USAI KEPUTUSAN CERAI - Malam ItuAuthor's POV "Ya, Pak. Ada apa?" Hilya menerima telepon sambil duduk di pinggir tempat tidur. Saat itu jarum jam sudah menunjukkan pukul 22.10.Terdengar Tristan menarik napas dalam-dalam. "Kamu tahu, aku senang perjalanan ini membawaku ke sini bersamamu." Suara Tristan terdengar lebih pelan, lebih dalam dan penuh makna.Hilya menelan ludah. "Maksudnya?" Pura-pura tidak mengerti. Padahal dia sangat paham maksud ucapan bosnya."Aku merasa nyaman duduk ngobrol sama kamu membahas banyak hal. Aku sadar ini perasaan yang salah. Bahkan kedekatanku denganmu, bisa menimbulkan permasalahan untukmu dan untukku sendiri. Ke mana pun aku pergi, langkahku di awasi oleh mertuaku."Hilya diam dan mencerna apa yang dikatakan oleh bosnya. Dia paham dengan ucapan itu. Sebab sudah berulang kali juga, dia ditegur oleh mertua Tristan, juga dilabrak oleh istri bosnya. Tapi kenapa tiba-tiba Tristan membahas hal ini di malam yang sudah larut."Apa menurut Bapak, sekarang kit
"Apa alasanmu menerima Bre?" Tristan kembali ke percakapan tadi. Enggan membahas masalah rumah tangganya."Yang pertama, karena Pak Bre single. Kedua dia baik dan tulus. Dia serius dan bisa mengambil hatinya Rifky.""Apa yang membuatmu yakin kalau Bre nggak ada wanita lain?"Hilya terhenyak. Ada nyeri menusuk ke dalam hati. Apa maksud Tristan berkata demikian?"Pak Bre sudah menceritakan semuanya. Juga tentang masa lalunya. Saya bisa menerima sebagaimana dia menerima masa lalu saya. Setiap orang yang gagal, pasti punya kisah pahit dalam hidupnya kan, Pak?""Ya," jawab Tristan pelan. Dan Hilya sendiri tidak ingin bertanya tentang Bre pada sahabatnya. Terlebih itu Tristan yang menyimpan perasaan padanya. Lebih baik mendengar cerita dari yang bersangkutan secara langsung. Hilya tidak ingin pikirannya kembali kalut setelah ia berusaha mati-matian untuk menerima Bre."Sudah ya, Pak Tristan. Selamat malam dan selamat beristirahat." Hilya menyudahi percakapan. Ketika hendak meletakkan ponse
Tristan kembali mengirimkan pesan pada Hilya untuk yang kesekian kali, tapi tidak ada balasan. Di telepon juga tidak dijawab. Ia ingin mengajak wanita itu untuk sarapan. Akhirnya Tristan keluar dan mengetuk pintu kamarnya Hilya. Sepi juga. Tidak berapa lama kemudian, ada panggilan masuk dari Bre. Namun hanya diperhatikan saja tanpa dijawab. Setelah pengakuan sahabatnya itu tadi malam, dia belum ingin bertemu. Walaupun sebenarnya Bre belum tahu tentang perasaannya pada Hilya.Ketika kembali ke kamar, Bre menelpon lagi. "Halo.""Bro, kutunggu sarapan di bawah. Aku sudah bersama Hilya.""Oke. Sebentar lagi aku turun."Tristan menarik napas panjang. Dia tidak boleh sepengecut ini. Bagaimanapun juga dia tidak akan pernah bisa memiliki Hilya. Dan harusnya dia ikut senang kalau pada akhirnya Bre bisa kembali membuka hati.Sejak dulu tiap kali ada kesempatan untuk bertemu atau ngobrol di telepon, Tristan selalu menyemangatinya untuk kembali membuka hati. Meski hanya dijawab oleh senyum tipis
