hingga membuatnya berhenti melanjutkan lagu yang masih dalam tahap reff tersebut. Lagi-lagi nama itu. Mengapa selalu muncul disaat yang tidak pas? Mengapa? Verdi mengeram, meluapkan kekesalan.Apa ia harus memberitahu Anggun tentang masalah ini? Verdi terus-terusan bergelut dengan pikirannya sendiri. Mencari jalan terbaik untuk dirinya, Dinda, dan sahabatnya."Anggun harus tau tentang Danis." putusnya setelah berpikir dua kali, lalu ia mencari ponsel
"Ver, kamu nggak marah kan sama aku?" tanya Dinda terus-menerus, mengulang setiap pertanyaan tanpa ada jawaban yang berbeda dari mulut Verdi.Tidak. Itu dan itu secara berulang."Enggak, Din, ngapain aku marah sama kamu kalau nggak ada hal yang jelas terlihat?" Verdi membalasnya dengan kerutan dahi serta tatapan yang berubah hangat.Jelas-jelas Verdi tidak menunjukkan ekspresi marah sedikitpun, hanya saja wajah yang sekarang nampak sedikit pucat pasi. Dinda memang tak menyadari karena wajah Verdi yang tertutup warna seperti putih salju."Ya karena aku tadi ninggalin kamu sendirian di sana."Pria itu membuang nafas kasar. "Udah berapa kali aku bilang, hm? Aku nggak marah sama sekali sama kamu, jadi stop tanya seperti itu. Paham?" ujar Verdi semakin kesal, menatap wajah gadisnya yang terus merasa khawatir."Tapi kan aku khawatir sama
Semua penjuru berbalut kain dekorasi mewah nan indah, meskipun acara berlangsung di luar ruangan. Beberapa furniture menghiasi pesta pernikahan kali ini.Dinda dan Verdi pun mengambil duduk di bagian barisan belakang, dimana tepat berada di dekat keluarga pengantin yang berpakaian serba seragam. Mereka menikmati segala bentuk persembahan dan hiburan yang ada di pesta ini. Simple namun terkesan elegan.Mata Dinda tak henti-henti menatap Verdi dengan tatapan kagum, kagum akan ciptaan Tuhan yang hampir mendekati kata sempurna baginya.Ia juga menyadari bahwa kali ini ia bisa bersama pacarnya di acara pernikahan temannya. Untuk yang pertama. Bibirnya tertarik, mengulas senyum."Iya, aku emang ganteng." ucapan itu berhasil membuat Dinda mengalihkan pandangan, pipinya memanas. Ia tertangkap basah oleh pacarnya.Gadis itu akhirnya melempar pandangan
"Pagi om." sapa Verdi saat sudah dipersilahkan duduk oleh Bu Sella, ia menyapa Pak Arif yang berjalan mendekatinya. Pria paruh baya itu tersenyum menyapanya balik."Pagi."Sinar mentari berwarna orange sudah masuk melalui celah gorden yang menutupi sedikit jendela rumah Pak Arif, beberapa bagian rumah itu sedikit terkena cerahnya cahaya Ilahi yang sangat indah. Nampaknya cuaca sangat bersahabat pagi ini."Dinda baru sarapan itu." kata Pak Arif sambil memerlihatkan gigi yang sudah hilang satu bagian depannya. Senyum itu masih terlihat seperti kawanan anak muda."Kamu udah sarapan belum? Kalau belum gabung aja sama Dinda disana, Ver." lanjutnya seraya menunjuk arah dapur. Sedikit terlihat baju yang dikenakan puterinya disana. Verdi menggeleng cepat. Tak lama serentetan gigi itu terlihat."Iya, gabung aja sama Dinda. Kalau dia makan sendiri, pasti makannya lelet k
Dinginnya malam kembali menyelimuti, suasana hujan atau tidak tetap saja membuat malam gadis itu terasa dingin dan sepi.Dinda hanya mengisi waktu dengan menonton TV, memandang jendela kamar yang sedikit terbuka—membuat sepoi angin menyentuh permukaan wajahnya—ia beranjak menutupnya dengan sedikit mata menyipit, berusaha menutup wajah dengan satu tangan supaya angin tidak menerpanya.Telinga itu kini mendengar sebuah notifikasi pesan masuk di ponselnya, sesuatu yang menggugah hati Dinda untuk memandang ponsel tersebut. Hanya memandang awalnya, lalu berniat membukanya setelah beranjak menutup jendela.Meyza: Guys, gue lupa, gue mau ngasih tau kalian. Kakak gue Ammar, besok mau nikah, kalian dateng ya... Spesial undangan dari gue.Meyza mengirimkan pesan lumayan singkat ke grup pribadinya, grup yang berisikan Dinda, Zura, Yustin, Riska, dan Chae.
Awan hitam sudah tidak betah berlama-lama, kini menampakkan kembali sederet awan cerah namun masih terdapat celah warna kelabu. Matahari sedikit nampak dari balik kelamnya awan, hujan sudah reda. Verdi berkesempatan untuk bergegas pergi dari sini.Bagaimana mereka bisa pulang dengan kondisi basah kuyup seperti ini?"Tunggu disini." kata Verdi kemudian melangkah pergi meninggalkan Dinda sendiri."Kamu mau kemana?""Bentar." balasnya membuat Dinda menurut pasrah, ia menunggu Verdi di tengah pepohonan yang cukup tinggi. Sendiri. Tubuh kecil itu sedikit menggigil kedinginan. Ia memutuskan untuk memeluk tubuhnya sendiri dan sesekali menggosokkan kedua telapak tangannya.Ia memandang kendaraan yang berlalu lalang di depannya, tubuhnya kadang terkena cipratan air hujan yang tergenang di sebuah lekukan karena mobil atau kendaraan lain. Gembel!"Ver
"Yah, mendung, Ver.""Kita pulang aja." ucap Verdi menyudahi pertemuan di kafe tersebut, setelah melihat awan hitam menggumpal di atas sana.Dinda pun mengangguk. "Ayo, keburu hujan." balasnya menyetujui, membuat mereka berjalan keluar dari kafe itu, beriringan."Hujannya nggak ingat moment ya." celoteh Dinda disela jalannya."Kenapa?""Kan kita baru berduaan, kenapa sekarang malah hujan terus? Apa nggak ngerestui kita berdua?" katanya lalu memekik. "Ver, hujannya deres!!!" lanjutnya berlari bersama Verdi menuju parkiran mobil.Seketika hujan mengguyur lebih deras dari esok tadi. Untung saja mereka sudah sampai di dalam mobil, meskipun harus berlarian kecil dan terkena terpaan angin yang membawa derasnya hujan. Sedikit membasahi baju mereka sih!"Untung udah sampai." lega Dinda."Kamu kalau