USAI KEPUTUSAN CERAI- Lamaran Author's POV "Aku pulang duluan, ya. Mau mampir dulu ke rumah papa. Kamu langsung pulang ke Malang, Bre?" kata Tristan setelah menghabiskan lemon tea-nya."Mungkin besok pagi aku baru kembali ke Malang.""Oke. Aku pulang dulu." Tristan menepuk bahu sahabatnya. "Yuk, Hilya!" "Ya, Pak."Tristan memandang Hilya sekilas, lantas melangkah meninggalkan mereka. Tinggal Bre dan Hilya yang masih duduk menghabiskan minum."Orang di sebelah ini mungkin mengenalmu. Dia bolak-balik memperhatikanmu.""Bukan," jawab Hilya sambil tersenyum samar tanpa menoleh. "Maaf, untuk tadi malam, Mas. Saya berbohong soal telepon dari Pak Tristan. Nggak ada maksud untuk curang atau main rahasia. Saya hanya nggak ingin jadi salah paham." Hilya mengganti pembahasan."Tapi justru itu menimbulkan salah paham, kan?" Bre berkata dengan nada yang tenang. Hilya yang merasa bersalah tersenyum. "Iya," jawabnya."Apa yang kalian bicarakan?"Hilya menceritakan secara detail. Bre diam mendeng
"Nggak usah, Mas. Oleh-oleh yang kita beli kemarin sudah cukup. Saya kangen banget sama Rifky.""Oke." Bre tersenyum memandang Hilya. Paham bagaimana perasaan seorang ibu. Sebab dia sendiri pun tidak bisa membendung rasa kangennya pada keponakannya. Atau mamanya yang tiba-tiba datang mengunjungi ke Malang kalau dirinya sibuk dan tidak bisa pulang ke Surabaya. Mobil berbelok di jalan menuju rumahnya Hilya. Toko Mbak Asmi buka saat itu dan ketika turun, Hilya mendengar tawa anaknya dari dalam toko. Duh, Hilya benar-benar tidak tahan ingin segera memeluknya."Kamu turun duluan. Biar barang-barang saya yang bawain," kata Bre sebelum mereka membuka pintu. Hilya sebenarnya tak enak hati dan hendak membantu, tapi munculnya Rifky di teras toko membuat Hilya berlari dan langsung memeluk putranya."Unda," teriak Rifky kegirangan. Pelukannya sangat erat di bahu bundanya. Hilya juga meraih Yazid yang menghampiri. Menciumi dua anak dalam pelukannya. "Yuk, salim dulu sama Om Bre."Rifky dan Yazid
Mereka menyalami para tetangga yang duduk di teras. Kemudian mengucapkan salam dan masuk ke dalam rumah. Disambut uluran tangan kerabat Hilya.Saat itu Hilya masih duduk di ruang tengah. Jemarinya menggenggam erat ujung kerudung yang dipakai. Degup jantungnya begitu cepat. Rasa haru dan ketidakpercayaan berputar di dadanya. Ia bukan siapa-siapa. Seorang wanita biasa dengan masa lalu yang kelam. Kini benar-benar dilamar oleh lelaki berasal dari keluarga terpandang."Hilya, duduk sini, Nak," suara lembut Budhe Par memanggilnya.Dengan langkah perlahan, Hilya masuk ke ruang tamu. Suasana menjadi lebih mendebarkan disaat tatapan Bre dan Hilya bertemu sekejap. Ada kebahagiaan dan ketulusan di tatapan pria itu.Hilya kemudian duduk diapit budhe dan Mbak Asmi yang memangku Rifky.Beberapa tetangga sibuk menyuguhkan hidangan. Sementara putra sulung Budhe Par mengambil posisi di dekat ibunya. Siap menjadi wakil keluarga dalam pembicaraan penting ini.Setelah perkenalan singkat, Pak Rinto membu
USAI KEPUTUSAN CERAI- Setelah SahAuthor's POV Hilya belum menjawab perkataan kakaknya. Dia saja masih mencerna, seperti mimpi sepagi ini dia sudah menjadi istri seorang Bre Surya Hutama. Padahal rencana awal hanya sekedar lamaran. Namun pendapat spontan yang mendapatkan banyak dukungan, membuat Hilya tak ada bantahan selain mengiyakan.Suasana rumah masih dipenuhi kehangatan setelah prosesi ijab qabul. Para tamu mulai berpamitan satu per satu setelah selesai menikmati hidangan, meninggalkan Hilya yang kini resmi menjadi istri Bre. Namun, bagi wanita itu, semuanya masih terasa seperti mimpi."Rifky, sini!" Bre memanggil Rifky yang sejak tadi menempel terus pada budhenya.Bocah lelaki yang biasanya langsung menghampiri kalau dipanggil Bre, kini masih diam. Dia tampaknya bingung karena banyak orang di rumahnya yang biasa sepi.Matanya yang bening, memperhatikan satu per satu orang-orang yang hadir di sana."Ayo, Nak. Dia sudah jadi papamu." Salah seorang kerabat Bre yang bicara. Rifk
Budhe Par dan putra sulungnya berbincang dengan Bre, sedangkan Hilya ke belakang untuk berganti baju dan membantu kakak serta sepupunya mengemas sisa acara. Ada dua tetangga yang masih membantu mereka untuk beberes."Hilya, kalau kalian ingin keluar. Keluar saja. Jangan khawatirkan Rifky. Mbak bisa urus semuanya," ujar Mbak Asmi lagi disaat mereka menata piring bersih di rak dapur."Kami bisa menundanya. Besok aku juga harus bekerja.""Jangan menghalangi apa yang seharusnya terjadi. Kalian sudah suami istri, wajar menghabiskan malam bersama." Mbak Asmi begitu bijaksana menyikapi situasi. Tak ada rasa iri atau apapun atas kebahagiaan adiknya. Justru dia sangat bersyukur Hilya akhirnya menemukan pendamping hidup yang jauh lebih baik dari mantan suaminya. Sebab Bre pun tidak hanya perhatian pada Rifky, tapi juga pada Yazid.Badai kehidupan membuat Mbak Asmi begitu legowo menerima takdir. "Ikutlah suamimu, nggak mungkin kan kalau kalian akan melakukannya di sini. Pasti Bre akan mengajakm
Sambil menunggu pesanan, mereka berbincang hal-hal ringan. Ngobrol tentang ini, itu, hingga merasa nyaman dan kembali enjoy. Tawa Agatha pun begitu lepas.Percakapan terhenti disaat azan Maghrib berkumandang. Mereka bergantian salat di mushola kafe. Lantas kembali duduk dan langsung memesan menu untuk makan malam.Suasana di antara mereka kian hangat. Dan Arham memanfaatkan situasi yang tepat ini untuk bicara hal serius. Kalau dirinya tidak memulai, Agatha tidak mungkin mengawali bicara. Sebab dia perempuan."Saya sudah cerita ke Mama. Tentang apa yang terjadi di antara saya, kamu, Bre, dan Hilya."Sambil menyesap jus jambu, Agatha memperhatikan Arham. "Mama awalnya kaget juga."Agatha menegakkan duduk dengan menumpukan kedua siku di atas meja. Penasaran bagaimana tanggapan Bu Rida. "Gimana reaksi beliau?""Mungkin ini takdir. Nggak ada yang tak mungkin di dunia ini. Justru Mama bilang, mungkin ini sudah menjadi garis nasib. Aku dan kamu bisa saling mengobati. Bisa menjalin silaturah
Bu Rida mengangkat cangkir teh di tangannya, ditiup sebentar lalu diseruput dengan pelan. Arham menunggu pendapat mamanya. Namun wanita itu masih diam menikmati tehnya. Usia dan pengalaman hidup, perjalanan rumit putranya, membuat Bu Rida sudah ahli mengendalikan gejolak diri. Dia ingin sehat di sisa usia, biar bisa melihat anak-anaknya bahagia. Makanya harus bisa mengontrol hati."Aku dan Agatha nggak pernah nyangka. Kami dekat, mulai cocok, saling memahami. Tapi saat tahu latar belakang masing-masing, rasanya aneh. Seperti dunia ini terlalu kecil dan sempit."Bu Rida tersenyum. "Dunia memang sempit, Ham. Tapi perasaan manusia luas sekali."Arham menatap mamanya. "Kalau aku serius dalam kedekatan kami, seperti kami bertukar pasangan. Aku mantan suami Hilya, dia mantan istrinya Bre.""Nak," ucap Bu Rida lembut. "Semua ini bukan kesengajaan. Kalian bertemu nggak sengaja di saat sudah sama-sama saling sendiri. Kamu dan Hilya sudah selesai. Agatha dan Bre pun sudah bercerai lebih dari se
USAI KEPUTUSAN CERAI - Sang Mantan 2Author's POV Arham tercekat. Ini kejutan yang sungguh luar biasa baginya. Kebetulan macam apa ini. Hening. Mereka saling pandang dalam perasaan campur aduk yang sulit dijelaskan. Kenapa tidak sejak awal saja saling bercerita, biar terungkap semuanya. Ketika hati sama-sama bertaut dan ingin lebih dekat lagi, muncul kenyataan yang sangat luar biasa."Pernikahan kami hanya setahun saja. Dia pria yang baik." Agatha menarik napas panjang sambil membuang pandang ke luar lewat sekat kaca. "Kami terakhir bertemu tiga setengah tahun yang lalu. Disaat dia sudah menikah dan istrinya tengah hamil lima bulan. Rifky diajaknya saat itu."Agatha menarik napas panjang lalu melanjutkan bicara. "Makanya saya kaget melihat Rifky kemarin. Saya masih ingat betul wajahnya."Senyum getir terbit di bibir Arham. "Lucu cerita ini, Mbak.""Ya." Agatha pun ikut tersenyum. Sama-sama mengulas senyum yang terasa pahit. Setelah diam beberapa saat, Agatha kembali bicara tentang
"Aku tahu dari anaknya Arham. Aku masih ingat wajah anak itu yang dulu di gendong Bre saat kami ketemuan di sebuah rumah makan. Tiga setengah tahun yang lalu." Agatha mengeluarkan ponsel yang sejak tadi belum dikeluarkan dari dalam sakunya. Ia menunjukkan foto Rifky yang diambilnya di area tempat bermain."Ini anak tirinya Bre?" Bu Wawan memandang Agatha."Ya. Ganteng, kan?"Bu Wawan mengangguk. Kemudian meletakkan ponsel di atas meja. "Apa itu masalah buatmu?" tanyanya lembut pada Agatha."Aku kaget, Ma. Dikala aku siap membuka hati, harus menghadapi kenyataan seperti ini. Kalau ada jodoh antara aku dan Arham. Begitu lucunya kenyataan. Kami seolah bertukar pasangan.""Semua nggak disengaja dan ini bukan lelucon. Majulah terus, Nduk. Kalian bisa sama-sama berusaha untuk saling menyembuhkan dan membina masa depan. Apapun yang terjadi di masa lalu, kalian berhak juga mendapatkan kebahagiaan. Kalau Nak Arham memang serius, terima saja. Percayalah hati kalian akan sembuh seiring berjalann
Namun hari ini dia tahu satu kenyataan. Ternyata Arham mantan suaminya Hilya, istri Bre. Lalu bagaimana dia bisa bangkit dan melupakan semuanya kalau masih saling berkaitan begini."Dari sini Mas Arham langsung mengajak Rifky pulang ke rumah?""Aku mampir ke rumah mama dulu. Sorenya baru pulang ke rumah. Mbak Gatha, mau ikut?""Sore ini saya harus mengantarkan mama keluar, Mas. Lain kali saja.""Oke." Arham mengangguk.Mereka menemani Rifky bermain hingga satu jam kemudian. Lantas keluar mall dan berpisah di parkiran.Melihat sikap Agatha yang perhatian terhadap Rifky, Arham lega. Timbul harapan hubungan mereka akan ada peningkatan. Dia tidak mempermasalahkan usianya yang lebih muda dari Agatha. Apalagi sang mama juga menyukai wanita itu. Arham ingin mewujudkan keinginan mamanya untuk segera menikah. "Mama ingin melihatmu berumah tangga lagi, sebelum mama pergi. Lihat sekarang mama sakit-sakitan. Mama berharap kamu punya pasangan dan hidup bahagia. Toh hubunganmu dengan Hilya juga su
USAI KEPUTUSAN CERAI- Sang MantanAuthor's POV "Rifky, salim dulu sama Tante Agatha." Rifky mengulurkan tangan kecilnya untuk menyalami wanita yang seketika itu menyondongkan tubuh padanya.Benar, tidak salah lagi. Dia anak tirinya Bre. Agatha masih ingat wajah tampannya. Untuk Rifky sendiri, tentu saja dia tidak ingat dengan Agatha. Saat bertemu kala itu baru berumur dua setengah tahun."Sudah sekolah?" tanya Agatha dengan wajah ramah."Sudah, Tante."Agatha mengusap lembut rambut Rifky. Kemudian ia berbincang dengan Arham. Namun belum membahas tentang apa yang ia ketahui. Setelah perkenalan di rest area saat itu, mereka berteman. Lumayan akrab setelah beberapa bulan kemudian. Sama-sama bekerja di bidang yang sama, jadi bertukar pengalaman. Apalagi sudah sepuluh tahun lebih Agatha meninggalkan Surabaya. Jadi dia belum begitu memahami banyaknya perubahan.Mereka sudah beberapa kali janjian makan siang di sela jam istirahat. Akan tetapi, Arham tidak banyak menceritakan tentang kehid
Hilya teringat satu malam yang berlalu begitu cepat saat sang suami menginginkannya. Malam di mana ia lupa menelan pil kecil yang biasa melindungi dari kemungkinan seperti ini. Hamil. Apa mungkin hamil hanya karena sekali saja lupa minum pil kontrasepsi? Tapi dia merasakan perubahan itu. "Sayang." Suara serak Bre terdengar dari balik selimut. Ia menggeliat lalu melihat istrinya duduk termenung."Kenapa? Kamu nggak enak badan?" tanya Bre sambil bangkit dan duduk merapat pada sang istri dan menyentuh keningnya.Hilya menoleh, menatap wajah suaminya yang terlihat masih mengantuk. Tadi malam Bre memang pulang dari Surabaya sudah jam sebelas. Hilya menarik napas panjang lalu berkata pelan, "Aku mual sudah beberapa hari ini, Mas. Tapi pagi ini malah tambah begah."Bre mengerutkan kening. Seketika matanya terbuka lebar karena ingat percakapan mereka suatu malam, di mana Hilya bilang lupa minum pil kontrasepsi. "Kamu hamil?""Mungkin. Aku sudah sebulan lebih telat haid."Napas Bre langsung t
"Kalau gitu, saya pamit dulu." Arham bangkit dari duduknya lalu menyalami Bre dan Hilya. Pria itu mendekat pada dua bocah yang masih sibuk dengan mainannya. Rifky dan Rafka langsung berdiri dan memeluk Arham. Menciuminya bergantian. Dia pun sayang pada Rafka yang tampan dan menggemaskan. Arham melangkah keluar rumah di antarkan oleh Bre, Hilya, dan anak-anak. Arham menoleh sebelum membuka pintu pagar. Melambaikan tangan yang dibalas oleh Rifky dan Rafka.Setelah itu Hilya mengajak Rifky untuk berganti pakaian ke kamarnya, sedangkan Rafka duduk bermain di karpet ditemani oleh sang papa.Sementara Arham kembali melaju di jalan utama. Sendirian lagi setelah dua hari ditemani. Namun sebenarnya dia sudah terbiasa kesepian semenjak perceraian. Hidup sendiri, kalau sakit juga sendiri. Arham tidak pernah memberitahu pada mamanya, karena Bu Rida sendiri juga sakit-sakitan. Kalau memang sudah tidak tahan, baru ia memberitahu adiknya. Itu pun setelah sangat terpaksa, karena Arham juga kasihan p
USAI KEPUTUSAN CERAI- KenalanAuthor's POV "Mas." Wanita berpakaian seragam sebuah butik itu menghampiri Arham."Tika." Arham mendekap erat Rifky.Mereka saling pandang sejenak. Wajah wanita itu berbinar. Semenjak bercerai, dia tidak pernah bertemu mantan suaminya. Berbagai cara dilakukan supaya bisa berjumpa dengan Arham, tapi tak pernah berhasil.Setiap kali melihatnya, mungkin Arham sengaja menghindar. Hubungan mereka benar-benar sudah selesai di akhir persidangan.Sudah setahun ini dia bekerja di butik yang ada di mall itu. Setahun kemarin sibuk dengan keterpurukannya. Tak ada dukungan, tak ada support karena keluarganya memang berantakan. Sudah seperti orang stres saja menghabiskan waktu ke sana ke mari tanpa teman. Karena beberapa teman dekat menjauhi, tidak peduli, dan mereka juga sibuk dengan aktivitas masing-masing.Apalagi Aruna sama sekali tidak pernah menghubunginya. Dihubungi juga tidak bisa. Ia dengar wanita itu sudah kembali bahagia dengan suami dan anaknya.Uang Idda